Apakah Mereka Benar-Benar Baik Seperti yang Aku Pikirkan?
Oleh: Rin Muna
Tulisan ini bukan curhatan patah hati atau pengkhianatan. Ini adalah catatan keheningan, ketika kita berhadapan dengan kenyataan bahwa kebaikan tidak selalu tulus, dan niat tidak selalu bersih.
Sejak kecil, aku diajarkan untuk mempercayai orang. Bahwa semua orang pada dasarnya baik. Bahwa jika kita berbuat baik, kita akan diperlakukan baik pula. Tapi hidup tidak selalu berjalan seadil itu. Aku beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang terlihat manis di depan, tapi ternyata menyimpan kepentingan. Mereka yang memujimu setinggi langit, tapi diam-diam menggali tanah tempatmu berdiri.
Aku mulai bertanya-tanya, apa selama ini aku terlalu polos? Terlalu mudah percaya? Atau mungkin… terlalu ingin melihat sisi baik orang lain, sampai aku menutup mata dari sinyal bahaya?
Berhati-hati bukan berarti berprasangka buruk. Tapi tajam dalam mengamati, dan jujur pada intuisi. Kadang hati kita tahu, tapi akal kita menyangkal, karena terlalu ingin percaya bahwa mereka adalah orang baik.
Stoikisme mengajarkanku untuk tidak terikat pada ekspektasi. Bahwa penderitaan sering kali lahir dari bayangan kita sendiri, bukan dari kenyataan. Aku menderita karena berpikir mereka adalah orang baik. Tapi sebenarnya, itu hanyalah konstruksi dalam benakku.
Ketika akhirnya aku sadar, bahwa orang yang kuanggap "baik" ternyata penuh manipulasi atau hanya memanfaatkan kebaikanku, rasanya seperti patah sayap. Tapi dari situ, aku mulai belajar:
-
Menilai dari tindakan, bukan kata-kata.Banyak orang pandai berkata manis, tapi perbuatannya penuh kontradiksi. Lihat bagaimana mereka bertindak saat tidak ada keuntungan bagi mereka. Di situlah watak asli terkuak.
-
Memberi tanpa mengikat.Kalau kita berbuat baik karena ingin dibalas baik, kita akan kecewa. Tapi kalau kita berbuat baik karena itu nilai yang kita pegang, maka kita tidak mudah terluka ketika dikhianati.
-
Memaafkan, bukan untuk mereka, tapi untuk diriku.Maaf adalah jalan melepaskan diriku dari belenggu kemarahan dan luka. Karena hidup terlalu singkat untuk menggendong beban dendam dari orang-orang yang bahkan mungkin tak lagi memikirkan kita.
Kini, ketika aku bertemu orang, aku tidak lagi terburu-buru menaruh label "baik" atau "buruk". Aku belajar menjadi pengamat yang tenang. Aku tahu bahwa manusia kompleks. Dan kebaikan sejati tidak perlu ditunjukkan. Ia terpancar dalam kesederhanaan, dalam konsistensi, dalam ketulusan yang tak berbunyi.
Kalau kamu sedang merasa dikhianati oleh seseorang yang kamu pikir baik, jangan buru-buru mengutuk. Duduklah. Dengarkan hatimu. Dan biarkan kesadaran menguatkanmu—bahwa kamu sedang belajar jadi manusia yang lebih bijaksana.
Referensi:
Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, Kitab tentang Hati dan Nafsu.
Al-Qur’an Surat Al-Hujurat (49): Ayat 12.
Marcus Aurelius, Meditations, terjemahan Gregory Hays.
Ryan Holiday, The Daily Stoic.
Said Hawwa, Tarbiyah Ruhiyah.
.png)
0 komentar:
Post a Comment