Friday, July 4, 2025

Menyulam Mimpi Bersama Relima 2025 Perpusnas RI





Saat pertama kali membaca pengumuman seleksi Relawan Literasi Masyarakat (Relima) 2025 dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, hatiku langsung bergemuruh. Ini bukan sekadar program nasional, ini adalah panggilan dari Tuhan dan jawaban dari semua mimpi-mimpiku.
Menjadi bagian dari Perpusnas RI adalah bagian dari impianku sejak kecil. Tapi dengan kondisi ekonomi yang sulit, ketidakmampuan sosial, dan minimnya ilmu pendidikan yang aku miliki, membuatku memendam begitu dalam impianku. Tidak menyangka jika keinginanku itu Allah wujudkan saat aku menginjak usia 34 tahun. 

Setelah bersusah payah merawat taman bacaan Rumah Literasi Kreatif selama 7 tahun terakhir, Allah berikan hadiah dari impian yang telah terkubur dalam-dalam.

Di saat aku sudah ingin menyerah karena semua operasional masih menggunakan kantong pribadi selama 7 tahun dan merasa sangat lelah. Rasanya, aku sudah ingin beristirahat dan menjadi penonton saja. Tapi Allah malah panggil aku kembali untuk mengabdi pada masyarakat, bahkan dalam lingkup yang lebih besar lagi. 

Penggilan Tuhan memang tidak main-main dan tidak bisa aku tolak. 
Aku hanya berkata dalam hati, "Jika Allah masih mempercayakan aku berada di jalan ini, pasti Allah mudahkan."

Setiap hal yang tiba-tiba muncul di depan mata, pastilah jalan yang sedang Allah tunjukkan. Oleh karenanya, aku tidak ingin menyia-nyiakannya begitu saja. "Ini adalah panggilan Tuhan dan aku harus mengabdi untuk-Nya, juga untuk makhluk-makhluk ciptaannya (masyarakat). 

Bagiku, ini adalah sebuah ajakan. Ajakan untuk kembali meneguhkan langkah di jalan yang sudah lama kutempuh bersama komunitas kecil kami di Kabupaten Kutai Kartanegara: Rumah Literasi Kreatif, atau yang akrab kami sebut Rulika.

Di tengah kesibukan sehari-hari, antara aktivitas menjahit dan menulis, aku menyempatkan diri untuk mendaftar. Tak banyak yang kubawa dalam formulir itu selain keyakinan bahwa literasi adalah kerja panjang yang mesti terus dinyalakan, walau dengan api kecil. Rulika sendiri telah lama menjadi rumah bagi beragam kegiatan literasi—mulai dari kelas baca, diskusi buku, pementasan seni, hingga pelatihan kepenulisan yang kami selenggarakan dari dan untuk masyarakat.

Ketika akhirnya namaku diumumkan sebagai salah satu yang lolos seleksi Relima 2025, aku terdiam beberapa saat. Ada rasa syukur yang menyesap pelan. Ini bukan hanya pengakuan atas kerja-kerja Rulika, tapi juga pengingat bahwa gerakan literasi dari daerah seperti Kutai Kartanegara pun punya ruang untuk tumbuh di tingkat nasional.

Bersama Relima, aku membawa semangat Rulika. Memberikan pengertian bahwa literasi tidak boleh elitis, ia harus membumi dan bisa dirasakan oleh siapa saja, terutama oleh mereka yang selama ini terpinggirkan dari akses informasi dan pendidikan. Kami di Rulika percaya bahwa literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, melainkan tentang membentuk cara berpikir kritis, memperkuat identitas budaya, dan merawat empati.

Kegiatan kami yang terdokumentasi di berbagai platform, termasuk media sosial @rumahliterasikreatif, adalah bukti nyata bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil. Kami menciptakan ruang baca di kampung, mengajak anak-anak bermain sambil mengenal aksara, dan memanfaatkan seni tradisional sebagai jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang literasi.

Kini, melalui Relima, aku merasa lebih siap untuk memperluas dampak. Menjadi bagian dari jaringan relawan literasi nasional memberiku harapan baru. Memberikan tantangan baru yang membuatku harus lebih banyak  bersinergi dengan berbagai komunitas literasi agar gerakan ini menuju sesuatu yang lebih baik dan lebih besar. Aku harus bisa menghidupkan kembali giat literasi di pelosok-pelosok negeri dan menghidupkan kembali semangat membaca yang mungkin telah lama redup.

Terima kasih Perpusnas RI atas kepercayaan ini. Semoga melalui Relima 2025, kita bisa melangkah bersama dalam satu barisan, membentuk sebuah gerakan, menyebar cahaya literasi, menyulam mimpi-mimpi anak bangsa, dan menjaga nyala pengetahuan tetap hidup di manapun kita berpijak.


"Percayalah, jika kita selalu berbuat baik untuk Allah, Allah akan selalu ada bersama langkah kita dan selalu menunjukkan jalan kebaikan yang banyak."


Tuesday, July 1, 2025

Cerita Panitia Arena 5 Cabang Khattil Qur'an, MTQ Ke-46 Kecamatan Samboja

 



Awal Juli 2025 menjadi awal yang penuh dengan kegiatan, tidak seperti bulan-bulan sebelumnya. Pagi-pagi sekali sudah disibukkan dengan persiapan perlombaan MTQ ke-46 Kecamatan Samboja yang digelar di Desa Beringin Agung.







Biasanya, aku mendampingi anak-anak desa untuk lomba kaligrafi di desa/keluarahan lain. Kali ini mendapatkan pengalaman untuk menjadi panitia perlombaan kaligrafi (khattil Qur'an). Sama seperti tahu-tahun sebelumnya, lomba kaligrafi selalu dimulai sejak pagi hingga sore hari. Biasanya berbarengan dengan lomba KTIQ dan KTIH karena waktunya sama-sama panjang. Tapi kali ini dijadwalkan berbeda dan berganti ruangan karena keterbatasan ruang lomba.



Pagi-pagi sekali aku sudah disibukkan dengan drama pekerjaan rumah yang harus selesai lebih pagi dari biasanya. Kemudian, pukul 07.00 WITA aku sudah harus berpindah ke lokasi lomba, yakni di SDN 038 Samboja. 

Pukul 08.00 WITA, perlombaan sudah harus dimulai. Bagi para peserta, waktu 1 menit sangatlah berharga. Oleh karenanya, kami selaku panitia harus melakukan briefing peserta sebelum jam delapan agar para peserta bisa masuk ke dalam ruangan tepat waktu.

Setelah semua peserta masuk ruangan dan fokus untuk berkompetisi, kami para panitia hanya menunggu. Duduk bersantai di luar ruangan sembari berbincang dan bercanda hal-hal kecil yang membuat kami tertawa. 

Waktu perlombaan bukan waktu yang sebentar. Sesekali aku pulang ke rumah untuk sekedar melihat keadaan rumah atau memastikan nenekku sedang tidak kesulitan menjalani harinya. Sebagai koordinator panitia lomba kaligrafi, tentunya tidak bisa pergi dalam waktu yang lama. Meski tidak ada yang dikerjakan, tetap harus standby agar siap selalu ketika dibutuhkan sewaktu-waktu.

Alhamdulillah, perlombaan selesai dengan baik dan kami bisa beristirahat dengan baik pula. Tidak banyak yang dikerjakan oleh seksi musabaqoh karena seluruh keperluan sudah disiapkan dan dibereskan oleh panitia perlengkapan yang kerjanya super rajin. Usai lomba, semua hasil lomba pun, kami serahkan ke panitera. Sehingga tidak banyak kesibukan yang harus kami lakukan. Aku juga bisa segera kembali ke rumah, mengurus rumah yang kerap terbengkalai karena terlalu banyak kegiatan di luar rumah.


Harapan terbesarku, semua kafilah dari Desa Beringin Agung bisa mendapatkan piala, terlebih tahun ini kami menjadi tuan rumah. Semua sudah bekerja keras untuk berjuang dan berharap bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Jika belum mendapatkan juara, setidaknya bisa mendapatkan pengalaman berharga yang tidak akan didapatkan ketika tidak mengikuti lomba sama sekali. Menjadi bagian dari kafilah MTQ sudahlah menjadi pemenang atas kemalasan diri sendiri.



Introvert dan Anti-Sosial Seringkali Disalahpahami



Akhir-akhir ini aku sering mendengar kata "introvert" di kalangan anak-anak muda. Setiap kali bertemu dengan anak-anak muda yang enggan menyapa, mereka selalu bilang "aku introvert".

Sebenarnya, introvert itu apa? 

Pertanyaan ini menjadi sebuah pertanyaan yang melekat begitu lama di kepalaku. Aku terus mencari informasi. Membaca buku-buku tentang psikologi, filsafat, dan sosiologi. 

Sampai akhirnya, aku membuat tulisan ini setelah berpikir dan menganalisa selama beberapa tahun terakhir.

Introvert dan anti-sosial memiliki makna yang sangat tipis dan kerap kali disalahpahami karena keduanya terlihat "menyendiri", padahal maknanya jauh berbeda. 

Orang yang introvert memiliki ciri utama dan karakteristik yang unik. Mereka Lebih nyaman dan energik saat sendiri atau dalam kelompok kecil, bukan berarti tidak pandai komunikasi atau berbicara. Orang yang introvert lebih menyukai  waktu sendiri untuk mengisi ulang energi.Tidak suka keramaian, tapi bukan berarti benci orang lain. Punya kemampuan sosial yang baik, hanya saja lebih selektif dalam berinteraksi. Mereka lebih suka mendengarkan daripada bicara, mereka akan berbicara banyak hanya jika dibutuhkan. Bisa punya hubungan yang dalam dan bermakna dengan sedikit orang.

Orang introvert lebih suka memilih baca buku di rumah daripada pergi ke pesta, tapi tetap hangat dan akrab saat berbincang dengan teman dekat. 

Seringkali ada anggapan bahwa introvert itu pendiam dan canggung saat berkomunikasi. Tapi kenyataannya, banyak orang introvert justru sangat jago berkomunikasi, terutama dalam situasi yang sesuai dengan gaya mereka. 

Introvert cenderung menjadi pendengar yang baik. Mereka menyimak dengan cermat, memahami konteks, dan merespons dengan tepat. Ini membuat komunikasi mereka terasa tulus dan penuh makna, bukan sekadar basa-basi.

Orang introvert biasanya berpikir dulu sebelum bicara. Mereka tidak suka omong kosong, jadi ketika berbicara, biasanya isi pesannya lebih tajam dan tersusun. Dalam konteks komunikasi tertulis atau presentasi, ini menjadi keunggulan besar.

Introvert merasa tidak nyaman saat ngobrol rame-rame, mereka lebih suka berada dalam percakapan pribadi atau komunikasi dua arah, mereka bisa sangat terbuka dan ekspresif. Mereka unggul dalam membangun kedekatan emosional melalui komunikasi yang intim dan penuh empati.

Banyak introvert berbakat menulis, baik email, artikel, puisi, maupun caption medsos. Karena menulis memberi ruang untuk berpikir tanpa tekanan interaksi secara langsung. Makanya, banyak penulis hebat adalah introvert.

Introvert yang menyadari kekuatannya sering kali melatih kemampuan sosial mereka. Mereka bisa tampil percaya diri saat dibutuhkan, karena mereka mempersiapkan diri secara mental lebih matang. Saat tampil, mereka bisa terlihat seperti ekstrovert, padahal setelahnya butuh waktu menyendiri untuk recharge.

Introvert tidak suka bicara banyak hal sekaligus, tapi mereka hebat dalam menggali topik secara mendalam. Dalam komunikasi, ini membuat mereka tampak serius, terarah, dan penuh wawasan.

Jadi, jangan heran kalau ada introvert yang bisa menyampaikan pidato yang menggetarkan, atau punya podcast yang bikin banyak orang betah mendengarkan. Mereka bukan tidak bisa komunikasi, mereka hanya butuh ruang yang tepat untuk menampilkan versinya.

Kalau kamu bertemu orang yang pendiam, belum tentu dia anti-sosial, bisa jadi dia introvert yang ramah dan hanya butuh waktu untuk nyaman.

Dapat disimpulkan kalau introvert bukanlah orang yang tidak bisa menyapa orang lain. Mereka justru pandai dalam menempatkan diri. Mereka bahkan bisa mengajak komunikasi dan berbicara banyak hal karena memiliki wawasan yang luas. Wawasan yang luas didapat karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk membaca buku, mendengarkan, dan menggali hal-hal baru di sekitarnya.


Lalu, bagaimana dengan istilah anti-sosial?

Dalam ilmu psikologi, anti-sosial dikenal dengan istilah ASPD (Antisocial Personality Disorder). Ciri utama orang yang anti-sosial cenderung melawan norma sosial yang berlaku di masyarakat dan seringkali merugikan orang lain.

Orang yang anti-sosial memiliki karakteristik yang tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi bisa kita rasakan ketika sudah melakukan kontak langsung dengan orang tersebut. Orang yang anti-sosial biasanya tidak peduli perasaan atau hak orang lain. Karakter yang satu ini bisa aku benarkan karena aku sudah sering menemui kasus yang serupa. Sebagai contoh, staff personalia yang tidak memedulikan hak karyawan-karyawannya ketika melakukan kesalahan penginputan dan berkata, "aku nggak peduli yang lain. Yang penting gajiku keluar!"

Orang yang anti-sosial seringkali melanggar aturan dan hukum, baik hukum negara maupun hukum sosial. Mereka juga bisa sangat manipulatif, agresif, dan tidak punya empati kepada orang lain. Tidak merasa bersalah setelah menyakiti orang lain.

Anti-sosial bukanlah tipe kepribadian biasa, ini adalah bagian dari gangguan kepribadian dalam dunia psikologi/psikiatri.

Orang yang anti-sosial bisa dengan sengaja menipu, mencuri, atau menyakiti orang lain tanpa rasa penyesalan.

Saat ini, fenomena anti-sosial yang berlindung di balik label “introvert” memang nyata dan sering terjadi. Banyak orang menyebut dirinya introvert padahal sebenarnya mengalami masalah lain dalam bersosialisasi, seperti kecemasan sosial, trauma, atau bahkan gangguan kepribadian anti-sosial.

Orang yang anti-sosial cenderung menghindari bahkan membenci interaksi sosial secara ekstrem. Mereka juga tidak peduli atau tidak mampu menjalin hubungan sosial yang sehat. 

Beberapa orang yang anti-sosial menolak bersosialisasi karena  luka batin, rasa malu ekstrem, atau kecemasan sosial. Sebagian dari mereka juga menggunakan label "introvert" sebagai tameng agar tak perlu menjelaskan perasaan atau kondisi mereka yang lebih kompleks. Mereka bahkan lebih nyaman berada dalam zona keterasingan, lalu menyamakan itu dengan kepribadian introvert, padahal bisa jadi ada gejala psikologis yang tidak disadari.

Contoh nyata, seorang remaja yang tidak mau sekolah dan enggan bergaul menyebut dirinya introvert. Tapi setelah ditelusuri, ternyata dia mengalami bullying dan trauma, serta mengalami gangguan kecemasan sosial.


Mengaku introvert itu sah. Tapi jika sikap selalu menghindar dari manusia, marah saat diajak bicara, atau menolak semua bentuk interaksi, maka itu bukan sekadar introversi. Bisa jadi ada luka, trauma, atau gangguan psikologis yang perlu ditangani. Introvert sehat tetap bisa menjalin relasi, meski dengan caranya sendiri.








Thursday, June 26, 2025

Menutup Perjalanan, Membuka Pengabdian



Menutup Perjalanan, Membuka Pengabdian


Ibu Kota Negara Nusantara, 25 Juni 2025.
Sore yang syahdu di Tower 4 Gedung Kementerian Koordinator IKN Nusantara menjadi saksi dari berakhirnya sebuah perjalanan penting, yakni kegiatan Penutupan Pelatihan Petugas Pendataan Penduduk IKN. Acara ini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum reflektif atas rangkaian hari-hari penuh pembelajaran, kerja sama, dan harapan untuk Ibu Kota Negara yang sedang bertumbuh.

Pelatihan ini telah menyatukan peserta dari berbagai penjuru Kalimantan Timur. Dari beragam latar belakang, usia, dan pengalaman. Kita semua berada dalam satu semangat, yakni menjadi bagian dari sejarah awal pembangunan Nusantara melalui kerja pendataan yang teliti dan manusiawi.

Acara penutupan yang dilaksanakan pukul 16.00 hingga 17.00 WIB hari ini terasa seperti akhir dari sebuah babak, namun juga awal dari tanggung jawab yang lebih besar.

Acara dibuka dengan sambutan hangat dan inspiratif dari Yusniar Juliana, SST, MIDEC, selaku Kepala BPS Provinsi Kalimantan Timur. Dalam pemaparannya, beliau menekankan bahwa pendataan bukan sekadar pekerjaan administratif, tetapi bagian dari pembangunan peradaban, sebuah pondasi kebijakan besar di masa depan. 

Ini adalah pertama kalinya dilakukan pendataan penduduk IKN. Sehingga para petugas pendataan penduduk ini adalah para pengukir sejarah masa depan dalam proses pembangunan Ibu Kota Nusantara. 
Oleh karenanya, BPS mengharapkan, para petugas lapangan (PPL) dapat melakukan pencacahan data yang sebenar-benarnya agar kebijakan-kebijakan yang akan ditentukan oleh pemerintah dapat menyesuaikan kebutuhan hidup masyarakat. Jangan sampai pemerintah IKN salah mengambil langkah kebijakan karena data yang didapat dari masyarakat tidak akurat. 

Kemudian, pidato penutupan disampaikan  oleh Drs. H. Alimuddin, M.Si, Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN. Dalam pidato beliau yang sarat makna, Alimuddin mengingatkan bahwa pembangunan IKN tidak semata tentang infrastruktur, tetapi juga tentang manusia yang akan hidup dan tumbuh di dalamnya. Pendataan penduduk menjadi titik awal yang sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan ini benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat .

Tak terasa, segenap proses pelatihan selama beberapa hari ke belakang kini sudah berada di ujungnya. Ada rasa haru yang diam-diam menyeruak. Foto-foto bersama, senyum hangat antar peserta, dan tawa kecil yang saling dibagi menjadi pengingat bahwa kami pernah belajar bersama di ruang-ruang menara tinggi ini yang belum digunakan secara resmi untuk berkantor. 

Sebagai seorang peserta, saya merasa bukan hanya dibekali ilmu teknis tentang pendataan, tetapi juga dikuatkan secara emosional dan ideologis. Ada hal yang harus selalu saya ingat, bahwa saya adalah bagian dari gerakan membangun masa depan. Pelatihan ini mengajarkan kami untuk peka terhadap dinamika sosial, teliti dalam bekerja, dan berani menghadapi tantangan di lapangan dengan tanggung jawab.

Penutupan ini bukan titik, tetapi koma. Setelah ini, kami akan kembali ke wilayah masing-masing membawa bekal, semangat, dan tanggung jawab. Karena sejatinya, membangun IKN bukan hanya tugas para perencana di gedung bertingkat ini, tapi juga kerja nyata para petugas pendataan yang akan menyusuri jalan-jalan kampung, mendatangi pintu-pintu rumah, dan mendengarkan kisah dari warga yang akan menjadi penghuni sejati kota masa depan yang juga dikenal dengan Kota Dunia.

Dan saya, dengan penuh kesadaran dan kebanggaan, siap menjalankan peran itu.


Rin Muna
Tower 4, Kemenko IKN
25 Juni 2025

Tuesday, June 24, 2025

Pelatihan Pendataan Penduduk IKN Batch 2 | Ketika Data Bukan Sekedar Angka



Hari Kedua di Ruang Eselon 1: Ketika Data Bukan Sekadar Angka


24 Juni 2025. 

Pagi itu, langit Ibu Kota Nusantara seperti biasa, mendung dihiasi dengan riuhnya rintik gerimis. Tepat jam enam pagi, aku sudah duduk di dalam bus. Di tanganku, ada sebuah buku catatan berwarna pink yang aku dapat dari panitia di hari sebelumnya. Setelan jas berwarna hitam dan kerudung berwarna krem, membalut tubuhku yang menggigil kedinginan.
Ya, cuaca di IKN sangat dingin pagi ini. Ditambah lagi dengan bus kota yang full AC. Tapi semua orang terlihat biasa saja. Mungkin tubuhku yang terlalu sensitif dengan suhu dingin, sehingga cuaca masih sangat dingin meski aku menggunakan jas. 



Hari kedua pelatihan Pendataan Penduduk IKN menunggu. Aku melangkah masuk ke Tower 2 Gedung Kemenko IKN, menuju Ruang Eselon 1 lantai 6, tempat kelompok D berkumpul.

Ruang itu ber-AC sejuk, rapi, dan terang, namun yang paling terasa adalah atmosfernya yang cukup serius, fokus, dan mengalir dengan aura tanggung jawab. Dinding ruang rapat lima puluh persennya terbuat dari kaca. Aku bisa melihat dengan jelas deretan gedung-gedung megah yang masih dalam proses pembangunan. Inilah wilayah baru yang sedang dibangun dengan data dan kerja nyata, bukan retorika belaka.
    


Pelatihan hari kedua ini membahas hal yang lebih teknis—tentang formulir digital, protokol verifikasi, dan penggunaan aplikasi pendataan. Materi demi materi disampaikan para narasumber yang tak hanya ahli, tapi juga sabar dan bersahabat. Kami, peserta dari berbagai latar belakang, larut dalam diskusi tentang metode wawancara, akurasi data, hingga etika ketika harus berhadapan langsung dengan masyarakat.

Yang membuatku terkesan bukan hanya teknologi atau sistem yang mereka perkenalkan, tapi pendekatan manusianya. Bahwa dalam setiap data, ada cerita. Dalam setiap isian nama, tanggal lahir, dan status pekerjaan, terselip harapan-harapan kecil dari warga negara yang ingin diakui keberadaannya.


Hari ini aku belajar banyak. Tentang kesabaran mendengar, tentang ketelitian membaca situasi, dan tentang pentingnya menjadi jembatan antara negara dan rakyat melalui data yang akurat.

Istirahat siang menjadi jeda untuk meneguk air dan berbagi tawa dengan teman-teman satu kelompok. Tak disangka, ruang eselon yang semula terasa formal berubah menjadi ruang pertemanan. Obrolan ringan tentang kampung halaman, makanan favorit, hingga impian masa depan mengalir begitu saja. Tiba-tiba aku merasa, IKN bukan sekadar proyek fisik, ia adalah rumah baru yang sedang tumbuh dari kolaborasi dan kebersamaan.

Menjelang sore, saat sesi penutup dimulai, kami diminta merefleksikan nilai yang kami dapat hari itu. Dalam hatiku, aku mencatat satu hal, menjadi petugas pendataan bukan hanya tentang bekerja, tapi tentang menjaga amanah dari akar bangsa. Data yang kita kumpulkan hari ini bisa menjadi dasar kebijakan esok hari, menentukan ke mana arah pembangunan, dan siapa yang tidak boleh lagi dilupakan.



Hari kedua pelatihan ditutup dengan hangat. Meski tubuh lelah, pikiranku justru terasa lebih hidup. Di ruang Eselon 1 itu ... aku tak hanya belajar soal teknis dan sistem, tapi juga tentang nilai. Nilai menjadi warga negara yang hadir, aktif, dan ikut menulis sejarah baru Nusantara.


Pengalaman ini adalah bagian dari Pelatihan Pendataan Penduduk IKN Batch 2, sebagai bagian dari proses pemindahan dan pembangunan sistem pemerintahan baru yang berorientasi data dan pelayanan publik. Ruang Eselon 1 Kemenko IKN menjadi saksi bagaimana anak-anak muda, warga biasa, dan pelayan data berkolaborasi dalam semangat gotong royong modern.



Jebakan Ilusi Sosial : Ketika Hidup Tak Lagi Milik Kita

Jebakan Ilusi Sosial: Ketika Hidup Kita Tak Lagi Milik Kita Sendiri
Oleh Rin Muna






Kita terlahir telanjang dan bebas. Tapi tumbuh besar dengan beban dan tuntutan. Sejak kecil, kita diberi daftar panjang hal-hal yang "seharusnya" kita lakukan. Bersekolah di tempat yang bagus, dapat pekerjaan mapan, menikah di usia tertentu, punya anak, punya rumah, dan punya mobil. 
Tanpa sadar, kita mulai hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi orang lain. Kita dibayangi oleh penilaian masyarakat, keluarga, bahkan algoritma media sosial. 

Inilah yang disebut sebagai jebakan ilusi sosial. Sebuah kondisi di mana hidup kita tidak lagi otentik, melainkan menjadi cermin dari apa yang orang lain harapkan.


Filsuf Muslim Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa banyak manusia tertipu oleh dunia. Mereka mengira kemuliaan terletak pada harta, jabatan, dan pujian manusia. Padahal itu semua hanya fatamorgana. “Orang yang cinta dunia,” kata Al-Ghazali, “akan diperbudak olehnya.”

Apa yang disebut Al-Ghazali ini mirip dengan gagasan stoikisme dalam filsafat Yunani. Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi sekaligus filsuf stoik, mencatat dalam Meditations: “Sangat mudah untuk menjadi budak opini orang lain, dan lupa pada suara hatimu sendiri.” 

Di zaman sekarang, opini orang lain tak hanya berbisik lewat mulut, tapi berteriak lewat notifikasi, komentar, dan likes.

Ilusi sosial ini menjadi jebakan yang sulit dilepaskan karena kita mengira itu adalah kebenaran. Kita berpikir bahwa mengikuti standar sosial berarti hidup kita akan bahagia. Namun nyatanya, yang terjadi malah sebaliknya. Kita semakin gelisah, mudah iri, dan kehilangan arah. Sehingga kita kehilangan diri sendiri. 

Bayangkan seseorang yang berprofesi sebagai guru, tetapi diam-diam mencintai dunia seni lukis. Karena tekanan lingkungan, ia terus menunda-nunda impiannya. Ia terjebak dalam narasi "pekerjaan yang aman" dan takut dijuluki "seniman gagal". Maka ia hidup seperti orang lain, bukan seperti dirinya sendiri.

Filsafat stoik menekankan pada diri sebagai pusat kebaikan. Epictetus berkata: “Hal yang berada dalam kuasamu adalah pikiran, keinginan, dan tindakanmu. Semua hal di luar itu bukan milikmu.” Artinya, kita harus mengarahkan kembali pusat kontrol hidup pada diri, bukan pada standar luar yang berubah-ubah.

Islam pun mengajarkan prinsip serupa. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 disebutkan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” 
Maka, jika beban hidup terasa terlalu berat, boleh jadi itu bukan beban yang datang dari Tuhan, tapi dari ilusi sosial yang kita pelihara sendiri.
Akhirnya, kita terpenjara dalam ilusi sosial yang membuat kita kehilangan diri sendiri. Lalu, bagaimana caranya bisa keluar dari jebakan ini? 

Cobalah menjadi diri yang merdeka! 

Menjadi merdeka dari ilusi sosial bukan berarti menjadi egois. Justru ini adalah jalan menuju keikhlasan. Kita hidup bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk menunaikan amanah sebagai manusia seutuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi: “Jangan puas hanya dengan cerita tentang orang lain. Tulis kisahmu sendiri.”

Caranya bagaimana? Ada 4 hal yang bisa kita lakukan, seperti:

1. Mengenali nilai-nilai diri. Apa yang benar-benar penting bagimu? Bukan menurut orang lain, tapi menurut nuranimu.
2. Membatasi distraksi. Media sosial bukan realita. Kurangi konsumsi konten yang membuatmu membandingkan diri tanpa sadar.
3. Berteman dengan kesederhanaan. Stoikisme dan Islam sama-sama memuliakan hidup yang tidak berlebih-lebihan. Dalam kesederhanaan ada kejernihan.
4. Berani berkata tidak. Tidak pada standar yang tidak sesuai. Tidak pada jalan yang bukan milikmu. Ini adalah keberanian spiritual.

Kita berhak untuk memilih hidup yang otentik dan tidak perlu mewujudkan ekspektasi orang lain. 
Jebakan ilusi sosial tak selalu terlihat seperti perangkap. Ia sering menyamar sebagai cinta, perhatian, dan kebahagiaan semu. Tapi kita tahu, di dalam hati, ada suara kecil yang terus berbisik: "Ini bukan aku. Ini bukan jalan hidupku."
Maka dengarkanlah suara itu. Karena sebagaimana disebut oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadist, “Mintalah fatwa pada hatimu, meskipun orang-orang memberimu fatwa.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi). 

Kalau kamu merasa sedang menjalani hidup karena “kata orang”, mungkin saatnya berhenti sejenak. Bertanya ulang pada dirimu sendiri. Apakah hidup ini milikmu? Atau kamu cuma pemeran figuran dalam skenario orang lain?

Jangan tunggu sampai semuanya terasa kosong. Karena kebebasan sejati bukan soal keluar dari penjara, tapi keluar dari jebakan pikiran yang kita anggap kebenaran. Dan itu dimulai dari keberanian untuk menjadi dirimu sendiri.


Sumber Referensi:

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin

QS. Al-Baqarah: 286

HR. Ahmad & Ad-Darimi

Marcus Aurelius, Meditations

Epictetus, The Enchiridion

Rumi, The Essential Rumi, trans. Coleman Barks

William Irvine, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy

Ryan Holiday, The Daily Stoic



Monday, June 23, 2025

Cerita dari Ruang Eselon 1 dan Tidur Bersama 11 Orang







Ada banyak hal yang tak bisa dibeli, bahkan oleh gaji tertinggi di negeri ini. Salah satunya adalah pengalaman. Dan dalam hidupku yang sederhana ini, pengalaman mengikuti Pelatihan Petugas Pendataan Penduduk IKN Batch 2 adalah salah satu momen yang akan kusimpan dalam rak kenangan paling atas.

Aku tergabung dalam Kelompok D, dengan kelas yang ditempatkan di Ruang Eselon 1 Lantai 6, Tower 2 Gedung Kemenko IKN. Ya, Eselon 1. Entah kenapa kata itu membuatku merasa seperti tokoh penting di tengah megaproyek negara. Mungkin karena saat masuk ke ruang itu, aku merasa seperti sedang diberi amanah besar, yakni menjadi bagian yang akan mencatat dan menyimpan jejak manusia yang akan menjadi penghuni awal ibu kota masa depan.

Namun, jangan bayangkan pelatihan ini semewah judul gedungnya. Di balik nama mentereng “Kemenko” dan siluet arsitektur modern KIPP IKN, ada sejumput realita yang membumi, bahkan membentur kenyataan.

Aku akan mengikuti pelatihan selama 3 hari dan aku diberi penginapan di HPK oleh panitia. 
HPK itu apa, sih? 
HPK adalah hotel bintang 0 dengan kisah bintang 5. Tempat kami tinggal selama pelatihan disebut HPK (Hunian Pekerja Konstruksi). Tapi jangan bayangkan hotel dengan kasur empuk dan air hangat. Kami tinggal di kamar yang dihuni 12 orang peserta. Satu ruangan tanpa AC, tiga kipas angin, dan kamar mandi di luar untuk berbagi semua, termasuk cerita hidup.



Awalnya aku mengira akan merasa sesak, sulit tidur, atau malah berkonflik. Tapi anehnya, malam demi malam kami lewati dengan gelak tawa. Kami berbagi bantal dan juga harapan. Dari yang suka bangun subuh demi rebutan kamar mandi, sampai yang rela gantian charger karena colokan terbatas, semua jadi bahan tawa dan kenangan.

Di situlah aku belajar bahwa sempitnya ruang tidak selalu menyempitkan hati. Kadang, justru dalam keterbatasan itulah kita bisa saling mengenal lebih dalam.

Pagi harinya, kami sudah harus berangkat ke KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan). Tepat jam 6 pagi, bus sudah menjemput kami untuk meluncur ke Rest Area terlebih dahulu sebelum kami menuju ke KIPP. Perjalananya tidak lama, antre bus-nya yang lumayan lama karena peserta yang hadir juga ratusan. 

Pernah antre selama hampir satu jam hanya untuk dapat giliran naik bus? Kami pernah. Dengan jumlah peserta yang mencapai 488 orang, perjuangan kami bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di halte bus.

Saat-saat menunggu itu kadang bikin emosi naik turun. Tapi saat kubiarkan diriku diam sejenak, kudengar suara-suara yang lucu seperti curhatan tentang makanan, cerita konyol di kamar, sampai prediksi siapa yang bakal ngantuk duluan di kelas. Rupanya, bus yang lambat membawa pelajaran cepat, bahwa sabar itu bukan diam tanpa keluh, tapi memilih tetap bahagia walau harus menunggu.

Setelah bercerita tentang bus, Mari kita bicara soal makanan.
Ah, menu yang menguji keikhlasan.



Kadang kami dapat nasi yang keras seperti baru keluar dari freezer, atau ayam yang kerasnya bisa bikin gigi goyah. Pernah juga, kotak makanannya kosong tanpa nasi, hanya lauk melompong sendirian. Apakah kami marah? Tentu, tapi sebentar. Tapi habis itu, kami ketawa bareng.

Aneh ya, ternyata kelaparan bisa juga mempererat persahabatan. Ada yang berbagi roti, ada yang sembunyi-sembunyi simpan mi instan. Semua berkontribusi pada telenovela realita berjudul “Hidupku Tiga Hari di IKN”. Makanan di sini menjadi pelengkap cerita, bukan menjadi makanan yang mengenyangkan. 

Tapi di balik itu semua, aku tetap bersyukur. Karena tidak semua orang bisa bilang, “Aku pernah tinggal di IKN saat masih dalam tahap pembangunan.”
Kami adalah saksi hidup, bahwa sebelum gedung-gedung megah itu penuh aktivitas, ada kami yang mengisi catatan, memetakan penduduk, dan menghuni HPK.

Langit IKN di pagi hari begitu jernih, seperti masa depan yang belum ternoda. Jalanan yang masih setengah jadi, hiruk-pikuk pekerja konstruksi, dan suara alat berat jadi harmoni yang aneh, tapi nyata. Kami mungkin hanya sebutir pasir di gurun pembangunan, tapi kami adalah pasir yang ikut membentuk fondasi.

Pelatihan ini bukan tentang kenyamanan. Ini tentang belajar dalam keadaan seadanya, menerima kekurangan, dan merayakan momen sekecil apa pun. Dari mulai rebutan kamar mandi, nasi kotak tanpa nasi, hingga duduk di ruang Eselon 1 sambil mencatat data dengan tangan lelah. Semua adalah potongan cerita yang layak ditulis.

Karena pada akhirnya, hidup bukan soal enaknya tinggal di tempat baru. Tapi tentang bagaimana kita bertumbuh saat berada di sana.

Dan jika suatu hari aku kembali ke IKN sebagai warga, aku akan tersenyum melihat gedung Kemenko dari kejauhan dan berkata dalam hati, “Aku pernah jadi bagian kecil dari mimpi besar ini.”


Salam dari hunian sempit, tapi hati kami lapang.
IKN, kami pernah menjadi saksi.


Rin Muna
Peramu kata dan perajut asa


Teman Diskusi Coffee Bukan Sekedar Kedai, Ia Adalah Laboratorium Ekonomi Mikro

Teman Diskusi Coffee Bukan Sekedar Kedai, Ia Adalah Laboratorium Ekonomi Mikro



Di antara deru motor dan riuhnya arus mimpi anak-anak muda, muncul sebuah oase kecil bernama Teman Diskusi Coffee. Bukan sekadar kedai kopi, ia adalah jembatan antara harapan dan aksi—tempat di mana literasi finansial bukan hanya teori di kelas, tapi dirasakan dalam genggaman cangkir, dibayar lewat keringat, dan diasah lewat pengalaman langsung.

Teman Diskusi Coffee adalah buah dari visi Yayasan Rumah Literasi Kreatif (Rulika), yang memiliki divisi Mamuja (Mama Muda Samboja)—sebuah komunitas literasi finansial yang sejak 2019 mendorong perempuan desa kecil meningkatkan ekonomi keluarga lewat usaha mikro dan produk kreatif. Rulika,  mengembangkan enam literasi dasar (termasuk finansial).

Langkah Rulika membuka ruang belajar baru, bukan sekedar di ruang baca, tapi juga ada di balik barista station dan aroma espresso. Belajar di Teman Diskusi Coffee menggabungkan menyeduh, melayani, mencatat untung–rugi, hingga promosi lewat konten sosial media, persis apa yang dikampanyekan Rulika sejak lama, bahwa literasi harus “belajar sambil lakukan”.

Menjawab keresahan anak-anak muda yang ada di mastarakat Desa Beringin Agung. Masih banyak anak muda yang keluar dari sekolah tapi tidak tahu ke mana melangkah. Ijazah sudah di tangan, tapi keterampilan hidup seperti mengelola uang atau mengawali usaha jadi mengawang. Teman Diskusi Coffee hadir sebagai jawaban nyata. Di sini mereka praktik langsung: dari menyeduh kopi hingga menyusun laporan sederhana, belajar menentukan harga dan menghitung margin—semuanya dalam suasana santai tapi penuh makna.

Setiap shift adalah kelas hidup. Ada rezeki dari aroma dan rasa kopi, tapi ada pula pelajaran soal tanggung jawab, komunikasi dengan pelanggan, dan cara berpikir seperti wirausahawan. Mempraktikkan literasi finansial sambil bernafas, berjalan, dan kerja.

Learning by Doing merupakan konsep belajar yang dilakukan di Rumah Literasi Kreatif. Bukan sekedar membaca dan mengerjakam tugas, anak-anak yang belajar di Rumah Literasi Kreatif dituntut untuk berinsiatif, kreatif dalam menyelesaikan masalah, dan mampu menghasilkan sebuah karya untuk kesejahteraan.

Kuliah kehidupan di kedai kopi. Konsep “Learning by Doing” bukan slogan kosong di Teman Diskusi Coffee. Anak-anak muda di sini dapat berlatih menyusun modal harian dan mencatat penjualan. Belajar digital marketing dengan upload konten promosi. Mempraktikkan layanan pelanggan (senyum, ramah, dan empati). Diskusi sederhana soal revenue dan expense setelah tutup shift.

Secara tidak langsung, ini melatih mereka berpikir: “Bagaimana agar kedai menguntungkan dan bagaimana bisa bersaing dengan kedai lain?”

Lewat pengalaman nyata ini, literasi finansial tidak lagi abstrak, ia mencair bersama susu panas dan cappuccino foam.

Model kedai kopi sebagai ruang diskusi literasi bukan hal baru. Misalnya Kopi Litera di Bulukumba yang sejak 2020 menggabungkan perpustakaan mini dan diskusi kreatif di kedai kopi. Di tempat-tempat seperti itu, kopi menjadi katalis ide. Teman Diskusi Coffee meneruskan konsep ini, tapi menambahkan dimensi: literasi finansial dan pemberdayaan ekonomi secara langsung.

Apa arti literasi finansial? Bukan hanya tahu cara menabung atau mencatat pengeluaran. Di Teman Diskusi Coffee, literasi ini dicapai lewat beberapa hal, seperti:

1. Keputusan harga jual: belajar menimbang kualitas bahan dan harga pasar.

2. Manajemen stok & modal: belajar mengelola persediaan dan biaya tetap.

3. Pemasaran kreatif: belajar menyusun narasi visual di media sosial.

4. Pelayanan & evaluasi: memahami bahwa pelanggan adalah guru paling jujur.

Dengan konsep belajar “Learning by Doing”, peserta tidak hanya bekerja, mereka bertransformasi menjadi pelaku ekonomi mandiri yang lebih paham soal uang, manfaatnya, dan cara menjaganya.

Teman Diskusi Coffee bukan sekadar kedai. Ia laboratorium ekonomi mikro, ruang diskusi, dan gerakan nyata Yayasan Rumah Literasi Kreatif. Mengubah literasi finansial dari konsep menjadi gerakan dengan wujud kasir, aroma kopi, dan catatan keuangan di notebook.

Kedai ini berusaha membuktikan, setelah lulus, anak muda tak perlu bingung. Mereka bisa belajar wirausaha sambil menyeruput kopi. Dari sinilah lahir generasi yang tidak hanya siap kerja, tapi siap “menciptakan” kerjanya sendiri. Karena sejatinya, dari secangkir kopi pun kita bisa meracik masa depan.


Friday, June 20, 2025

Korupsi Bukan Soal. Besaran Gaji, Tapi Soal Identitas Moral yang Hakiki


Korupsi Bukan Soal Besaran Gaji, tapi Soal Identitas Moral yang Hakiki



Kalau kamu pikir korupsi muncul karena gaji pejabat terlalu kecil, coba kita ulik bareng-bareng, banyak koruptor justru gajinya besar—bahkan sangat besar, tapi identitas moral mereka tercabik sedikit-sedikit sejak awal.

Korupsi merupakan bentuk moral individu yang sudah bobrok. 
Meuthia Ganie Rohman, sosiolog dari UI, dengan gamblang menyebut, “Korupsi disebabkan adanya karakter atau moral buruk dari individu…”  

Bukan masalah aparat hukum atau sistemnya rusak, ini soal moral pribadi. Begitu mindset kotor tertanam, korupsi jadi kebiasaan yang nyaman.


Kita bisa melihat kasus Megakorupsi Akil Mochtar & Pertamina

Akil Mochtar, mantan Ketua MK dengan gaji sekitar Rp 30–40 juta plus tunjangan Rp 19 juta, ternyata korupsi hingga miliaran rupiah.

Jimly Ashiddiqie menyatakannya jelas, “Ini bukan karena gaji, bukan karena sistem. Sistem sudah baik, tapi orangnya sudah rakus.”  

Kemudian, dalam Skandal Pertamina 2025—padahal ini BUMN besar dengan pejabat berimbalan tinggi. Penipuan minyak subsidi bisa rugikan negara sekitar Rp 193,7 triliun!  
Itu jauh dari “gaji kecil” kan?

Saat ini, dunia telah mengalami kemunduran sosial yang luar biasa. Kejahatan dan kesalahan dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, sehingga orang tidak punya rasa malu lagi ketika melakukan tindak kejahatan karena kontrol sosial yang terus melemah. Bahkan, mereka sangat bangga dengan apa yang mereka lakukan dan tidak merasa bersalah. Bisa menikmati kemewahan di atas penderitaan rakyat. 

Penelitian tentang budaya maluyang diambil dari perspektif teori Emile Durkheimmengungkap bahwa rasa malu adalah fondasi melawan korupsi . Tanpa itu koruptor bebas menikmati fasilitas mewah, bahkan ketika mereka di penjara. Hal ini tentunya membuat orang tidak takut untuk korupsi. 
Korupsi makin dianggap sebagai hal yang wajar dalam birokrasi dan masyarakat luas. 
Artinya, ketika sistem takut, publik menganggap korupsi adalah hal biasa, identitas moral jadi lenyap.

Perilaku korupsi merupakan pengkhianatan pada Pancasila yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para petinggi negeri ini. 
Pancasila menempatkan moral dan integritas sebagai pondasi berbangsa. Namun korupsi merusak sila ke-4 (mutu demokrasi) dan sila ke-5 (keadilan sosial). Saat itu terjadi, rakyat makin jauh dari kepercayaan terhadap wakil mereka.

Korupsi bukan soal angka di rekening, tapi cerminan karakter yang ditumbuhkan sejak kecil. 
Small acts matter, dari tidak mencuri pensil di sekolah, hingga menegakkan kejujuran atas hal kecil sehari-hari. 
Kebiasaan korupsi bisa jadi sudah tertanam sejak kecil. Dan kalimat "Tuhan Maha Pengampun" menjadi senjata paling ampuh untuk berbuat dosa karena menganggap bahwa Tuhan akan mengampuni semua dosa kita. Lalu, untuk apa Tuhan menciptakan neraka jika semua kejahatan diberi pengampunan dengan mudah? 


Korupsi bukan soal seberapa besar gaji. Ini soal seberapa rapuh identitas moral seseorang. Kalau gaji tinggi tapi moral tak dijaga, korupsi jadi bumerang bagi negara. Sebaliknya, dengan kultur malu yang sehat, pelaku jera, integritas jadi eksistensi. 
Maka dari itu, kita perlu menanamkan budaya malu dan malu berbicara benar sejak dini. memperkuat karakter antikorupsi lewat pendidikan dan teladan nyata dari pemimpin.
Menciptakan sistem sosial, formal, dan hukum untuk memperkuat moral, bukan menggantinya.


Korupsi bukan soal ‘uang belum cukup’, tapi soal apakah kita pernah punya nyali mempertahankan moral saat godaan datang.




Rin Muna
Rakyat biasa yang ingin bersuara demi kebaikan negeri ini

Menaikkan Gaji Pejabat Bukan Solusi Anti-Korupsi



Menaikkan Gaji Pejabat Bukan Solusi Anti-Korupsi yang Harus Dikikis Adalah Gaya Hidup Mewah Mereka 




Banyak proposal menyebut naikkan gaji pejabat sebagai obat mujarab untuk meredam korupsi. Tapi kenyataannya, pas gaji tinggi, korupsi juga tetap mewabah—bahkan menjadi lebih besar. Lalu, apa akar masalahnya? Bukan dompet mereka yang kecil, tapi gaya hidup mewah mereka yang tak terkendali.


Gaji tinggi justru menjadi pelaku utama di kasus korupsi besar. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah bilang bahwa korupsi terjadi karena gaji kecil. Tapi lihat fakta: para menteri, hakim, direktur BUMN—mereka dibayar puluhan hingga ratusan juta per bulan, ditambah tunjangan, fasilitas, pasti cukup banyak . Namun kasus e‑KTP (Rp2,3 triliun), Edhy Prabowo deretan miliaran suap, Pertamina (Rp193 triliun), Kasus Timah (Rp 271 triliun), dan kasus CPO (Rp 11 triliun), semuanya melibatkan pejabat dengan penghasilan besar .

Reddit pun komentar pedas, “Gaji sebulannya lebih gede dari gaji gue setahun aja masih korupsi… korupsi itu masalah keserakahan.”  


Pamer kemewahan jadi tanda bibit korupsi. Tempo mengungkap, banyak pejabat punya rumah mewah, mobil sport, jam mahal, dan rajin plesiran ke luar negeri  . ICW dan Mahfud MD sepakat jika gaya hidup hedonis adalah sinyal kuat untuk korupsi, bukan sekadar konsumsi, tapi komoditas status yang dibeli dengan uang publik .

Contoh kasus: 
Mantan hakim Zarof Ricar sembunyikan uang dan emas > Rp1 triliun di rumahnya, meski gaji cuma puluhan juta. Hidup mewah nggak diperlihatkan semua, tapi justru menipu publik .


Presiden Prabowo pernah ajukan kenaikan gaji untuk pejabat agar “tidak tergoda korupsi” . Tapi ICW bilang kenaikan itu bukan hanya soal gaji pokok, tapi juga tunjangan, fasilitas, dan "uang abu‑abu" yang sebenarnya diperoleh di luarnya .
Jadi, daripada menaikkan angka gaji, yang perlu diturunkan adalah standar gaya hidup pejabat tinggi itu. Kurangi akses tak jelas, dana dingin, fasilitas berlebihan, dan hidup glamor.


Reddit menyindir bahwa himbauan “hidup sederhana” tanpa sistem kuat adalah seperti menyuruh orang bersihkan kamar tapi taruh debu di bawah kasur .
Lalu, apa yang dibutuhkan?

Pemerintah perlu memperketat LHKPN dan  bisa dicek publik. Sistem pelacakan aset via PPATK/SPPT yang transparan. Memonitoring gaya hidup para pejabat (mobil, rumah, liburan sama gaji resmi).

Sebagai contoh, China memiliki program Tigers and Flies dan Italia dengan program Clean Hands yang  menggunakan lifestyle sebagai red flag .

Reformer dari UGM bilang, "larangan gaya hidup hedon bisa terlambat, karena banyak pejabat nggak tampak mewah, tapi justru simpan di rumah-saku pribadi". Maka, selain pantauan gaya hidup, integritas harus dijaga lewat budaya internal, audit berkala, dan evaluasi moral. Apakah pejabat itu pantas dapat jabatan?



Menaikkan gaji pejabat boleh, tapi itu hanya setetes solusi jika tidak dibarengi pengendalian gaya hidup mereka. Yang benar-benar harus diturunkan adalah standard mewah yang dijadikan pajangan untuk memperlihatkan bahwa jabatan bukan kesempatan gaya hidup glamor.


Rakyat butuh model pejabat yang hidupnya sederhana, perilakunya bersih, dan integritasnya visible—bukan yang gemerlap tapi rapuh moralnya. Kalau kita target dunia dengan pejabat seperti itu, baru bisa katakan: korupsi tak membesar di tengah kemewahan, tapi di tengah keangkuhan dan kekebalan moral. 






Jenis-Jenis Pembaca


Jenis-Jenis Pembaca: Kamu yang Mana?
Oleh: Rin Muna


....

Di dunia literasi, ada satu pertanyaan menarik yang sering muncul di benakku: “Orang-orang membaca itu karena cinta, kewajiban, atau pelarian?”

Dari lembar ke lembar buku yang kubaca dan yang kutulis ... aku sadar, pembaca itu bukan cuma satu jenis. Mereka datang dengan berbagai wajah, berbagai tujuan, dan berbagai cara menikmati kisah. Maka dari itu, yuk kita kenalan dengan jenis-jenis pembaca… siapa tahu, kamu bisa lebih mengenal dirimu sendiri. 

Berikut ini jenis-jenis pembaca yang bisa kamu ketahui, mungkin kamu adalah salah satunya;

1. Si Penjelajah Imajinasi

Mereka adalah pembaca yang membaca untuk melarikan diri. Dunia nyata terlalu bising, terlalu kaku, dan terlalu memaksa jadi "dewasa". Maka buku jadi pelabuhan rahasia. Entah itu kisah tentang kerajaan sihir, cinta di tengah peperangan, atau dunia distopia. Buku bagi mereka adalah pintu Narnia yang bisa dibuka kapan saja.

Tanda-tandanya:

📕Selalu tenggelam dalam genre fantasi, sci-fi, atau petualangan.
📕Punya tumpukan buku yang belum selesai dibaca, tapi terus beli buku baru.
📕Kadang senyum sendiri saat baca. Kadang menangis juga. Tapi diam-diam.


2. Si Pemikir Mendalam

Kalau kamu termasuk orang yang membaca pelan-pelan, menandai kalimat favorit, lalu termenung beberapa menit setelah satu paragraf ... ya, kamu termasuk si pemikir. Mereka tidak membaca untuk cepat selesai. Mereka membaca untuk meresapi.

Tanda-tandanya:

📕Suka genre filsafat, sastra klasik, atau self-reflection.

📕Punya catatan atau jurnal berisi kutipan dan tafsir pribadi.

📕Bisa diskusi panjang hanya dari satu kalimat dalam novel.


3. Si Pelahap Halaman

Mereka membaca cepat. Sekali duduk bisa habis satu novel. Bukan karena terburu-buru, tapi karena nagih. Genre apa pun dilahap. Mereka seperti punya mesin di matanya, dan kapasitas memori tak terbatas.

Tanda-tandanya:

📕Punya target baca tahunan (dan selalu tercapai).

📕Ikut challenge Goodreads dan Booktok.
📕Punya opini kuat soal ending buku tertentu.


4. Si Pengendap Kata

Tipe ini bukan cuma membaca, tapi juga mengendapkan. Mereka suka membaca kalimat yang membuat mereka berhenti sejenak, menghela napas, lalu menyimpannya di hati. Biasanya pembaca jenis ini juga penulis.

Tanda-tandanya:

📕Sering membaca ulang bagian tertentu.

📕Suka menggarisbawahi kalimat “yang terasa benar banget.”
📕Punya momen ‘diam’ setelah buku selesai.


5. Si Sosialita Literasi

Mereka suka baca, tapi lebih suka membicarakan buku. Ikut klub buku, diskusi literasi, atau nonton review buku di YouTube. Buat mereka, membaca bukan cuma kegiatan pribadi, tapi juga aktivitas sosial.

Tanda-tandanya:

📕Suka posting review atau quote di Instagram.

📕Jadi admin grup literasi atau klub baca.
📕Membaca buku yang sedang trending, biar bisa nyambung ngobrol.


6. Si Pembaca Praktis

Mereka membaca karena ingin tahu. Bukan karena emosi, tapi karena informasi. Buku bagi mereka adalah alat untuk berkembang. Biasanya suka baca buku nonfiksi, biografi, atau buku bisnis.

Tanda-tandanya:

📕Selalu punya highlighter di tangan.

📕Punya goal: setelah baca buku ini, aku harus bisa ini.
📕Koleksi e-book lebih banyak dari buku fisik.


7. Si Pembaca Setia Penulis Tertentu

Ada juga yang hanya membaca karya penulis-penulis favoritnya. Entah karena gaya bahasanya, ide ceritanya, atau karena merasa “klik”. Setia banget, bahkan rela preorder bukunya sejak jauh hari.

Tanda-tandanya:

📕Selalu update karya terbaru dari penulis tertentu.

📕Bisa kutip kalimat dari bukunya dengan hafal.
📕Kadang follow penulisnya di media sosial, diam-diam atau terang-terangan 😄


Membaca itu personal. Apa pun jenis pembaca kamu, satu hal yang ingin aku bilang: Tak ada jenis pembaca yang lebih baik dari yang lain. Yang penting, kamu membaca. Dan dari sana, kamu tumbuh.

Entah kamu membaca untuk lari, untuk paham, untuk merasa, atau untuk memperbaiki hidupmu ... semua sah.

Karena buku bukan soal kecepatan menyelesaikan halaman. Tapi tentang bagaimana halaman-halaman itu menyentuh jiwamu diam-diam, perlahan, tapi pasti.


Jadi, kamu termasuk pembaca yang mana?
Atau... kamu punya kombinasi dari beberapa tipe?

Tulis di komentar ya, biar kita bisa saling berbagi kisah. 💌


Salam hangat dari ujung halaman,




Rin Muna
(Yang percaya bahwa buku terbaik selalu menunggu kita untuk kembali...)






Thursday, June 19, 2025

Jangan Berbisnis dengan Orang Malas!



Jangan Berbisnis dengan Orang Malas

Oleh: Rin Muna



Kita hidup di era yang memuja kolaborasi—semua orang ingin "grow bareng", bikin tim, buka usaha rame-rame, atau minimal patungan buat usaha kecil-kecilan. Tapi, kalau kamu sedang memilih rekan bisnis, ada satu alarm merah yang harus kamu dengarkan baik-baik, jangan pernah berbisnis dengan orang malas.

Kalau kita mau bisnis bareng, bukan sekedar membangun impian, tapi juga harus menguatkan pondasi tanggung jawab. Mimpi bisa dibagi, tapi tanggung jawab tidak selalu. 

Awalnya, semuanya tampak indah. Kalian diskusi sambil ngopi, ide mengalir lancar, dan rencana sudah seperti proposal startup yang tinggal cari investor. Tapi setelah semua sepakat, satu hal mulai terasa, cuma kamu yang kerja. Sementara dia sibuk scroll TikTok, tidur siang panjang, dan menyalahkan “mood yang belum balik.”

Mereka bilang, "Nanti aku bantu."
Tapi ‘nanti’ itu ternyata tidak pernah datang.
Dan pada akhirnya, kamu yang jungkir balik, kamu yang cari vendor, kamu yang urus legalitas, bahkan kamu yang ngebersihin ruko.

Bisnis bukan hanya tentang ide, tapi eksekusi. Dan eksekusi butuh konsistensi. Sayangnya, kemalasan adalah pembunuh konsistensi yang paling jitu.

Tidak bisa dipungkiri, manusia memiliki emosi dan suasana yang pasang-surut. Tetapi dalam dunia bisnis, semua harus dikerjakan secara profesional. Semua orang punya masalahnya masing-masing, tapi bukan menjadi alasan dan membuat terus-menerus beralibi "masalahku yang paling berat".

Sebelum memulai berbisnis bersama, kamu harus bisa membaca karakter partner bisnismu. Bagaimana cara dia menghadapi masalah? Apakah lebih banyak mengeluh atau lebih banyak memberi solusi? 

Ada 5 tanda yang bisa kamu rasakan ketika kamu sedang berbisnis dengan orang malas. 

1. Selalu alasan, minim inisiatif.
Mereka jago bicara, tapi selalu punya dalih untuk tidak bertindak. Lagi sakit, lagi capek, lagi nggak enak hati, lagi banyak urusan keluarga, dan lain sebagainya. Pokoknya, ada saja alasan yang bisa dia ungkapkan daripada berinisiatif untuk mengatasi setiap permasalahan. Biasanya, orang yang selalu beralasan, lebih banyak menganggap semua hal sebagai masalah yang harus dihindari, bukan sebagai tantangan yang harus ditakhlukan. 


2. Berorientasi hasil, bukan proses.
Maunya untung besar, tapi nggak mau belajar tentang pasar, produk, atau sistem manajemen. Orang yang seperti ini, biasanya hanya memikirkan untung-rugi saja. Tapi dia tidak peduli dengan sistem manajemen, tidak peduli dengan produk, dan target penjualan. Ketika memiliki rekan bisnis yang seperti ini, membuat kita sulit untuk berkembang karena lebih banyak tekanan dan tanggung jawab yang harus dipikul seorang diri. 


3. Selalu minta “bagi tugas”, tapi yang ringan saja.
Kalau bisa, tugasnya yang tidak melelahkan. Yang ringan-ringan saja. Bahkan, tugas untuk membersihkan ruko sebisa mungkin dia hindari dengan dalih "aku sibuk banget". Padahal, laporan data penjualan tidak menunjukkan kesibukan yang dia ungkapkan. 


4. Tidak mau berkembang.
Mereka menolak feedback, alergi evaluasi, dan anti upgrade skill. Biasanya, orang yang seperti ini sangat sulit diberi masukan dan membuat standar produk stagnan atau bahkan lebih kacau. 

5. Ingin Menjadi Pusat Perhatian, Tapi Tidak Peduli dengan Sistem. 
Mereka selalu ingin menjadi pusat perhatian. Memberitahukan pada dunia bahwa dia adalah pemilik produk yang sesungguhnya. Membuat produk baru, tetapi tidak menulaekan ilmu dan memberikan resep pada rekannya. Sehingga, operasional seolah-olah hanya bergantung dengan dia saja. Ketika dia tidak ada, operasional menjadi kacau dan penjualan produk menjadi lebih rendah dari biasanya karena banyak produk yang tidak bisa dibuat ketika mereka tidak ada. 



Menurut Dr. Heidi Grant Halvorson, seorang psikolog sosial dari Columbia University, dalam artikelnya di Harvard Business Review, kemalasan bukan hanya soal kurangnya kemauan, tapi seringkali merupakan penolakan terhadap perubahan dan tanggung jawab. Orang-orang ini tidak akan tahan di dunia bisnis yang penuh tekanan dan dinamika.

Lalu, kenapa kemalasan itu menular dan merugikan? 

Dalam teori psikologi sosial, social loafing menjelaskan fenomena di mana seseorang cenderung mengurangi usaha ketika bekerja dalam kelompok. Nah, ketika kamu punya partner bisnis yang malas, energi negatifnya menular. Kamu jadi frustrasi, motivasi menurun, dan akhirnya performa bisnis ikut anjlok.

Studi oleh Liden, Wayne & Bradway (1997) menemukan bahwa ketimpangan kontribusi dalam tim kerja berujung pada rasa tidak adil, konflik interpersonal, dan penurunan kualitas output.

Kamu bisa saja sabar dan loyal terhadap rekan bisnis, tapi jika kamu terus menoleransi kemalasan, pada akhirnya kamu bukan membangun bisnis, tapi sedang menggali kuburan usaha sendiri.

Lalu, Harus Bagaimana?

1. Seleksi rekan bisnis seketat memilih pasangan hidup.
Bukan hanya cocok visi, tapi juga sefrekuensi dalam etos kerja.


2. Buat kesepakatan tertulis sejak awal.
Tidak harus rumit, cukup pembagian tugas yang jelas dan evaluasi berkala.


3. Berani ‘cut off’ kalau memang sudah tidak sejalan.
Jangan buang waktu dan energi untuk orang yang tidak mau bertumbuh.


4. Evaluasi terus dirimu juga.
Jangan sampai kamu menuduh orang malas, padahal sebenarnya kamu yang kurang memberi ruang komunikasi yang adil. Bisa jadi, kamu juga dianggap malas oleh rekanmu. 



Please, jangan gagal karena loyalitas buta;

Bisnis bukan tempat untuk baper. Kalau partner-mu lebih banyak tidur daripada aksi, lebih sering nyinyir daripada nyari solusi, atau lebih rajin mengeluh daripada eksekusi—saatnya kamu berjalan sendiri atau cari tim baru.

Karena dalam dunia usaha, satu orang malas bisa jadi alasan kenapa semua kerja kerasmu sia-sia.

Jangan biarkan bisnismu karam hanya karena kamu terlalu baik untuk menyelamatkan mereka yang bahkan tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari kasur empuk dan drama pribadi.



Referensi:

Halvorson, H. G. (2014). Nine Things Successful People Do Differently. Harvard Business Review.

Liden, R. C., Wayne, S. J., & Bradway, L. K. (1997). Task Interdependence as a Moderator of the Relation Between Group Performance and Satisfaction. Journal of Applied Psychology.

Duckworth, A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner.


Malam Pertama Jadi Indah dan Berkesan Karena Ini.

 


Malam Pertama Jadi Indah dan Berkesan Karena Ini 


Tidak hanya soal “yang pertama,” malam pertama romantis adalah kisah dua hati yang menemukan iramanya—lewat detail kecil dan kesiapan dari tubuh serta pikiran. Semua orang menginginkan malam pertama bisa menjadi momen yang romantis dan berkesan. Tentunya, tidak sekedar tidur bersama. Malam pertama bisa dimulai dengan indah karena persiapan  yang matang dan pengetahuan tentang keindahan seksual yang baik dan benar.

Buat kamu yang belum menikah dan ingin menikah, tema yang satu ini sangat cocok  untuk dijadikan referensi supaya malam pertama bersama pasanganmu bisa menjadi indah dan berkesan. Kalau belum menikah, jangan dipraktikan dulu, ya! Karena pasangan yang sangat kamu cintai hari ini, belum tentu memiliki keberanian untuk menjadikanmu sebagai suami/istri, atau belum tentu menjadi jodohmu meski kamu sudah menggenggamnya dengan sangat erat.

Yuk, simak tips di bawah ini supaya kamu bisa menciptakan suasana malam pertama yang mengesankan!

1. Rilekskan Pikiran & Tubuh

Rasa cemas adalah musuh utama. HelloSehat mencatat, stres dan kekhawatiran dapat membuat otot Miss V kaku dan mengganggu proses penetrasi pertama hellosehat . Sesi meditasi ringan sebelum tidur, mandi hangat, atau sekadar obrolan menenangkan sangat membantu menghilangkan gugup.

2. Rahasia Foreplay: Lebih dari Sekadar Pemanasan

Foreplay bukan sekadar aksesoris, tapi fondasi agar tubuh siap menerima. HelloSehat merekomendasikan 10–15 menit foreplay lewat ciuman, belaian, atau kata-kata manis agar pelumasan alami terjadi. Secara ilmiah, foreplay meningkatkan aliran darah ke organ genital dan membangkitkan gairah secara fisik dan emosional .

3. Pelumas: Sang Penyelamat Kenyamanan

Karena lubrikasi alami bisa kurang, pakai pelumas berbasis air. Ini membantu mengurangi gesekan dan rasa sakit saat penetrasi. HelloSehat menekankan bahan dasar air agar minim risiko iritasi, terutama untuk pengguna yang rentan infeksi.

4. Stimulasi Klitoral: Tingkatkan Kesempatan Orgasme

Penetrasi saja tidak cukup untuk banyak wanita mencapai klimaks—klitoris adalah pusat kenikmatan utama. Penelitian menunjukkan hanya 25–30 % wanita yang orgasme hanya dari penetrasi, sementara stimulasi klitoral meningkatkan kemungkinan orgasme psychologytoday.com. Pendekatan foreplay yang inklusif dan menjajal zona sensitif penting sekali.

5. Komunikasi: Kunci Keintiman & Kenyamanan

Diskusi ringan seperti “sakit di sini ya?” atau “pelan sedikit dong” membantu menciptakan rasa aman dan diterima. HelloSehat menambahkan, komunikasi membantu memperkuat ikatan emosional. Hal ini sejalan dengan penelitian pillow talk—percakapan hangat setelah intim meningkatkan ikatan dan kepuasan hubungan.

6. Menjaga Mood dan Setting

Suasana malam pertama bisa makin mengesankan dengan suasana yang mendukung—lampu redup, aroma lembut, musik tenang. Sumber seperti Bonobology menyarankan untuk menyesuaikan ekspektasi, memupuk fantasi yang realistis, dan menjaga mood agar tidak hambar bonobology.com.

7. Perhatian Setelahnya: Pelengkap Keintiman

Setelah inti, jangan lupa membangun momen pelukan, cuddling, bahkan ngobrol sambil santai. Ini memunculkan hormon oksitosin yang memperkuat koneksi emosionalHelloSehat juga menyarankan untuk minum air, buang air kecil, dan bersihkan diri supaya kesehatan tetap terjaga.


Malam pertama jadi istimewa bukan karena ritualnya, tapi karena kehadiran penuh (mental, emosional, dan fisik). Ketika dua orang saling mendukung lewat ketenangan, stimulasi lembut, komunikasi, suasana, dan perawatan, maka malam itu bukan hanya “pertama”, tapi juga momen yang terkenang abadi.



Referensi:

  • HelloSehat: tips malam pertama, pelumas, foreplay & kebersihan 

  • Psychology Today: stimulasi klitoral & orgasme 

  • Bonobology: membangun ekspektasi & mood 

  • Wikipedia Pillow talk & Foreplay 


Wednesday, June 18, 2025

Ketika Buzzer Jadi Pena: Fenomena Penulis Digital yang Menaikkan Pamor Lewat Sorak Bayaran



Ketika Buzzer Jadi Pena: Fenomena Penulis Digital yang Menaikkan Pamor Lewat Sorak Bayaran

Oleh: Rin Muna

Kita hidup di zaman di mana suara bisa dibeli dan popularitas bisa dipesan seperti fast food. Dunia penulisan pun tak luput dari arus besar ini. Di jagat novel digital—entah itu di platform seperti Fizzo, KBM App, Dreame, atau Wattpad—muncul satu fenomena baru yang membuat saya ingin angkat pena (atau tepatnya, keyboard): penulis yang menggunakan buzzer untuk mengangkat pamor karyanya.

Sebab, aku pernah menerima tawaran dari seorang admin untuk bergabung dengan buzzer penulis berinisial "E" yang juga aku kenal. Tapi aku menolaknya karena aku juga seorang penulis yang ingin mendapatkan komentar murni, tanpa embel-embel uang. 
Sudah seharusnya sastra itu membayar penulis, bukan pembaca. 

Sebelum kita menghakimi, mari kita duduk sejenak dan menyesap realitas.

 Menulis di Era Platform: Bukan Lagi Sekadar Tulisan

Dunia menulis kini sudah bukan hanya soal kualitas cerita, tapi juga soal siapa yang lebih terdengar. Semakin ramai komentar, like, dan share, maka semakin besar peluang karyamu direkomendasikan algoritma. Di sinilah buzzer masuk bermain—akun-akun (kadang palsu, kadang “teman”) yang disewa untuk membanjiri cerita dengan komentar positif, membela di forum, bahkan menyerang saingan diam-diam.

Buzzer dalam dunia politik sudah kita kenal: pembentuk opini, pengalihan isu, bahkan penyerang karakter. Tapi ketika para penulis digital mulai menyewa "pemain sorak" ini, kita harus bertanya: Apakah karya itu benar-benar disukai, atau hanya kelihatan seperti disukai?

Narasi vs Noise: Antara Karya dan Keriuhan

Menggunakan buzzer bisa jadi semacam “cetak instan” popularitas. Tapi seperti kata filsuf Jean Baudrillard, kita hidup dalam simulacra, di mana tanda dan simbol tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan pada realitas yang diciptakan. Popularitas palsu adalah simulakrum dari karya besar.

Sosiolog Jürgen Habermas pernah bilang bahwa ruang publik seharusnya menjadi arena dialog rasional. Tapi dengan masuknya buzzer ke dunia literasi, ruang diskusi itu jadi penuh bisik-bisik pesanan.

Kalau dulu karya diukur dari pengaruhnya secara substansial, sekarang kita terlalu sering membandingkan angka: berapa views, berapa bintang, berapa komentar. Padahal, “resonansi” yang sesungguhnya tidak bisa dibeli. Ia tumbuh dari pembaca yang benar-benar merasa tersentuh, yang karyamu tinggal dalam kepalanya jauh setelah selesai dibaca.

Popularitas yang Bisa Dibeli, Tapi Tidak Selalu Bertahan

Banyak penulis digital merasa tertindih oleh sistem yang kompetitif. Untuk muncul di beranda pembaca, karya mereka harus bersaing dengan ratusan tulisan setiap hari. Lalu muncullah jalan pintas: menyewa jasa buzzer, menaikkan rating, bahkan memesan “review positif.”

Saya tidak menghakimi siapa pun. Semua penulis tentu ingin dibaca. Tapi sebagai seseorang yang percaya bahwa tulisan adalah suara hati yang diurai dalam bahasa, saya selalu bertanya: Apa yang kau kejar—pujian atau pengaruh?

Jangan sampai kita membangun popularitas dari keriuhan palsu. Karena ketika pembaca sadar bahwa cerita itu naik hanya karena dibantu "sorakan", maka rasa percaya itu runtuh. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Kebenaran bukan diukur dari banyaknya pengikut, tetapi dari kualitas kebenarannya.”

Ada Jalan Lain Selain Buzzer

Menulis adalah maraton, bukan sprint. Banyak penulis yang lambat naik, tapi punya pembaca setia karena tulisannya jujur. Mereka mungkin tak punya ribuan komentar dalam semalam, tapi punya satu pembaca yang rela menangis sepanjang malam karena satu bab.

Membangun komunitas organik, membuat diskusi terbuka, menanggapi komentar dengan tulus, dan menjalin koneksi emosional dengan pembaca adalah cara membangun reputasi jangka panjang.

Bahkan stoikisme mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan: kualitas karya kita, etika kita, dan ketulusan kita dalam berkarya. Seperti yang dikatakan Epictetus, “Hanya ada satu jalan menuju kebahagiaan, yaitu berhenti khawatir pada hal-hal di luar kendalimu.

Sebagai penulis, kita punya dua pilihan: membangun istana dari batu bata kejujuran atau membangun menara dari kardus komentar palsu. Yang satu mungkin lambat, yang lain tampak megah. Tapi hanya satu yang akan tetap berdiri saat badai kritik datang.
Buzzer mungkin bisa mengguncang angka, tapi tidak bisa menyentuh hati.

Salam pena,
Rin Muna
(Penjahit kata dan perajut makna) 



Referensi:

Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1994.

Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere, 1962.

Epictetus. Enchiridion.

Ali bin Abi Thalib. Nahjul Balaghah.

Diskusi Penulis di Forum Fizzo dan Komunitas KBM App (2024–2025).

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas