Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Sunday, July 6, 2025

15 Kostum Habsy dan Tiga Amanah Besar dari Tuhan






Ada hari-hari di mana aku merasa seperti sedang berdiri di tengah lintasan, dihujani tanggung jawab dari segala arah. Dan aku bukan sedang bercanda. 

Bayangkan, harus menyelesaikan 15 buah kostum Habsy Putera dari Argosari yang penuh detail rumit, renda silver, kerapian jahitan yang tak bisa ditawar, serta deadline yang tak bisa ditunda. 
Di saat yang bersamaan aku menjadi panitia Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) Ke-46 Kecamatan Samboja, petugas pendataan penduduk OIKN bersama BPS Kukar, dan juga tengah menjalani Diklat Relawan Literasi Nasional (Relima) 2025 dari Perpusnas RI.

Aku merasa, hari-hariku tidak lagi bisa dibagi menjadi pagi, siang, dan malam. Yang ada hanya "berapa banyak lagi yang harus diselesaikan sebelum esok menuntut lebih banyak". 

Pagi hingga malam hari  aku sibuk di ruang jahitku. Aku harus menyelesaikan jahitanku tepat waktu. Karena kostum akan segera digunakan, sementara masih banyak detail-detail yang belum terselesaikan. 
Seseorang bilang, "jangan ambil orderan terlalu banyak. Nanti nggak ada waktu istirahat". Tapi aku sudah terbiasa dengan kesibukan sejak dulu. Terlalu bersantai tidak enak. Terlebih aku juga butuh uang untuk membiayai hidup kedua anakku, nenek, dan kedua orang tuaku. Otomatis, aku harus bekerja lebih keras dari orang lain agar bisa memenuhi kebutuhan seluruh keluargaku. 

Beruntungnya, aku tidak menjadi panitia inti dalam acara MTQ Ke-46 yang digekar di desaku. Aku memang sudah mengkonfirmasi dari awal kalau aku hanya bisa bantu-bantu saja. Mengingat pekerjaan dan kegiatanku cukup banyak. 
Setelah lomba kaligrafi dilaksanakan tanggal 01 Juli lalu (kebetulan aku adalah koordinator panita lomba musabaqoh), aku punya waktu yang cukup luang untuk menyelesaikan jahitan-jahitanku. 
Tanggal 02 Juli 2025 seharusnya aku masih gotong-royong membersihkan Arena 5 (SDN 038) yang digunakan untuk lomba kaligrafi. Sebab, perlombaan berlangsung sejak pagi hingga pukul 18.00 WITA. Kami sudah sangat lelah sehingga bersepakat untuk membereskan di hari berikutnya. 
Sayangnya, aku tidak bisa gotong-royong sejak pagi. Aku arahkan timku untuk bergotong-royong sore saja karena aku ada jadwalzoom pagi bersama Perpusnas RI terkait Sosialisasi Relima 2025.
Beruntungnya, ada tim perlengkapan yang gercep alias meng-handle semuanya. Semua sudah dibereskan oleh tim perlengkapan. Jadi, kami panitia musabaqoh hanya bertugas menyapu dan mengepel lantai. Semua meja dan kursi telah kembali ke tempat semula. 

Tanggal 03 Juli, seragam habsy belum selesai juga. Aku kembali bertemu dengan masalah besar. Listrik di wilayah Kecamatan Samboja padam sejak pukul 08.00 s.d 17.30 WITA. Alhasil, aku tidak bisa menjahit seharian karena semua mesin harus terhubung ke listrik. Sementara, pukul 08.30 WIB ada jadwal pembukaan kegiatan Pusdiklat Relima 2025. 
Setiap kali mati listrik, signal di desaku ikut mati total. Sehingga tidak bisa melakukan apa-apa dan kembali menjadi manusia primitif. Jadi, aku harus pergi ke kelurahan lain untuk mendapatkan sinyal. 
Tepat di jam 09.00 WITA, aku berjalan menuju keluraha  Sei Seluang. Ternyata, di sana juga tidak ada signal. Karena aku tidak bisa melakukan tarik tunai, sementara sudah tidak punya uang sama sekali. 
Keberuntungan kembali berpihak padaku. Saat semua orang kehilangan signal, aku masih mendapatkan sedikit signal yang bisa aku hotspot ke pemilik ATM Link agar aku bisa mendapatkan uang tunai. 
Kendala tarik tunai terselesaikan dengan baik. Aku langsung menuju ke warung bakso "Moro Tuman". Warung bakso paling dekat dan suasananya nyaman karena bisa duduk lesehan. Ini bisa membuat otak yang tegang terasa lebih rileks. Aku berhasil mengikuti zoom, meski banyak kendala karena jaringan selalu hilang dan beberapa kali keluar-masuk ruang zoom. Beruntungnya, di dalam grup WA "Relima 2025" banyak yang peduli dan berbagi informasi penting pada kami yang mengalami kendala teknis saat zoom meeting. 
Siang harinya aku sudah kembali ke rumah. Tapi tidak bisa melakukan apa-apa karena listrik padam. Barulah malam harinya aku mulai menjahit. Baru dapat beberapa jahitan, tiba-tiba mesin obrasku ngadat alias tidak bisa digunakan. 
"Ya Allah, cobaan apa lagi ini?"
Alhasil, aku harus servis mesin obrasku terlebih dahulu. Beruntungnya ada teman yang membantu dan aku mulai menjahit kembali hingga pukul 00.15 WITA. 

Keesokan harinya, begitu mata ini terbuka, aku langsung duduk di depan mesin jahit hingga dini hari. Ketika orang-orang mulai memejamkan mata, aku duduk sendiri di ruang jahit. Lampu mesin menyorot wajahku yang mulai lelah, tapi tangan terus bekerja. Satu demi satu kostum anak Habsy kubentuk dari lembaran kain menjadi busana yang layak tampil di panggung kehormatan.

Argosari adalah tempat yang tak hanya mengirimkan pesanan, tapi juga harapan. Aku tahu, setiap kostum yang kupotong dan kurangkai adalah bagian dari cita-cita orangtua dan kebanggaan anak-anak muda yang akan membawakannya. Jadi tidak ada pilihan lain selain menuntaskan semuanya tepat waktu dengan hasil yang maksimal.

Sempat terlintas ingin menyerah. Sempat juga berpikir untuk menolak satu dua amanah demi menyelamatkan tenaga. Tapi begitulah hidup, ya? Terkadang kita tak bisa memilih mana yang lebih penting ketika semua terasa punya nilai yang sama.

Namun, di antara lelah itu, ada pelajaran besar yang tak mungkin kutukar dengan waktu istirahat:
Bahwa manusia punya kekuatan tersembunyi yang hanya muncul saat kita diuji berkali-kali.
Bahwa passion tidak selalu terasa ringan, kadang ia juga datang dalam bentuk kerja keras yang tak kenal henti.
Bahwa ketika hati kita tulus melayani, lelah akan menemukan caranya sendiri untuk menjadi berkah.

Di sela-sela kegiatan menjahit, aku juga mengikuti pelatihan Relima Perpusnas secara daring. Aku sering merenung. Aku berada di antara  179 relawan dari seluruh Indonesia yang punya semangat literasi yang sama. Meski tubuhku kelelahan, tapi aku tahu aku berada di jalur yang tepat, jalur yang penuh makna. Di situ aku mengingat lagi alasan mengapa aku memulai semua ini, karena aku ingin menjadi bagian dari perubahan. Lewat literasi, lewat budaya, lewat karya kecilku sebagai penjahit kampung yang juga seorang pegiat.

Ketika aku melihat anak-anak Habsy tampil gagah di panggung MTQ dengan kostum yang kujahit semalaman, ketika aku melihat data penduduk mulai tertata rapi demi pembangunan IKN, dan ketika namaku tercatat sebagai salah satu peserta yang lolos Relima 2025 ... aku tahu semua lelah itu ada gunanya. 
Aku tak sedang menyenangkan banyak orang. Aku sedang membentuk versi terbaik dari diriku sendiri.

Terima kasih, Argosari. Terima kasih MTQ. Terima kasih BPS Kukar. Dan terima kasih Perpusnas RI. Karena kalian, aku tahu bahwa aku bisa menjadi lebih dari yang aku bayangkan.

Dan kepada diriku sendiri aku ingin berpesan, "jangan pernah ragu untuk mengambil peran. Sekalipun peran itu terasa terlalu besar di awal. Karena mungkin, itu adalah cara semesta menunjukkan bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu bayangkan."



Kutai Kartanegara, 04 Juli 2025


Rin Muna
Wanita yang suka bercerita tapi tak punya pendengar

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas