Menu BacaanMu
- Perfect Hero (309)
- Puisi (121)
- My Experience (118)
- Rumah Literasi Kreatif (86)
- Novel MLB (80)
- Cerpen (70)
- Then Love (57)
- Belajar Menulis (52)
- Esai (47)
- Puisi Akrostik (43)
- Artikel (42)
- Review Novel (21)
- Review Drama (18)
- Relima Perpusnas RI (16)
- Ekonomi & Bisnis (9)
- Novel The Cakra (8)
- Wisata (8)
- Aku dan Taman Bacaku (6)
- Review Aplikasi (6)
- Kumpulan Novel (5)
- Novel ILY Ustadz (4)
- Pendamping Nakal (3)
- Biografi Penulis (2)
- Opini (2)
- Daily (1)
- Donasi (1)
- Dongeng (1)
- Komunitas (1)
- Materi Cerdas Cermat (1)
Sunday, April 6, 2025
Rumah Literasi Kreatif Desa Beringin Agung Berpartisipasi Dalam Memeriahkan Pesta Laut Pesisir Nusantara 2025 di Kuala Samboja
Mutiara-borneo.kim.id, Kecamatan Samboja – Rumah Literasi Kreatif Desa Beringin Agung ikut berpartisipasi memeriahkan acara Pesta Laut Pesisir Nusantara 2025. (Sabtu, 05 April 2025)
Pesta Laut Pesisir Nusantara merupakan ajang tahunan yang diselenggarakan di Kecamatan Samboja. Pesta Laut merupakan salah satu bentuk rasa syukur masyarakat nelayan akan hasil laut yang melimpah. Pesta Laut ini diisi dengan banyak kegiatan, mulai dari ritual adat sampai penampilan band-band terkenal seperti Nidjie dan Wali.
Pesta Laut Pesisir Nusantara juga menjadi ajang bagi pemerintah untuk menampilkan talenta-talenta lokal yang mereka miliki. Ada sekitar 32 grup tari dan grup band lokal yang turut serta memeriahkan acara ini.
Rumah Literasi Kreatif dari Desa Beringin Agung menjadi salah satu grup tari yang tampil dalam acara Pesta Laut tahun ini. Tahun sebelumnya, Rumah Literasi Kreatif juga ikut berpartisipasi mengisi acara “Fashion Show”.
Tahun ini, Rumah Literasi Kreatif (Rulika) berpartisipasi dalam seni tari. Kelompok seni tari Rulika telah terbentuk sejak tahun 2019 dan telah meregenerasi. Tahun ini, yang tampil dalam ajang Pesta Laut merupakan generasi/angkatan ketiga. Rumah Literasi Kreatif menampilkan Tari Kreasi Borneo yang merupakan perpaduan antara Tari Dayak dan Tari Zapin Melayu.
Rumah Literasi Kreatif merupakan komunitas masyarakat yang menjadi wadah untuk belajar, berkreatifitas, dan berkarya. Rumah Literasi Kreatif menjadi pusat belajar dan pengembangan bakat di Desa Beringin Agung. Komunitas ini dibangun untuk menjadi rumah kreatifitas bagi siapa saja.
Harapannya, Rulika bisa terus berkembang dan membawa anak-anak Desa Beringin Agung untuk terus bergerak aktif, positif, krratif, dan inovatif. Agar generasi masa depan menjadi generasi yang tangguh dan siap bersaing dalam dunia global.
(/rm)
Saturday, April 5, 2025
Tulisan Tangan Sesepuh Desa, Mengabadikan Cerita Lampau Untuk Masa Depan
5 Tanda Kamu Sedang Berurusan Dengan Orang Jahat
5 Tanda Kamu Sedang Berurusan Dengan Orang Jahat
oleh Rin Muna
Kita hidup di zaman di mana pelaku kejahatan tidak selalu bertopeng. Kadang mereka pakai hoodie, pegang kopi kekinian, senyum sambil bilang “self love itu penting”—tapi diam-diam mengiris hati orang lain dengan cara paling halus.
Tapi apa sebenarnya "jahat" itu?
Dalam filsafat Stoik, kejahatan bukan semata tindakan brutal, tapi ketidaksesuaian dengan logos, hukum rasional alam semesta. Orang jahat, menurut Seneca, adalah mereka yang tahu benar, tapi sengaja memilih yang salah karena untung pribadi.
