Monday, March 31, 2025

Tradisin Angpao Menghilangkan Esensi Minal Aidzin Wal Faidzin

 

Tradisi Angpao Menghilangkan Esensi Minal Aidzin Wal Faidzin

oleh Rin Muna



Ada yang makin ramai di timeline setiap lebaran: angpao. Bukan hanya di keluarga Tionghoa lagi, tapi sudah masuk ke rumah-rumah muslim, bahkan jadi agenda “wajib” saat Idulfitri. Amplop warna-warni, desain lucu, disisipkan selembar uang 10 ribu, 20 ribu, sampai 100 ribuan. Anak-anak ngantri, senyum manis—atau kadang cemberut kalau “isinya kecil”.

Tapi pertanyaannya sederhana:
Apakah kita masih benar-benar saling memaafkan, atau sedang sibuk menilai nilai nominal?


Lupa pada Akar ‘Minal Aidzin wal Faidzin’

Kita sering mengucapkan “Minal Aidzin wal Faidzin”—meski artinya sering salah dimengerti. Banyak yang mengira artinya “mohon maaf lahir dan batin”, padahal frasa ini berasal dari bahasa Arab klasik:

“Ja‘alanallāhu wa iyyākum minal ‘āidīn wal fāizīn”
Artinya: “Semoga kita termasuk orang yang kembali (kepada fitrah) dan menang (dari hawa nafsu).”

Jadi ini bukan sekadar kalimat basa-basi, tapi doa spiritual mendalam—harapan agar kita menjadi manusia yang kembali jernih, bersih, dan menang melawan ego.

Kalau lebaran jadi ajang "tarik angpao", apakah kita masih menang dari hawa nafsu?


Kapitalisasi Hari Suci, Kritik dari Ahli Sosiologi

Sosiolog Jean Baudrillard pernah menulis bahwa “masyarakat modern menciptakan makna melalui simbol dan konsumsi”. Dalam konteks lebaran, angpao bukan hanya amplop berisi uang, tapi telah menjadi simbol status, gengsi, dan ekonomi keluarga.

Dari sini muncul fenomena:

  • Keluarga merasa malu kalau tidak bisa memberi banyak.

  • Anak-anak membandingkan isi amplop.

  • Silaturahmi jadi transaksional: siapa yang dapat lebih banyak.


Dalam survei kecil oleh Pusat Studi Sosial UGM yang dilakukan pada tahun 2022, 68% orang tua di perkotaan merasa tekanan finansial saat lebaran karena angpao anak-anak dan "gengsi keluarga besar". Tradisi yang seharusnya hangat dan penuh makna, berubah jadi ajang “saling ukur dompet”.


Pandangan Filsafat: Keikhlasan vs Ekspektasi

Filsuf Stoik Epictetus mengingatkan:

“Semakin kita bergantung pada hal di luar kendali kita, semakin kita jadi budaknya.”

Ketika silaturahmi dikaitkan dengan angpao, maka momen suci kehilangan substansi. Anak-anak tumbuh tanpa nilai syukur dan ikhlas, hanya belajar bahwa "pertemuan" sama dengan "hadiah". Ini menciptakan ilusi tentang nilai kasih sayang diukur dari nilai rupiah.

Pandangan Islam: Memberi itu Sunnah, Menyombong itu Celaka

Islam sangat menganjurkan memberi, tapi bukan dalam kerangka pamer atau menjerumuskan orang dalam keterpaksaan.

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari)

Tapi memberi juga harus disertai dengan niat yang ikhlas, bukan demi sebuah citra sosial. Memberi tidak menyakiti yang diberi (QS Al-Baqarah: 262):

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya... lalu mereka tidak mengiringinya dengan menyebut-nyebut pemberian itu dan tidak menyakiti (perasaan si penerima)...”

Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa membuat saudaranya merasa malu karena tidak mampu, maka ia telah berdosa." (HR. Abu Dawud)

Apa jadinya kalau keponakan jadi minder karena “nggak bisa kasih balik”, atau orang tua jadi tertekan karena tidak punya cukup uang untuk membagi angpao?


Lalu, apa solusi yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan esensi Minal Aidzin Wal Faidzin yang sebenarnya?

Memaafkan dan silaturahmi bukan bisnis tahunan. Kalau mau memberi, lakukan dengan senyap dan tulus. Tanpa pamer, tanpa ditagih, tanpa jadi standar sosial.

Beberapa alternatif yang lebih mendidik:

  • Alihkan angpao ke bentuk kegiatan bersama: membuat kue, berbagi cerita, main tradisional.

  • Kalau tetap ingin memberi, ajari anak-anak untuk bersyukur dan menyisihkan sebagian untuk sedekah.

  • Kurangi tekanan gengsi: beri sesuai kemampuan, bukan demi “balapan” amplop.


Jangan Biarkan Uang Membakar Niat Baikmu!

Minal Aidzin wal Faidzin adalah doa kemenangan ruhani. Jangan biarkan ia dikalahkan oleh inflasi angpao dan ekspektasi palsu. Karena pada akhirnya, anak-anak akan lupa berapa yang mereka terima. Tapi mereka akan ingat siapa yang benar-benar memeluk mereka tanpa syarat.




Ditulis di tengah suara mesin jahit dan tumpukan bahan kebaya yang harus selesai, tapi hati ingin tetap pulang ke sesuatu yang penuh esensial di masa lalu.



Rin Muna


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas