Rempong yang Indah dari Ibu-Ibu Dasawisma Kantil
Hari itu suasana RT 03 Desa Beringin Agung terasa lebih riuh dari biasanya. Bukan karena ada hajatan, bukan pula karena ada rapat penting. Penyebabnya sederhana: ibu-ibu Dasawisma Kantil mau foto-foto. Tapi jangan salah, urusan foto bagi para ibu ini bukan perkara sepele. Harus kompak, bagus, dan maksimal — tiga syarat wajib yang ternyata bisa bikin satu kampung heboh.
Pagi-pagi, grup WhatsApp Dasawisma sudah penuh dengan pesan. “Ada yang punya jarik motif parang nggak?” tanya seorang ibu. “Aku udah pinjam baju lurik di rumah sepupu,” balas yang lain. “Aku nggak punya caping, pinjem di siapa ya?” tambah satu lagi. Dari situ saja sudah kelihatan semangat mereka: mau tampil sebaik mungkin, seindah mungkin, meski semua harus diusahakan dari sana-sini.
Begitu hari pemotretan tiba, pemandangan di posko Dasawisma seperti ruang rias dadakan. Ada yang sibuk melilitkan kain jarik, ada yang belajar cepat memakai caping biar miringnya pas, ada yang minta bantuan merapikan kerah lurik. Suara tawa bercampur dengan riuh suara anak-anaknya yang juga hadir di sana. Semua ingin tampil kompak. Semua ingin terlihat cantik.
Sementara mereka sibuk berdandan, aku hanya duduk di sudut, memperhatikan. Hari itu aku memilih tidak memakai alas bedak sama sekali. Wajahku polos tanpa polesan, hanya senyum tulus sebagai hiasan. Bukan karena malas berdandan, tapi karena aku merasa semakin kita punya value, semakin kita ingin tampil apa adanya. Bukan pakaian atau make-up yang membuat seseorang berharga, melainkan makna yang ia bawa dalam dirinya.
Tentu saja, bukan berarti aku tidak ikut senang. Justru aku menikmati keriuhan itu — rempong yang hangat, riuh yang membahagiakan. Ibu-ibu Dasawisma Kantil bukan sekadar kumpulan warga, mereka adalah wajah-wajah perempuan tangguh yang tahu cara bersenang-senang setelah lelah mengurus rumah, keluarga, dan kehidupan.
Setelah sesi foto usai, wajah-wajah yang tadi tegang karena takut riasannya luntur kini berubah ceria. Sambil tertawa, mereka mengajakku ikut berkeliling. “Ayo, kita jalan-jalan ke Dasawisma RT 1 sampai RT 10!” seru Bu Misna, pemilik mobil Grandmax yang hari itu jadi kendaraan kebersamaan kami.
Kami pun berangkat. Mobil Grandmax itu terasa seperti mini bus wisata, penuh tawa dan cerita. Di setiap RT yang kami lewati, selalu ada sapaan, senyum, dan canda. Tak ada yang sibuk dengan ponsel, tak ada yang sibuk membandingkan hasil foto. Yang tersisa hanyalah kebersamaan yang tulus — hal yang jarang, tapi begitu mahal nilainya.
Sore itu, aku pulang dengan hati hangat. Di balik rempong dan hiruk-pikuk persiapan, aku melihat sesuatu yang lebih dalam: semangat untuk kompak, untuk tampil bersama, dan untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Mungkin, begitulah indahnya menjadi bagian dari Dasawisma Kantil — di mana keriuhan bukan tanda kekacauan, tapi bukti bahwa cinta, persaudaraan, dan semangat hidup masih hidup di antara kami.
Kutai Kartanegara, 21 Oktober 2025
Rin Muna


.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)

0 komentar:
Post a Comment