Karya: Rin Muna
Setiap Minggu pagi, ketika matahari belum begitu tinggi, suara sapu lidi dan cangkul mulai terdengar di sepanjang gang kecil RT 03. Ada aroma tanah basah yang berpadu dengan semangat kebersamaan, seolah setiap ayunan tangan yang mengangkat sampah adalah tanda cinta terhadap tempat kami berpijak. Gotong-royong membersihkan lingkungan bukan sekadar rutinitas; ia adalah napas kehidupan yang meneguhkan bahwa kami masih peduli, masih ingin hidup dalam ruang yang layak, bersih, dan manusiawi.
Namun, seperti daun kering yang tertinggal di sudut jalan, selalu ada yang absen dari pemandangan itu. Beberapa warga memilih menutup pintu rumah rapat-rapat, berpura-pura tidak mendengar suara sapu yang menggesek jalan atau tumpukan daun yang menunggu dikumpulkan. Barangkali mereka lelah. Barangkali mereka sibuk. Atau barangkali, mereka lupa — bahwa setiap rumah yang berdiri di tanah RT 03 membawa konsekuensi: menambah beban energi, air, dan tentu saja, sampah.
Lingkungan adalah cermin dari penghuni di dalamnya. Sampah yang berserakan bukan semata soal kebersihan, melainkan juga soal kesadaran. Di balik kantong plastik yang terbang tertiup angin, terselip pesan sunyi: bahwa sebagian dari kita masih menunda tanggung jawab bersama. Kita menunggu orang lain bergerak lebih dulu, padahal perubahan selalu dimulai dari langkah paling kecil — satu tangan yang rela menyapu, satu hati yang mau peduli.
Gotong-royong bukan tentang siapa yang datang dan siapa yang absen. Ia tentang semangat yang tak pernah padam meski jumlah tangan yang bekerja tak seimbang dengan jumlah kepala yang menghuni. Selalu ada wajah-wajah yang tersenyum di tengah peluh, ada tawa yang menutupi lelah, dan ada rasa syukur yang tumbuh setiap kali selokan bersih kembali mengalir.
Saya percaya, gotong-royong bukan sekadar warisan budaya; ia adalah bentuk perlawanan terhadap sikap individualis yang semakin kuat menggenggam masyarakat modern. Di tengah dunia yang sibuk menghitung keuntungan pribadi, warga RT 03 yang masih turun ke jalan dengan sapu di tangan adalah pahlawan kecil yang menjaga denyut sosial agar tak padam.
Barangkali suatu hari nanti, mereka yang kini bersembunyi di balik alasan dan waktu akan menyadari bahwa rumah yang bersih tidak lahir dari tangan petugas kebersihan, melainkan dari kesadaran kolektif. Karena sejatinya, setiap warga yang bermukim di sini — termasuk yang diam — turut meninggalkan jejak energi dan sampah bagi lingkungannya. Maka, tidakkah adil jika beban itu juga dibagi dalam bentuk kerja bersama?
Gotong-royong adalah cermin jiwa kita sebagai bangsa. Ia mungkin tak lagi seramai dulu, tapi di RT 03, semangat itu masih menyala. Tak sebesar nyala obor, mungkin hanya seberkas cahaya kecil di ujung gang, tapi cukup untuk mengingatkan kita bahwa kepedulian — sekecil apa pun — adalah tanda bahwa hati kita belum mati.
0 komentar:
Post a Comment