Dalam Islam, kejahatan disebut zulm—meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, menyakiti makhluk tanpa hak, melanggar batas yang ditetapkan Allah.
Kejahatan bisa berbentuk ucapan, sikap, bahkan “energi” yang menguras jiwamu diam-diam. Jadi, yuk kita bedah 5 tandanya—berdasarkan filsafat dan kasus nyata yang pernah terjadi.
1. Mereka Menormalisasi Ketidakadilan
“Kejahatan terbesar adalah ketika orang-orang baik diam.” – Marcus Aurelius
Dalam Islam, QS Al-Baqarah:11 menyindir:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan!”
2. Mereka Menggunakan Topeng Kebaikan untuk Mendominasi
Jahat tidak selalu berarti galak. Kadang justru datang dalam bentuk perhatian palsu, kebaikan yang beracun.
Stoik Epictetus berkata:
“Jangan tertipu oleh kata-kata manis. Lihatlah bagaimana seseorang bertindak di saat mereka tidak mendapatkan keuntungan.”
Kasus Munafik Relasi dalam psikologi modern—seseorang memberi bantuan atau kasih sayang tapi diam-diam mengontrol dan mengikat orang lain secara emosional (lihat: konsep emotional hostage oleh Dr. Harriet Lerner).
Dalam Islam, ini disebut sebagai riya’, yaitu berbuat baik untuk citra, bukan untuk Allah. Orang seperti ini bisa menebar kebaikan ke publik sambil menyayat orang di balik layar.
3. Mereka Mengadu Domba untuk Kekuasaan
Salah satu ciri kejahatan yang paling merusak adalah memecah orang agar mereka bisa mengatur dari balik layar. Dalam filsafat Stoik, ini disebut sebagai ketidakbijaksanaan yang egois—menggunakan konflik untuk menaikkan ego sendiri.
Banyak kasus perundungan dalam organisasi pendidikan dan kerja, yang dimulai dari satu orang membisikkan narasi miring, lalu menikmati kekacauan yang terjadi. Psikolog organisasi Dr. Robert Sutton menyebut tipe ini sebagai “The Certified Asshole”—pembuat drama profesional.
Dalam Islam, QS Al-Hujurat:12 sudah mengingatkan kita untuk menjauhi prasangka dan ghibah, karena itulah celah utama setan menyalakan fitnah.
4. Mereka Menyembunyikan Diri di Balik "Tujuan Mulia"
“Jika kamu ingin melihat wajah asli seseorang, lihat bagaimana ia memperlakukan orang yang tidak bisa memberi apa pun padanya.” – Seneca
Orang jahat sering menyembunyikan niat mereka di balik embel-embel perjuangan: demi agama, demi cinta, demi keluarga. Tapi dalam tindakan nyata, mereka menindas, menyakiti, dan merendahkan.
Dalam Islam, QS Al-Baqarah:204-205 menggambarkan orang yang lisannya manis, tapi tindakannya merusak:
5. Mereka Mengambil Tanpa Memberi, dan Menguras Tanpa Peduli
Orang jahat tidak peduli keseimbangan. Dalam hubungan apa pun—kerja, cinta, pertemanan—mereka akan menguras waktumu, energimu, dan akal sehatmu, lalu pergi ketika kamu hancur.
Tidak Semua Orang yang Kamu Suka Itu Baik
Kita diajarkan untuk berbaik sangka, benar. Tapi kita juga diperintahkan untuk tidak bodoh dalam berinteraksi.
“Allah tidak menyukai kezaliman. Dan Allah menyuruh untuk berlaku adil dan memberi kepada kerabat.” (QS An-Nahl: 90)
“Tugas kita bukan menilai niat orang, tapi mengenali perilaku mereka dengan jernih.” – Marcus Aurelius
Bila kamu sedang berurusan dengan seseorang dan muncul tanda-tanda ini: manipulatif, penuh drama, membuatmu meragukan dirimu sendiri, dan enggan bertanggung jawab—janganlah ragu untuk berjarak.
Sumber Referensi:
-
Seneca, Letters from a Stoic
-
Philip Zimbardo, The Lucifer Effect (2007)
-
Robin Stern, The Gaslight Effect (2007)
-
Dr. Harriet Lerner, The Dance of Anger (1985)
-
Tafsir Ibn Katsir: QS Al-Hujurat, QS Al-Baqarah
-
Psychology Today – articles on emotional abuse and narcissistic behavior
5 Tanda Kamu Sedang Berurusan dengan Orang Jahat | Filsafat Stoikisme
Friday, April 4, 2025
Cara Mengelola Setress Dengan Baik
Setres adalah kondisi yang terjadi pada setiap manusia dan tidak bisa kita hindari. Terutama di era yang sangat sulit seperti ini. Banyak orang yang merasakan aktivitas keseharian membuat setrss, bahkan setress bisa terjadi sejak masa anak-anak.
Setres menjadi salah satu kendala bagi kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Sangat terasa jika dalam waktu sebentar saja, kita bisa merasakan setres. Setiap perubahan yang terjadi dalam sehari, bisa memicu pikiran kita untuk setres.
Setres tidak bisa kita biarkan terus menerus karena kondisi ini memiliki dampak buruk pada kesehatan. Kesehatan mental yang tidak terjaga dapat mengakibatkan kesehatan fisik terganggu. Karena mental dan fisik adalah satu kesatuan yang ada dalam diri kita dan tidak bisa kita pisahkan.
Menurut Alodokter, ketika mengalami stres, tubuh akan melepaskan hormon kortisol dan adrenalin yang membuat kerja jantung menjadi lebih cepat. Daya tahan tubuh akan menurun dan menyebabkan tubuh menjadi sulit melawan virus atau bakteri, sehingga rentan terkena penyakit.
Tentunya kita tidak ingin menjadi manusia yang mudah sakit. Terlebih di zaman yang serba mahal ini. Kesehatan menjadi barang yang sangat mahal untuk kita. Oleh karenanya, kita harus mampu mengolah setres dengan baik agar kesehatan fisik kita juga terus terjaga.
Tak dapat dipungkiri jika setres menjadi salah satu faktor penyakit, meski terlihat sepele. Lalu, bagaimana caranya supaya kita tidak mudah setres?
Secara medis, ada banyak cara untuk menghilangkan setres. Mulai dari jalan-jalan, meditasi atau melakukan hobi yang kita sukai. Lalu, apakah hal tersebut benar-benar bisa menghilangkan setres di pikiran kita untuk jangka waktu yang lama? Tentunya tidak. Healing hanya bisa menjadi obat setres dalam jangka pendek apabila kita sendiri tidak bisa mengelola emosi dengan baik. Artinya, kondisi setres akan tetap muncul ketika kita sudah selesai healing/meditasi dan kembali ke rutinitas sehari-hari.
Mengelola setres tidak bisa dilakukan dengan bantuan orang lain. Kita harus bisa mengenali diri kita sendiri dan apa saja yang kita butuhkan.
Setres seringkali muncul karena pemikiran kita yang berlebihan atau karena perkataan orang lain. Pemikiran yang berlebihan kerap menimbulkan kecemasan yang akhirnya berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik jika dibiarkan berkepanjangan. Perkataan orang lain yang terus-menerus kita pikirkan juga dapat memperburuk keadaan mental kita. Sedang, tujuan orang lain berkata buruk pada kita adalah untuk menyerang mental kita secara perlahan. Sehingga ketika memikirkannya terus-menerus, maka tujuan orang tersebut sudah berhasil.
Belajar untuk menerima semua hal dengan baik, bukanlah hal yang mudah. Tapi semua orang bisa melakukannya jika mereka menginginkannya. Sayangnya, banyak orang yang memilih untuk menghakimi dirinya sendiri pada kenyataan pahit yang mereka terima. Hal ini tentunya akan memperburuk keadaan.
Setres dapat dengan mudah kita hadapi ketika kita bisa mengelola isi pikiran kita dengan baik.
Selalu berpikir positif adalah cara terbaik untuk mengelola setres. Pemikiran yang positif membuat kita lebih mudah menerima kenyataan hidup, sepahit apa pun itu. Ketika menghadapi masalah akan lebih mudah menemukan jalan penyelesaian atas permasalahan yang sedang kita hadapi. Sekalipun kita harus menghadapi kesulitan bertubi-tubi, tapi kita tetap positif thinking kepada Tuhan sehingga kita akan menemukan jalan terbaik.
Orang yang berpikir positif, biasanya memiliki ilmu spiritual yang cukup tinggi. Sehingga ia mampu berpikir dan menerima keadaan. Keadaan sesulit apa pun, akan tetap disyukuri.
Bersyukur juga merupakan salah satu cara mengelola setres yang baik. Tanpa rasa syukur, hati kita akan selalu merasa kurang. Sehingga otak kita selalu berpikir bahwa si A memiliki hal yang lebih baik dari kita, sedang kita tidak seperti dia. Pemikiran yang seperti ini akan memberikan tekanan besar jika seseorang tidak memiliki kemampuan yang setara. Orang yang memiliki kemampuan sama juga bisa memiliki takdir hidup yang berbeda.
Pada dasarnya, pengelolaan setres yang baik adalah dengan bersyukur dan berpikiran positif.
Orang yang selalu bersyukur akan menerima dan berterima kasih atas apa yang sudah ia miliki. Ia tidak akan memiliki rasa iri hati terhadap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain. Hatinya akan lebih tenang dan damai karena pikirannya tidak sibuk memikirkan orang lain yang hidupnya terlihat lebih baik.
Orang yang selalu berpikiran positif akan berani menghadapi setiap masalah kehidupan. Ia berpikiran positif kepada orang-orang di sekitarnya dan juga kepada penciptanya. Orang yang seperti ini tidak akan mudah menyerah ketika ia sedang menghadapi masalah. Ia mudah untuk berkomunikasi dengan orang lain dan selalu mencari cara untuk keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Mereka akan selalu berpikir bahwa setiap kesulitan yang mereka jalani adalah ujian dari Allah agar mereka bisa mencapai tangga kehidupan yang lebih tinggi lagi. Setiap naik satu tangga, mereka akan menghadapi ujian. Tidak ada ujian yang mudah, oleh karenanya mereka akan selalu bersyukur ketika menghadapi ujian karena mereka percaya bahwa Allah akan menolong mereka.
Dua hal ini menjadi cara paling mudah untuk menghilangkan setres. Kita tidak perlu lagi harus menghabiskan uang untuk pergi berlibur dengan dalih menghilangkan setres karena pulang liburan masih akan setres lagi.
Cukup dengan bersyukur dan berpikiran positif, kita bisa menghilangkan setres tanpa harus kehilangan apa-apa. Kita bisa self healing dengan membaca buku atau berdiam diri di dalam rumah karena setiap hal yang ada di dalam rumah adalah kebahagiaan. Sehingga kita bisa lebih banyak melakukan hal positif dan bermanfaat sebagai bagian dari self healing.
Memang, setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah.
Tapi cobalah untuk menghadapinya dengan cara yang sederhaba. Cobalah untuk menghadapinya dengan cara bersyukur dan berpikiran positif. Nantinya, kamu akan menemukan ketenangan hidupmu di sana, jika kamu menikmatinya.
Monday, March 31, 2025
Tradisin Angpao Menghilangkan Esensi Minal Aidzin Wal Faidzin
Tradisi Angpao Menghilangkan Esensi Minal Aidzin Wal Faidzin
oleh Rin Muna
Ada yang makin ramai di timeline setiap lebaran: angpao. Bukan hanya di keluarga Tionghoa lagi, tapi sudah masuk ke rumah-rumah muslim, bahkan jadi agenda “wajib” saat Idulfitri. Amplop warna-warni, desain lucu, disisipkan selembar uang 10 ribu, 20 ribu, sampai 100 ribuan. Anak-anak ngantri, senyum manis—atau kadang cemberut kalau “isinya kecil”.
Lupa pada Akar ‘Minal Aidzin wal Faidzin’
Kita sering mengucapkan “Minal Aidzin wal Faidzin”—meski artinya sering salah dimengerti. Banyak yang mengira artinya “mohon maaf lahir dan batin”, padahal frasa ini berasal dari bahasa Arab klasik:
“Ja‘alanallāhu wa iyyākum minal ‘āidīn wal fāizīn”Artinya: “Semoga kita termasuk orang yang kembali (kepada fitrah) dan menang (dari hawa nafsu).”
Jadi ini bukan sekadar kalimat basa-basi, tapi doa spiritual mendalam—harapan agar kita menjadi manusia yang kembali jernih, bersih, dan menang melawan ego.
Kalau lebaran jadi ajang "tarik angpao", apakah kita masih menang dari hawa nafsu?
Kapitalisasi Hari Suci, Kritik dari Ahli Sosiologi
Sosiolog Jean Baudrillard pernah menulis bahwa “masyarakat modern menciptakan makna melalui simbol dan konsumsi”. Dalam konteks lebaran, angpao bukan hanya amplop berisi uang, tapi telah menjadi simbol status, gengsi, dan ekonomi keluarga.
