Friday, October 17, 2025

Hati Selapang Yusuf: Belajar Memaafkan Mereka yang Menyakiti Kita




Hati Selapang Yusuf: Belajar Memaafkan Mereka yang Menyakiti Kita


Oleh: Rin Muna

Kadang, hidup memberi kita pelajaran paling berat lewat orang yang paling kita sayangi.
Bukan dari musuh, bukan dari orang asing, tapi dari mereka yang kita kira akan selalu melindungi kita.
Dari sinilah kisah Nabi Yusuf AS mengajarkan sesuatu yang nyaris mustahil dilakukan manusia biasa, yakni memaafkan tanpa sisa.

Dalam surah Yusuf ayat 8–10, Allah mengisahkan bagaimana saudara-saudara Yusuf merasa iri kepada Yusuf kecil yang disayangi ayahnya, Nabi Ya’qub. Kecemburuan itu berubah jadi niat jahat. Mereka melemparkannya ke dasar sumur dan berbohong bahwa ia telah dimakan serigala.

Bayangkan!
Dikhianati oleh darah sendiri. Diterlantarkan, lalu dibesarkan di negeri asing, dijual sebagai budak, difitnah, dan dipenjara, semua berawal dari permulaan yang pahit itu. Tapi anehnya, Yusuf tidak menyimpan dendam sedikit pun.

Ketika akhirnya menjadi penguasa Mesir dan berkuasa penuh atas nasib saudara-saudaranya, Yusuf hanya berkata lembut:

“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Semoga Allah mengampuni kalian, dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”


Lihatlah, betapa lapangnya hati itu.
Ia bisa saja menghukum, bisa saja menuntut balas, tapi Yusuf memilih untuk melepaskan beban luka dan menggantinya dengan kasih sayang.

Kadang kita salah sangka, mengira orang yang hatinya lapang berarti tidak pernah sakit. Padahal, justru karena hatinya pernah remuk, ia belajar bagaimana cara menyembuhkannya.
Yusuf juga manusia. Ia menangis, ia kecewa, ia rindu ayahnya. Tapi setiap kali luka itu datang, ia tidak menambah luka baru dengan kebencian.

Dalam Tafsir Ibn Katsir, dijelaskan bahwa doa Nabi Yusuf ketika dalam penjara:

“Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka.” (QS. Yusuf: 33)

Ini menunjukkan bahwa ia memilih kesucian hati daripada kesenangan sesaat. Ia tahu, menjaga hati lebih penting daripada memenangkan ego.

Begitu juga dalam kehidupan kita sekarang.
Ketika teman kerja menjelekkan di belakang, ketika saudara sendiri iri terhadap keberhasilan kita, atau ketika orang yang kita bantu justru menikam dengan kata-kata, maka itu semua adalah "sumur" kecil yang menanti reaksi kita.
Apakah kita akan menenggelamkan diri dalam amarah, atau belajar berenang menuju permukaan dengan hati yang ringan?

Lapang hati itu bukan teori, tapi latihan harian.
Misalnya, saat seseorang membatalkan janji di menit terakhir, atau teman yang tiba-tiba menjauh tanpa penjelasan.
Awalnya pasti ada rasa “kok tega sih?”. Tapi perlahan, kalau kita belajar seperti Yusuf, kita akan menemukan kekuatan baru. Kekuatan untuk berkata, “Tidak apa-apa, mungkin Allah sedang mengajarkan aku tentang ikhlas.”

Di rumah, lapang hati bisa terlihat dari bagaimana kita menahan suara saat marah kepada anak, atau bagaimana kita memilih diam saat disalahpahami pasangan.
Di tempat kerja, lapang hati berarti tidak membawa dendam ke dalam pekerjaan, dan tetap profesional walau kecewa.
Di dunia maya, lapang hati berarti tidak membalas komentar kasar dengan komentar kasar, tapi dengan senyum dan doa dalam hati.

Karena lapang hati bukan kelemahan, justru itu tanda kekuatan sejati.
Sebagaimana dikatakan oleh ulama besar, Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin:

“Tanda hati yang bersih adalah ketika engkau tidak merasa senang atas musibah orang yang pernah menyakitimu.”

Itu sulit, tapi bukan tidak mungkin. Yusuf telah membuktikannya.

Yang membuat Yusuf menang bukan tahtanya, tapi cara ia memperlakukan mereka yang menjatuhkannya.
Ketika ia memeluk saudara-saudaranya yang dulu mencelakainya, itu bukan hanya pelukan fisik, tapi pelukan spiritual yang menyembuhkan masa lalu.

Di titik itu, Yusuf sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Ia tak lagi butuh pembuktian, tak lagi mencari balasan. Ia hanya ingin menebar kebaikan karena tahu jika Allah-lah yang menulis cerita dari awal sampai akhir.

Dalam hidup ini, kita juga akan bertemu banyak “saudara” dalam berbagai bentuk: teman, rekan kerja, bahkan orang tua. Karena terkadang saudara justru menjadi orang asing hanya karena tidak bisa menerima siapa kita hari ini.






0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas