Sunday, March 23, 2025

Kebohongan Patologis Dapat Menghancurkan Hubungan

 



Kebohongan Patologis Dapat Menghancurkan Hubungan

 Luka yang Tidak Tampak, Tapi Nyata


Ada luka yang tidak meneteskan darah, tapi menganga dalam diam: luka karena kebohongan. Apalagi jika kebohongan itu bukan satu-dua kali, melainkan terus-menerus seperti napas—kebohongan yang sudah menjadi kebiasaan. Inilah yang disebut sebagai kebohongan patologis (pathological lying).

Sebagai penulis yang gemar mengamati dinamika relasi manusia, saya sering menjumpai tema ini dalam kisah nyata maupun fiksi. Dan yang paling menyedihkan adalah ketika seseorang sadar bahwa pasangannya bukan sekadar "berbohong sesekali", tapi memiliki pola bohong kronis yang membentuk realitas semu—seolah hidup dalam sandiwara.

Apa Itu Kebohongan Patologis?

Kebohongan patologis bukan sekadar dusta sesekali untuk menghindari konflik. Ini adalah kebohongan yang berulang, tidak perlu, dan kadang tidak masuk akal, bahkan ketika tidak ada keuntungan jelas dari kebohongan itu.

Psikolog Charles Dike dari UCLA menyebut kondisi ini sebagai bagian dari Pseudologia Fantastica—sebuah fenomena di mana pelaku menyusun narasi palsu yang ia percayai sendiri, dan menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian. Dalam jurnal Psychiatric Times (2008), Dike menjelaskan bahwa kebohongan patologis bisa muncul karena trauma masa kecil, dorongan untuk terlihat superior, atau keinginan kompulsif untuk mengontrol persepsi orang lain.

Mengapa Ini Bisa Menghancurkan Hubungan?

Hubungan dibangun atas dasar kepercayaan. Dan kepercayaan itu seperti gelas kaca—sekali retak, sulit kembali seperti semula. Ketika seseorang terus-menerus dibohongi, ia bukan hanya kehilangan kepercayaan pada pasangannya, tapi juga pada persepsinya sendiri. Ia mulai mempertanyakan: “Apakah aku terlalu curiga? Apakah aku yang berlebihan?”

Kebohongan yang terus diulang akan melahirkan gaslighting, di mana korban dipaksa meragukan realitasnya sendiri. Dan inilah yang sangat berbahaya. Hubungan menjadi tidak sehat. Ada ketimpangan kuasa. Dan sering kali, sang pembohong akan memutarbalikkan logika hingga ia tampil sebagai korban.

Kita tahu, dalam relasi apa pun—baik romantis, pertemanan, keluarga, maupun profesional—integritas adalah fondasi. Ketika seseorang berbohong terus-menerus, maka ia menghancurkan fondasi itu secara perlahan, seperti rayap yang memakan rumah dari dalam.

Kebohongan Sebagai Alat Manipulasi

Kebohongan patologis bisa menjadi bentuk manipulasi psikologis. Pelakunya kadang tampak charming, penuh pesona, tapi di balik itu ia menyimpan agenda. Ia bisa membuat pasangannya tergantung padanya secara emosional, dan memutar fakta demi menjaga ilusi citra diri.

Kisah-kisah seperti ini banyak diangkat dalam literatur populer maupun dunia nyata. Salah satunya dalam kisah Dirty John (kisah nyata yang difilmkan oleh Netflix), di mana seorang pria manipulatif membohongi istrinya tentang identitas, pekerjaan, hingga masa lalunya demi keuntungan pribadi. Ia membungkus semua itu dalam pesona dan perhatian semu, yang pada akhirnya membuat korbannya hampir kehilangan segalanya.

Islam dan Filsafat: Perspektif tentang Dusta

Dalam Islam, berbohong adalah dosa besar. Rasulullah ï·º bersabda, "Sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan kefasikan membawa ke neraka." (HR. Bukhari & Muslim).

Sementara dalam filsafat, Plato menganggap kebenaran sebagai bentuk tertinggi dari keadilan. Berbohong berarti mencederai logos, merusak harmoni antara pikiran dan kenyataan. Dalam tradisi stoikisme, seperti yang diajarkan oleh Epictetus, kejujuran adalah wujud integritas diri. “It’s not things themselves that disturb us, but our interpretations of them.” Maka jika seseorang terus-menerus menciptakan ilusi, ia bukan hanya menipu orang lain, tapi juga menipu dirinya sendiri dari realitas yang jujur.

Apakah Bisa Disembuhkan?

Secara psikologis, orang dengan kecenderungan kebohongan patologis membutuhkan terapi yang mendalam. Tidak cukup hanya dengan nasehat atau kemarahan. Mereka harus memahami akar dari kebohongan itu: apakah karena trauma, rasa tidak aman, atau kelainan kepribadian seperti antisosial atau narsistik.

Tapi sayangnya, banyak dari mereka tidak menyadari masalahnya. Bahkan ketika relasi mereka mulai runtuh, mereka akan mencari kambing hitam, bukan bercermin.

Cinta Tidak Akan Tumbuh di Atas Kebohongan

Membangun relasi itu seperti merawat taman. Butuh kesabaran, kejujuran, dan konsistensi. Jika tanahnya diracuni kebohongan, maka bunga cinta akan layu bahkan sebelum sempat mekar.

Jadi, jika kamu berada dalam hubungan yang dipenuhi dusta, tanya pada dirimu sendiri: “Apakah aku sedang mencintai seseorang, atau sedang mencintai ilusi yang ia ciptakan?”

Beranilah untuk membuka mata, dan jangan biarkan kebohongan—sekecil apa pun—merusak jiwamu. Karena hubungan yang sehat selalu tumbuh di atas kebenaran, meski terkadang pahit.

Referensi:

  1. Dike, Charles. Pathological Lying: Symptom or Disease? Psychiatric Times, Vol. 25 No. 9 (2008).

  2. American Psychiatric Association. DSM-5 Diagnostic Criteria for Personality Disorders.

  3. Hadis Riwayat Bukhari & Muslim.

  4. Plato. The Republic.

  5. Epictetus. Discourses.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas