Wednesday, July 9, 2025

Perfect Hero Bab 235 || Dalang Penculikan || a Romance Novel by Vella Nine

 

Dalang Penculikan

 


Yeriko dan Lutfi bergegas naik ke lantai atas. Mencari sosok Ben yang telah membuat kemarahan Yeriko memuncak. Mereka menggeledah seluruh ruangan dan menyingkirkan penjaga-penjaga yang menghalau mereka.

 

“Selamat malam, Tuan Ye ...!” sapa Ben begitu Lutfi dan Yeriko masuk ke dalam ruangannya. “Suatu kehormatan bisa membuat Anda datang ke tempat ini.” Ben melepaskan diri dari wanita-wanita seksi yang bergelayut manja di tubuhnya.

 

Yeriko tidak menyahut. Ia langsung mendekati Ben dan melayangkan kepalan tangannya ke wajah Ben.

 

“Hei, kenapa kalian diam aja? Hajar dia!” perintah Ben pada anak buahnya.

 

Anak buah ben langsung menyerang Yeriko dan Lutfi. Lutfi menghalau semua anak buah Ben agar tidak mendekati Yeriko yang sedang membuat perhitungan dengan Ben.

 

“Kamu udah berani melukai istriku, aku nggak akan ngelepasin kamu!” sentak Yeriko sambil menarik kerah baju Ben.

 

“Dia istri kamu? Bukannya pacarnya Chandra?”

 

“Perempuan yang kamu pukul sampai pingsan di bar itu istriku!” sentak Yeriko.

 

BUG!

 

Yeriko langsung menghantam wajah Ben kembali.

 

Ben berusaha menyerang balik Yeriko. Namun, kemampuan beladiri Yeriko memang jauh lebih baik dari dirinya.

 

BRAAK ...!

 

Tendangan kaki Lutfi membuat salah satu anak buah Ben melayang ke atas meja dan memecahkan meja kecil tersebut dengan mudah.

 

“Mmh ...” Ben menahan sakit di tubuhnya akibat pukulan dari Yeriko. Ia menatap semua anak buahnya yang telah berhasil dikalahkan oleh Lutfi dengan mudah.

 

Yeriko masih belum puas melihat Ben yang sudah babak belur. Ia masih mengepalkan tangannya ke arah Ben.

 

“Tunggu!” seru Ben sambil menatap kepalan tangan Yeriko yang hanya berjarak sepuluh sentimeter dari wajahnya. “Aku cuma dibayar.”

 

Yeriko menurunkan kepalan tangannya. “Siapa yang bayar kamu?”

 

Ben menggelengkan kepalanya.

 

BUG!

 

Yeriko kembali meninju wajah Ben hingga tersungkur ke lantai. Ia langsung menekan leher Ben dengan sepatunya. “Siapa yang bayar kamu!?” sentak Yeriko sambil terus menekan leher Ben makin kuat.

 

“Uhuk ... uhuk ... lepasin dulu!” pinta Ben sambil memegangi lehernya.

 

Yeriko melonggarkan injakan kakinya. “Cepet ngomong!” sentaknya.

 

“Aurelia yang ngatur semuanya. Aku cuma terima perintah,” tutur Ben.

 

“Apa ada hubungannya sama Amara?” tanya Lutfi.

 

“Aku nggak kenal sama Amara,” jawab Ben.

 

“Anak buahmu nyulik Jheni dan ada Amara di sana. Gimana kamu bilang nggak kenal!?” sentak Lutfi. Ia ikut emosi dengan jawaban Ben.

 

“Jheni yang punya hutang sama aku. Nggak tahu siapa itu Amara,” jawab Ben bersikeras.

 

Yeriko kembali menekan sepatunya ke leher Ben. “Jheni bukan wanita penjudi. Dia nggak mungkin ada hutang sama kamu!”

 

“Pacarnya yang berhutang atas nama dia,” jawab Ben sambil menahan sakit di lehernya.

 

“Dia pacarnya Chandra, goblok!” sentak Lutfi sambil menendang kepala Ben.

 

“Aku nggak tahu. Aku cuma mau uangku kembali,” jawab Ben.

 

Yeriko dan Lutfi saling pandang. Ben tak kunjung memberikan jawaban dan membuat mereka semakin geram.

 

“Bunuh aja orang ini! Nggak guna!” tutur Lutfi.

 

“Aku beneran nggak tahu,” sahut Ben. “Aurel yang atur semuanya. Dia yang tahu siapa yang sebenarnya pinjam uang atas nama Jheni. Aku cuma butuh uang, nggak peduli siapa mereka.”

 

“Aurel?” Yeriko mengernyitkan dahi sambil menatap Lutfi.

 

“Cewek yang bawain acara lelang tadi,” tutur Ben.

 

Yeriko langsung melepaskan kakinya dari leher Ben. “Aku pastikan bisnis perjudian kamu ini bakal tutup dalam minggu ini!” ancam Yeriko. Ia dan Lutfi langsung bergegas pergi mencari wanita seksi yang sempat mereka jumpai di atas panggung.

 

“Di mana cewek itu sekarang?” tanya Yeriko sambil terus melangkah mencari sosok Aurel.

 

“Itu, Yer!” Lutfi langsung menunjuk Aurel yang sedang duduk santai di salah satu meja bar di lantai bawah.

 

Yeriko bergegas menghampiri Aurel yang sedang bersantai sambil menikmati Bir. Ia langsung menarik tangan Aurel dengan paksa dan mencengkeram sangat kuat.

 

“Ada apa ini?” tanya Aurel. Ia terkejut dengan kehadiran Yeriko dan Lutfi yang ada di hadapannya.

 

“Siapa orang yang udah jual Jheni?” tanya Yeriko.

 

“Jheni?”

 

“Cewek yang kamu lelang tadi,” sahut Lutfi.

 

“Oh ...” Aurelia tersenyum kecil. “Dari Ben,” jawabnya santai.

 

“Bohong!” sentak Lutfi. “Ben sudah mati di atas, kamu nyusul dia?” tanyanya sambil menatap Aurel.

 

Aurel membelalakkan mata, ia gemetaran menatap Yeriko dan Lutfi. “Ka ... kalian siapa?”

 

“Nggak penting kami siapa. Kamu bilang ke kami, siapa orang yang udah jebak Jheni!” pinta Yeriko.

 

Aurel terdiam. Ia berpikir sejenak, mencari kalimat yang tepat untuk melawan Yeriko dan Lutfi.

 

“Kamu masih nggak mau ngaku?” tanya Yeriko sambil menekan rahang Aurel. “Berapa uang yang dia kasih ke kamu? Aku ganti tiga kali lipat!”

 

“Lepasin tangan kamu dulu!” pinta Aurel.

 

Yeriko melepas tangannya perlahan.

 

Aurel mengambil beberapa lembar kertas dari dalam tas tangannya dan memberikan pada Yeriko. Gestur tubuhnya berusaha menggoda Yeriko dan Lutfi agar luluh di hadapannya.

 

Yeriko menarik kertas tersebut dengan kasar dan membacanya. Kemudian, melirik tubuh Aurel yang seksi dan tersenyum menggoda ke arahnya.

 

“Eh, kamu nggak usah kayak cacing kepanasan!” sentak Yeriko. “Kamu pikir, badan kamu ini menarik buat kami?”

 

Lutfi menahan tawa mendengar ucapan Yeriko.

 

Aurel mengerutkan bibir sambil menatap kesal ke arah Yeriko.

 

“Heh, siapa namamu? Aurelia?” tanya Lutfi sambil tertawa kecil. “Cocok emang kayak ubur-ubur.” Ia tergelak sambil menatap Aurel. “Kamu pikir, kita ini cowok yang nggak pernah lihat cewek seksi kayak kamu? Jual badan buat godain laki-laki, menjijikkan!” dengus Lutfi.

 

Aurel semakin kesal dengan ucapan yang keluar dari mulut Lutfi. “Kalian cowok munafik. Nggak ada cowok yang nggak suka lihat perempuan seksi.”

 

“Suka. Tapi bukan cewek yang menjijikkan kayak kamu,” sahut Yeriko. Ia berbalik dan langsung mengajak Lutfi keluar dari tempat tersebut.

 

Yeriko bergegas masuk ke mobil. Melemparkan kertas bukti transaksi itu ke atas dashboard mobil begitu saja.

 

Lutfi langsung meraih kertas tersebut dan membacanya. Ia membelalakkan mata dan langsung menoleh ke arah Yeriko yang duduk dengan tenang. “Gila! Beneran si Amara?”

 

Yeriko mengangguk. Ia menyalakan mesin mobil dan bergegas keluar dari lokasi perjudian tersebut.

 

“Asli, si Chandra bego bener!” tutur Lutfi. “Cewek kayak gitu masih aja dikasih hati.”

 

“Aku nggak akan ngelepasin dia!” tegas Yeriko.

 

“Ini sih psikopatnya ngalah-ngalahin si Refi. Biar pun dia ngejar-ngejar kamu secara terang-terangan, tapi dia nggak pernah sampai bikin Kakak Ipar kayak gini.” Lutfi menggeleng-gelengkan kepala. Ia masih tidak mengerti kenapa Amara begitu tega melakukan hal keji kepada Jheni.

 

“Chandra harus tahu siapa sebenarnya Amara. Jangan sampai dia luluh lagi sama air mata buaya cewek itu!” tutur Yeriko. Ia menginjak gas mobilnya lebih keras, melajukan mobilnya dengan kencang membelah jalanan kota.

 

Lutfi menarik napas dalam-dalam. Ia tidak bisa membayangkan kalau hal itu terjadi pada Icha. Niatnya untuk mengekspose status Icha sebagai pacarnya ke media, ia urungkan begitu saja. Ia takut kalau model-model yang sering bersamanya diam-diam menaruh hati padanya dan membuat Icha dalam masalah.

 

(( Bersambung ... ))

 

Uh, nulis adegan action, bikin aku tahan napas mulu ...

Jangan lupa subscribe untuk berlangganan dan setiap tulisan terbaru akan langsung masuk ke kotak masuk email kamu...

Catatan Sehari Bersama Shopee dan Harapan Para Pelaku UMKM

 

IKN Digital Community: UMKM Maju, IKN Berdaya!
Catatan Sehari Bersama Shopee dan Harapan Para Pelaku UMKM

Selasa pagi, 8 Juli 2025. Udara di Samboja masih segar saat aku baru saja membuka mata. Kubuka ponselku untuk melihat jadwal. 

Oh, ya ... benar saja. Hari ini aku ada kegiatan IKN Digital Community yang dilakukan secara daring. 

Sebuah program kolaborasi antara Otorita IKN dan Shopee yang mengangkat semangat, “UMKM Maju, IKN Berdaya!” Dari flyer yang kuterima beberapa hari sebelumnya, aku tahu acara ini akan terbagi dalam dua sesi dan melibatkan beberapa kecamatan di sekitar wilayah Ibu Kota Nusantara.

Pukul 10.00 WITA, sesi pertama dimulai. Sayangnya, aku baru bisa masuk zoom pukul 11.30 WITA dikarenakan aku masih kedatangan tamu (Mahasiswa KKN Unikarta). Kami memang sudah membuat janji temu sejak pukul 09.00 WITA. Dikarenakan terlalu asyik berdiskusi, sampai tak terasa menghabiskan waktu satu setengah jam.

Ketika aku masuk, sudah ada 13 peserta yang memasuki zoom. Mereka berasal dari Kecamatan Samboja Barat, Samboja Induk, dan Muara Jawa. Sebagian dari mereka adalah pembuat olahan makanan, pengusaha kerajinan tangan, hingga pembuat jamu kemasan. Yang menyatukan mereka hari itu adalah satu harapan, yakni naik kelas melalui digitalisasi.

Acara ini dipandu oleh Mas Firhan dari pihak Shopee yang memberikan tata cara mengupload produk di Shopee dan menjelaskan bagaimana cara seller mendapatkan keuntungan serta subsidi ongkir dari Shopee. 

Materinya ringan, tetapi menggugah. Ia juga menjelaskan bagaimana algoritma Shopee bekerja, pentingnya foto produk yang menarik, cara membuat deskripsi yang menjual, hingga trik sederhana agar produk cepat muncul di pencarian pengguna. 

Sesi pertama berakhir dengan diskusi yang seru. Ada yang bertanya soal ongkos kirim, ada yang curhat tentang minimnya sinyal di kampung, dan berbagai problema yang dihadapi oleh para pelaku UMKM. 

Sesi ke-2 dilaksanakan pada jam 15.00 WITA. Sesi ini dihadiri oleh peserta dari Kecamatan Loa Kulu, Loa Janan, dan Sepaku. Aku tidak bisa mengikuti sesi ke-2 ini dikarenakan aku harus melaksanakan tugas pendataan penduduk IKN yang aku mulai pada jam 15.00 WITA. 

Tentunya aku merasa sangat senang mendapatkan kesempatan untuk bisa masuk ke kelas ekslusif ini. Karena tidak semua orang bisa mendapatkan akses langsung ke Shopee. 

Tapi, saat ini Shopee memiliki banyak program PSUB (Program Sukses UMKM Baru) untuk UMKM lokal. Shopee menyediakan kelas Kampus Shopee yang memberikan banyak materi tentang berjualan dan membangun sebuah jaringan komunitas UMKM untuk bisa sama-sama naik kelas. Shopee menyediakan voucher gratis senilai 2 juta rupiah, extra ongkir, dan membebaskan biaya administrasi. Program ini berlaku bagi toko yang baru berusia 1 bulan, terhitung sejak pertama kali upload foto produk. 


Tentunya aku juga ingin punya produk yang bisa aku jual dan bisa memberikan banyak keuntungan. Tetapi sampai detik ini, aku masih belum selesai memikirkan produk apa yang bisa aku buat dan bisa dipasarkan secara online. Mengingat ongkos kirim yang mahal dan akses ekspedisi yang sangat minim. 

Aku berharap, pulau Kalimantan juga bisa memiliki banyak industri dan sumber bahan baku yang melimpah agar kebutuhan masyarakat tidak harus dibeli dari Pulau Jawa yang jaraknya sangat jauh dan membutuhkan ongkos kirim yang mahal. Tentunya, masyarakat Kalimantan akan lebih sejahtera ketika mendapatkan kemudahan akses dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. 











Sunday, July 6, 2025

15 Kostum Habsy dan Tiga Amanah Besar dari Tuhan






Ada hari-hari di mana aku merasa seperti sedang berdiri di tengah lintasan, dihujani tanggung jawab dari segala arah. Dan aku bukan sedang bercanda. 

Bayangkan, harus menyelesaikan 15 buah kostum Habsy Putera dari Argosari yang penuh detail rumit, renda silver, kerapian jahitan yang tak bisa ditawar, serta deadline yang tak bisa ditunda. 
Di saat yang bersamaan aku menjadi panitia Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) Ke-46 Kecamatan Samboja, petugas pendataan penduduk OIKN bersama BPS Kukar, dan juga tengah menjalani Diklat Relawan Literasi Nasional (Relima) 2025 dari Perpusnas RI.

Aku merasa, hari-hariku tidak lagi bisa dibagi menjadi pagi, siang, dan malam. Yang ada hanya "berapa banyak lagi yang harus diselesaikan sebelum esok menuntut lebih banyak". 

Pagi hingga malam hari  aku sibuk di ruang jahitku. Aku harus menyelesaikan jahitanku tepat waktu. Karena kostum akan segera digunakan, sementara masih banyak detail-detail yang belum terselesaikan. 
Seseorang bilang, "jangan ambil orderan terlalu banyak. Nanti nggak ada waktu istirahat". Tapi aku sudah terbiasa dengan kesibukan sejak dulu. Terlalu bersantai tidak enak. Terlebih aku juga butuh uang untuk membiayai hidup kedua anakku, nenek, dan kedua orang tuaku. Otomatis, aku harus bekerja lebih keras dari orang lain agar bisa memenuhi kebutuhan seluruh keluargaku. 

Beruntungnya, aku tidak menjadi panitia inti dalam acara MTQ Ke-46 yang digekar di desaku. Aku memang sudah mengkonfirmasi dari awal kalau aku hanya bisa bantu-bantu saja. Mengingat pekerjaan dan kegiatanku cukup banyak. 
Setelah lomba kaligrafi dilaksanakan tanggal 01 Juli lalu (kebetulan aku adalah koordinator panita lomba musabaqoh), aku punya waktu yang cukup luang untuk menyelesaikan jahitan-jahitanku. 
Tanggal 02 Juli 2025 seharusnya aku masih gotong-royong membersihkan Arena 5 (SDN 038) yang digunakan untuk lomba kaligrafi. Sebab, perlombaan berlangsung sejak pagi hingga pukul 18.00 WITA. Kami sudah sangat lelah sehingga bersepakat untuk membereskan di hari berikutnya. 
Sayangnya, aku tidak bisa gotong-royong sejak pagi. Aku arahkan timku untuk bergotong-royong sore saja karena aku ada jadwalzoom pagi bersama Perpusnas RI terkait Sosialisasi Relima 2025.
Beruntungnya, ada tim perlengkapan yang gercep alias meng-handle semuanya. Semua sudah dibereskan oleh tim perlengkapan. Jadi, kami panitia musabaqoh hanya bertugas menyapu dan mengepel lantai. Semua meja dan kursi telah kembali ke tempat semula. 

Tanggal 03 Juli, seragam habsy belum selesai juga. Aku kembali bertemu dengan masalah besar. Listrik di wilayah Kecamatan Samboja padam sejak pukul 08.00 s.d 17.30 WITA. Alhasil, aku tidak bisa menjahit seharian karena semua mesin harus terhubung ke listrik. Sementara, pukul 08.30 WIB ada jadwal pembukaan kegiatan Pusdiklat Relima 2025. 
Setiap kali mati listrik, signal di desaku ikut mati total. Sehingga tidak bisa melakukan apa-apa dan kembali menjadi manusia primitif. Jadi, aku harus pergi ke kelurahan lain untuk mendapatkan sinyal. 
Tepat di jam 09.00 WITA, aku berjalan menuju keluraha  Sei Seluang. Ternyata, di sana juga tidak ada signal. Karena aku tidak bisa melakukan tarik tunai, sementara sudah tidak punya uang sama sekali. 
Keberuntungan kembali berpihak padaku. Saat semua orang kehilangan signal, aku masih mendapatkan sedikit signal yang bisa aku hotspot ke pemilik ATM Link agar aku bisa mendapatkan uang tunai. 
Kendala tarik tunai terselesaikan dengan baik. Aku langsung menuju ke warung bakso "Moro Tuman". Warung bakso paling dekat dan suasananya nyaman karena bisa duduk lesehan. Ini bisa membuat otak yang tegang terasa lebih rileks. Aku berhasil mengikuti zoom, meski banyak kendala karena jaringan selalu hilang dan beberapa kali keluar-masuk ruang zoom. Beruntungnya, di dalam grup WA "Relima 2025" banyak yang peduli dan berbagi informasi penting pada kami yang mengalami kendala teknis saat zoom meeting. 
Siang harinya aku sudah kembali ke rumah. Tapi tidak bisa melakukan apa-apa karena listrik padam. Barulah malam harinya aku mulai menjahit. Baru dapat beberapa jahitan, tiba-tiba mesin obrasku ngadat alias tidak bisa digunakan. 
"Ya Allah, cobaan apa lagi ini?"
Alhasil, aku harus servis mesin obrasku terlebih dahulu. Beruntungnya ada teman yang membantu dan aku mulai menjahit kembali hingga pukul 00.15 WITA. 

Keesokan harinya, begitu mata ini terbuka, aku langsung duduk di depan mesin jahit hingga dini hari. Ketika orang-orang mulai memejamkan mata, aku duduk sendiri di ruang jahit. Lampu mesin menyorot wajahku yang mulai lelah, tapi tangan terus bekerja. Satu demi satu kostum anak Habsy kubentuk dari lembaran kain menjadi busana yang layak tampil di panggung kehormatan.

Argosari adalah tempat yang tak hanya mengirimkan pesanan, tapi juga harapan. Aku tahu, setiap kostum yang kupotong dan kurangkai adalah bagian dari cita-cita orangtua dan kebanggaan anak-anak muda yang akan membawakannya. Jadi tidak ada pilihan lain selain menuntaskan semuanya tepat waktu dengan hasil yang maksimal.

Sempat terlintas ingin menyerah. Sempat juga berpikir untuk menolak satu dua amanah demi menyelamatkan tenaga. Tapi begitulah hidup, ya? Terkadang kita tak bisa memilih mana yang lebih penting ketika semua terasa punya nilai yang sama.

Namun, di antara lelah itu, ada pelajaran besar yang tak mungkin kutukar dengan waktu istirahat:
Bahwa manusia punya kekuatan tersembunyi yang hanya muncul saat kita diuji berkali-kali.
Bahwa passion tidak selalu terasa ringan, kadang ia juga datang dalam bentuk kerja keras yang tak kenal henti.
Bahwa ketika hati kita tulus melayani, lelah akan menemukan caranya sendiri untuk menjadi berkah.

Di sela-sela kegiatan menjahit, aku juga mengikuti pelatihan Relima Perpusnas secara daring. Aku sering merenung. Aku berada di antara  179 relawan dari seluruh Indonesia yang punya semangat literasi yang sama. Meski tubuhku kelelahan, tapi aku tahu aku berada di jalur yang tepat, jalur yang penuh makna. Di situ aku mengingat lagi alasan mengapa aku memulai semua ini, karena aku ingin menjadi bagian dari perubahan. Lewat literasi, lewat budaya, lewat karya kecilku sebagai penjahit kampung yang juga seorang pegiat.

Ketika aku melihat anak-anak Habsy tampil gagah di panggung MTQ dengan kostum yang kujahit semalaman, ketika aku melihat data penduduk mulai tertata rapi demi pembangunan IKN, dan ketika namaku tercatat sebagai salah satu peserta yang lolos Relima 2025 ... aku tahu semua lelah itu ada gunanya. 
Aku tak sedang menyenangkan banyak orang. Aku sedang membentuk versi terbaik dari diriku sendiri.

Terima kasih, Argosari. Terima kasih MTQ. Terima kasih BPS Kukar. Dan terima kasih Perpusnas RI. Karena kalian, aku tahu bahwa aku bisa menjadi lebih dari yang aku bayangkan.

Dan kepada diriku sendiri aku ingin berpesan, "jangan pernah ragu untuk mengambil peran. Sekalipun peran itu terasa terlalu besar di awal. Karena mungkin, itu adalah cara semesta menunjukkan bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu bayangkan."



Kutai Kartanegara, 04 Juli 2025


Rin Muna
Wanita yang suka bercerita tapi tak punya pendengar

Friday, July 4, 2025

Menyulam Mimpi Bersama Relima 2025 Perpusnas RI





Saat pertama kali membaca pengumuman seleksi Relawan Literasi Masyarakat (Relima) 2025 dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, hatiku langsung bergemuruh. Ini bukan sekadar program nasional, ini adalah panggilan dari Tuhan dan jawaban dari semua mimpi-mimpiku.
Menjadi bagian dari Perpusnas RI adalah bagian dari impianku sejak kecil. Tapi dengan kondisi ekonomi yang sulit, ketidakmampuan sosial, dan minimnya ilmu pendidikan yang aku miliki, membuatku memendam begitu dalam impianku. Tidak menyangka jika keinginanku itu Allah wujudkan saat aku menginjak usia 34 tahun. 

Setelah bersusah payah merawat taman bacaan Rumah Literasi Kreatif selama 7 tahun terakhir, Allah berikan hadiah dari impian yang telah terkubur dalam-dalam.

Di saat aku sudah ingin menyerah karena semua operasional masih menggunakan kantong pribadi selama 7 tahun dan merasa sangat lelah. Rasanya, aku sudah ingin beristirahat dan menjadi penonton saja. Tapi Allah malah panggil aku kembali untuk mengabdi pada masyarakat, bahkan dalam lingkup yang lebih besar lagi. 

Penggilan Tuhan memang tidak main-main dan tidak bisa aku tolak. 
Aku hanya berkata dalam hati, "Jika Allah masih mempercayakan aku berada di jalan ini, pasti Allah mudahkan."

Setiap hal yang tiba-tiba muncul di depan mata, pastilah jalan yang sedang Allah tunjukkan. Oleh karenanya, aku tidak ingin menyia-nyiakannya begitu saja. "Ini adalah panggilan Tuhan dan aku harus mengabdi untuk-Nya, juga untuk makhluk-makhluk ciptaannya (masyarakat). 

Bagiku, ini adalah sebuah ajakan. Ajakan untuk kembali meneguhkan langkah di jalan yang sudah lama kutempuh bersama komunitas kecil kami di Kabupaten Kutai Kartanegara: Rumah Literasi Kreatif, atau yang akrab kami sebut Rulika.

Di tengah kesibukan sehari-hari, antara aktivitas menjahit dan menulis, aku menyempatkan diri untuk mendaftar. Tak banyak yang kubawa dalam formulir itu selain keyakinan bahwa literasi adalah kerja panjang yang mesti terus dinyalakan, walau dengan api kecil. Rulika sendiri telah lama menjadi rumah bagi beragam kegiatan literasi—mulai dari kelas baca, diskusi buku, pementasan seni, hingga pelatihan kepenulisan yang kami selenggarakan dari dan untuk masyarakat.

Ketika akhirnya namaku diumumkan sebagai salah satu yang lolos seleksi Relima 2025, aku terdiam beberapa saat. Ada rasa syukur yang menyesap pelan. Ini bukan hanya pengakuan atas kerja-kerja Rulika, tapi juga pengingat bahwa gerakan literasi dari daerah seperti Kutai Kartanegara pun punya ruang untuk tumbuh di tingkat nasional.

Bersama Relima, aku membawa semangat Rulika. Memberikan pengertian bahwa literasi tidak boleh elitis, ia harus membumi dan bisa dirasakan oleh siapa saja, terutama oleh mereka yang selama ini terpinggirkan dari akses informasi dan pendidikan. Kami di Rulika percaya bahwa literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, melainkan tentang membentuk cara berpikir kritis, memperkuat identitas budaya, dan merawat empati.

Kegiatan kami yang terdokumentasi di berbagai platform, termasuk media sosial @rumahliterasikreatif, adalah bukti nyata bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil. Kami menciptakan ruang baca di kampung, mengajak anak-anak bermain sambil mengenal aksara, dan memanfaatkan seni tradisional sebagai jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang literasi.

Kini, melalui Relima, aku merasa lebih siap untuk memperluas dampak. Menjadi bagian dari jaringan relawan literasi nasional memberiku harapan baru. Memberikan tantangan baru yang membuatku harus lebih banyak  bersinergi dengan berbagai komunitas literasi agar gerakan ini menuju sesuatu yang lebih baik dan lebih besar. Aku harus bisa menghidupkan kembali giat literasi di pelosok-pelosok negeri dan menghidupkan kembali semangat membaca yang mungkin telah lama redup.

Terima kasih Perpusnas RI atas kepercayaan ini. Semoga melalui Relima 2025, kita bisa melangkah bersama dalam satu barisan, membentuk sebuah gerakan, menyebar cahaya literasi, menyulam mimpi-mimpi anak bangsa, dan menjaga nyala pengetahuan tetap hidup di manapun kita berpijak.


"Percayalah, jika kita selalu berbuat baik untuk Allah, Allah akan selalu ada bersama langkah kita dan selalu menunjukkan jalan kebaikan yang banyak."


Tuesday, July 1, 2025

Cerita Panitia Arena 5 Cabang Khattil Qur'an, MTQ Ke-46 Kecamatan Samboja

 



Awal Juli 2025 menjadi awal yang penuh dengan kegiatan, tidak seperti bulan-bulan sebelumnya. Pagi-pagi sekali sudah disibukkan dengan persiapan perlombaan MTQ ke-46 Kecamatan Samboja yang digelar di Desa Beringin Agung.







Biasanya, aku mendampingi anak-anak desa untuk lomba kaligrafi di desa/keluarahan lain. Kali ini mendapatkan pengalaman untuk menjadi panitia perlombaan kaligrafi (khattil Qur'an). Sama seperti tahu-tahun sebelumnya, lomba kaligrafi selalu dimulai sejak pagi hingga sore hari. Biasanya berbarengan dengan lomba KTIQ dan KTIH karena waktunya sama-sama panjang. Tapi kali ini dijadwalkan berbeda dan berganti ruangan karena keterbatasan ruang lomba.



Pagi-pagi sekali aku sudah disibukkan dengan drama pekerjaan rumah yang harus selesai lebih pagi dari biasanya. Kemudian, pukul 07.00 WITA aku sudah harus berpindah ke lokasi lomba, yakni di SDN 038 Samboja. 

Pukul 08.00 WITA, perlombaan sudah harus dimulai. Bagi para peserta, waktu 1 menit sangatlah berharga. Oleh karenanya, kami selaku panitia harus melakukan briefing peserta sebelum jam delapan agar para peserta bisa masuk ke dalam ruangan tepat waktu.

Setelah semua peserta masuk ruangan dan fokus untuk berkompetisi, kami para panitia hanya menunggu. Duduk bersantai di luar ruangan sembari berbincang dan bercanda hal-hal kecil yang membuat kami tertawa. 

Waktu perlombaan bukan waktu yang sebentar. Sesekali aku pulang ke rumah untuk sekedar melihat keadaan rumah atau memastikan nenekku sedang tidak kesulitan menjalani harinya. Sebagai koordinator panitia lomba kaligrafi, tentunya tidak bisa pergi dalam waktu yang lama. Meski tidak ada yang dikerjakan, tetap harus standby agar siap selalu ketika dibutuhkan sewaktu-waktu.

Alhamdulillah, perlombaan selesai dengan baik dan kami bisa beristirahat dengan baik pula. Tidak banyak yang dikerjakan oleh seksi musabaqoh karena seluruh keperluan sudah disiapkan dan dibereskan oleh panitia perlengkapan yang kerjanya super rajin. Usai lomba, semua hasil lomba pun, kami serahkan ke panitera. Sehingga tidak banyak kesibukan yang harus kami lakukan. Aku juga bisa segera kembali ke rumah, mengurus rumah yang kerap terbengkalai karena terlalu banyak kegiatan di luar rumah.


Harapan terbesarku, semua kafilah dari Desa Beringin Agung bisa mendapatkan piala, terlebih tahun ini kami menjadi tuan rumah. Semua sudah bekerja keras untuk berjuang dan berharap bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Jika belum mendapatkan juara, setidaknya bisa mendapatkan pengalaman berharga yang tidak akan didapatkan ketika tidak mengikuti lomba sama sekali. Menjadi bagian dari kafilah MTQ sudahlah menjadi pemenang atas kemalasan diri sendiri.



Introvert dan Anti-Sosial Seringkali Disalahpahami



Akhir-akhir ini aku sering mendengar kata "introvert" di kalangan anak-anak muda. Setiap kali bertemu dengan anak-anak muda yang enggan menyapa, mereka selalu bilang "aku introvert".

Sebenarnya, introvert itu apa? 

Pertanyaan ini menjadi sebuah pertanyaan yang melekat begitu lama di kepalaku. Aku terus mencari informasi. Membaca buku-buku tentang psikologi, filsafat, dan sosiologi. 

Sampai akhirnya, aku membuat tulisan ini setelah berpikir dan menganalisa selama beberapa tahun terakhir.

Introvert dan anti-sosial memiliki makna yang sangat tipis dan kerap kali disalahpahami karena keduanya terlihat "menyendiri", padahal maknanya jauh berbeda. 

Orang yang introvert memiliki ciri utama dan karakteristik yang unik. Mereka Lebih nyaman dan energik saat sendiri atau dalam kelompok kecil, bukan berarti tidak pandai komunikasi atau berbicara. Orang yang introvert lebih menyukai  waktu sendiri untuk mengisi ulang energi.Tidak suka keramaian, tapi bukan berarti benci orang lain. Punya kemampuan sosial yang baik, hanya saja lebih selektif dalam berinteraksi. Mereka lebih suka mendengarkan daripada bicara, mereka akan berbicara banyak hanya jika dibutuhkan. Bisa punya hubungan yang dalam dan bermakna dengan sedikit orang.

Orang introvert lebih suka memilih baca buku di rumah daripada pergi ke pesta, tapi tetap hangat dan akrab saat berbincang dengan teman dekat. 

Seringkali ada anggapan bahwa introvert itu pendiam dan canggung saat berkomunikasi. Tapi kenyataannya, banyak orang introvert justru sangat jago berkomunikasi, terutama dalam situasi yang sesuai dengan gaya mereka. 

Introvert cenderung menjadi pendengar yang baik. Mereka menyimak dengan cermat, memahami konteks, dan merespons dengan tepat. Ini membuat komunikasi mereka terasa tulus dan penuh makna, bukan sekadar basa-basi.

Orang introvert biasanya berpikir dulu sebelum bicara. Mereka tidak suka omong kosong, jadi ketika berbicara, biasanya isi pesannya lebih tajam dan tersusun. Dalam konteks komunikasi tertulis atau presentasi, ini menjadi keunggulan besar.

Introvert merasa tidak nyaman saat ngobrol rame-rame, mereka lebih suka berada dalam percakapan pribadi atau komunikasi dua arah, mereka bisa sangat terbuka dan ekspresif. Mereka unggul dalam membangun kedekatan emosional melalui komunikasi yang intim dan penuh empati.

Banyak introvert berbakat menulis, baik email, artikel, puisi, maupun caption medsos. Karena menulis memberi ruang untuk berpikir tanpa tekanan interaksi secara langsung. Makanya, banyak penulis hebat adalah introvert.

Introvert yang menyadari kekuatannya sering kali melatih kemampuan sosial mereka. Mereka bisa tampil percaya diri saat dibutuhkan, karena mereka mempersiapkan diri secara mental lebih matang. Saat tampil, mereka bisa terlihat seperti ekstrovert, padahal setelahnya butuh waktu menyendiri untuk recharge.

Introvert tidak suka bicara banyak hal sekaligus, tapi mereka hebat dalam menggali topik secara mendalam. Dalam komunikasi, ini membuat mereka tampak serius, terarah, dan penuh wawasan.

Jadi, jangan heran kalau ada introvert yang bisa menyampaikan pidato yang menggetarkan, atau punya podcast yang bikin banyak orang betah mendengarkan. Mereka bukan tidak bisa komunikasi, mereka hanya butuh ruang yang tepat untuk menampilkan versinya.

Kalau kamu bertemu orang yang pendiam, belum tentu dia anti-sosial, bisa jadi dia introvert yang ramah dan hanya butuh waktu untuk nyaman.

Dapat disimpulkan kalau introvert bukanlah orang yang tidak bisa menyapa orang lain. Mereka justru pandai dalam menempatkan diri. Mereka bahkan bisa mengajak komunikasi dan berbicara banyak hal karena memiliki wawasan yang luas. Wawasan yang luas didapat karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk membaca buku, mendengarkan, dan menggali hal-hal baru di sekitarnya.


Lalu, bagaimana dengan istilah anti-sosial?

Dalam ilmu psikologi, anti-sosial dikenal dengan istilah ASPD (Antisocial Personality Disorder). Ciri utama orang yang anti-sosial cenderung melawan norma sosial yang berlaku di masyarakat dan seringkali merugikan orang lain.

Orang yang anti-sosial memiliki karakteristik yang tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi bisa kita rasakan ketika sudah melakukan kontak langsung dengan orang tersebut. Orang yang anti-sosial biasanya tidak peduli perasaan atau hak orang lain. Karakter yang satu ini bisa aku benarkan karena aku sudah sering menemui kasus yang serupa. Sebagai contoh, staff personalia yang tidak memedulikan hak karyawan-karyawannya ketika melakukan kesalahan penginputan dan berkata, "aku nggak peduli yang lain. Yang penting gajiku keluar!"

Orang yang anti-sosial seringkali melanggar aturan dan hukum, baik hukum negara maupun hukum sosial. Mereka juga bisa sangat manipulatif, agresif, dan tidak punya empati kepada orang lain. Tidak merasa bersalah setelah menyakiti orang lain.

Anti-sosial bukanlah tipe kepribadian biasa, ini adalah bagian dari gangguan kepribadian dalam dunia psikologi/psikiatri.

Orang yang anti-sosial bisa dengan sengaja menipu, mencuri, atau menyakiti orang lain tanpa rasa penyesalan.

Saat ini, fenomena anti-sosial yang berlindung di balik label “introvert” memang nyata dan sering terjadi. Banyak orang menyebut dirinya introvert padahal sebenarnya mengalami masalah lain dalam bersosialisasi, seperti kecemasan sosial, trauma, atau bahkan gangguan kepribadian anti-sosial.

Orang yang anti-sosial cenderung menghindari bahkan membenci interaksi sosial secara ekstrem. Mereka juga tidak peduli atau tidak mampu menjalin hubungan sosial yang sehat. 

Beberapa orang yang anti-sosial menolak bersosialisasi karena  luka batin, rasa malu ekstrem, atau kecemasan sosial. Sebagian dari mereka juga menggunakan label "introvert" sebagai tameng agar tak perlu menjelaskan perasaan atau kondisi mereka yang lebih kompleks. Mereka bahkan lebih nyaman berada dalam zona keterasingan, lalu menyamakan itu dengan kepribadian introvert, padahal bisa jadi ada gejala psikologis yang tidak disadari.

Contoh nyata, seorang remaja yang tidak mau sekolah dan enggan bergaul menyebut dirinya introvert. Tapi setelah ditelusuri, ternyata dia mengalami bullying dan trauma, serta mengalami gangguan kecemasan sosial.


Mengaku introvert itu sah. Tapi jika sikap selalu menghindar dari manusia, marah saat diajak bicara, atau menolak semua bentuk interaksi, maka itu bukan sekadar introversi. Bisa jadi ada luka, trauma, atau gangguan psikologis yang perlu ditangani. Introvert sehat tetap bisa menjalin relasi, meski dengan caranya sendiri.








Thursday, June 26, 2025

Menutup Perjalanan, Membuka Pengabdian



Menutup Perjalanan, Membuka Pengabdian


Ibu Kota Negara Nusantara, 25 Juni 2025.
Sore yang syahdu di Tower 4 Gedung Kementerian Koordinator IKN Nusantara menjadi saksi dari berakhirnya sebuah perjalanan penting, yakni kegiatan Penutupan Pelatihan Petugas Pendataan Penduduk IKN. Acara ini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum reflektif atas rangkaian hari-hari penuh pembelajaran, kerja sama, dan harapan untuk Ibu Kota Negara yang sedang bertumbuh.

Pelatihan ini telah menyatukan peserta dari berbagai penjuru Kalimantan Timur. Dari beragam latar belakang, usia, dan pengalaman. Kita semua berada dalam satu semangat, yakni menjadi bagian dari sejarah awal pembangunan Nusantara melalui kerja pendataan yang teliti dan manusiawi.

Acara penutupan yang dilaksanakan pukul 16.00 hingga 17.00 WIB hari ini terasa seperti akhir dari sebuah babak, namun juga awal dari tanggung jawab yang lebih besar.

Acara dibuka dengan sambutan hangat dan inspiratif dari Yusniar Juliana, SST, MIDEC, selaku Kepala BPS Provinsi Kalimantan Timur. Dalam pemaparannya, beliau menekankan bahwa pendataan bukan sekadar pekerjaan administratif, tetapi bagian dari pembangunan peradaban, sebuah pondasi kebijakan besar di masa depan. 

Ini adalah pertama kalinya dilakukan pendataan penduduk IKN. Sehingga para petugas pendataan penduduk ini adalah para pengukir sejarah masa depan dalam proses pembangunan Ibu Kota Nusantara. 
Oleh karenanya, BPS mengharapkan, para petugas lapangan (PPL) dapat melakukan pencacahan data yang sebenar-benarnya agar kebijakan-kebijakan yang akan ditentukan oleh pemerintah dapat menyesuaikan kebutuhan hidup masyarakat. Jangan sampai pemerintah IKN salah mengambil langkah kebijakan karena data yang didapat dari masyarakat tidak akurat. 

Kemudian, pidato penutupan disampaikan  oleh Drs. H. Alimuddin, M.Si, Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN. Dalam pidato beliau yang sarat makna, Alimuddin mengingatkan bahwa pembangunan IKN tidak semata tentang infrastruktur, tetapi juga tentang manusia yang akan hidup dan tumbuh di dalamnya. Pendataan penduduk menjadi titik awal yang sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan ini benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat .

Tak terasa, segenap proses pelatihan selama beberapa hari ke belakang kini sudah berada di ujungnya. Ada rasa haru yang diam-diam menyeruak. Foto-foto bersama, senyum hangat antar peserta, dan tawa kecil yang saling dibagi menjadi pengingat bahwa kami pernah belajar bersama di ruang-ruang menara tinggi ini yang belum digunakan secara resmi untuk berkantor. 

Sebagai seorang peserta, saya merasa bukan hanya dibekali ilmu teknis tentang pendataan, tetapi juga dikuatkan secara emosional dan ideologis. Ada hal yang harus selalu saya ingat, bahwa saya adalah bagian dari gerakan membangun masa depan. Pelatihan ini mengajarkan kami untuk peka terhadap dinamika sosial, teliti dalam bekerja, dan berani menghadapi tantangan di lapangan dengan tanggung jawab.

Penutupan ini bukan titik, tetapi koma. Setelah ini, kami akan kembali ke wilayah masing-masing membawa bekal, semangat, dan tanggung jawab. Karena sejatinya, membangun IKN bukan hanya tugas para perencana di gedung bertingkat ini, tapi juga kerja nyata para petugas pendataan yang akan menyusuri jalan-jalan kampung, mendatangi pintu-pintu rumah, dan mendengarkan kisah dari warga yang akan menjadi penghuni sejati kota masa depan yang juga dikenal dengan Kota Dunia.

Dan saya, dengan penuh kesadaran dan kebanggaan, siap menjalankan peran itu.


Rin Muna
Tower 4, Kemenko IKN
25 Juni 2025

Tuesday, June 24, 2025

Pelatihan Pendataan Penduduk IKN Batch 2 | Ketika Data Bukan Sekedar Angka



Hari Kedua di Ruang Eselon 1: Ketika Data Bukan Sekadar Angka


24 Juni 2025. 

Pagi itu, langit Ibu Kota Nusantara seperti biasa, mendung dihiasi dengan riuhnya rintik gerimis. Tepat jam enam pagi, aku sudah duduk di dalam bus. Di tanganku, ada sebuah buku catatan berwarna pink yang aku dapat dari panitia di hari sebelumnya. Setelan jas berwarna hitam dan kerudung berwarna krem, membalut tubuhku yang menggigil kedinginan.
Ya, cuaca di IKN sangat dingin pagi ini. Ditambah lagi dengan bus kota yang full AC. Tapi semua orang terlihat biasa saja. Mungkin tubuhku yang terlalu sensitif dengan suhu dingin, sehingga cuaca masih sangat dingin meski aku menggunakan jas. 



Hari kedua pelatihan Pendataan Penduduk IKN menunggu. Aku melangkah masuk ke Tower 2 Gedung Kemenko IKN, menuju Ruang Eselon 1 lantai 6, tempat kelompok D berkumpul.

Ruang itu ber-AC sejuk, rapi, dan terang, namun yang paling terasa adalah atmosfernya yang cukup serius, fokus, dan mengalir dengan aura tanggung jawab. Dinding ruang rapat lima puluh persennya terbuat dari kaca. Aku bisa melihat dengan jelas deretan gedung-gedung megah yang masih dalam proses pembangunan. Inilah wilayah baru yang sedang dibangun dengan data dan kerja nyata, bukan retorika belaka.
    


Pelatihan hari kedua ini membahas hal yang lebih teknis—tentang formulir digital, protokol verifikasi, dan penggunaan aplikasi pendataan. Materi demi materi disampaikan para narasumber yang tak hanya ahli, tapi juga sabar dan bersahabat. Kami, peserta dari berbagai latar belakang, larut dalam diskusi tentang metode wawancara, akurasi data, hingga etika ketika harus berhadapan langsung dengan masyarakat.

Yang membuatku terkesan bukan hanya teknologi atau sistem yang mereka perkenalkan, tapi pendekatan manusianya. Bahwa dalam setiap data, ada cerita. Dalam setiap isian nama, tanggal lahir, dan status pekerjaan, terselip harapan-harapan kecil dari warga negara yang ingin diakui keberadaannya.


Hari ini aku belajar banyak. Tentang kesabaran mendengar, tentang ketelitian membaca situasi, dan tentang pentingnya menjadi jembatan antara negara dan rakyat melalui data yang akurat.

Istirahat siang menjadi jeda untuk meneguk air dan berbagi tawa dengan teman-teman satu kelompok. Tak disangka, ruang eselon yang semula terasa formal berubah menjadi ruang pertemanan. Obrolan ringan tentang kampung halaman, makanan favorit, hingga impian masa depan mengalir begitu saja. Tiba-tiba aku merasa, IKN bukan sekadar proyek fisik, ia adalah rumah baru yang sedang tumbuh dari kolaborasi dan kebersamaan.

Menjelang sore, saat sesi penutup dimulai, kami diminta merefleksikan nilai yang kami dapat hari itu. Dalam hatiku, aku mencatat satu hal, menjadi petugas pendataan bukan hanya tentang bekerja, tapi tentang menjaga amanah dari akar bangsa. Data yang kita kumpulkan hari ini bisa menjadi dasar kebijakan esok hari, menentukan ke mana arah pembangunan, dan siapa yang tidak boleh lagi dilupakan.



Hari kedua pelatihan ditutup dengan hangat. Meski tubuh lelah, pikiranku justru terasa lebih hidup. Di ruang Eselon 1 itu ... aku tak hanya belajar soal teknis dan sistem, tapi juga tentang nilai. Nilai menjadi warga negara yang hadir, aktif, dan ikut menulis sejarah baru Nusantara.


Pengalaman ini adalah bagian dari Pelatihan Pendataan Penduduk IKN Batch 2, sebagai bagian dari proses pemindahan dan pembangunan sistem pemerintahan baru yang berorientasi data dan pelayanan publik. Ruang Eselon 1 Kemenko IKN menjadi saksi bagaimana anak-anak muda, warga biasa, dan pelayan data berkolaborasi dalam semangat gotong royong modern.



Jebakan Ilusi Sosial : Ketika Hidup Tak Lagi Milik Kita

Jebakan Ilusi Sosial: Ketika Hidup Kita Tak Lagi Milik Kita Sendiri
Oleh Rin Muna






Kita terlahir telanjang dan bebas. Tapi tumbuh besar dengan beban dan tuntutan. Sejak kecil, kita diberi daftar panjang hal-hal yang "seharusnya" kita lakukan. Bersekolah di tempat yang bagus, dapat pekerjaan mapan, menikah di usia tertentu, punya anak, punya rumah, dan punya mobil. 
Tanpa sadar, kita mulai hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi orang lain. Kita dibayangi oleh penilaian masyarakat, keluarga, bahkan algoritma media sosial. 

Inilah yang disebut sebagai jebakan ilusi sosial. Sebuah kondisi di mana hidup kita tidak lagi otentik, melainkan menjadi cermin dari apa yang orang lain harapkan.


Filsuf Muslim Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa banyak manusia tertipu oleh dunia. Mereka mengira kemuliaan terletak pada harta, jabatan, dan pujian manusia. Padahal itu semua hanya fatamorgana. “Orang yang cinta dunia,” kata Al-Ghazali, “akan diperbudak olehnya.”

Apa yang disebut Al-Ghazali ini mirip dengan gagasan stoikisme dalam filsafat Yunani. Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi sekaligus filsuf stoik, mencatat dalam Meditations: “Sangat mudah untuk menjadi budak opini orang lain, dan lupa pada suara hatimu sendiri.” 

Di zaman sekarang, opini orang lain tak hanya berbisik lewat mulut, tapi berteriak lewat notifikasi, komentar, dan likes.

Ilusi sosial ini menjadi jebakan yang sulit dilepaskan karena kita mengira itu adalah kebenaran. Kita berpikir bahwa mengikuti standar sosial berarti hidup kita akan bahagia. Namun nyatanya, yang terjadi malah sebaliknya. Kita semakin gelisah, mudah iri, dan kehilangan arah. Sehingga kita kehilangan diri sendiri. 

Bayangkan seseorang yang berprofesi sebagai guru, tetapi diam-diam mencintai dunia seni lukis. Karena tekanan lingkungan, ia terus menunda-nunda impiannya. Ia terjebak dalam narasi "pekerjaan yang aman" dan takut dijuluki "seniman gagal". Maka ia hidup seperti orang lain, bukan seperti dirinya sendiri.

Filsafat stoik menekankan pada diri sebagai pusat kebaikan. Epictetus berkata: “Hal yang berada dalam kuasamu adalah pikiran, keinginan, dan tindakanmu. Semua hal di luar itu bukan milikmu.” Artinya, kita harus mengarahkan kembali pusat kontrol hidup pada diri, bukan pada standar luar yang berubah-ubah.

Islam pun mengajarkan prinsip serupa. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 disebutkan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” 
Maka, jika beban hidup terasa terlalu berat, boleh jadi itu bukan beban yang datang dari Tuhan, tapi dari ilusi sosial yang kita pelihara sendiri.
Akhirnya, kita terpenjara dalam ilusi sosial yang membuat kita kehilangan diri sendiri. Lalu, bagaimana caranya bisa keluar dari jebakan ini? 

Cobalah menjadi diri yang merdeka! 

Menjadi merdeka dari ilusi sosial bukan berarti menjadi egois. Justru ini adalah jalan menuju keikhlasan. Kita hidup bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk menunaikan amanah sebagai manusia seutuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi: “Jangan puas hanya dengan cerita tentang orang lain. Tulis kisahmu sendiri.”

Caranya bagaimana? Ada 4 hal yang bisa kita lakukan, seperti:

1. Mengenali nilai-nilai diri. Apa yang benar-benar penting bagimu? Bukan menurut orang lain, tapi menurut nuranimu.
2. Membatasi distraksi. Media sosial bukan realita. Kurangi konsumsi konten yang membuatmu membandingkan diri tanpa sadar.
3. Berteman dengan kesederhanaan. Stoikisme dan Islam sama-sama memuliakan hidup yang tidak berlebih-lebihan. Dalam kesederhanaan ada kejernihan.
4. Berani berkata tidak. Tidak pada standar yang tidak sesuai. Tidak pada jalan yang bukan milikmu. Ini adalah keberanian spiritual.

Kita berhak untuk memilih hidup yang otentik dan tidak perlu mewujudkan ekspektasi orang lain. 
Jebakan ilusi sosial tak selalu terlihat seperti perangkap. Ia sering menyamar sebagai cinta, perhatian, dan kebahagiaan semu. Tapi kita tahu, di dalam hati, ada suara kecil yang terus berbisik: "Ini bukan aku. Ini bukan jalan hidupku."
Maka dengarkanlah suara itu. Karena sebagaimana disebut oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadist, “Mintalah fatwa pada hatimu, meskipun orang-orang memberimu fatwa.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi). 

Kalau kamu merasa sedang menjalani hidup karena “kata orang”, mungkin saatnya berhenti sejenak. Bertanya ulang pada dirimu sendiri. Apakah hidup ini milikmu? Atau kamu cuma pemeran figuran dalam skenario orang lain?

Jangan tunggu sampai semuanya terasa kosong. Karena kebebasan sejati bukan soal keluar dari penjara, tapi keluar dari jebakan pikiran yang kita anggap kebenaran. Dan itu dimulai dari keberanian untuk menjadi dirimu sendiri.


Sumber Referensi:

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin

QS. Al-Baqarah: 286

HR. Ahmad & Ad-Darimi

Marcus Aurelius, Meditations

Epictetus, The Enchiridion

Rumi, The Essential Rumi, trans. Coleman Barks

William Irvine, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy

Ryan Holiday, The Daily Stoic



Monday, June 23, 2025

Cerita dari Ruang Eselon 1 dan Tidur Bersama 11 Orang







Ada banyak hal yang tak bisa dibeli, bahkan oleh gaji tertinggi di negeri ini. Salah satunya adalah pengalaman. Dan dalam hidupku yang sederhana ini, pengalaman mengikuti Pelatihan Petugas Pendataan Penduduk IKN Batch 2 adalah salah satu momen yang akan kusimpan dalam rak kenangan paling atas.

Aku tergabung dalam Kelompok D, dengan kelas yang ditempatkan di Ruang Eselon 1 Lantai 6, Tower 2 Gedung Kemenko IKN. Ya, Eselon 1. Entah kenapa kata itu membuatku merasa seperti tokoh penting di tengah megaproyek negara. Mungkin karena saat masuk ke ruang itu, aku merasa seperti sedang diberi amanah besar, yakni menjadi bagian yang akan mencatat dan menyimpan jejak manusia yang akan menjadi penghuni awal ibu kota masa depan.

Namun, jangan bayangkan pelatihan ini semewah judul gedungnya. Di balik nama mentereng “Kemenko” dan siluet arsitektur modern KIPP IKN, ada sejumput realita yang membumi, bahkan membentur kenyataan.

Aku akan mengikuti pelatihan selama 3 hari dan aku diberi penginapan di HPK oleh panitia. 
HPK itu apa, sih? 
HPK adalah hotel bintang 0 dengan kisah bintang 5. Tempat kami tinggal selama pelatihan disebut HPK (Hunian Pekerja Konstruksi). Tapi jangan bayangkan hotel dengan kasur empuk dan air hangat. Kami tinggal di kamar yang dihuni 12 orang peserta. Satu ruangan tanpa AC, tiga kipas angin, dan kamar mandi di luar untuk berbagi semua, termasuk cerita hidup.



Awalnya aku mengira akan merasa sesak, sulit tidur, atau malah berkonflik. Tapi anehnya, malam demi malam kami lewati dengan gelak tawa. Kami berbagi bantal dan juga harapan. Dari yang suka bangun subuh demi rebutan kamar mandi, sampai yang rela gantian charger karena colokan terbatas, semua jadi bahan tawa dan kenangan.

Di situlah aku belajar bahwa sempitnya ruang tidak selalu menyempitkan hati. Kadang, justru dalam keterbatasan itulah kita bisa saling mengenal lebih dalam.

Pagi harinya, kami sudah harus berangkat ke KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan). Tepat jam 6 pagi, bus sudah menjemput kami untuk meluncur ke Rest Area terlebih dahulu sebelum kami menuju ke KIPP. Perjalananya tidak lama, antre bus-nya yang lumayan lama karena peserta yang hadir juga ratusan. 

Pernah antre selama hampir satu jam hanya untuk dapat giliran naik bus? Kami pernah. Dengan jumlah peserta yang mencapai 488 orang, perjuangan kami bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di halte bus.

Saat-saat menunggu itu kadang bikin emosi naik turun. Tapi saat kubiarkan diriku diam sejenak, kudengar suara-suara yang lucu seperti curhatan tentang makanan, cerita konyol di kamar, sampai prediksi siapa yang bakal ngantuk duluan di kelas. Rupanya, bus yang lambat membawa pelajaran cepat, bahwa sabar itu bukan diam tanpa keluh, tapi memilih tetap bahagia walau harus menunggu.

Setelah bercerita tentang bus, Mari kita bicara soal makanan.
Ah, menu yang menguji keikhlasan.



Kadang kami dapat nasi yang keras seperti baru keluar dari freezer, atau ayam yang kerasnya bisa bikin gigi goyah. Pernah juga, kotak makanannya kosong tanpa nasi, hanya lauk melompong sendirian. Apakah kami marah? Tentu, tapi sebentar. Tapi habis itu, kami ketawa bareng.

Aneh ya, ternyata kelaparan bisa juga mempererat persahabatan. Ada yang berbagi roti, ada yang sembunyi-sembunyi simpan mi instan. Semua berkontribusi pada telenovela realita berjudul “Hidupku Tiga Hari di IKN”. Makanan di sini menjadi pelengkap cerita, bukan menjadi makanan yang mengenyangkan. 

Tapi di balik itu semua, aku tetap bersyukur. Karena tidak semua orang bisa bilang, “Aku pernah tinggal di IKN saat masih dalam tahap pembangunan.”
Kami adalah saksi hidup, bahwa sebelum gedung-gedung megah itu penuh aktivitas, ada kami yang mengisi catatan, memetakan penduduk, dan menghuni HPK.

Langit IKN di pagi hari begitu jernih, seperti masa depan yang belum ternoda. Jalanan yang masih setengah jadi, hiruk-pikuk pekerja konstruksi, dan suara alat berat jadi harmoni yang aneh, tapi nyata. Kami mungkin hanya sebutir pasir di gurun pembangunan, tapi kami adalah pasir yang ikut membentuk fondasi.

Pelatihan ini bukan tentang kenyamanan. Ini tentang belajar dalam keadaan seadanya, menerima kekurangan, dan merayakan momen sekecil apa pun. Dari mulai rebutan kamar mandi, nasi kotak tanpa nasi, hingga duduk di ruang Eselon 1 sambil mencatat data dengan tangan lelah. Semua adalah potongan cerita yang layak ditulis.

Karena pada akhirnya, hidup bukan soal enaknya tinggal di tempat baru. Tapi tentang bagaimana kita bertumbuh saat berada di sana.

Dan jika suatu hari aku kembali ke IKN sebagai warga, aku akan tersenyum melihat gedung Kemenko dari kejauhan dan berkata dalam hati, “Aku pernah jadi bagian kecil dari mimpi besar ini.”


Salam dari hunian sempit, tapi hati kami lapang.
IKN, kami pernah menjadi saksi.


Rin Muna
Peramu kata dan perajut asa


Teman Diskusi Coffee Bukan Sekedar Kedai, Ia Adalah Laboratorium Ekonomi Mikro

Teman Diskusi Coffee Bukan Sekedar Kedai, Ia Adalah Laboratorium Ekonomi Mikro



Di antara deru motor dan riuhnya arus mimpi anak-anak muda, muncul sebuah oase kecil bernama Teman Diskusi Coffee. Bukan sekadar kedai kopi, ia adalah jembatan antara harapan dan aksi—tempat di mana literasi finansial bukan hanya teori di kelas, tapi dirasakan dalam genggaman cangkir, dibayar lewat keringat, dan diasah lewat pengalaman langsung.

Teman Diskusi Coffee adalah buah dari visi Yayasan Rumah Literasi Kreatif (Rulika), yang memiliki divisi Mamuja (Mama Muda Samboja)—sebuah komunitas literasi finansial yang sejak 2019 mendorong perempuan desa kecil meningkatkan ekonomi keluarga lewat usaha mikro dan produk kreatif. Rulika,  mengembangkan enam literasi dasar (termasuk finansial).

Langkah Rulika membuka ruang belajar baru, bukan sekedar di ruang baca, tapi juga ada di balik barista station dan aroma espresso. Belajar di Teman Diskusi Coffee menggabungkan menyeduh, melayani, mencatat untung–rugi, hingga promosi lewat konten sosial media, persis apa yang dikampanyekan Rulika sejak lama, bahwa literasi harus “belajar sambil lakukan”.

Menjawab keresahan anak-anak muda yang ada di mastarakat Desa Beringin Agung. Masih banyak anak muda yang keluar dari sekolah tapi tidak tahu ke mana melangkah. Ijazah sudah di tangan, tapi keterampilan hidup seperti mengelola uang atau mengawali usaha jadi mengawang. Teman Diskusi Coffee hadir sebagai jawaban nyata. Di sini mereka praktik langsung: dari menyeduh kopi hingga menyusun laporan sederhana, belajar menentukan harga dan menghitung margin—semuanya dalam suasana santai tapi penuh makna.

Setiap shift adalah kelas hidup. Ada rezeki dari aroma dan rasa kopi, tapi ada pula pelajaran soal tanggung jawab, komunikasi dengan pelanggan, dan cara berpikir seperti wirausahawan. Mempraktikkan literasi finansial sambil bernafas, berjalan, dan kerja.

Learning by Doing merupakan konsep belajar yang dilakukan di Rumah Literasi Kreatif. Bukan sekedar membaca dan mengerjakam tugas, anak-anak yang belajar di Rumah Literasi Kreatif dituntut untuk berinsiatif, kreatif dalam menyelesaikan masalah, dan mampu menghasilkan sebuah karya untuk kesejahteraan.

Kuliah kehidupan di kedai kopi. Konsep “Learning by Doing” bukan slogan kosong di Teman Diskusi Coffee. Anak-anak muda di sini dapat berlatih menyusun modal harian dan mencatat penjualan. Belajar digital marketing dengan upload konten promosi. Mempraktikkan layanan pelanggan (senyum, ramah, dan empati). Diskusi sederhana soal revenue dan expense setelah tutup shift.

Secara tidak langsung, ini melatih mereka berpikir: “Bagaimana agar kedai menguntungkan dan bagaimana bisa bersaing dengan kedai lain?”

Lewat pengalaman nyata ini, literasi finansial tidak lagi abstrak, ia mencair bersama susu panas dan cappuccino foam.

Model kedai kopi sebagai ruang diskusi literasi bukan hal baru. Misalnya Kopi Litera di Bulukumba yang sejak 2020 menggabungkan perpustakaan mini dan diskusi kreatif di kedai kopi. Di tempat-tempat seperti itu, kopi menjadi katalis ide. Teman Diskusi Coffee meneruskan konsep ini, tapi menambahkan dimensi: literasi finansial dan pemberdayaan ekonomi secara langsung.

Apa arti literasi finansial? Bukan hanya tahu cara menabung atau mencatat pengeluaran. Di Teman Diskusi Coffee, literasi ini dicapai lewat beberapa hal, seperti:

1. Keputusan harga jual: belajar menimbang kualitas bahan dan harga pasar.

2. Manajemen stok & modal: belajar mengelola persediaan dan biaya tetap.

3. Pemasaran kreatif: belajar menyusun narasi visual di media sosial.

4. Pelayanan & evaluasi: memahami bahwa pelanggan adalah guru paling jujur.

Dengan konsep belajar “Learning by Doing”, peserta tidak hanya bekerja, mereka bertransformasi menjadi pelaku ekonomi mandiri yang lebih paham soal uang, manfaatnya, dan cara menjaganya.

Teman Diskusi Coffee bukan sekadar kedai. Ia laboratorium ekonomi mikro, ruang diskusi, dan gerakan nyata Yayasan Rumah Literasi Kreatif. Mengubah literasi finansial dari konsep menjadi gerakan dengan wujud kasir, aroma kopi, dan catatan keuangan di notebook.

Kedai ini berusaha membuktikan, setelah lulus, anak muda tak perlu bingung. Mereka bisa belajar wirausaha sambil menyeruput kopi. Dari sinilah lahir generasi yang tidak hanya siap kerja, tapi siap “menciptakan” kerjanya sendiri. Karena sejatinya, dari secangkir kopi pun kita bisa meracik masa depan.


Friday, June 20, 2025

Korupsi Bukan Soal. Besaran Gaji, Tapi Soal Identitas Moral yang Hakiki


Korupsi Bukan Soal Besaran Gaji, tapi Soal Identitas Moral yang Hakiki



Kalau kamu pikir korupsi muncul karena gaji pejabat terlalu kecil, coba kita ulik bareng-bareng, banyak koruptor justru gajinya besar—bahkan sangat besar, tapi identitas moral mereka tercabik sedikit-sedikit sejak awal.

Korupsi merupakan bentuk moral individu yang sudah bobrok. 
Meuthia Ganie Rohman, sosiolog dari UI, dengan gamblang menyebut, “Korupsi disebabkan adanya karakter atau moral buruk dari individu…”  

Bukan masalah aparat hukum atau sistemnya rusak, ini soal moral pribadi. Begitu mindset kotor tertanam, korupsi jadi kebiasaan yang nyaman.


Kita bisa melihat kasus Megakorupsi Akil Mochtar & Pertamina

Akil Mochtar, mantan Ketua MK dengan gaji sekitar Rp 30–40 juta plus tunjangan Rp 19 juta, ternyata korupsi hingga miliaran rupiah.

Jimly Ashiddiqie menyatakannya jelas, “Ini bukan karena gaji, bukan karena sistem. Sistem sudah baik, tapi orangnya sudah rakus.”  

Kemudian, dalam Skandal Pertamina 2025—padahal ini BUMN besar dengan pejabat berimbalan tinggi. Penipuan minyak subsidi bisa rugikan negara sekitar Rp 193,7 triliun!  
Itu jauh dari “gaji kecil” kan?

Saat ini, dunia telah mengalami kemunduran sosial yang luar biasa. Kejahatan dan kesalahan dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, sehingga orang tidak punya rasa malu lagi ketika melakukan tindak kejahatan karena kontrol sosial yang terus melemah. Bahkan, mereka sangat bangga dengan apa yang mereka lakukan dan tidak merasa bersalah. Bisa menikmati kemewahan di atas penderitaan rakyat. 

Penelitian tentang budaya maluyang diambil dari perspektif teori Emile Durkheimmengungkap bahwa rasa malu adalah fondasi melawan korupsi . Tanpa itu koruptor bebas menikmati fasilitas mewah, bahkan ketika mereka di penjara. Hal ini tentunya membuat orang tidak takut untuk korupsi. 
Korupsi makin dianggap sebagai hal yang wajar dalam birokrasi dan masyarakat luas. 
Artinya, ketika sistem takut, publik menganggap korupsi adalah hal biasa, identitas moral jadi lenyap.

Perilaku korupsi merupakan pengkhianatan pada Pancasila yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para petinggi negeri ini. 
Pancasila menempatkan moral dan integritas sebagai pondasi berbangsa. Namun korupsi merusak sila ke-4 (mutu demokrasi) dan sila ke-5 (keadilan sosial). Saat itu terjadi, rakyat makin jauh dari kepercayaan terhadap wakil mereka.

Korupsi bukan soal angka di rekening, tapi cerminan karakter yang ditumbuhkan sejak kecil. 
Small acts matter, dari tidak mencuri pensil di sekolah, hingga menegakkan kejujuran atas hal kecil sehari-hari. 
Kebiasaan korupsi bisa jadi sudah tertanam sejak kecil. Dan kalimat "Tuhan Maha Pengampun" menjadi senjata paling ampuh untuk berbuat dosa karena menganggap bahwa Tuhan akan mengampuni semua dosa kita. Lalu, untuk apa Tuhan menciptakan neraka jika semua kejahatan diberi pengampunan dengan mudah? 


Korupsi bukan soal seberapa besar gaji. Ini soal seberapa rapuh identitas moral seseorang. Kalau gaji tinggi tapi moral tak dijaga, korupsi jadi bumerang bagi negara. Sebaliknya, dengan kultur malu yang sehat, pelaku jera, integritas jadi eksistensi. 
Maka dari itu, kita perlu menanamkan budaya malu dan malu berbicara benar sejak dini. memperkuat karakter antikorupsi lewat pendidikan dan teladan nyata dari pemimpin.
Menciptakan sistem sosial, formal, dan hukum untuk memperkuat moral, bukan menggantinya.


Korupsi bukan soal ‘uang belum cukup’, tapi soal apakah kita pernah punya nyali mempertahankan moral saat godaan datang.




Rin Muna
Rakyat biasa yang ingin bersuara demi kebaikan negeri ini

Menaikkan Gaji Pejabat Bukan Solusi Anti-Korupsi



Menaikkan Gaji Pejabat Bukan Solusi Anti-Korupsi yang Harus Dikikis Adalah Gaya Hidup Mewah Mereka 




Banyak proposal menyebut naikkan gaji pejabat sebagai obat mujarab untuk meredam korupsi. Tapi kenyataannya, pas gaji tinggi, korupsi juga tetap mewabah—bahkan menjadi lebih besar. Lalu, apa akar masalahnya? Bukan dompet mereka yang kecil, tapi gaya hidup mewah mereka yang tak terkendali.


Gaji tinggi justru menjadi pelaku utama di kasus korupsi besar. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah bilang bahwa korupsi terjadi karena gaji kecil. Tapi lihat fakta: para menteri, hakim, direktur BUMN—mereka dibayar puluhan hingga ratusan juta per bulan, ditambah tunjangan, fasilitas, pasti cukup banyak . Namun kasus e‑KTP (Rp2,3 triliun), Edhy Prabowo deretan miliaran suap, Pertamina (Rp193 triliun), Kasus Timah (Rp 271 triliun), dan kasus CPO (Rp 11 triliun), semuanya melibatkan pejabat dengan penghasilan besar .

Reddit pun komentar pedas, “Gaji sebulannya lebih gede dari gaji gue setahun aja masih korupsi… korupsi itu masalah keserakahan.”  


Pamer kemewahan jadi tanda bibit korupsi. Tempo mengungkap, banyak pejabat punya rumah mewah, mobil sport, jam mahal, dan rajin plesiran ke luar negeri  . ICW dan Mahfud MD sepakat jika gaya hidup hedonis adalah sinyal kuat untuk korupsi, bukan sekadar konsumsi, tapi komoditas status yang dibeli dengan uang publik .

Contoh kasus: 
Mantan hakim Zarof Ricar sembunyikan uang dan emas > Rp1 triliun di rumahnya, meski gaji cuma puluhan juta. Hidup mewah nggak diperlihatkan semua, tapi justru menipu publik .


Presiden Prabowo pernah ajukan kenaikan gaji untuk pejabat agar “tidak tergoda korupsi” . Tapi ICW bilang kenaikan itu bukan hanya soal gaji pokok, tapi juga tunjangan, fasilitas, dan "uang abu‑abu" yang sebenarnya diperoleh di luarnya .
Jadi, daripada menaikkan angka gaji, yang perlu diturunkan adalah standar gaya hidup pejabat tinggi itu. Kurangi akses tak jelas, dana dingin, fasilitas berlebihan, dan hidup glamor.


Reddit menyindir bahwa himbauan “hidup sederhana” tanpa sistem kuat adalah seperti menyuruh orang bersihkan kamar tapi taruh debu di bawah kasur .
Lalu, apa yang dibutuhkan?

Pemerintah perlu memperketat LHKPN dan  bisa dicek publik. Sistem pelacakan aset via PPATK/SPPT yang transparan. Memonitoring gaya hidup para pejabat (mobil, rumah, liburan sama gaji resmi).

Sebagai contoh, China memiliki program Tigers and Flies dan Italia dengan program Clean Hands yang  menggunakan lifestyle sebagai red flag .

Reformer dari UGM bilang, "larangan gaya hidup hedon bisa terlambat, karena banyak pejabat nggak tampak mewah, tapi justru simpan di rumah-saku pribadi". Maka, selain pantauan gaya hidup, integritas harus dijaga lewat budaya internal, audit berkala, dan evaluasi moral. Apakah pejabat itu pantas dapat jabatan?



Menaikkan gaji pejabat boleh, tapi itu hanya setetes solusi jika tidak dibarengi pengendalian gaya hidup mereka. Yang benar-benar harus diturunkan adalah standard mewah yang dijadikan pajangan untuk memperlihatkan bahwa jabatan bukan kesempatan gaya hidup glamor.


Rakyat butuh model pejabat yang hidupnya sederhana, perilakunya bersih, dan integritasnya visible—bukan yang gemerlap tapi rapuh moralnya. Kalau kita target dunia dengan pejabat seperti itu, baru bisa katakan: korupsi tak membesar di tengah kemewahan, tapi di tengah keangkuhan dan kekebalan moral. 






Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas