Sunday, March 23, 2025

Apakah Mereka Benar-Benar Baik Seperti Yang Aku Pikirkan?



 Apakah Mereka Benar-Benar Baik Seperti yang Aku Pikirkan?

Oleh: Rin Muna


Pernah nggak sih kamu duduk sendirian, termenung, lalu muncul pertanyaan kecil yang seperti bisikan: “Apa mereka benar-benar sebaik itu?”
Pertanyaan ini datang ke aku tidak dengan dentuman besar, tapi perlahan—melalui retakan kepercayaan yang pelan-pelan menganga. Lewat sikap, bahasa tubuh, keputusan-keputusan kecil yang aku abaikan selama ini. Lalu seperti kepingan puzzle yang mulai pas satu-satu, aku terdiam dan mengakui: “Ternyata aku salah menilai mereka.”

Tulisan ini bukan curhatan patah hati atau pengkhianatan. Ini adalah catatan keheningan, ketika kita berhadapan dengan kenyataan bahwa kebaikan tidak selalu tulus, dan niat tidak selalu bersih.


Sejak kecil, aku diajarkan untuk mempercayai orang. Bahwa semua orang pada dasarnya baik. Bahwa jika kita berbuat baik, kita akan diperlakukan baik pula. Tapi hidup tidak selalu berjalan seadil itu. Aku beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang terlihat manis di depan, tapi ternyata menyimpan kepentingan. Mereka yang memujimu setinggi langit, tapi diam-diam menggali tanah tempatmu berdiri.

Aku mulai bertanya-tanya, apa selama ini aku terlalu polos? Terlalu mudah percaya? Atau mungkin… terlalu ingin melihat sisi baik orang lain, sampai aku menutup mata dari sinyal bahaya?


Dalam filsafat Islam, Imam Al-Ghazali pernah menulis bahwa manusia memiliki tiga unsur: akal, nafsu, dan hati. Ketika nafsu menguasai, manusia bisa tampil seperti kawan namun sesungguhnya menyimpan niat buruk. Allah pun dalam Al-Qur’an telah berpesan dalam surah Al-Hujurat ayat 12, “Wahai orang-orang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.”
Namun di sisi lain, kita juga diperintahkan untuk berhati-hati.

Berhati-hati bukan berarti berprasangka buruk. Tapi tajam dalam mengamati, dan jujur pada intuisi. Kadang hati kita tahu, tapi akal kita menyangkal, karena terlalu ingin percaya bahwa mereka adalah orang baik.

Marcus Aurelius, filsuf Stoik dari Romawi, pernah berkata: “If someone does wrong, it’s because they think it’s right. If they knew better, they would not do it.”
Pandangan ini mengajarkanku bahwa setiap orang bertindak berdasarkan kerangka pikirnya sendiri. Mungkin mereka memang tidak sebaik yang kupikirkan—tapi juga tidak jahat secara sadar. Mereka hanya hidup dengan prinsip yang berbeda dari prinsipku.

Stoikisme mengajarkanku untuk tidak terikat pada ekspektasi. Bahwa penderitaan sering kali lahir dari bayangan kita sendiri, bukan dari kenyataan. Aku menderita karena berpikir mereka adalah orang baik. Tapi sebenarnya, itu hanyalah konstruksi dalam benakku.

Ketika akhirnya aku sadar, bahwa orang yang kuanggap "baik" ternyata penuh manipulasi atau hanya memanfaatkan kebaikanku, rasanya seperti patah sayap. Tapi dari situ, aku mulai belajar:

  1. Menilai dari tindakan, bukan kata-kata.
    Banyak orang pandai berkata manis, tapi perbuatannya penuh kontradiksi. Lihat bagaimana mereka bertindak saat tidak ada keuntungan bagi mereka. Di situlah watak asli terkuak.

  2. Memberi tanpa mengikat.
    Kalau kita berbuat baik karena ingin dibalas baik, kita akan kecewa. Tapi kalau kita berbuat baik karena itu nilai yang kita pegang, maka kita tidak mudah terluka ketika dikhianati.

  3. Memaafkan, bukan untuk mereka, tapi untuk diriku.
    Maaf adalah jalan melepaskan diriku dari belenggu kemarahan dan luka. Karena hidup terlalu singkat untuk menggendong beban dendam dari orang-orang yang bahkan mungkin tak lagi memikirkan kita.


Kini, ketika aku bertemu orang, aku tidak lagi terburu-buru menaruh label "baik" atau "buruk". Aku belajar menjadi pengamat yang tenang. Aku tahu bahwa manusia kompleks. Dan kebaikan sejati tidak perlu ditunjukkan. Ia terpancar dalam kesederhanaan, dalam konsistensi, dalam ketulusan yang tak berbunyi.

“Apakah mereka benar-benar baik seperti yang aku pikirkan?”
Mungkin tidak.
Tapi yang lebih penting adalah, apakah aku tetap memilih untuk jadi orang baik meski kenyataan sering menyakitkan?

Kalau kamu sedang merasa dikhianati oleh seseorang yang kamu pikir baik, jangan buru-buru mengutuk. Duduklah. Dengarkan hatimu. Dan biarkan kesadaran menguatkanmu—bahwa kamu sedang belajar jadi manusia yang lebih bijaksana.



Salam hangat,
Rin Muna
(Yang belajar dari diam dan luka untuk tumbuh lebih jernih.)

Referensi:

  1. Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, Kitab tentang Hati dan Nafsu.

  2. Al-Qur’an Surat Al-Hujurat (49): Ayat 12.

  3. Marcus Aurelius, Meditations, terjemahan Gregory Hays.

  4. Ryan Holiday, The Daily Stoic.

  5. Said Hawwa, Tarbiyah Ruhiyah.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas