Ketika kamu dipercaya untuk menjalankan sebuah kewajiban, maka kamu harus bertanggung jawab penuh atas segalanya.
Itulah kalimat yang tepat untuk gambar di atas agar aku bisa menjadi orang yang bertanggung jawab.
Bantuan Pemerintah Rp 50 juta untuk komunitas literasi yang ada di seluruh Indonesia bukanlah diberikan cuma-cuma tanpa pertanggungjawaban. Bantuan itu ditujukan untuk membuat komunitas bisa terus bergerak di tengah keterbatasan.
Komunitas adalah sekelompok masyarakat yang bergerak secara mandiri tanpa mengandalkan biaya dari pemerintah. Kehadiran komunitas-komunitas ini tentunya sangat membantu pemerintah dalam menjalankan program berkelanjutan. Oleh karenanya, sudah sepatutnya pemerintah memberikan apresiasi kepada komunitas-komunitas yang aktif bergerak di dunia literasi secara mandiri.
Rumah Literasi Kreatif menjadi salah satu penerima banpem yang harus menjalankan program pemerintah sesuai dengan juknis yang telah ada. Salah satu program yang harus kami jalankan ialah membuat "Workshop Nulis Bareng" tentang kearifan lokal.
Tentunya ini menjadi tantangan besar bagi kami. Rumah Literasi Kreatif yang telah berdiri selama 6 tahun masih belum mampu menjadi pilar yang kuat dalam meningkatkan kemampuan literasi masyarakat. Masih banyak masyarakat yang tidak suka dengan membaca, apalagi menulis. Jadi, untuk mendapatkan penulis-penulis buku, tentunya tidak mudah bagiku.
Sebenarnya ada banyak penulis-penulis senior di Samboja, tapi mereka tidak mungkin bergabung dengan komunitasku yang masih pemula. Standarnya sudah berbeda. Aku juga tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengajak mereka terlibat dalam proyek penulisan ini.
Akhirnya, aku menyasar penulis-penulis pemula yang belum pernah menulis buku sama sekali, tetapi mereka memiliki keinginan untuk menulis buku. Yang mendaftar dalam event kepenulisan kali ini ialah anak-anak sekolah dan beberapa pendidik yang belum pernah menulis buku, ada juga pendidik yang telah menerbitkan buku yang bersedia menjadi kontributor dalam penulisan buku ini.
Dikejar target untuk melaporkan hasil kegiatan, tentunya membuatku sangat kesulitan untuk memilih antara kualitas tulisan dan percepatan penerbitan buku.
Tenggat waktu penyelesaian buku sejak workshop dimulai, hanya diberikan waktu 1 minggu saja. Ini cukup membuatku sakit kepala memikirkannya karena aku masih harus memeriksa naskah yang masuk.
Dari seluruh naskah yang masuk, 90% naskah masih sangat berantakan. Kaidah kepenulisannya belum ada. Bahkan, tanda baca pun tidak diterapkan dengan baik. Aku hampir gila merevisi setiap tanda baca naskah yang masuk. Aku tidak merevisi konteks di dalamnya. Hanya memberikan tanda baca yang tepat seperti penggunaan titik, koma, tanda tanya, tanda petik, dan tanda seru.
Yang lebih mencengangkan lagi, aku menerima naskah narasi dalam bentuk tulisan tangan.
"Oh, My God! Ini harus aku ketikkan?" batinku.
Aku masih harus merevisi banyak tanda baca di naskah lain, kemudian mendapatkan naskah dalam bentuk tulisan tangan. Tentunya, ini akan semakin mempersulit kinerjaku.
Tapi aku tidak punya pilihan lain. Beliau yang memberikan tulisan tangan memang sudah sangat sepuh. Sudah masuk usia pensiun, tetapi masih semangat untuk menulis. Akhirnya, aku tulis ulang tulisan tangannya agar bisa masuk ke dalam buku yang akan kami terbitkan bersama.
Awalnya aku minta tolong pada puteriku yang baru duduk di kelas 3 SD untuk mengetikkan naskah ini. Sebab, di tengah tanggung jawabku menyelesaikan naskah buku, aku juga memiliki tanggung jawab sebagai seorang ibu. Aktivitas rumah tangga saja sudah sangat menyita waktuku. Sehingga, aku selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan lain selain kerjaan ibu rumah tangga.
Yang ingin aku ceritakan di sini bukanlah tentang kesulitanku. Ini hanya intermezo supaya kamu tahu bahwa yang aku jalani tak semudah yang kamu pikirkan, tapi aku tetap semangat menyelesaikannya sampai tuntas.
Aku ingin mengabadikan momen di mana aku bisa mendapatkan tulisan tangan seorang sesepuh desa. Tulisan tangan yang tinta-tintanya digoreskan dari hati dan pikirannya. Pikirannya masih menyimpan memori masa lalu dengan jelas. Ia tuliskan di secarik kertas untuk mengingatkan kepada generasi muda bahwa ada cerita terdahulu yang harus mereka ketahui, agar mereka mencintai apa yang sekarang mereka miliki.
Tanpa tulisan kecil dari beliau, kita tidak akan pernah tahu bagaimana asal-usul berdirinya 2 sekolah dasar yang berdekatan di dalam satu desa. Ini sangat mengagumkan dan memberikan banyak arti bagi warga Desa Beringin Agung.
Berkat kepedulian dan perjuangan sesepuh-sesepuh terdahulu, kini kita bisa menikmati mudahnya menjangkau kehidupan.
Maka, ingatlah mereka dan abadikan mereka dalam sebuah tulisan.
0 komentar:
Post a Comment