Sunday, March 23, 2025

Kamu Punya Hak untuk Tidak Selalu Dihubungi



 Kita Punya Hak untuk Tidak Selalu Dihubungi

Oleh: Rin Muna


Beberapa waktu lalu, aku memutuskan untuk tidak membalas chat selama dua hari. Bukan karena marah, bukan juga karena ingin dianggap misterius. Tapi karena aku lelah. Jiwaku lelah. Dan aku butuh waktu untuk diam.

Reaksinya? Beragam. Ada yang khawatir, ada yang tersinggung, dan tentu saja—ada yang menganggapku sombong. Seolah-olah kita, manusia, selalu harus available, harus fast response, harus cepat tanggap. Padahal, bukankah diam juga adalah bentuk komunikasi? Bukankah memilih untuk tidak dihubungi juga bisa menjadi bentuk cinta pada diri sendiri?

Di era digital ini, kita dituntut untuk selalu on. Selalu merespons dengan cepat. Balas DM. Angkat telepon. Jawab komentar. Bahkan, diam kita pun dipertanyakan: “Lagi kenapa? Kenapa nggak jawab?”

Padahal, kita ini manusia, bukan pusat layanan 24 jam.

Psikolog Nancy Colier dalam bukunya “The Power of Off” mengatakan bahwa kita hidup dalam ilusi koneksi yang justru mengasingkan. Terlalu banyak interaksi yang dipaksakan hanya karena merasa wajib. Kita menjadi makhluk sosial yang lupa bagaimana rasanya sendiri tanpa merasa bersalah.

Aku akhirnya sadar, bahwa membatasi akses adalah hak. Dan hak itu tidak perlu dijustifikasi panjang lebar. Kita punya hak untuk tidak selalu dihubungi.

Dalam Islam, ada konsep yang indah bernama khalwat—menyendiri bukan karena membenci, tapi untuk mendekatkan diri pada Allah. Para ulama terdahulu bahkan menyisihkan waktu-waktu khusus untuk uzlah (mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia), agar hati tetap bening.

Al-Qur’an pun menyebutkan kisah Maryam, ibu Nabi Isa, yang ketika hamil memilih untuk menyendiri di tempat yang sunyi (QS. Maryam: 16). Bahkan Rasulullah SAW pun menyendiri di Gua Hira sebelum menerima wahyu pertama.

Jadi, jika bahkan para manusia terpilih pun punya waktu untuk tidak ingin diganggu, mengapa kita—yang hanya manusia biasa—harus merasa bersalah karena tidak selalu membalas chat?

Dalam Stoikisme, Epictetus menekankan bahwa hal yang bisa kita kendalikan adalah respon dan pilihan pribadi, bukan ekspektasi orang lain.

Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak selalu merespons dunia. Tidak setiap stimulus harus mendapat reaksi. Kadang, diam adalah pilihan yang paling waras. Marcus Aurelius bahkan menulis: “Withdraw into yourself. The rational soul is self-sufficient.”

Jadi ya, kita berhak memilih untuk tidak merespons pesan yang tidak perlu. Bukan karena kita jahat, tapi karena kita belajar membedakan antara penting dan mendesak—antara kebutuhan orang lain dan kebutuhan jiwa kita sendiri.

Memilih untuk tidak selalu terhubung bukanlah bentuk pelarian, tapi perlindungan. Kita tidak bisa memberi jika kita kosong. Tidak bisa hadir sepenuhnya jika jiwa kita compang-camping karena terus dipaksa hadir di setiap layar. Kita perlu istirahat. Istirahat dari ekspektasi. Istirahat dari notifikasi. Istirahat dari keharusan membalas semua hal yang tidak esensial.

Dan kamu tahu apa yang lebih penting?

Membuat batas itu adalah bentuk cinta pada diri sendiri.

Hari ini, aku ingin mengingatkan kamu dan juga diriku sendiri: kita tidak diciptakan untuk jadi manusia serba cepat. Kita bukan robot. Kita punya ritme. Dan kadang, ritme itu mengajak kita untuk diam, untuk jeda, untuk hanya menjadi.

Kita punya hak untuk tidak selalu dihubungi.
Dan kita tidak perlu merasa bersalah karenanya.

Jika kamu hari ini memutuskan untuk menonaktifkan notifikasi, menolak ajakan ngopi, atau bahkan tidak menjawab satu pun pesan, aku ingin bilang: It’s okay.
Kamu punya hak untuk memilih tenang.
Dan kamu tetap berharga, bahkan ketika tidak sedang online.


Salam penuh jeda,



Rin Muna
(Yang sedang menikmati sunyi sebagai teman baru dalam perjalanan pulang ke dalam diri.)



___________________________________________________________________________

Referensi & Bacaan Tambahan:

  1. Nancy Colier. The Power of Off: The Mindful Way to Stay Sane in a Virtual World.

  2. Al-Qur’an Surah Maryam Ayat 16–17 (tentang menyendiri).

  3. Marcus Aurelius. Meditations.

  4. Epictetus. The Enchiridion.

  5. Imam Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin (bab tentang uzlah dan khalwat).

  6. Jonathan Malesic. The End of Burnout: Why Work Drains Us and How to Build Better Lives.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas