Jangan Berbisnis dengan Orang Malas
Oleh: Rin Muna
Kita hidup di era yang memuja kolaborasi—semua orang ingin "grow bareng", bikin tim, buka usaha rame-rame, atau minimal patungan buat usaha kecil-kecilan. Tapi, kalau kamu sedang memilih rekan bisnis, ada satu alarm merah yang harus kamu dengarkan baik-baik, jangan pernah berbisnis dengan orang malas.
Kalau kita mau bisnis bareng, bukan sekedar membangun impian, tapi juga harus menguatkan pondasi tanggung jawab. Mimpi bisa dibagi, tapi tanggung jawab tidak selalu.
Awalnya, semuanya tampak indah. Kalian diskusi sambil ngopi, ide mengalir lancar, dan rencana sudah seperti proposal startup yang tinggal cari investor. Tapi setelah semua sepakat, satu hal mulai terasa, cuma kamu yang kerja. Sementara dia sibuk scroll TikTok, tidur siang panjang, dan menyalahkan “mood yang belum balik.”
Mereka bilang, "Nanti aku bantu."
Tapi ‘nanti’ itu ternyata tidak pernah datang.
Dan pada akhirnya, kamu yang jungkir balik, kamu yang cari vendor, kamu yang urus legalitas, bahkan kamu yang ngebersihin ruko.
Bisnis bukan hanya tentang ide, tapi eksekusi. Dan eksekusi butuh konsistensi. Sayangnya, kemalasan adalah pembunuh konsistensi yang paling jitu.
Tidak bisa dipungkiri, manusia memiliki emosi dan suasana yang pasang-surut. Tetapi dalam dunia bisnis, semua harus dikerjakan secara profesional. Semua orang punya masalahnya masing-masing, tapi bukan menjadi alasan dan membuat terus-menerus beralibi "masalahku yang paling berat".
Sebelum memulai berbisnis bersama, kamu harus bisa membaca karakter partner bisnismu. Bagaimana cara dia menghadapi masalah? Apakah lebih banyak mengeluh atau lebih banyak memberi solusi?
Ada 5 tanda yang bisa kamu rasakan ketika kamu sedang berbisnis dengan orang malas.
1. Selalu alasan, minim inisiatif.
Mereka jago bicara, tapi selalu punya dalih untuk tidak bertindak. Lagi sakit, lagi capek, lagi nggak enak hati, lagi banyak urusan keluarga, dan lain sebagainya. Pokoknya, ada saja alasan yang bisa dia ungkapkan daripada berinisiatif untuk mengatasi setiap permasalahan. Biasanya, orang yang selalu beralasan, lebih banyak menganggap semua hal sebagai masalah yang harus dihindari, bukan sebagai tantangan yang harus ditakhlukan.
2. Berorientasi hasil, bukan proses.
Maunya untung besar, tapi nggak mau belajar tentang pasar, produk, atau sistem manajemen. Orang yang seperti ini, biasanya hanya memikirkan untung-rugi saja. Tapi dia tidak peduli dengan sistem manajemen, tidak peduli dengan produk, dan target penjualan. Ketika memiliki rekan bisnis yang seperti ini, membuat kita sulit untuk berkembang karena lebih banyak tekanan dan tanggung jawab yang harus dipikul seorang diri.
3. Selalu minta “bagi tugas”, tapi yang ringan saja.
Kalau bisa, tugasnya yang tidak melelahkan. Yang ringan-ringan saja. Bahkan, tugas untuk membersihkan ruko sebisa mungkin dia hindari dengan dalih "aku sibuk banget". Padahal, laporan data penjualan tidak menunjukkan kesibukan yang dia ungkapkan.
4. Tidak mau berkembang.
Mereka menolak feedback, alergi evaluasi, dan anti upgrade skill. Biasanya, orang yang seperti ini sangat sulit diberi masukan dan membuat standar produk stagnan atau bahkan lebih kacau.
5. Ingin Menjadi Pusat Perhatian, Tapi Tidak Peduli dengan Sistem.
Mereka selalu ingin menjadi pusat perhatian. Memberitahukan pada dunia bahwa dia adalah pemilik produk yang sesungguhnya. Membuat produk baru, tetapi tidak menulaekan ilmu dan memberikan resep pada rekannya. Sehingga, operasional seolah-olah hanya bergantung dengan dia saja. Ketika dia tidak ada, operasional menjadi kacau dan penjualan produk menjadi lebih rendah dari biasanya karena banyak produk yang tidak bisa dibuat ketika mereka tidak ada.
Menurut Dr. Heidi Grant Halvorson, seorang psikolog sosial dari Columbia University, dalam artikelnya di Harvard Business Review, kemalasan bukan hanya soal kurangnya kemauan, tapi seringkali merupakan penolakan terhadap perubahan dan tanggung jawab. Orang-orang ini tidak akan tahan di dunia bisnis yang penuh tekanan dan dinamika.
Lalu, kenapa kemalasan itu menular dan merugikan?
Dalam teori psikologi sosial, social loafing menjelaskan fenomena di mana seseorang cenderung mengurangi usaha ketika bekerja dalam kelompok. Nah, ketika kamu punya partner bisnis yang malas, energi negatifnya menular. Kamu jadi frustrasi, motivasi menurun, dan akhirnya performa bisnis ikut anjlok.
Studi oleh Liden, Wayne & Bradway (1997) menemukan bahwa ketimpangan kontribusi dalam tim kerja berujung pada rasa tidak adil, konflik interpersonal, dan penurunan kualitas output.
Kamu bisa saja sabar dan loyal terhadap rekan bisnis, tapi jika kamu terus menoleransi kemalasan, pada akhirnya kamu bukan membangun bisnis, tapi sedang menggali kuburan usaha sendiri.
Lalu, Harus Bagaimana?
1. Seleksi rekan bisnis seketat memilih pasangan hidup.
Bukan hanya cocok visi, tapi juga sefrekuensi dalam etos kerja.
2. Buat kesepakatan tertulis sejak awal.
Tidak harus rumit, cukup pembagian tugas yang jelas dan evaluasi berkala.
3. Berani ‘cut off’ kalau memang sudah tidak sejalan.
Jangan buang waktu dan energi untuk orang yang tidak mau bertumbuh.
4. Evaluasi terus dirimu juga.
Jangan sampai kamu menuduh orang malas, padahal sebenarnya kamu yang kurang memberi ruang komunikasi yang adil. Bisa jadi, kamu juga dianggap malas oleh rekanmu.
Please, jangan gagal karena loyalitas buta;
Bisnis bukan tempat untuk baper. Kalau partner-mu lebih banyak tidur daripada aksi, lebih sering nyinyir daripada nyari solusi, atau lebih rajin mengeluh daripada eksekusi—saatnya kamu berjalan sendiri atau cari tim baru.
Karena dalam dunia usaha, satu orang malas bisa jadi alasan kenapa semua kerja kerasmu sia-sia.
Jangan biarkan bisnismu karam hanya karena kamu terlalu baik untuk menyelamatkan mereka yang bahkan tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari kasur empuk dan drama pribadi.
Referensi:
Halvorson, H. G. (2014). Nine Things Successful People Do Differently. Harvard Business Review.
Liden, R. C., Wayne, S. J., & Bradway, L. K. (1997). Task Interdependence as a Moderator of the Relation Between Group Performance and Satisfaction. Journal of Applied Psychology.
Duckworth, A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner.
0 komentar:
Post a Comment