Dari sini muncul fenomena:
-
Keluarga merasa malu kalau tidak bisa memberi banyak.
-
Anak-anak membandingkan isi amplop.
-
Silaturahmi jadi transaksional: siapa yang dapat lebih banyak.
Pandangan Filsafat: Keikhlasan vs Ekspektasi
Filsuf Stoik Epictetus mengingatkan:
“Semakin kita bergantung pada hal di luar kendali kita, semakin kita jadi budaknya.”
Ketika silaturahmi dikaitkan dengan angpao, maka momen suci kehilangan substansi. Anak-anak tumbuh tanpa nilai syukur dan ikhlas, hanya belajar bahwa "pertemuan" sama dengan "hadiah". Ini menciptakan ilusi tentang nilai kasih sayang diukur dari nilai rupiah.
Pandangan Islam: Memberi itu Sunnah, Menyombong itu Celaka
Islam sangat menganjurkan memberi, tapi bukan dalam kerangka pamer atau menjerumuskan orang dalam keterpaksaan.
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari)
Tapi memberi juga harus disertai dengan niat yang ikhlas, bukan demi sebuah citra sosial. Memberi tidak menyakiti yang diberi (QS Al-Baqarah: 262):
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya... lalu mereka tidak mengiringinya dengan menyebut-nyebut pemberian itu dan tidak menyakiti (perasaan si penerima)...”
Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa membuat saudaranya merasa malu karena tidak mampu, maka ia telah berdosa." (HR. Abu Dawud)
Apa jadinya kalau keponakan jadi minder karena “nggak bisa kasih balik”, atau orang tua jadi tertekan karena tidak punya cukup uang untuk membagi angpao?
Memaafkan dan silaturahmi bukan bisnis tahunan. Kalau mau memberi, lakukan dengan senyap dan tulus. Tanpa pamer, tanpa ditagih, tanpa jadi standar sosial.
Beberapa alternatif yang lebih mendidik:
-
Alihkan angpao ke bentuk kegiatan bersama: membuat kue, berbagi cerita, main tradisional.
-
Kalau tetap ingin memberi, ajari anak-anak untuk bersyukur dan menyisihkan sebagian untuk sedekah.
-
Kurangi tekanan gengsi: beri sesuai kemampuan, bukan demi “balapan” amplop.
Jangan Biarkan Uang Membakar Niat Baikmu!
Ditulis di tengah suara mesin jahit dan tumpukan bahan kebaya yang harus selesai, tapi hati ingin tetap pulang ke sesuatu yang penuh esensial di masa lalu.
Rin Muna
Monday, March 24, 2025
Kamu Bukan Tuan Atas Emosiku
Sunday, March 23, 2025
Kebohongan Patologis Dapat Menghancurkan Hubungan
Kebohongan Patologis Dapat Menghancurkan Hubungan
Luka yang Tidak Tampak, Tapi Nyata
Ada luka yang tidak meneteskan darah, tapi menganga dalam diam: luka karena kebohongan. Apalagi jika kebohongan itu bukan satu-dua kali, melainkan terus-menerus seperti napas—kebohongan yang sudah menjadi kebiasaan. Inilah yang disebut sebagai kebohongan patologis (pathological lying).
Sebagai penulis yang gemar mengamati dinamika relasi manusia, saya sering menjumpai tema ini dalam kisah nyata maupun fiksi. Dan yang paling menyedihkan adalah ketika seseorang sadar bahwa pasangannya bukan sekadar "berbohong sesekali", tapi memiliki pola bohong kronis yang membentuk realitas semu—seolah hidup dalam sandiwara.
Apa Itu Kebohongan Patologis?
Kebohongan patologis bukan sekadar dusta sesekali untuk menghindari konflik. Ini adalah kebohongan yang berulang, tidak perlu, dan kadang tidak masuk akal, bahkan ketika tidak ada keuntungan jelas dari kebohongan itu.
Psikolog Charles Dike dari UCLA menyebut kondisi ini sebagai bagian dari Pseudologia Fantastica—sebuah fenomena di mana pelaku menyusun narasi palsu yang ia percayai sendiri, dan menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian. Dalam jurnal Psychiatric Times (2008), Dike menjelaskan bahwa kebohongan patologis bisa muncul karena trauma masa kecil, dorongan untuk terlihat superior, atau keinginan kompulsif untuk mengontrol persepsi orang lain.
Mengapa Ini Bisa Menghancurkan Hubungan?
Hubungan dibangun atas dasar kepercayaan. Dan kepercayaan itu seperti gelas kaca—sekali retak, sulit kembali seperti semula. Ketika seseorang terus-menerus dibohongi, ia bukan hanya kehilangan kepercayaan pada pasangannya, tapi juga pada persepsinya sendiri. Ia mulai mempertanyakan: “Apakah aku terlalu curiga? Apakah aku yang berlebihan?”
Kebohongan yang terus diulang akan melahirkan gaslighting, di mana korban dipaksa meragukan realitasnya sendiri. Dan inilah yang sangat berbahaya. Hubungan menjadi tidak sehat. Ada ketimpangan kuasa. Dan sering kali, sang pembohong akan memutarbalikkan logika hingga ia tampil sebagai korban.
Kita tahu, dalam relasi apa pun—baik romantis, pertemanan, keluarga, maupun profesional—integritas adalah fondasi. Ketika seseorang berbohong terus-menerus, maka ia menghancurkan fondasi itu secara perlahan, seperti rayap yang memakan rumah dari dalam.
Kebohongan Sebagai Alat Manipulasi
Kebohongan patologis bisa menjadi bentuk manipulasi psikologis. Pelakunya kadang tampak charming, penuh pesona, tapi di balik itu ia menyimpan agenda. Ia bisa membuat pasangannya tergantung padanya secara emosional, dan memutar fakta demi menjaga ilusi citra diri.
Kisah-kisah seperti ini banyak diangkat dalam literatur populer maupun dunia nyata. Salah satunya dalam kisah Dirty John (kisah nyata yang difilmkan oleh Netflix), di mana seorang pria manipulatif membohongi istrinya tentang identitas, pekerjaan, hingga masa lalunya demi keuntungan pribadi. Ia membungkus semua itu dalam pesona dan perhatian semu, yang pada akhirnya membuat korbannya hampir kehilangan segalanya.
Islam dan Filsafat: Perspektif tentang Dusta
Dalam Islam, berbohong adalah dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan kefasikan membawa ke neraka." (HR. Bukhari & Muslim).
Sementara dalam filsafat, Plato menganggap kebenaran sebagai bentuk tertinggi dari keadilan. Berbohong berarti mencederai logos, merusak harmoni antara pikiran dan kenyataan. Dalam tradisi stoikisme, seperti yang diajarkan oleh Epictetus, kejujuran adalah wujud integritas diri. “It’s not things themselves that disturb us, but our interpretations of them.” Maka jika seseorang terus-menerus menciptakan ilusi, ia bukan hanya menipu orang lain, tapi juga menipu dirinya sendiri dari realitas yang jujur.
Apakah Bisa Disembuhkan?
Secara psikologis, orang dengan kecenderungan kebohongan patologis membutuhkan terapi yang mendalam. Tidak cukup hanya dengan nasehat atau kemarahan. Mereka harus memahami akar dari kebohongan itu: apakah karena trauma, rasa tidak aman, atau kelainan kepribadian seperti antisosial atau narsistik.
Tapi sayangnya, banyak dari mereka tidak menyadari masalahnya. Bahkan ketika relasi mereka mulai runtuh, mereka akan mencari kambing hitam, bukan bercermin.
Cinta Tidak Akan Tumbuh di Atas Kebohongan
Membangun relasi itu seperti merawat taman. Butuh kesabaran, kejujuran, dan konsistensi. Jika tanahnya diracuni kebohongan, maka bunga cinta akan layu bahkan sebelum sempat mekar.
Jadi, jika kamu berada dalam hubungan yang dipenuhi dusta, tanya pada dirimu sendiri: “Apakah aku sedang mencintai seseorang, atau sedang mencintai ilusi yang ia ciptakan?”
Beranilah untuk membuka mata, dan jangan biarkan kebohongan—sekecil apa pun—merusak jiwamu. Karena hubungan yang sehat selalu tumbuh di atas kebenaran, meski terkadang pahit.
Referensi:
-
Dike, Charles. Pathological Lying: Symptom or Disease? Psychiatric Times, Vol. 25 No. 9 (2008).
-
American Psychiatric Association. DSM-5 Diagnostic Criteria for Personality Disorders.
-
Hadis Riwayat Bukhari & Muslim.
-
Plato. The Republic.
-
Epictetus. Discourses.
Apakah Mereka Benar-Benar Baik Seperti Yang Aku Pikirkan?
Apakah Mereka Benar-Benar Baik Seperti yang Aku Pikirkan?
Oleh: Rin Muna
Tulisan ini bukan curhatan patah hati atau pengkhianatan. Ini adalah catatan keheningan, ketika kita berhadapan dengan kenyataan bahwa kebaikan tidak selalu tulus, dan niat tidak selalu bersih.
Sejak kecil, aku diajarkan untuk mempercayai orang. Bahwa semua orang pada dasarnya baik. Bahwa jika kita berbuat baik, kita akan diperlakukan baik pula. Tapi hidup tidak selalu berjalan seadil itu. Aku beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang terlihat manis di depan, tapi ternyata menyimpan kepentingan. Mereka yang memujimu setinggi langit, tapi diam-diam menggali tanah tempatmu berdiri.
Aku mulai bertanya-tanya, apa selama ini aku terlalu polos? Terlalu mudah percaya? Atau mungkin… terlalu ingin melihat sisi baik orang lain, sampai aku menutup mata dari sinyal bahaya?
Berhati-hati bukan berarti berprasangka buruk. Tapi tajam dalam mengamati, dan jujur pada intuisi. Kadang hati kita tahu, tapi akal kita menyangkal, karena terlalu ingin percaya bahwa mereka adalah orang baik.
Stoikisme mengajarkanku untuk tidak terikat pada ekspektasi. Bahwa penderitaan sering kali lahir dari bayangan kita sendiri, bukan dari kenyataan. Aku menderita karena berpikir mereka adalah orang baik. Tapi sebenarnya, itu hanyalah konstruksi dalam benakku.
Ketika akhirnya aku sadar, bahwa orang yang kuanggap "baik" ternyata penuh manipulasi atau hanya memanfaatkan kebaikanku, rasanya seperti patah sayap. Tapi dari situ, aku mulai belajar:
-
Menilai dari tindakan, bukan kata-kata.Banyak orang pandai berkata manis, tapi perbuatannya penuh kontradiksi. Lihat bagaimana mereka bertindak saat tidak ada keuntungan bagi mereka. Di situlah watak asli terkuak.
-
Memberi tanpa mengikat.Kalau kita berbuat baik karena ingin dibalas baik, kita akan kecewa. Tapi kalau kita berbuat baik karena itu nilai yang kita pegang, maka kita tidak mudah terluka ketika dikhianati.
-
Memaafkan, bukan untuk mereka, tapi untuk diriku.Maaf adalah jalan melepaskan diriku dari belenggu kemarahan dan luka. Karena hidup terlalu singkat untuk menggendong beban dendam dari orang-orang yang bahkan mungkin tak lagi memikirkan kita.
Kini, ketika aku bertemu orang, aku tidak lagi terburu-buru menaruh label "baik" atau "buruk". Aku belajar menjadi pengamat yang tenang. Aku tahu bahwa manusia kompleks. Dan kebaikan sejati tidak perlu ditunjukkan. Ia terpancar dalam kesederhanaan, dalam konsistensi, dalam ketulusan yang tak berbunyi.
Kalau kamu sedang merasa dikhianati oleh seseorang yang kamu pikir baik, jangan buru-buru mengutuk. Duduklah. Dengarkan hatimu. Dan biarkan kesadaran menguatkanmu—bahwa kamu sedang belajar jadi manusia yang lebih bijaksana.
Referensi:
Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, Kitab tentang Hati dan Nafsu.
Al-Qur’an Surat Al-Hujurat (49): Ayat 12.
Marcus Aurelius, Meditations, terjemahan Gregory Hays.
Ryan Holiday, The Daily Stoic.
Said Hawwa, Tarbiyah Ruhiyah.
Kamu Punya Hak untuk Tidak Selalu Dihubungi
Kita Punya Hak untuk Tidak Selalu Dihubungi
Oleh: Rin Muna
Beberapa waktu lalu, aku memutuskan untuk tidak membalas chat selama dua hari. Bukan karena marah, bukan juga karena ingin dianggap misterius. Tapi karena aku lelah. Jiwaku lelah. Dan aku butuh waktu untuk diam.
Reaksinya? Beragam. Ada yang khawatir, ada yang tersinggung, dan tentu saja—ada yang menganggapku sombong. Seolah-olah kita, manusia, selalu harus available, harus fast response, harus cepat tanggap. Padahal, bukankah diam juga adalah bentuk komunikasi? Bukankah memilih untuk tidak dihubungi juga bisa menjadi bentuk cinta pada diri sendiri?
Di era digital ini, kita dituntut untuk selalu on. Selalu merespons dengan cepat. Balas DM. Angkat telepon. Jawab komentar. Bahkan, diam kita pun dipertanyakan: “Lagi kenapa? Kenapa nggak jawab?”
Padahal, kita ini manusia, bukan pusat layanan 24 jam.
Psikolog Nancy Colier dalam bukunya “The Power of Off” mengatakan bahwa kita hidup dalam ilusi koneksi yang justru mengasingkan. Terlalu banyak interaksi yang dipaksakan hanya karena merasa wajib. Kita menjadi makhluk sosial yang lupa bagaimana rasanya sendiri tanpa merasa bersalah.
Aku akhirnya sadar, bahwa membatasi akses adalah hak. Dan hak itu tidak perlu dijustifikasi panjang lebar. Kita punya hak untuk tidak selalu dihubungi.
Dalam Islam, ada konsep yang indah bernama khalwat—menyendiri bukan karena membenci, tapi untuk mendekatkan diri pada Allah. Para ulama terdahulu bahkan menyisihkan waktu-waktu khusus untuk uzlah (mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia), agar hati tetap bening.
Al-Qur’an pun menyebutkan kisah Maryam, ibu Nabi Isa, yang ketika hamil memilih untuk menyendiri di tempat yang sunyi (QS. Maryam: 16). Bahkan Rasulullah SAW pun menyendiri di Gua Hira sebelum menerima wahyu pertama.
Jadi, jika bahkan para manusia terpilih pun punya waktu untuk tidak ingin diganggu, mengapa kita—yang hanya manusia biasa—harus merasa bersalah karena tidak selalu membalas chat?
Dalam Stoikisme, Epictetus menekankan bahwa hal yang bisa kita kendalikan adalah respon dan pilihan pribadi, bukan ekspektasi orang lain.
Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak selalu merespons dunia. Tidak setiap stimulus harus mendapat reaksi. Kadang, diam adalah pilihan yang paling waras. Marcus Aurelius bahkan menulis: “Withdraw into yourself. The rational soul is self-sufficient.”
Jadi ya, kita berhak memilih untuk tidak merespons pesan yang tidak perlu. Bukan karena kita jahat, tapi karena kita belajar membedakan antara penting dan mendesak—antara kebutuhan orang lain dan kebutuhan jiwa kita sendiri.
Memilih untuk tidak selalu terhubung bukanlah bentuk pelarian, tapi perlindungan. Kita tidak bisa memberi jika kita kosong. Tidak bisa hadir sepenuhnya jika jiwa kita compang-camping karena terus dipaksa hadir di setiap layar. Kita perlu istirahat. Istirahat dari ekspektasi. Istirahat dari notifikasi. Istirahat dari keharusan membalas semua hal yang tidak esensial.
Dan kamu tahu apa yang lebih penting?
Membuat batas itu adalah bentuk cinta pada diri sendiri.
Hari ini, aku ingin mengingatkan kamu dan juga diriku sendiri: kita tidak diciptakan untuk jadi manusia serba cepat. Kita bukan robot. Kita punya ritme. Dan kadang, ritme itu mengajak kita untuk diam, untuk jeda, untuk hanya menjadi.
Kita punya hak untuk tidak selalu dihubungi.
Dan kita tidak perlu merasa bersalah karenanya.
Jika kamu hari ini memutuskan untuk menonaktifkan notifikasi, menolak ajakan ngopi, atau bahkan tidak menjawab satu pun pesan, aku ingin bilang: It’s okay.
Kamu punya hak untuk memilih tenang.
Dan kamu tetap berharga, bahkan ketika tidak sedang online.
Salam penuh jeda,
Rin Muna
(Yang sedang menikmati sunyi sebagai teman baru dalam perjalanan pulang ke dalam diri.)
___________________________________________________________________________
Referensi & Bacaan Tambahan:
Nancy Colier. The Power of Off: The Mindful Way to Stay Sane in a Virtual World.
Al-Qur’an Surah Maryam Ayat 16–17 (tentang menyendiri).
Marcus Aurelius. Meditations.
Epictetus. The Enchiridion.
Imam Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin (bab tentang uzlah dan khalwat).
Jonathan Malesic. The End of Burnout: Why Work Drains Us and How to Build Better Lives.


.jpeg)



.png)

.png)
.png)
.png)