Oleh Rin Muna
Kita terlahir telanjang dan bebas. Tapi tumbuh besar dengan beban dan tuntutan. Sejak kecil, kita diberi daftar panjang hal-hal yang "seharusnya" kita lakukan. Bersekolah di tempat yang bagus, dapat pekerjaan mapan, menikah di usia tertentu, punya anak, punya rumah, dan punya mobil.
Tanpa sadar, kita mulai hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi orang lain. Kita dibayangi oleh penilaian masyarakat, keluarga, bahkan algoritma media sosial.
Inilah yang disebut sebagai jebakan ilusi sosial. Sebuah kondisi di mana hidup kita tidak lagi otentik, melainkan menjadi cermin dari apa yang orang lain harapkan.
Filsuf Muslim Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa banyak manusia tertipu oleh dunia. Mereka mengira kemuliaan terletak pada harta, jabatan, dan pujian manusia. Padahal itu semua hanya fatamorgana. “Orang yang cinta dunia,” kata Al-Ghazali, “akan diperbudak olehnya.”
Apa yang disebut Al-Ghazali ini mirip dengan gagasan stoikisme dalam filsafat Yunani. Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi sekaligus filsuf stoik, mencatat dalam Meditations: “Sangat mudah untuk menjadi budak opini orang lain, dan lupa pada suara hatimu sendiri.”
Di zaman sekarang, opini orang lain tak hanya berbisik lewat mulut, tapi berteriak lewat notifikasi, komentar, dan likes.
Ilusi sosial ini menjadi jebakan yang sulit dilepaskan karena kita mengira itu adalah kebenaran. Kita berpikir bahwa mengikuti standar sosial berarti hidup kita akan bahagia. Namun nyatanya, yang terjadi malah sebaliknya. Kita semakin gelisah, mudah iri, dan kehilangan arah. Sehingga kita kehilangan diri sendiri.
Bayangkan seseorang yang berprofesi sebagai guru, tetapi diam-diam mencintai dunia seni lukis. Karena tekanan lingkungan, ia terus menunda-nunda impiannya. Ia terjebak dalam narasi "pekerjaan yang aman" dan takut dijuluki "seniman gagal". Maka ia hidup seperti orang lain, bukan seperti dirinya sendiri.
Filsafat stoik menekankan pada diri sebagai pusat kebaikan. Epictetus berkata: “Hal yang berada dalam kuasamu adalah pikiran, keinginan, dan tindakanmu. Semua hal di luar itu bukan milikmu.” Artinya, kita harus mengarahkan kembali pusat kontrol hidup pada diri, bukan pada standar luar yang berubah-ubah.
Islam pun mengajarkan prinsip serupa. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 disebutkan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Maka, jika beban hidup terasa terlalu berat, boleh jadi itu bukan beban yang datang dari Tuhan, tapi dari ilusi sosial yang kita pelihara sendiri.
Akhirnya, kita terpenjara dalam ilusi sosial yang membuat kita kehilangan diri sendiri. Lalu, bagaimana caranya bisa keluar dari jebakan ini?
Cobalah menjadi diri yang merdeka!
Menjadi merdeka dari ilusi sosial bukan berarti menjadi egois. Justru ini adalah jalan menuju keikhlasan. Kita hidup bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk menunaikan amanah sebagai manusia seutuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi: “Jangan puas hanya dengan cerita tentang orang lain. Tulis kisahmu sendiri.”
Caranya bagaimana? Ada 4 hal yang bisa kita lakukan, seperti:
1. Mengenali nilai-nilai diri. Apa yang benar-benar penting bagimu? Bukan menurut orang lain, tapi menurut nuranimu.
2. Membatasi distraksi. Media sosial bukan realita. Kurangi konsumsi konten yang membuatmu membandingkan diri tanpa sadar.
3. Berteman dengan kesederhanaan. Stoikisme dan Islam sama-sama memuliakan hidup yang tidak berlebih-lebihan. Dalam kesederhanaan ada kejernihan.
4. Berani berkata tidak. Tidak pada standar yang tidak sesuai. Tidak pada jalan yang bukan milikmu. Ini adalah keberanian spiritual.
Kita berhak untuk memilih hidup yang otentik dan tidak perlu mewujudkan ekspektasi orang lain.
Jebakan ilusi sosial tak selalu terlihat seperti perangkap. Ia sering menyamar sebagai cinta, perhatian, dan kebahagiaan semu. Tapi kita tahu, di dalam hati, ada suara kecil yang terus berbisik: "Ini bukan aku. Ini bukan jalan hidupku."
Maka dengarkanlah suara itu. Karena sebagaimana disebut oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadist, “Mintalah fatwa pada hatimu, meskipun orang-orang memberimu fatwa.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi).
Kalau kamu merasa sedang menjalani hidup karena “kata orang”, mungkin saatnya berhenti sejenak. Bertanya ulang pada dirimu sendiri. Apakah hidup ini milikmu? Atau kamu cuma pemeran figuran dalam skenario orang lain?
Jangan tunggu sampai semuanya terasa kosong. Karena kebebasan sejati bukan soal keluar dari penjara, tapi keluar dari jebakan pikiran yang kita anggap kebenaran. Dan itu dimulai dari keberanian untuk menjadi dirimu sendiri.
Sumber Referensi:
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
QS. Al-Baqarah: 286
HR. Ahmad & Ad-Darimi
Marcus Aurelius, Meditations
Epictetus, The Enchiridion
Rumi, The Essential Rumi, trans. Coleman Barks
William Irvine, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy
Ryan Holiday, The Daily Stoic
0 komentar:
Post a Comment