Monday, November 3, 2025

Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas



Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas
Oleh: Rin Muna

Ada masa di mana aku merasa hidup ini berlari terlalu cepat. Seakan waktu memiliki sayap, dan aku hanya berusaha mengejar agar tak tertinggal. Setiap hari penuh dengan to-do list, agenda, rapat, target, dan tumpukan pekerjaan yang seolah tak pernah selesai. Dalam kesibukan itu, ada satu hal yang sering terlupa — keheningan yang menenangkan hati.

Aku pernah berpikir, produktivitas adalah segalanya. Bahwa sibuk berarti berguna, bahwa lelah berarti berharga. Tapi ternyata, di tengah hiruk-pikuk kesibukan, aku justru kehilangan sesuatu yang lebih dalam: kedamaian.

Suatu sore di taman baca kecilku, saat anak-anak mulai pulang dan suara mereka mereda, aku duduk sendiri sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. Ada desir lembut angin yang menyinggung wajah, ada aroma tanah yang baru saja disiram air. Di sanalah aku tersadar — bahwa ketenangan tidak datang dari berhentinya aktivitas, tapi dari kemampuan kita untuk tetap hening di tengah gerak yang ramai.

Dalam pandangan filsafat Islam, hati manusia adalah pusat keseimbangan. Al-Ghazali pernah berkata, “Jika hati itu baik, maka baiklah seluruh jasad.” Maka, segala kesibukan, pencapaian, dan usaha duniawi kita sebenarnya akan kehilangan makna jika hati kita terus bergejolak. Islam mengajarkan bahwa dzikir — mengingat Allah — bukan hanya aktivitas ritual, tapi juga ruang batin untuk menenangkan diri. Saat lidah berzikir, hati belajar pasrah; dan di situlah kedamaian sejati tumbuh.

Damai bukan berarti berhenti bekerja, tapi bekerja dengan niat yang lurus. Sibuk bukan berarti tersesat, asal langkah kita tetap terarah kepada tujuan yang benar. Dalam konsep ihsan, setiap aktivitas, sekecil apapun, bisa menjadi ibadah jika dilakukan dengan kesadaran bahwa Allah selalu bersama kita. Mungkin di sinilah letak rahasia ketenangan para sufi — mereka tetap bergerak, tetap berjuang, tapi hatinya tenang seperti air yang jernih.

Aku belajar, bahwa menemukan damai bukan tentang melarikan diri dari keramaian, tapi tentang menyelaraskan diri dengan irama hidup. Bahwa sesekali menatap langit, menghela napas panjang, atau hanya sekadar diam di antara tumpukan kesibukan, bukan tanda kemalasan — tapi bentuk penghormatan pada jiwa yang juga butuh istirahat.

Kini, setiap kali hari terasa padat, aku mencoba untuk berhenti sejenak. Menutup mata, mengucap Alhamdulillah, dan membiarkan hatiku berbicara. Karena sering kali, kedamaian itu sudah ada di dalam diri, hanya tertimbun oleh kebisingan dunia.

Dan pada akhirnya, aku menyadari — hidup yang sibuk tetap bisa damai, asal hati tahu ke mana ia pulang.

Mungkin kita tak bisa menghindari kesibukan, tapi kita bisa memilih bagaimana menjalaninya. Jadikan setiap langkah, setiap helaan napas, sebagai bentuk ibadah kecil yang menenangkan jiwa. Ketika hati mampu berdamai dengan waktu, dunia yang berisik pun terasa lembut. Mari belajar untuk berhenti sejenak hari ini — bukan karena kita lelah, tapi karena kita ingin kembali mengingat siapa diri kita, dan kepada siapa semua ini akan kembali.

Saturday, November 1, 2025

My Journey as an English Literature Student in a Small Village

 


My Journey as an English Literature Student in a Small Village

by Rin Muna


Dreams sometimes bloom late — just like wildflowers that wait for the right season to show their colors. My journey as an English Literature student began not in my teenage years, but at the age of thirty. It wasn't because I lacked passion or interest, but because life had a different plan for me.

Growing up in a small village, opportunities often felt far away. Education was something to be grateful for, but also something that depended on how much we could afford. For years, I carried my dream quietly — the dream of studying English, of reading Shakespeare’s words and understanding them without translation, of writing stories that could travel beyond the borders of my village.

When I finally became a student of English Literature, I felt both excitement and fear. Excitement, because it was a dream finally taking shape. Fear, because I realized how limited my environment was. I lived far from people who were fluent in English. There were no cafés filled with writers discussing novels, no clubs for English debate, and no native speakers to practice with. Most of my conversations about English happened in my own head — or sometimes, with my students.

Yes, I decided to open a small, free English class in my village. It started with only a few children, curious about the sounds of new words: apple, book, star. Their eyes would light up when they managed to say a full sentence in English. For me, it was not just about teaching — it was about keeping my own flame alive. Every lesson I gave was also a reminder for myself to never stop learning.

Sometimes, I study late at night when the village is silent. I read poetry by Emily Dickinson under a dim light, or try to translate short stories into English while sipping coffee from my own small shop, Teman Diskusi Coffee. My learning process is slow, but it is steady. Every word I understand feels like a small victory. Every essay I write reminds me that dreams do not expire with age.

My goal is simple yet big — one day, I want to publish a book written fully in English. Not because I want to prove something, but because I want to show that even from a small village, a voice can reach the world.

This journey has taught me that limitations can be powerful teachers. They push us to be creative, to find new paths where none existed before. I may not have all the resources that big-city students have, but I have determination, and that is enough to keep me going.

So, as I walk this path — as a woman, a student, a teacher, and a dreamer — I carry one belief close to my heart: it’s never too late to begin, and it’s never too small to dream big.

Thursday, October 30, 2025

Stick Nanas: Dari Dapur Mamuja untuk Rasa Manis Desa Beringin Agung




Stick Nanas: Dari Dapur Mamuja untuk Rasa Manis Desa Beringin Agung


Di sebuah sudut Desa Beringin Agung, aroma nanas yang manis pernah menjadi saksi lahirnya sebuah ide sederhana namun bernilai besar. Tahun 2019, sekelompok ibu rumah tangga yang tergabung dalam Mamuja—singkatan dari Mama Muda Samboja—memutuskan untuk memanfaatkan hasil kebun lokal yang sering kali berlimpah namun mudah busuk: nanas. Dari tangan-tangan terampil mereka, lahirlah camilan renyah bernama Stick Nanas, produk unggulan yang kini menjadi ikon kecil dari semangat perempuan desa.


Stick Nanas bukan sekadar camilan. Ia adalah kisah tentang kemandirian, kebersamaan, dan inovasi dari dapur-dapur sederhana. Proses pembuatannya pun dilakukan dengan penuh ketelitian. Nanas segar dikupas, dilumatkan, lalu diolah dengan campuran tepung dan sedikit bumbu manis gurih. Setelah melalui proses penggorengan dan pengeringan, jadilah camilan yang renyah di luar namun masih menyimpan rasa nanas yang khas di dalam. Setiap gigitan menghadirkan rasa segar tropis yang seolah membawa kita ke tengah hamparan kebun nanas di bawah matahari sore.


Bagi para ibu di Mamuja, Stick Nanas bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang peluang. Mereka belajar bersama di bawah pendampingan Rumah Literasi Kreatif (Rulika) — mulai dari teknik produksi, pengemasan, hingga cara memasarkan produk secara mandiri. Tak jarang, kegiatan mereka menjadi tempat belajar bersama anak-anak muda desa atau peserta magang yang tertarik dengan dunia wirausaha rumahan.


Dalam perjalanan usahanya, Stick Nanas juga mempertemukan para ibu Mamuja dengan banyak pihak yang peduli pada ekonomi kreatif lokal. Mereka mengikuti bazar, pameran UMKM, hingga pelatihan pengembangan produk. Semua itu dilakukan dengan semangat gotong royong — karena mereka percaya, hasil kecil dari kebersamaan akan selalu lebih berarti daripada usaha besar yang berjalan sendiri.


Kini, Stick Nanas telah menjadi oleh-oleh khas yang banyak dicari saat ada acara literasi, kunjungan komunitas, atau sekadar buah tangan dari Samboja. Kemasan yang sederhana namun menarik, isi yang gurih dan manis seimbang, membuat produk ini mudah diterima berbagai kalangan. Lebih dari itu, produk ini menjadi bukti nyata bahwa perempuan desa bisa berdaya tanpa harus meninggalkan rumah — cukup dengan mengolah potensi yang ada di sekeliling mereka.


Setiap kali seseorang membuka bungkus Stick Nanas, di sanalah tersimpan cerita: tentang tangan-tangan gigih ibu-ibu Mamuja, tentang semangat Rulika yang menyalakan api kreatif, dan tentang manisnya perjuangan kecil yang tumbuh dari tanah Desa Beringin Agung.


Dari nanas, mereka belajar arti kesabaran. Dari stik kecil yang renyah itu, mereka membangun mimpi besar — agar nama Mamuja, Rulika, dan Desa Beringin Agung selalu harum, sama manisnya dengan rasa Stick Nanas yang mereka ciptakan.


Sebuah Langkah Kecil Menuju Cahaya Literasi di Kalimantan Timur

 

Sebuah Langkah Kecil Menuju Cahaya Literasi di Kalimantan Timur

Senin, 27 Oktober 2025 menjadi hari yang tak akan mudah kulupakan. Pagi itu, aku melangkah dari Kota Tenggarong menuju Samarinda untuk menghadiri acara Gebyar Anugerah Literasi dan Talkshow di Gedung Olah Bebaya, Pendopo Lamin Etam. Sebuah kegiatan besar yang mengusung tema “Membumikan Literasi, Menumbuhkan Generasi Emas”, dihadiri oleh berbagai tokoh penting—termasuk Gubernur Kalimantan Timur dan Bunda Literasi Kaltim.

Perjalanan yang kutempuh terasa panjang, namun setiap kilometer adalah jejak semangat. Aku datang sebagai bagian dari Relima (Relawan Literasi Masyarakat) Kutai Kartanegara, membawa harapan sederhana: ingin menjadi saksi bahwa gerakan literasi di Kalimantan Timur benar-benar hidup dan dihargai.

Setibanya di Pendopo Lamin Etam, suasana terasa hangat dan penuh semangat. Para pegiat literasi dari berbagai kabupaten hadir dengan wajah berseri. Panggung acara dihiasi dengan nuansa budaya khas Kalimantan Timur, lengkap dengan tarian selamat datang dari siswa SMP Negeri 3 Tenggarong yang menambah suasana megah dan membanggakan.

Bagian paling mengharukan dalam acara ini adalah penganugerahan penghargaan peningkatan kepustakawanan dan literasi masyarakat, yang meliputi tujuh kategori lomba—mulai dari Lomba Perpustakaan SD, SMP, SMA/SMK, Perpustakaan Desa, Lomba Resensi, Mewarnai, hingga Lomba Puisi. Satu per satu nama penerima penghargaan dipanggil, disambut tepuk tangan hangat dari seluruh hadirin. Di antara mereka ada pustakawan, siswa, guru, dan pegiat literasi yang telah berjuang dalam diam untuk menyalakan api baca di lingkungannya masing-masing.

Melihat wajah-wajah penuh haru di atas panggung membuatku teringat pada semua perjuangan kecil di daerah—di rumah baca sederhana, di taman bacaan swadaya, di desa-desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Ternyata, perjuangan mereka tidak sia-sia. Pemerintah Provinsi Kaltim benar-benar memberikan ruang dan apresiasi bagi setiap insan yang mencintai dunia literasi.


Momen paling berkesan adalah ketika aku berkesempatan berjabat tangan langsung dengan Bapak Gubernur Kalimantan Timur. Rasanya luar biasa—campuran antara haru, bangga, dan syukur. Dalam genggaman singkat itu, aku seperti menemukan kembali makna perjuangan kecil yang selama ini kulakukan di komunitas literasi. Bahwa sekecil apa pun upaya kita, ketika dilakukan dengan tulus, akan selalu memiliki arti di mata orang lain.

Aku juga merasa bahagia bisa menyapa Bunda Literasi Kaltim, sosok yang begitu anggun dalam balutan pakaian yang khas dan nyentrik. Ciri khas beliau memang seperti itu dan aku sangat suka melihatnya karena beliau sangat fashionable dan selalu tampil bak ratu kerajaan.

Meski harus mengorbankan acara penutupan pelatihan PKT Jospol di SMK Negeri 2 Tenggarong, aku tidak menyesal sedikit pun. Sebab hari itu aku belajar bahwa perjuangan literasi bukan hanya tentang hadir di tempat yang mudah, tapi tentang berani menempuh jarak demi menyampaikan pesan kebaikan.

Sore harinya aku kembali ke Samboja dengan rasa lelah yang indah. Di jalan, angin sore menampar lembut wajahku, seolah berbisik, “Langkahmu hari ini bukan akhir, tapi awal dari perjalanan panjang menuju terang.”

Dan aku tahu, perjuangan ini belum selesai—karena setiap pertemuan, setiap jabatan tangan, dan setiap cerita yang dibawa pulang… adalah bagian dari sejarah kecil gerakan literasi Kalimantan Timur.








Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Oleh: Rin Muna

 




Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah
Oleh: Rin Muna


Kutai Kartanegara, 23 Oktober 2025



Perjalanan kali ini terasa seperti menulis bab baru dalam buku hidupku—penuh debu jalanan, tawa yang menular, dan rasa syukur yang hangat. Pukul lima sore, langit di Kelurahan Maluhu, Tenggarong, mulai menua. Aku baru saja tiba di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, tempat yang sederhana namun berkilau oleh semangat ilmu dan kebersihan yang nyaris menenangkan hati. Tapi sebelum sampai ke sana, perjalanan panjang dari pagi masih membekas di badan.

Pagi itu, aku berangkat lebih awal karena harus mengisi sosialisasi di Perpustakaan Gema Loa Duri Ilir. Selesai kegiatan, aku menunggu waktu makan siang sambil menanti rombongan anggota UMKM Mamuja (Mama Muda Samboja)—Rety, Anis, Eni, dan Alfia—yang masih menempuh perjalanan tiga jam dari Samboja menuju Tenggarong. Mereka semua naik motor, dengan semangat yang tak kalah dari embusan angin jalanan. Aku sempat menjemput mereka di sekitar Desa Purwajaya, lalu kami bersama-sama melanjutkan perjalanan.

Tentu, hidup tak pernah lurus seperti jalan tol—kami sempat mampir dulu ke Desa Rapak Lambur untuk menyimpan barang-barang. Barulah selepas itu, kami melaju menuju Perpustakaan Musholla Al-Fattah.



Saat tiba menjelang magrib, suasana musholla dan perpustakaan itu benar-benar membuat kami terdiam. Lantai yang bersih berkilau, rak-rak buku tertata rapi, dan jamaah yang ramai datang bersahutan dengan azan magrib. Ada kesederhanaan yang menenangkan di sana—seolah setiap halaman buku dan setiap sajadah menyimpan doa tentang keberkahan ilmu.

Kami disambut hangat oleh Bapak Muhammad, pengelola perpustakaan yang begitu ramah dan rendah hati. Beliau bercerita banyak tentang bagaimana musholla ini bukan hanya tempat beribadah, tapi juga tempat menumbuhkan minat baca anak-anak di sekitar. “Ilmu dan iman harus berjalan seiring,” katanya, dengan senyum yang menular.
Pak Muhammad langsung mengajak kami berkeliling. Di pojok kiri bangunan musholla, terdapat Ronda Baca yang tempatnya sangat mewah dan estetik meski ukurannya kecil. Dinding pembatas musholla dipenuhi dengan literasi yang menggugah jiwa. Terdapat tempat bersantai/berdiskusi yang cozy. 
Di belakang bangunan musholla, terdapat ruang mungil berukuran sekitar 2x2meter yang dijadikan sebagai ruang penyimpanan buku-buku. Tepat di sebelah ruangan itu adalah tempat berwudhu untuk pria dan wanita. Tempat wudhu wanita sendiri dibatasi oleh tirai. Sehingga, meski ruangan mungil, tapi para wanita tetap memiliki privasi untuk tidak memperlihatkan aurat mereka pada lawan jenis. 

Bangunan itu terlihat sangat sederhana, tapi terkesan mewah dan rapi. 
Pak Muhammad mengajak kami menaiki tangga yang berada di sisi kanan bangunan musholla. Ah, ternyata itu adalah ruang baca dan ruang belajar untuk anak-anak. Tidak hanya sebagai tempat untuk membaca buku, ruangan itu juga dijadikan pusat belajar untuk mengaji, kelas bahasa Inggris, dll. 


Tak lama, azan berkumandang, dan kami ikut shalat berjamaah. Ada perasaan tenteram yang sulit dijelaskan—mungkin karena di tempat itu, antara buku dan ibadah seolah berdialog dalam diam. Setelah shalat, kami berbincang panjang dengan Bapak Muhammad tentang berbagai kegiatan literasi di Maluhu. Dari obrolan itu, aku belajar satu hal: perpustakaan kecil bisa memiliki jiwa sebesar dunia, asalkan dikelola dengan cinta dan ketulusan.

Malamnya, kami menginap di rumah Ibu Siti, kakak yang sekaligus menjadi teman perjalanan baru kami. Rumahnya sederhana tapi penuh kehangatan. Kami menutup hari dengan obrolan ringan, tawa, dan rencana kecil untuk berkolaborasi suatu saat nanti.

Perjalanan panjang ini membuatku semakin yakin bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi tentang menghidupkan nilai-nilai—tentang bagaimana sebuah musholla bisa menjadi taman ilmu, dan bagaimana komunitas kecil bisa melahirkan inspirasi besar.

Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah guru.” Maka, hari itu aku merasa telah belajar banyak dari jalan, dari teman seperjalanan, dari buku-buku di rak Musholla Al-Fattah, dan dari keikhlasan orang-orang yang menjaganya.

Perjalanan ini mungkin sederhana, tapi di dalamnya ada makna yang tak sederhana—tentang persaudaraan, perjuangan, dan keyakinan bahwa cahaya literasi bisa tumbuh di mana pun, bahkan di antara sajadah dan rak buku.




Referensi:

1. Ki Hadjar Dewantara. (1935). Pendidikan: Pengaruhnya bagi Kemajuan Bangsa. Taman Siswa Press.


2. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Gerakan Literasi Nasional: Panduan Implementasi di Komunitas. Jakarta.


3. Data lapangan pribadi penulis dalam kunjungan ke Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Kelurahan Maluhu, Tenggarong (Oktober 2025).




Kita Tidak Perlu Jadi Hebat

 

KITA TIDAK PERLU JADI HEBAT — HANYA PERLU BERGERAK LEBIH CEPAT DARI YANG LAIN UNTUK MENGAMBIL KESEMPATAN
Oleh: Rin Muna

Ada kalanya hidup ini terasa seperti perlombaan maraton tanpa garis akhir. Semua orang tampak berlari, sebagian tersenyum karena sudah di depan, sebagian lagi kelelahan tapi tetap memaksa kaki melangkah. Dalam perjalanan seperti itu, sering kali kita merasa kecil — tidak cukup hebat, tidak cukup pandai, tidak cukup beruntung. Tapi siapa bilang kita harus jadi yang paling hebat untuk bisa sampai? Kadang, kita hanya perlu lebih cepat bergerak ketika kesempatan lewat di depan mata.

Aku percaya, banyak orang gagal bukan karena mereka tidak punya kemampuan, tapi karena terlalu lama berpikir, terlalu sibuk menimbang, hingga kesempatan yang semestinya jadi milik mereka justru diambil orang lain yang lebih berani. Dalam dunia nyata, kecepatan bukan sekadar tentang langkah kaki, tapi tentang kepekaan hati — kapan harus mulai, kapan harus berhenti, dan kapan harus berani melompat.


Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, pernah menulis tentang praxis — tindakan yang lahir dari kebijaksanaan praktis (phronesis). Artinya, pengetahuan saja tidak cukup; ia harus diikuti oleh tindakan nyata. Dalam konteks modern, banyak orang berhenti di fase berpikir, menganalisis, dan merancang strategi sempurna, padahal dunia terus berubah tanpa menunggu.

Di sini, keberanian mengambil langkah menjadi bentuk kebijaksanaan itu sendiri. Kierkegaard, filsuf eksistensialis, bahkan menyebut bahwa lompatan iman (leap of faith) diperlukan untuk menembus batas logika dan rasa takut. Karena sering kali, kesempatan tidak datang dua kali — dan yang menentukan bukan siapa paling pintar, tapi siapa paling siap saat momen itu tiba.

Maka, tak perlu menunggu jadi hebat dulu untuk memulai. Justru, dengan memulai lebih dulu, kita akan tumbuh menjadi hebat. Seperti benih kecil yang tak menunggu menjadi pohon sebelum ditanam — ia menanam dulu, baru tumbuh.






Dalam Islam, konsep bergerak cepat di jalan kebaikan disebut fastabiqul khairat — “berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. Al-Baqarah: 148). Ayat ini bukan hanya perintah untuk berbuat baik, tapi juga seruan agar jangan menunda. Sebab, kebaikan yang ditunda bisa kehilangan maknanya.

Rasulullah SAW juga bersabda:
 “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, sehatmu sebelum datang sakitmu, kayamu sebelum datang miskinmu, waktu luangmu sebelum datang sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim)



Hadis ini sejatinya mengajarkan urgensi gerak cepat dalam kebaikan dan kesempatan. Hidup ini sementara, dan waktu adalah sumber daya paling mahal yang tidak bisa dibeli kembali. Maka, setiap detik yang diisi dengan langkah berarti adalah bentuk kemenangan kecil dalam perjalanan panjang menuju makna hidup.



Kita sering berpikir bahwa dunia akan memberi ruang bagi yang paling berbakat. Padahal kenyataannya, dunia lebih menghargai yang berani. Orang hebat memang dikagumi, tapi orang yang bergeraklah yang mengubah keadaan.

Coba lihat di sekeliling — banyak orang sederhana yang sukses bukan karena mereka lebih pintar, tapi karena mereka tidak takut mencoba lebih dulu. Mereka menjemput peluang bahkan ketika belum siap sepenuhnya. Dan sering kali, kesuksesan datang bukan dari kesiapan penuh, melainkan dari langkah awal yang berani.

Dalam bahasa sederhana: kadang kita hanya perlu lebih dulu satu langkah.




Gerak cepat bukan berarti terburu-buru. Ini soal kesadaran dan ketegasan mengambil keputusan. Dalam filsafat Timur, terutama dalam ajaran Lao Tzu, ada keseimbangan antara wu wei — bertindak tanpa paksaan — dan momentum. Artinya, bergerak dengan kesadaran penuh, tahu kapan waktu yang tepat, tapi tidak menunggu terlalu lama hingga kehilangan kesempatan.

Begitu pula dalam Islam, ada istilah ijtihad — usaha sungguh-sungguh untuk mencari solusi terbaik. Ijtihad adalah bentuk gerak intelektual dan spiritual. Jadi, bergerak cepat tidak berarti tanpa pikir, melainkan berpikir secukupnya dan bertindak seperlunya.



Kita lahir dalam gerak — detak jantung, tarikan napas, bahkan waktu yang terus berjalan. Maka, diam terlalu lama adalah bentuk kemunduran. Tidak bergerak berarti menyerahkan diri pada stagnasi.

Ketika Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11),
ayat ini bukan sekadar motivasi spiritual, melainkan prinsip perubahan. Tidak perlu jadi hebat, cukup mau bergerak lebih dulu — karena perubahan tidak lahir dari kehebatan, tapi dari kemauan.



Aku pernah mendengar seorang sahabat berkata, “Aku bukan orang paling pintar di ruangan ini, tapi aku ingin jadi orang pertama yang berani mencoba.” Kalimat itu sederhana tapi kuat. Karena pada akhirnya, kehidupan ini bukan tentang siapa yang paling tahu, tapi siapa yang paling mau.

Kita tidak perlu jadi hebat untuk memulai sesuatu. Tapi kita perlu memulai agar suatu hari bisa jadi hebat. Karena kesempatan sering kali hanya menampakkan diri pada mereka yang sudah bersiap — dan bersiap itu dimulai dengan langkah kecil hari ini.

Maka, jangan tunggu sampai sempurna untuk melangkah. Dunia terlalu cepat berubah untuk menunggu seseorang yang masih sibuk merasa belum siap.

Bergeraklah.
Sekarang juga.
Sebelum kesempatan menutup pintunya.


