KITA TIDAK PERLU JADI HEBAT — HANYA PERLU BERGERAK LEBIH CEPAT DARI YANG LAIN UNTUK MENGAMBIL KESEMPATAN
Oleh: Rin Muna
Ada kalanya hidup ini terasa seperti perlombaan maraton tanpa garis akhir. Semua orang tampak berlari, sebagian tersenyum karena sudah di depan, sebagian lagi kelelahan tapi tetap memaksa kaki melangkah. Dalam perjalanan seperti itu, sering kali kita merasa kecil — tidak cukup hebat, tidak cukup pandai, tidak cukup beruntung. Tapi siapa bilang kita harus jadi yang paling hebat untuk bisa sampai? Kadang, kita hanya perlu lebih cepat bergerak ketika kesempatan lewat di depan mata.
Aku percaya, banyak orang gagal bukan karena mereka tidak punya kemampuan, tapi karena terlalu lama berpikir, terlalu sibuk menimbang, hingga kesempatan yang semestinya jadi milik mereka justru diambil orang lain yang lebih berani. Dalam dunia nyata, kecepatan bukan sekadar tentang langkah kaki, tapi tentang kepekaan hati — kapan harus mulai, kapan harus berhenti, dan kapan harus berani melompat.
Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, pernah menulis tentang praxis — tindakan yang lahir dari kebijaksanaan praktis (phronesis). Artinya, pengetahuan saja tidak cukup; ia harus diikuti oleh tindakan nyata. Dalam konteks modern, banyak orang berhenti di fase berpikir, menganalisis, dan merancang strategi sempurna, padahal dunia terus berubah tanpa menunggu.
Di sini, keberanian mengambil langkah menjadi bentuk kebijaksanaan itu sendiri. Kierkegaard, filsuf eksistensialis, bahkan menyebut bahwa lompatan iman (leap of faith) diperlukan untuk menembus batas logika dan rasa takut. Karena sering kali, kesempatan tidak datang dua kali — dan yang menentukan bukan siapa paling pintar, tapi siapa paling siap saat momen itu tiba.
Maka, tak perlu menunggu jadi hebat dulu untuk memulai. Justru, dengan memulai lebih dulu, kita akan tumbuh menjadi hebat. Seperti benih kecil yang tak menunggu menjadi pohon sebelum ditanam — ia menanam dulu, baru tumbuh.
Dalam Islam, konsep bergerak cepat di jalan kebaikan disebut fastabiqul khairat — “berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. Al-Baqarah: 148). Ayat ini bukan hanya perintah untuk berbuat baik, tapi juga seruan agar jangan menunda. Sebab, kebaikan yang ditunda bisa kehilangan maknanya.
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, sehatmu sebelum datang sakitmu, kayamu sebelum datang miskinmu, waktu luangmu sebelum datang sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim)
Hadis ini sejatinya mengajarkan urgensi gerak cepat dalam kebaikan dan kesempatan. Hidup ini sementara, dan waktu adalah sumber daya paling mahal yang tidak bisa dibeli kembali. Maka, setiap detik yang diisi dengan langkah berarti adalah bentuk kemenangan kecil dalam perjalanan panjang menuju makna hidup.
Kita sering berpikir bahwa dunia akan memberi ruang bagi yang paling berbakat. Padahal kenyataannya, dunia lebih menghargai yang berani. Orang hebat memang dikagumi, tapi orang yang bergeraklah yang mengubah keadaan.
Coba lihat di sekeliling — banyak orang sederhana yang sukses bukan karena mereka lebih pintar, tapi karena mereka tidak takut mencoba lebih dulu. Mereka menjemput peluang bahkan ketika belum siap sepenuhnya. Dan sering kali, kesuksesan datang bukan dari kesiapan penuh, melainkan dari langkah awal yang berani.
Dalam bahasa sederhana: kadang kita hanya perlu lebih dulu satu langkah.
Gerak cepat bukan berarti terburu-buru. Ini soal kesadaran dan ketegasan mengambil keputusan. Dalam filsafat Timur, terutama dalam ajaran Lao Tzu, ada keseimbangan antara wu wei — bertindak tanpa paksaan — dan momentum. Artinya, bergerak dengan kesadaran penuh, tahu kapan waktu yang tepat, tapi tidak menunggu terlalu lama hingga kehilangan kesempatan.
Begitu pula dalam Islam, ada istilah ijtihad — usaha sungguh-sungguh untuk mencari solusi terbaik. Ijtihad adalah bentuk gerak intelektual dan spiritual. Jadi, bergerak cepat tidak berarti tanpa pikir, melainkan berpikir secukupnya dan bertindak seperlunya.
Kita lahir dalam gerak — detak jantung, tarikan napas, bahkan waktu yang terus berjalan. Maka, diam terlalu lama adalah bentuk kemunduran. Tidak bergerak berarti menyerahkan diri pada stagnasi.
Ketika Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11),
ayat ini bukan sekadar motivasi spiritual, melainkan prinsip perubahan. Tidak perlu jadi hebat, cukup mau bergerak lebih dulu — karena perubahan tidak lahir dari kehebatan, tapi dari kemauan.
Aku pernah mendengar seorang sahabat berkata, “Aku bukan orang paling pintar di ruangan ini, tapi aku ingin jadi orang pertama yang berani mencoba.” Kalimat itu sederhana tapi kuat. Karena pada akhirnya, kehidupan ini bukan tentang siapa yang paling tahu, tapi siapa yang paling mau.
Kita tidak perlu jadi hebat untuk memulai sesuatu. Tapi kita perlu memulai agar suatu hari bisa jadi hebat. Karena kesempatan sering kali hanya menampakkan diri pada mereka yang sudah bersiap — dan bersiap itu dimulai dengan langkah kecil hari ini.
Maka, jangan tunggu sampai sempurna untuk melangkah. Dunia terlalu cepat berubah untuk menunggu seseorang yang masih sibuk merasa belum siap.
Bergeraklah.
Sekarang juga.
Sebelum kesempatan menutup pintunya.
.png)

0 komentar:
Post a Comment