Ada banyak hal yang tak bisa dibeli, bahkan oleh gaji tertinggi di negeri ini. Salah satunya adalah pengalaman. Dan dalam hidupku yang sederhana ini, pengalaman mengikuti Pelatihan Petugas Pendataan Penduduk IKN Batch 2 adalah salah satu momen yang akan kusimpan dalam rak kenangan paling atas.
Aku tergabung dalam Kelompok D, dengan kelas yang ditempatkan di Ruang Eselon 1 Lantai 6, Tower 2 Gedung Kemenko IKN. Ya, Eselon 1. Entah kenapa kata itu membuatku merasa seperti tokoh penting di tengah megaproyek negara. Mungkin karena saat masuk ke ruang itu, aku merasa seperti sedang diberi amanah besar, yakni menjadi bagian yang akan mencatat dan menyimpan jejak manusia yang akan menjadi penghuni awal ibu kota masa depan.
Namun, jangan bayangkan pelatihan ini semewah judul gedungnya. Di balik nama mentereng “Kemenko” dan siluet arsitektur modern KIPP IKN, ada sejumput realita yang membumi, bahkan membentur kenyataan.
Aku akan mengikuti pelatihan selama 3 hari dan aku diberi penginapan di HPK oleh panitia.
HPK itu apa, sih?
HPK adalah hotel bintang 0 dengan kisah bintang 5. Tempat kami tinggal selama pelatihan disebut HPK (Hunian Pekerja Konstruksi). Tapi jangan bayangkan hotel dengan kasur empuk dan air hangat. Kami tinggal di kamar yang dihuni 12 orang peserta. Satu ruangan tanpa AC, tiga kipas angin, dan kamar mandi di luar untuk berbagi semua, termasuk cerita hidup.
Awalnya aku mengira akan merasa sesak, sulit tidur, atau malah berkonflik. Tapi anehnya, malam demi malam kami lewati dengan gelak tawa. Kami berbagi bantal dan juga harapan. Dari yang suka bangun subuh demi rebutan kamar mandi, sampai yang rela gantian charger karena colokan terbatas, semua jadi bahan tawa dan kenangan.
Di situlah aku belajar bahwa sempitnya ruang tidak selalu menyempitkan hati. Kadang, justru dalam keterbatasan itulah kita bisa saling mengenal lebih dalam.
Pagi harinya, kami sudah harus berangkat ke KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan). Tepat jam 6 pagi, bus sudah menjemput kami untuk meluncur ke Rest Area terlebih dahulu sebelum kami menuju ke KIPP. Perjalananya tidak lama, antre bus-nya yang lumayan lama karena peserta yang hadir juga ratusan.
Pernah antre selama hampir satu jam hanya untuk dapat giliran naik bus? Kami pernah. Dengan jumlah peserta yang mencapai 488 orang, perjuangan kami bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di halte bus.
Saat-saat menunggu itu kadang bikin emosi naik turun. Tapi saat kubiarkan diriku diam sejenak, kudengar suara-suara yang lucu seperti curhatan tentang makanan, cerita konyol di kamar, sampai prediksi siapa yang bakal ngantuk duluan di kelas. Rupanya, bus yang lambat membawa pelajaran cepat, bahwa sabar itu bukan diam tanpa keluh, tapi memilih tetap bahagia walau harus menunggu.
Setelah bercerita tentang bus, Mari kita bicara soal makanan.
Ah, menu yang menguji keikhlasan.
Kadang kami dapat nasi yang keras seperti baru keluar dari freezer, atau ayam yang kerasnya bisa bikin gigi goyah. Pernah juga, kotak makanannya kosong tanpa nasi, hanya lauk melompong sendirian. Apakah kami marah? Tentu, tapi sebentar. Tapi habis itu, kami ketawa bareng.
Aneh ya, ternyata kelaparan bisa juga mempererat persahabatan. Ada yang berbagi roti, ada yang sembunyi-sembunyi simpan mi instan. Semua berkontribusi pada telenovela realita berjudul “Hidupku Tiga Hari di IKN”. Makanan di sini menjadi pelengkap cerita, bukan menjadi makanan yang mengenyangkan.
Tapi di balik itu semua, aku tetap bersyukur. Karena tidak semua orang bisa bilang, “Aku pernah tinggal di IKN saat masih dalam tahap pembangunan.”
Kami adalah saksi hidup, bahwa sebelum gedung-gedung megah itu penuh aktivitas, ada kami yang mengisi catatan, memetakan penduduk, dan menghuni HPK.
Langit IKN di pagi hari begitu jernih, seperti masa depan yang belum ternoda. Jalanan yang masih setengah jadi, hiruk-pikuk pekerja konstruksi, dan suara alat berat jadi harmoni yang aneh, tapi nyata. Kami mungkin hanya sebutir pasir di gurun pembangunan, tapi kami adalah pasir yang ikut membentuk fondasi.
Pelatihan ini bukan tentang kenyamanan. Ini tentang belajar dalam keadaan seadanya, menerima kekurangan, dan merayakan momen sekecil apa pun. Dari mulai rebutan kamar mandi, nasi kotak tanpa nasi, hingga duduk di ruang Eselon 1 sambil mencatat data dengan tangan lelah. Semua adalah potongan cerita yang layak ditulis.
Karena pada akhirnya, hidup bukan soal enaknya tinggal di tempat baru. Tapi tentang bagaimana kita bertumbuh saat berada di sana.
Dan jika suatu hari aku kembali ke IKN sebagai warga, aku akan tersenyum melihat gedung Kemenko dari kejauhan dan berkata dalam hati, “Aku pernah jadi bagian kecil dari mimpi besar ini.”
Salam dari hunian sempit, tapi hati kami lapang.
IKN, kami pernah menjadi saksi.
Rin Muna
Peramu kata dan perajut asa
0 komentar:
Post a Comment