Wednesday, October 29, 2025

PGE Bukukan Pendapatan US$318,86 Juta di Kuartal III 2025, Dorong Transisi Energi dan Stabilitas Ekonomi Hijau Nasional

 


PGE Bukukan Pendapatan US$318,86 Juta di Kuartal III 2025, Dorong Transisi Energi dan Stabilitas Ekonomi Hijau Nasional

Jakarta, 29 Oktober 2025 — PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO) mencatat kinerja keuangan impresif hingga kuartal III tahun 2025 dengan pendapatan mencapai US$318,86 juta, melampaui target yang ditetapkan sebesar US$314,30 juta. Pendapatan ini naik 4,20% year-on-year (YoY) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$306,02 juta. 

Peningkatan pendapatan tersebut didorong oleh beroperasinya Lumut Balai Unit 2 dengan kapasitas 55 megawatt (MW) sejak Juni 2025. Keberhasilan ini memperkuat posisi PGE sebagai pemain utama dalam sektor energi terbarukan nasional, sekaligus mendukung agenda pemerintah untuk mencapai swasembada energi dan transisi menuju energi bersih.

Dari laporan keuangan konsolidasi per 30 September 2025, PGE juga membukukan laba bersih US$104,26 juta, EBITDA US$248,97 juta, serta total aset US$2,96 miliar. Aset lancar meningkat menjadi US$831,78 juta dari posisi Desember 2024 sebesar US$828,56 juta, mencerminkan pertumbuhan bisnis yang sehat dan struktur keuangan yang solid.

Direktur Keuangan PGE, Yurizki Rio, menegaskan bahwa hasil positif ini menjadi bukti kemampuan perseroan mempertahankan pertumbuhan berkelanjutan. “Kami berkomitmen memberikan nilai tambah bagi pemegang saham sekaligus mempercepat transisi nasional menuju energi bersih,” ujarnya.

Sementara Direktur Operasi Ahmad Yani menambahkan bahwa strategi peningkatan kapasitas melalui proyek-proyek strategis, termasuk Lumut Balai Unit 2, telah menunjukkan hasil nyata dalam memperkuat portofolio panas bumi nasional.

Langkah Menuju Swasembada Energi dan Dampak Ekonomi Nasional

Direktur Utama PGE, Julfi Hadi, menargetkan kapasitas terpasang 1 gigawatt (GW) yang dikelola secara mandiri dalam 2–3 tahun ke depan. PGE juga berambisi mencapai 1,8 GW pada 2033 dan mengembangkan potensi panas bumi hingga 3 GW, sejalan dengan program Net Zero Emission 2060 pemerintah Indonesia.

Selain mengelola 727 MW dari enam wilayah operasi, PGE sedang menggarap proyek Hululais Unit 1 & 2 (110 MW), proyek co-generation 230 MW, serta eksplorasi di WKP Gunung Tiga yang telah diresmikan oleh Presiden Prabowo pada Juni 2025.

Lebih jauh, PGE tengah memperluas pengembangan energi hijau melalui Pilot Project Green Hydrogen Ulubelu, serta memetakan inisiatif hilirisasi green ammonia dan green methanol, sebagai bagian dari solusi energi rendah emisi masa depan

Pertumbuhan PGE memiliki korelasi erat dengan arah pembangunan ekonomi Indonesia yang berorientasi pada energi hijau dan ketahanan ekonomi jangka panjang.

Menurut laporan International Renewable Energy Agency (IRENA, 2024), setiap investasi US$1 juta di sektor energi terbarukan dapat menciptakan 7,5 hingga 15 lapangan kerja baru di rantai pasok energi hijau. Dengan peningkatan pendapatan dan ekspansi proyek PGE, kontribusi terhadap lapangan kerja di sektor energi, konstruksi, dan teknologi berpotensi signifikan.

Selain itu, pengembangan panas bumi yang dikelola PGE—yang menyumbang sekitar 70% kapasitas panas bumi nasional—menjadi pilar penting dalam mengurangi impor bahan bakar fosil, memperkuat neraca perdagangan, dan menstabilkan kurs rupiah melalui pengurangan defisit energi.

Dari sisi fiskal, sektor energi terbarukan juga meningkatkan penerimaan pajak korporasi dan memperluas basis pajak daerah di wilayah penghasil energi. Hal ini sejalan dengan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM, 2025) yang menyebutkan bahwa setiap tambahan 100 MW energi panas bumi dapat menghemat hingga US$40 juta per tahun dari biaya impor bahan bakar.

Dalam konteks makroekonomi, keberhasilan PGE juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat investasi energi hijau di Asia Tenggara, yang berpotensi menarik modal asing melalui skema green financing dan carbon credit trading.

Kinerja cemerlang PGE hingga kuartal III 2025 bukan hanya menegaskan kekuatan finansial perusahaan, tetapi juga menandai babak baru dalam transformasi ekonomi Indonesia menuju kemandirian energi dan ekonomi rendah karbon. Dengan ekspansi proyek panas bumi, pengembangan green hydrogen, dan hilirisasi energi hijau, PGE berperan penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan serta memperkuat ketahanan energi nasional di masa depan.


Referensi:

  • Siaran Pers PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, 29 Oktober 2025. 

  • Kementerian ESDM RI. (2025). Laporan Tahunan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi.

  • International Renewable Energy Agency (IRENA). (2024). Global Renewables Outlook: Energy Transformation 2050.

  • Bank Indonesia. (2025). Outlook Ekonomi Hijau Indonesia 2025.

Tuesday, October 28, 2025

DBS Foundation & Dicoding Siap Cetak 70.000 Talenta Digital Muda Indonesia Lewat Coding Camp 2026

 


DBS Foundation & Dicoding Siap Cetak 70.000 Talenta Digital Muda Indonesia Lewat Coding Camp 2026

Investasi pada SDM Digital, Jalan Menuju Ekonomi Indonesia yang Tangguh dan Berdaya Saing Global

Jakarta, 28 Oktober 2025 — Dalam semangat Hari Sumpah Pemuda, DBS Foundation bersama Dicoding Indonesia kembali meluncurkan program Coding Camp 2026 powered by DBS Foundation. Program ini menargetkan 70.000 peserta dari seluruh Indonesia, dengan tiga fokus pelatihan utama: Artificial Intelligence (AI), Data Science, dan Full Stack Web Development.

Inisiatif yang telah memasuki tahun keempat ini menggandeng 10 universitas ternama di Indonesia — mulai dari Universitas Gadjah Mada hingga Institut Teknologi Del — untuk memperluas dampak dan menjangkau lebih banyak generasi muda. Melalui kolaborasi ini, pelajar vokasi, mahasiswa, perempuan, dan penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk mengasah keterampilan digital mereka.

“Program ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan digital siswa SMK dan mendukung pembelajaran AI serta coding yang menjadi prioritas saat ini,” ujar Tatang Muttaqin, Dirjen Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Layanan Khusus (PKPLK) Kemendikdasmen RI.

Sementara itu, Mona Monika, Head of Group Strategic Marketing and Communications PT Bank DBS Indonesia, menegaskan bahwa program ini merupakan wujud nyata visi DBS Foundation melalui pilar Impact Beyond Banking.

“Kami percaya inklusi digital adalah kunci memperluas kesejahteraan dan peluang ekonomi bagi semua kalangan,” ujarnya.

💻 Coding Camp 2026: Membuka Akses dan Menciptakan Dampak Nyata

Pendaftaran program dibuka mulai 21 Oktober 2025 hingga 15 Januari 2026, menyasar mahasiswa, pelajar vokasi, hingga kelompok marjinal. Para peserta akan menjalani pelatihan terstruktur selama 900 jam (setara satu semester) dengan metode project-based learning.

Selain memperkuat kemampuan teknis di bidang AI, Data Science, dan Web Development, peserta juga mendapat pelatihan bahasa Inggris dan literasi keuangan, agar siap bersaing di pasar kerja global.

CEO Dicoding, Narenda Wicaksono, menambahkan,

“Kami ingin mencetak talenta digital yang kreatif, kolaboratif, dan solutif. Sejauh ini lebih dari 400 karya digital lahir dari program ini, membuktikan bahwa anak muda Indonesia mampu menciptakan solusi bagi masyarakat.”

Sejak diluncurkan pada 2023, Coding Camp powered by DBS Foundation telah menjangkau 177.000 peserta, termasuk 45.609 perempuan, 28.112 masyarakat marginal, 1.178 penyandang disabilitas, dan 7.526 tenaga pendidik.


 Investasi SDM Digital untuk Indonesia Emas 2045

Transformasi digital Indonesia kini bergerak cepat. Menurut laporan World Economic Forum (WEF, 2025), keterampilan di bidang AI dan analisis data menjadi kompetensi paling dibutuhkan di masa depan. Sementara itu, Peta Jalan Talenta Informatika Indonesia 2025 menunjukkan bahwa negeri ini masih kekurangan 23 juta tenaga kerja digital untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.

Dengan latar ini, program Coding Camp menjadi lebih dari sekadar pelatihan—ia adalah investasi jangka panjang dalam perekonomian nasional.
Beberapa korelasi pentingnya antara lain:

  1. Menopang pertumbuhan ekonomi digital nasional.
    Menurut Google, Temasek, dan Bain (2024), nilai ekonomi digital Indonesia telah mencapai US$90 miliar dan berpotensi menembus US$600 miliar pada 2030. Untuk menjaga momentum ini, pasokan talenta digital menjadi faktor kunci.

  2. Mendorong inklusi ekonomi dan pemerataan kesempatan kerja.
    Dengan menjangkau perempuan dan kelompok disabilitas, Coding Camp membantu membuka akses ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan — sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

  3. Mengurangi ketimpangan wilayah digital.
    Melalui kolaborasi lintas universitas dan platform daring Dicoding, pelatihan ini memperluas akses hingga daerah-daerah nonmetropolitan, membantu daerah tertinggal ikut menikmati peluang ekonomi digital.

  4. Meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di tingkat global.
    Talenta muda yang menguasai teknologi berbasis AI dan data sains akan menjadi tulang punggung produktivitas nasional, memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat ekonomi kreatif dan teknologi di Asia Tenggara.

🌏 Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Digital: Membangun Indonesia Tangguh dan Berdaya Saing

Di era ketika teknologi menjadi penggerak utama ekonomi, Coding Camp 2026 menjadi simbol semangat gotong royong digital Indonesia — semangat untuk belajar, berbagi, dan tumbuh bersama.
Kolaborasi antara DBS Foundation, Dicoding, dan dunia pendidikan bukan sekadar proyek sosial, melainkan pondasi ekonomi masa depan.

Seperti semangat para pemuda 1928 yang bersumpah untuk mempersatukan bangsa, pemuda masa kini memegang “sumpah digital” — untuk membangun negeri melalui keterampilan, inovasi, dan kolaborasi teknologi.


Referensi:

  • Siaran Pers: DBS Foundation & Dicoding Indonesia, 28 Oktober 2025.

  • World Economic Forum. (2025). Future of Jobs Report.

  • Kementerian Kominfo. (2025). Peta Jalan Talenta Informatika Indonesia 2025.

  • Google, Temasek, Bain & Co. (2024). e-Conomy SEA Report.

  • Bank Indonesia. (2025). Outlook Ekonomi Digital Indonesia 2025.



🖋️ Ditulis oleh Rin Muna
Penulis, pegiat literasi, dan pemerhati ekonomi kreatif.
Untuk artikel inspiratif lainnya, kunjungi: www.rinmuna.com

Saturday, October 25, 2025

MOTION: Ketika Gaya Hidup dan Ekonomi Bergerak Bersama di Jalan Raya

 


MOTION: Ketika Gaya Hidup dan Ekonomi Bergerak Bersama di Jalan Raya

Refleksi atas Motoplex in Action 2025 dan Semangat Mobilitas Ekonomi Baru Indonesia

Oleh Rin Muna | www.rinmuna.com


Ada sesuatu yang magis dari suara mesin yang menyala di pagi hari — bunyinya seperti irama perjalanan, memanggil orang untuk bergerak. Di tengah hiruk pikuk kota dan derasnya arus modernitas, roda dua selalu punya cerita tentang kebebasan, solidaritas, dan gaya hidup.

Pada 25 Oktober 2025, PT Piaggio Indonesia kembali menggelar MOTION: Motoplex in Action, bukan hanya di satu kota, tetapi sekaligus di Mataram, Samarinda, dan Makassar. Tiga kota yang mewakili denyut energi Indonesia Timur dan Tengah, di mana semangat otomotif, kreativitas, dan ekonomi lokal bertemu dalam satu panggung yang disebut mototainment — perpaduan antara motor, hiburan, dan gaya hidup.

Dengan konsep 3E (Experience, Entertainment, Empowerment), acara ini mengajak komunitas untuk lebih dari sekadar berkendara. Ada city ride yang menyatukan penggemar motor Italia dari berbagai kalangan, coaching clinic tentang perawatan dan gaya berkendara, hingga kolaborasi dengan brand lokal yang memberi sentuhan kreatif dan membangkitkan kebanggaan akan karya anak negeri.

Dari Jalan Raya ke Panggung Ekonomi Rakyat

Sejarah panjang Indonesia mencatat, sejak masa kolonial hingga awal kemerdekaan, motor adalah simbol mobilitas sosial — alat bagi rakyat untuk berpindah, berdagang, dan bekerja. Ketika ekonomi nasional mulai tumbuh di era 1970-an, motor menjadi kendaraan transformatif: murah, efisien, dan dekat dengan kehidupan masyarakat kecil.

Kini, motor bukan sekadar alat transportasi, tetapi telah berevolusi menjadi bagian dari gaya hidup, ekspresi diri, bahkan instrumen ekonomi kreatif. Acara seperti MOTION: Motoplex in Action tidak hanya menampilkan keindahan desain Italia dan adrenalin berkendara, tetapi juga menggambarkan ekonomi baru yang berpusat pada pengalaman (experience economy) — ekonomi yang tumbuh dari nilai emosional, interaksi sosial, dan kebersamaan komunitas.

Kolaborasi antara Piaggio Indonesia dan brand-brand lokal dalam MOTION juga mencerminkan pergeseran besar dalam paradigma ekonomi Indonesia: dari sekadar konsumsi menjadi ko-kreasi, dari industri berat menuju ekonomi kreatif berbasis komunitas.


🏍️ Mototainment dan Kebangkitan Ekonomi Daerah

Kehadiran MOTION di tiga kota — Mataram, Samarinda, dan Makassar — tidaklah kebetulan. Ketiganya adalah kota-kota yang menjadi poros ekonomi baru di luar Jawa. Di Samarinda, geliat industri UMKM dan pariwisata mulai bersanding dengan semangat digitalisasi. Di Mataram, kreativitas lokal berkembang pesat seiring tumbuhnya sektor pariwisata. Dan di Makassar, jaringan ekonomi maritim dan komunitas otomotifnya saling menguatkan.

Event otomotif yang dikemas dengan pendekatan gaya hidup seperti MOTION menjadi bentuk stimulus ekonomi mikro — menggerakkan sektor kuliner, fashion, dan pariwisata lokal. Ia menciptakan multiplier effect yang tidak selalu tercatat di statistik nasional, tapi nyata terasa di lapangan: hotel yang penuh, pedagang kecil yang laris, hingga seniman lokal yang mendapat ruang tampil.


💫 Membaca Arah Ekonomi Indonesia: Dari Konsumsi ke Koneksi

Jika kita melihat perjalanan ekonomi Indonesia dari masa lalu, pertumbuhan sering kali digerakkan oleh konsumsi — belanja besar-besaran dan pembangunan infrastruktur. Tapi masa depan menuntut sesuatu yang lebih: ekonomi berbasis hubungan (connection economy).

MOTION hadir sebagai cermin bahwa masyarakat kini mencari makna dalam aktivitas ekonomi mereka. Orang tak hanya ingin membeli, tapi ingin merasa menjadi bagian dari sesuatu. Inilah alasan mengapa community-based brand experience seperti yang dibangun Piaggio lewat Motoplex begitu kuat dampaknya — ia membangun emosi dan loyalitas, bukan sekadar transaksi.

Seperti halnya sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang kini berkontribusi signifikan terhadap PDB nasional, kegiatan berbasis gaya hidup dan komunitas otomotif dapat menjadi motor penggerak ekonomi daerah. Dari bengkel kecil hingga industri merchandise lokal, semua mendapat percikan energi dari event seperti MOTION.


🕊️ Ketika Mesin dan Manusia Bergerak Bersama

Ada filosofi indah di balik suara mesin motor — ia tak akan berjalan tanpa keseimbangan. Begitu pula dengan ekonomi: ia tak bisa tumbuh hanya dengan kecepatan, tapi juga membutuhkan harmoni antara inovasi dan nilai kemanusiaan.

Apa yang dilakukan Piaggio Indonesia lewat MOTION adalah bentuk nyata dari keseimbangan itu. Sebuah ruang di mana mobilitas bertemu kreativitas, dan gaya hidup bertemu keberlanjutan ekonomi.

Jika dulu motor membawa rakyat Indonesia menuju pasar dan pabrik, kini motor membawa kita ke arah baru: menuju ruang sosial yang lebih inklusif, di mana ekonomi bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang rasa, identitas, dan kebersamaan.

Dan di setiap deru mesin Vespa yang melintas di sore hari, kita seolah mendengar bisikan masa depan: bahwa roda ekonomi Indonesia akan terus berputar, selama manusia masih mau bergerak — bersama, berkreasi, dan berbagi.


📚 Daftar Pustaka

  1. PT Piaggio Indonesia. (2025). Informasi Media – MOTION: Motoplex in Action Hadir di Tiga Kota Sekaligus! Nikmati Keseruan Otomotif dan Gaya Hidup Buat Weekend Kamu Lebih Seru. Jakarta: PT Piaggio Indonesia.

  2. Badan Pusat Statistik. (2024). Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia 2015–2024.

  3. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2025). Laporan Perkembangan Ekonomi Kreatif Nasional.

  4. Bank Indonesia. (2025). Tren Ekonomi Digital dan Konsumsi Domestik di Indonesia.

  5. Nugroho, A. (2023). Ekonomi Pengalaman dan Budaya Konsumsi di Era Digital. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Friday, October 24, 2025

Menata Ulang Makna Kemajuan: Ketika Keberlanjutan Menjadi Arah Baru Perekonomian Dunia

 


Menata Ulang Makna Kemajuan: Ketika Keberlanjutan Menjadi Arah Baru Perekonomian Dunia

Refleksi dari Lima Tren Pembiayaan Berkelanjutan yang Diumumkan Bank DBS Indonesia

Oleh Rin Muna | www.rinmuna.com


Pernahkah kita merenung bahwa di balik setiap berita tentang banjir, kekeringan, dan krisis pangan, tersimpan pesan yang lebih dalam: bumi sedang menagih tanggung jawab kita?
Kini, keberlanjutan bukan lagi wacana pinggiran, melainkan arah baru yang menentukan apakah perekonomian kita akan tumbuh dengan kokoh — atau rapuh di tengah guncangan iklim dan ketidakpastian global.

Dalam forum yang digelar pada 24 Oktober 2025, Helge Muenkel, Chief Sustainability Officer DBS Bank, mengungkapkan lima tren utama yang akan membentuk masa depan pembiayaan berkelanjutan (sustainable financing) dunia. Ia menegaskan bahwa sektor keuangan memiliki peran strategis dalam mempercepat transformasi menuju ekonomi rendah karbon, di mana keberhasilan tidak lagi diukur dari laba semata, tetapi juga dari dampak sosial dan ekologis yang diciptakan.

Dari Fosil ke Masa Depan: Transition Finance sebagai Jembatan Harapan

Indonesia telah lama hidup dari sumber daya alamnya — dari batubara, migas, hingga hasil hutan. Perekonomian negeri ini tumbuh pesat pada dekade 1970–1990-an berkat eksploitasi energi fosil, namun di balik itu muncul ketergantungan yang panjang terhadap sektor yang lambat bertransformasi.

Kini, konsep transition finance hadir sebagai jembatan di antara dua dunia: masa lalu yang berbasis eksploitasi dan masa depan yang menuntut keberlanjutan. Pendekatan ini mendukung sektor-sektor padat karbon untuk secara bertahap beralih menuju operasi yang lebih ramah lingkungan tanpa mengorbankan pertumbuhan sosial-ekonomi.

Bagi Indonesia, inilah fase penting menuju keseimbangan — bagaimana menurunkan emisi sambil tetap menjaga denyut ekonomi rakyat. Model pembiayaan transisi seperti ini membuka ruang bagi inovasi lokal: teknologi bersih, efisiensi energi, hingga wirausaha hijau yang tumbuh di daerah.

Inovasi Keuangan: Dari Karbon ke Nilai

Krisis iklim menuntut bukan hanya teknologi baru, tetapi juga cara berpikir baru tentang nilai ekonomi. Sistem carbon credit dan munculnya transition credit kini menjadi instrumen penting dalam mengalirkan modal ke proyek-proyek hijau yang nyata.

Langkah DBS Bank melalui pendirian Climate Impact X (CIX) — bursa karbon global bersama Temasek dan Singapore Exchange — merupakan bukti bahwa dunia keuangan bisa menjadi motor perubahan, bukan sekadar penonton. Di tangan lembaga keuangan progresif, pembiayaan bukan lagi sekadar menghitung angka, tapi juga menakar dampak bagi bumi.

Keberlanjutan Adalah Bisnis yang Baik

Di masa lalu, banyak yang mengira bahwa tanggung jawab lingkungan berarti menurunkan keuntungan. Namun data dan kenyataan kini berkata lain. Perusahaan yang menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) terbukti lebih tangguh menghadapi gejolak ekonomi global.

Helge Muenkel menyebut bahwa keberlanjutan bukan lagi “biaya tambahan”, tetapi investasi masa depan. Dalam bahasa sederhana: kita tidak kehilangan apa-apa dengan menjaga bumi, justru kita kehilangan segalanya jika mengabaikannya.

Melindungi Alam = Melindungi Perekonomian

Indonesia, dengan 20 persen hutan mangrove dunia dan keanekaragaman hayati luar biasa, memegang kunci penting dalam Nature-Based Solutions (NBS). Proyek restorasi mangrove dan rehabilitasi lahan gambut bukan hanya proyek lingkungan, tetapi juga sumber daya ekonomi baru yang mampu menciptakan lapangan kerja, melindungi pesisir, dan mengurangi kerugian akibat bencana.

Jika di masa lalu pembangunan selalu diukur dari seberapa banyak kita menebang hutan, maka masa depan harus diukur dari seberapa banyak kita menumbuhkan kembali kehidupan.
Dalam hal ini, menjaga alam berarti menjaga neraca ekonomi bangsa — bukan hanya hari ini, tapi untuk generasi berikutnya.

Kolaborasi Adalah Kunci

Transformasi hijau tidak bisa dilakukan sendirian. DBS Indonesia, lewat kolaborasi lintas sektor dengan ADB, IFC, dan Karian Water Services, telah menunjukkan bagaimana model blended finance bisa menghadirkan air bersih bagi jutaan penduduk di Jakarta dan Tangerang.

Kolaborasi seperti ini menjadi contoh bagaimana sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan dapat membentuk ekosistem ekonomi hijau yang inklusif.


Menyambung Sejarah, Menyongsong Masa Depan

Jika kita menoleh ke belakang, ekonomi Indonesia pernah berakar kuat pada kekayaan alam dan industri ekstraktif. Namun, pola itu sudah tidak relevan untuk menghadapi masa depan yang ditandai oleh krisis iklim dan disrupsi teknologi.

Kini arah ekonomi dunia mulai bergeser: dari kapitalisme eksploitasi menuju ekonomi regeneratif, di mana alam, manusia, dan modal bergerak seirama.
Ke depan, pembiayaan hijau dan model ekonomi rendah karbon akan menjadi motor baru pertumbuhan nasional — bukan hanya untuk mencapai Net Zero Emission 2060, tetapi juga untuk membangun ekonomi yang lebih tangguh, adil, dan manusiawi.

Sebagaimana kata Helge Muenkel, “Kita perlu mengubah cara pandang terhadap kemajuan — dari sekadar mengejar pertumbuhan jangka pendek menjadi menciptakan kesejahteraan jangka panjang bagi manusia dan alam.”
Itulah arah baru perekonomian Indonesia — bukan lagi hanya besar di angka, tapi juga bijak dalam makna.


📚 Daftar Pustaka:

  1. DBS Bank Indonesia. (2025). Chief Sustainability Officer Bank DBS Ungkap 5 Tren yang Membentuk Arah Sustainable Financing Saat Ini. Siaran Pers, 24 Oktober 2025.

  2. PwC Global. (2024). Centre for Nature Positive Business Report.

  3. World Benchmarking Alliance. (2022). Nature Benchmark Press Release.

  4. Corporate Governance Institute. (2025). Companies with Good ESG Perform Better.

  5. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Laporan Keuangan Berkelanjutan Nasional.

  6. Bank Indonesia. (2025). Outlook Ekonomi Hijau dan Pembiayaan Berkelanjutan Indonesia.

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas