Tuesday, November 4, 2025

Saat Hujan Menyapa Kelas Bahasa Inggris


 

Saat Hujan Menyapa Kelas Bahasa Inggris

Karya: Rin Muna

Hujan deras turun sejak siang, membasahi halaman kecil Rumah Literasi Kreatif di Beringin Agung. Biasanya, pada pukul dua siang aku sudah duduk di antara meja-meja kecil berisi tumpukan buku dan alat tulis warna-warni, menyambut anak-anak yang datang dengan semangat untuk belajar Bahasa Inggris. Namun hari itu, 4 November 2025, langkahku tertahan oleh urusan dunia nyata yang tak bisa ditunda — mengurus beasiswa puteriku di bank sejak pagi hingga menjelang sore.

Kelas yang biasanya dimulai pukul 14.00 WITA terpaksa bergeser. Aku sempat merasa bersalah — seolah menunda tawa dan semangat kecil mereka yang sudah menunggu hari Selasa, hari di mana ruang baca sederhana itu berubah menjadi kelas Bahasa Inggris penuh keceriaan. Tapi, hidup memang sering kali berjalan di antara jeda dan tanggung jawab, bukan?

Ketika akhirnya aku tiba di Rumah Literasi Kreatif menjelang sore, langit masih menitikkan sisa hujan. Lantai semen di teras lembap, tapi suara anak-anak sudah terdengar dari dalam ruangan. 

“Ayo, Miss! Hari ini belajar apa?” tanya Florence, sambil menepuk-nepuk tas yang ia bawa.

Aku tersenyum. “Hari ini kita belajar percakapan tentang Introducing My Sibling — memperkenalkan saudara kandungku dalam Bahasa Inggris.”

Beberapa anak langsung membuka buku catatannya. Namun, sebagian kursi tampak kosong. Seperti biasa, beberapa teman mereka harus pergi ke sekolah ngaji atau sekolah sore yang dimulai pukul empat sore. Ada rasa kehilangan kecil ketika melihat kursi-kursi kosong itu, tapi aku tahu setiap anak sedang menunaikan kewajibannya di tempat lain — dan itu juga bagian dari belajar, bukan hanya dari buku, tapi dari kehidupan.

Kami pun memulai pelajaran dengan sederhana. Aku menulis di papan tulis kecil:


Anak-anak menirukan dengan suara lantang, lalu tertawa ketika satu sama lain salah menyebut kata brother. Ada yang berani maju memperkenalkan saudaranya dengan percaya diri, ada pula yang masih malu-malu, menggenggam pensil erat-erat. Namun, di tengah derasnya hujan di luar, aku merasakan kehangatan yang tumbuh di dalam ruangan itu — sebuah kehangatan yang lahir dari keberanian kecil untuk mencoba.

Kegiatan hari itu mungkin sederhana. Tidak ada proyektor, tidak ada papan tulis besar, tidak ada fasilitas modern. Tapi ada semangat yang menular. Ada tawa yang menjadi cahaya di antara rintik hujan. Dan aku menyadari, bahwa mengajar bukan sekadar menyampaikan materi, melainkan juga membagi harapan — bahwa setiap kata baru yang mereka ucapkan adalah jembatan menuju dunia yang lebih luas.



Ketika kelas usai, beberapa anak menatapku sambil berkata,
“Miss, minggu depan belajar tentang apa lagi?”

Aku menjawab pelan, “Kita lihat nanti, ya! Kalian hafalin dulu percakapan yang ini dan percakapan sebelumnya. Nanti Miss tes percakapan kalian."

Mereka tertawa, sebagian ada yang menghela napas karena menganggap belajar Bahasa Inggris masih sulit. Mereka menutup buku, lalu bersiap menjawab pertanyaan yang selalu aku ajukan sebelum mereka pulang. 



Kemudian, mereka berlarian pulang di bawah gerimis yang mulai reda. Aku menatap mereka satu per satu dan merasa bersyukur. Meski jadwal bergeser, meski kursi tidak penuh, semangat mereka tidak pernah absen.

Rumah Literasi Kreatif, sekali lagi, menjadi saksi bahwa belajar bisa tumbuh di mana saja — bahkan di bawah atap yang bocor sedikit dan di antara waktu yang sempit. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya tentang waktu dan tempat, tapi tentang hati yang mau memberi dan jiwa yang terus haus akan ilmu.

 


Referensi:

  • Dokumentasi kegiatan Kelas Bahasa Inggris Rumah Literasi Kreatif, Beringin Agung, 4 November 2025.

  • Materi pembelajaran: Daily Conversation – Introducing My Sibling, disusun oleh Rin Muna, Rumah Literasi Kreatif.

  • Catatan reflektif pribadi penulis, Rumah Literasi Kreatif Kutai Kartanegara (2025).

Aroma Kopi dan Ide yang Menyala



 Aroma Kopi dan Ide yang Menyala

Oleh: Rin Muna

Ada sesuatu yang magis setiap kali aroma kopi menyeruak dari cangkir. Seolah-olah waktu berhenti sejenak, dan ruang menjadi tempat yang lebih hangat untuk berbagi cerita. Di meja kayu sederhana Teman Diskusi Coffee — unit usaha kecil yang tumbuh dari semangat Rumah Literasi Kreatif — setiap tegukan kopi bukan hanya minuman, melainkan percikan ide yang menyala dari obrolan ringan hingga diskusi yang mendalam.

Aku sering berpikir, bahwa kopi dan literasi memiliki jiwa yang serupa. Keduanya sama-sama menuntut waktu, kesabaran, dan ketulusan untuk menghasilkan rasa yang berkesan. Tak bisa terburu-buru. Seperti membaca buku, meracik kopi pun butuh perhatian pada detail kecil — suhu air, takaran bubuk, bahkan cara menuang yang menentukan aroma terakhir di permukaannya.

Teman Diskusi Coffee lahir bukan sekadar sebagai tempat nongkrong atau menikmati kopi lokal, melainkan ruang bertemunya pikiran. Di sinilah para pegiat literasi, mahasiswa, guru, ibu rumah tangga, dan siapa pun yang mencintai percakapan datang untuk mencari makna di balik setiap kalimat dan cangkir. Kadang kita membicarakan buku, kadang tentang rencana kegiatan literasi, dan tak jarang tentang kehidupan itu sendiri.

Ada hari-hari di mana aku melihat meja penuh dengan kertas coretan ide. Ada yang menulis puisi sambil menyeruput kopi tubruk, ada yang menggambar desain kaos literasi di sudut ruangan, dan ada pula yang hanya diam, menatap uap yang naik dari cangkir sambil berpikir. Suasana seperti itu mengingatkanku pada pandangan filsafat Islam tentang tafakkur — merenung sebagai jalan menemukan makna hidup. Bahwa berpikir bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga bentuk ibadah yang mendekatkan manusia pada Sang Pencipta.

Maka, di setiap percakapan yang lahir di kedai kecil ini, selalu ada makna yang lebih besar dari sekadar kata-kata. Kadang, ide besar lahir dari hal sederhana — dari sepotong kalimat yang tak sengaja terucap, atau dari tawa ringan di antara percakapan sore. Seperti halnya api yang menyala dari percikan kecil, inspirasi pun sering datang dari momen-momen yang tak direncanakan.

Teman Diskusi Coffee mengajarkan satu hal penting: bahwa ruang untuk berbagi tak selalu harus megah. Cukup ada meja kayu, kopi hangat, dan niat baik untuk saling mendengarkan. Karena ide-ide besar tak butuh tempat mewah untuk tumbuh, tapi butuh suasana yang memberi ruang bagi kejujuran dan ketulusan.

Setiap kali aku menatap papan nama kecil bertuliskan Teman Diskusi Coffee, aku merasa sedang menyaksikan semangat literasi yang bertransformasi menjadi kehidupan nyata. Dari buku menuju gelas kopi, dari kata menuju tindakan. Ini bukan sekadar bisnis, tapi wujud nyata dari kolaborasi — antara rasa, ide, dan gerakan.


Aroma kopi selalu mengingatkanku bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja — dari kesederhanaan, dari percakapan, bahkan dari keheningan. Di Teman Diskusi Coffee, kami belajar bahwa berbagi gagasan bukan tentang siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling tulus mendengarkan. Karena di balik setiap cangkir kopi, selalu ada cerita yang menunggu untuk diseduh, dan di balik setiap cerita, selalu ada api kecil yang siap menyala — menerangi langkah kita dalam perjalanan literasi yang panjang.




Kutai Kartanegara, 04 November 2025

Monday, November 3, 2025

Benang yang Mengikat Cerita: Desain Kebaya Pertamaku di Bulan November

 


Benang yang Mengikat Cerita: Desain Kebaya Pertamaku di Bulan November
Oleh: Rin Muna

Bulan November datang seperti benang yang perlahan menjahit ulang hidupku. Setiap helainya membawa kisah tentang waktu, tanggung jawab, dan cinta yang ditenun dengan kesabaran. Di bulan ini, aku memutuskan membuat kebaya pertamaku — bukan sekadar pakaian, tapi simbol perjalanan yang kusulam di antara tumpukan kesibukan dan kelelahan.

Siang hari, aku duduk di depan meja jahit. Jarum dan benang menari di atas kain, sementara pikiranku berkelana di antara kalimat sastra Inggris yang harus kuterjemahkan untuk tugas kuliah. Kadang, aku berhenti sejenak hanya untuk menarik napas panjang, menatap payet-payet kecil yang menunggu untuk dijahit satu per satu. Ada rasa lelah yang mengendap, tapi juga kehangatan yang tumbuh di sela kerja tangan.

Malam hari, ketika warga lain sudah mulai beristirahat, aku masih harus memastikan jadwal ronda malam berjalan. Sebagai ketua RT, aku memegang tanggung jawab untuk menjaga rasa aman di lingkungan. Dua kelompok dasawisma — Kenanga dan Kantil — pun menjadi bagian dari keseharian yang tak pernah jauh dari urusan koordinasi, data, dan kegiatan sosial. Kadang aku tertawa sendiri, betapa lucunya hidup ini: pagi membahas morfologi bahasa Inggris, sore memeriksa hasil kegiatan dasawisma, malam menjahit kebaya sambil mendengar suara tongkat ronda di kejauhan.

Namun justru di situlah letak indahnya hidup. Di antara tumpukan peran yang harus dijalani, aku menemukan keseimbangan yang halus — seperti garis jahitan yang rapi di tepi kebaya. Hidup tidak selalu tentang memilih satu peran dan meninggalkan yang lain, tapi tentang menemukan irama agar semuanya bisa berjalan berdampingan.

Setiap payet yang kutambahkan di kebaya itu seperti doa kecil. Ada yang melambangkan ketekunan, ada yang menyiratkan rasa syukur. Aku teringat pesan dalam filsafat Islam tentang ihsan — melakukan sesuatu sebaik-baiknya seolah kita melihat Allah, dan jika kita tidak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihat kita. Maka setiap jahitan pun kutanam dengan niat yang tulus, agar hasilnya tidak hanya indah di mata, tapi juga membawa ketenangan di hati.

Kebaya itu akhirnya selesai di akhir pekan, di tengah hujan November yang turun perlahan. Aku menatap hasil karyaku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Bukan karena lelah, tapi karena ada rasa bangga yang lembut — bahwa dari segala kesibukan dan tanggung jawab, aku masih bisa menciptakan sesuatu yang lahir dari cinta dan ketekunan.

Kini, setiap kali melihat kebaya itu tergantung di lemari, aku tak hanya melihat hasil karya tangan. Aku melihat perjalanan — perjuangan seorang perempuan yang terus belajar menyeimbangkan hidupnya antara seni, ilmu, dan pengabdian sosial. Aku melihat benang-benang kecil yang mengikat banyak cerita: tentang waktu yang terbatas, tentang sabar yang diuji, dan tentang cinta yang tumbuh dalam kesibukan.

Hidup ini, seperti menjahit kebaya, membutuhkan kesabaran dan keberanian untuk tidak menyerah di tengah detail yang rumit. Kadang kita harus menjahit ulang, mengurai benang yang salah arah, atau menambahkan payet baru agar hasilnya sempurna. Namun yang terpenting bukan seberapa cepat kita menyelesaikannya, melainkan seberapa tulus kita menenunnya. Karena pada akhirnya, setiap benang yang kita ikat dengan cinta akan menjelma menjadi cerita — dan setiap cerita yang lahir dari ketulusan akan selalu abadi, bahkan setelah waktu berlalu.

Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas



Menemukan Damai di Tengah Sibuknya Aktivitas
Oleh: Rin Muna

Ada masa di mana aku merasa hidup ini berlari terlalu cepat. Seakan waktu memiliki sayap, dan aku hanya berusaha mengejar agar tak tertinggal. Setiap hari penuh dengan to-do list, agenda, rapat, target, dan tumpukan pekerjaan yang seolah tak pernah selesai. Dalam kesibukan itu, ada satu hal yang sering terlupa — keheningan yang menenangkan hati.

Aku pernah berpikir, produktivitas adalah segalanya. Bahwa sibuk berarti berguna, bahwa lelah berarti berharga. Tapi ternyata, di tengah hiruk-pikuk kesibukan, aku justru kehilangan sesuatu yang lebih dalam: kedamaian.

Suatu sore di taman baca kecilku, saat anak-anak mulai pulang dan suara mereka mereda, aku duduk sendiri sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. Ada desir lembut angin yang menyinggung wajah, ada aroma tanah yang baru saja disiram air. Di sanalah aku tersadar — bahwa ketenangan tidak datang dari berhentinya aktivitas, tapi dari kemampuan kita untuk tetap hening di tengah gerak yang ramai.

Dalam pandangan filsafat Islam, hati manusia adalah pusat keseimbangan. Al-Ghazali pernah berkata, “Jika hati itu baik, maka baiklah seluruh jasad.” Maka, segala kesibukan, pencapaian, dan usaha duniawi kita sebenarnya akan kehilangan makna jika hati kita terus bergejolak. Islam mengajarkan bahwa dzikir — mengingat Allah — bukan hanya aktivitas ritual, tapi juga ruang batin untuk menenangkan diri. Saat lidah berzikir, hati belajar pasrah; dan di situlah kedamaian sejati tumbuh.

Damai bukan berarti berhenti bekerja, tapi bekerja dengan niat yang lurus. Sibuk bukan berarti tersesat, asal langkah kita tetap terarah kepada tujuan yang benar. Dalam konsep ihsan, setiap aktivitas, sekecil apapun, bisa menjadi ibadah jika dilakukan dengan kesadaran bahwa Allah selalu bersama kita. Mungkin di sinilah letak rahasia ketenangan para sufi — mereka tetap bergerak, tetap berjuang, tapi hatinya tenang seperti air yang jernih.

Aku belajar, bahwa menemukan damai bukan tentang melarikan diri dari keramaian, tapi tentang menyelaraskan diri dengan irama hidup. Bahwa sesekali menatap langit, menghela napas panjang, atau hanya sekadar diam di antara tumpukan kesibukan, bukan tanda kemalasan — tapi bentuk penghormatan pada jiwa yang juga butuh istirahat.

Kini, setiap kali hari terasa padat, aku mencoba untuk berhenti sejenak. Menutup mata, mengucap Alhamdulillah, dan membiarkan hatiku berbicara. Karena sering kali, kedamaian itu sudah ada di dalam diri, hanya tertimbun oleh kebisingan dunia.

Dan pada akhirnya, aku menyadari — hidup yang sibuk tetap bisa damai, asal hati tahu ke mana ia pulang.

Mungkin kita tak bisa menghindari kesibukan, tapi kita bisa memilih bagaimana menjalaninya. Jadikan setiap langkah, setiap helaan napas, sebagai bentuk ibadah kecil yang menenangkan jiwa. Ketika hati mampu berdamai dengan waktu, dunia yang berisik pun terasa lembut. Mari belajar untuk berhenti sejenak hari ini — bukan karena kita lelah, tapi karena kita ingin kembali mengingat siapa diri kita, dan kepada siapa semua ini akan kembali.

Saturday, November 1, 2025

My Journey as an English Literature Student in a Small Village

 


My Journey as an English Literature Student in a Small Village

by Rin Muna


Dreams sometimes bloom late — just like wildflowers that wait for the right season to show their colors. My journey as an English Literature student began not in my teenage years, but at the age of thirty. It wasn't because I lacked passion or interest, but because life had a different plan for me.

Growing up in a small village, opportunities often felt far away. Education was something to be grateful for, but also something that depended on how much we could afford. For years, I carried my dream quietly — the dream of studying English, of reading Shakespeare’s words and understanding them without translation, of writing stories that could travel beyond the borders of my village.

When I finally became a student of English Literature, I felt both excitement and fear. Excitement, because it was a dream finally taking shape. Fear, because I realized how limited my environment was. I lived far from people who were fluent in English. There were no cafés filled with writers discussing novels, no clubs for English debate, and no native speakers to practice with. Most of my conversations about English happened in my own head — or sometimes, with my students.

Yes, I decided to open a small, free English class in my village. It started with only a few children, curious about the sounds of new words: apple, book, star. Their eyes would light up when they managed to say a full sentence in English. For me, it was not just about teaching — it was about keeping my own flame alive. Every lesson I gave was also a reminder for myself to never stop learning.

Sometimes, I study late at night when the village is silent. I read poetry by Emily Dickinson under a dim light, or try to translate short stories into English while sipping coffee from my own small shop, Teman Diskusi Coffee. My learning process is slow, but it is steady. Every word I understand feels like a small victory. Every essay I write reminds me that dreams do not expire with age.

My goal is simple yet big — one day, I want to publish a book written fully in English. Not because I want to prove something, but because I want to show that even from a small village, a voice can reach the world.

This journey has taught me that limitations can be powerful teachers. They push us to be creative, to find new paths where none existed before. I may not have all the resources that big-city students have, but I have determination, and that is enough to keep me going.

So, as I walk this path — as a woman, a student, a teacher, and a dreamer — I carry one belief close to my heart: it’s never too late to begin, and it’s never too small to dream big.

Thursday, October 30, 2025

Stick Nanas: Dari Dapur Mamuja untuk Rasa Manis Desa Beringin Agung




Stick Nanas: Dari Dapur Mamuja untuk Rasa Manis Desa Beringin Agung


Di sebuah sudut Desa Beringin Agung, aroma nanas yang manis pernah menjadi saksi lahirnya sebuah ide sederhana namun bernilai besar. Tahun 2019, sekelompok ibu rumah tangga yang tergabung dalam Mamuja—singkatan dari Mama Muda Samboja—memutuskan untuk memanfaatkan hasil kebun lokal yang sering kali berlimpah namun mudah busuk: nanas. Dari tangan-tangan terampil mereka, lahirlah camilan renyah bernama Stick Nanas, produk unggulan yang kini menjadi ikon kecil dari semangat perempuan desa.


Stick Nanas bukan sekadar camilan. Ia adalah kisah tentang kemandirian, kebersamaan, dan inovasi dari dapur-dapur sederhana. Proses pembuatannya pun dilakukan dengan penuh ketelitian. Nanas segar dikupas, dilumatkan, lalu diolah dengan campuran tepung dan sedikit bumbu manis gurih. Setelah melalui proses penggorengan dan pengeringan, jadilah camilan yang renyah di luar namun masih menyimpan rasa nanas yang khas di dalam. Setiap gigitan menghadirkan rasa segar tropis yang seolah membawa kita ke tengah hamparan kebun nanas di bawah matahari sore.


Bagi para ibu di Mamuja, Stick Nanas bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang peluang. Mereka belajar bersama di bawah pendampingan Rumah Literasi Kreatif (Rulika) — mulai dari teknik produksi, pengemasan, hingga cara memasarkan produk secara mandiri. Tak jarang, kegiatan mereka menjadi tempat belajar bersama anak-anak muda desa atau peserta magang yang tertarik dengan dunia wirausaha rumahan.


Dalam perjalanan usahanya, Stick Nanas juga mempertemukan para ibu Mamuja dengan banyak pihak yang peduli pada ekonomi kreatif lokal. Mereka mengikuti bazar, pameran UMKM, hingga pelatihan pengembangan produk. Semua itu dilakukan dengan semangat gotong royong — karena mereka percaya, hasil kecil dari kebersamaan akan selalu lebih berarti daripada usaha besar yang berjalan sendiri.


Kini, Stick Nanas telah menjadi oleh-oleh khas yang banyak dicari saat ada acara literasi, kunjungan komunitas, atau sekadar buah tangan dari Samboja. Kemasan yang sederhana namun menarik, isi yang gurih dan manis seimbang, membuat produk ini mudah diterima berbagai kalangan. Lebih dari itu, produk ini menjadi bukti nyata bahwa perempuan desa bisa berdaya tanpa harus meninggalkan rumah — cukup dengan mengolah potensi yang ada di sekeliling mereka.


Setiap kali seseorang membuka bungkus Stick Nanas, di sanalah tersimpan cerita: tentang tangan-tangan gigih ibu-ibu Mamuja, tentang semangat Rulika yang menyalakan api kreatif, dan tentang manisnya perjuangan kecil yang tumbuh dari tanah Desa Beringin Agung.


Dari nanas, mereka belajar arti kesabaran. Dari stik kecil yang renyah itu, mereka membangun mimpi besar — agar nama Mamuja, Rulika, dan Desa Beringin Agung selalu harum, sama manisnya dengan rasa Stick Nanas yang mereka ciptakan.


Sebuah Langkah Kecil Menuju Cahaya Literasi di Kalimantan Timur

 

Sebuah Langkah Kecil Menuju Cahaya Literasi di Kalimantan Timur

Senin, 27 Oktober 2025 menjadi hari yang tak akan mudah kulupakan. Pagi itu, aku melangkah dari Kota Tenggarong menuju Samarinda untuk menghadiri acara Gebyar Anugerah Literasi dan Talkshow di Gedung Olah Bebaya, Pendopo Lamin Etam. Sebuah kegiatan besar yang mengusung tema “Membumikan Literasi, Menumbuhkan Generasi Emas”, dihadiri oleh berbagai tokoh penting—termasuk Gubernur Kalimantan Timur dan Bunda Literasi Kaltim.

Perjalanan yang kutempuh terasa panjang, namun setiap kilometer adalah jejak semangat. Aku datang sebagai bagian dari Relima (Relawan Literasi Masyarakat) Kutai Kartanegara, membawa harapan sederhana: ingin menjadi saksi bahwa gerakan literasi di Kalimantan Timur benar-benar hidup dan dihargai.

Setibanya di Pendopo Lamin Etam, suasana terasa hangat dan penuh semangat. Para pegiat literasi dari berbagai kabupaten hadir dengan wajah berseri. Panggung acara dihiasi dengan nuansa budaya khas Kalimantan Timur, lengkap dengan tarian selamat datang dari siswa SMP Negeri 3 Tenggarong yang menambah suasana megah dan membanggakan.

Bagian paling mengharukan dalam acara ini adalah penganugerahan penghargaan peningkatan kepustakawanan dan literasi masyarakat, yang meliputi tujuh kategori lomba—mulai dari Lomba Perpustakaan SD, SMP, SMA/SMK, Perpustakaan Desa, Lomba Resensi, Mewarnai, hingga Lomba Puisi. Satu per satu nama penerima penghargaan dipanggil, disambut tepuk tangan hangat dari seluruh hadirin. Di antara mereka ada pustakawan, siswa, guru, dan pegiat literasi yang telah berjuang dalam diam untuk menyalakan api baca di lingkungannya masing-masing.

Melihat wajah-wajah penuh haru di atas panggung membuatku teringat pada semua perjuangan kecil di daerah—di rumah baca sederhana, di taman bacaan swadaya, di desa-desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Ternyata, perjuangan mereka tidak sia-sia. Pemerintah Provinsi Kaltim benar-benar memberikan ruang dan apresiasi bagi setiap insan yang mencintai dunia literasi.


Momen paling berkesan adalah ketika aku berkesempatan berjabat tangan langsung dengan Bapak Gubernur Kalimantan Timur. Rasanya luar biasa—campuran antara haru, bangga, dan syukur. Dalam genggaman singkat itu, aku seperti menemukan kembali makna perjuangan kecil yang selama ini kulakukan di komunitas literasi. Bahwa sekecil apa pun upaya kita, ketika dilakukan dengan tulus, akan selalu memiliki arti di mata orang lain.

Aku juga merasa bahagia bisa menyapa Bunda Literasi Kaltim, sosok yang begitu anggun dalam balutan pakaian yang khas dan nyentrik. Ciri khas beliau memang seperti itu dan aku sangat suka melihatnya karena beliau sangat fashionable dan selalu tampil bak ratu kerajaan.

Meski harus mengorbankan acara penutupan pelatihan PKT Jospol di SMK Negeri 2 Tenggarong, aku tidak menyesal sedikit pun. Sebab hari itu aku belajar bahwa perjuangan literasi bukan hanya tentang hadir di tempat yang mudah, tapi tentang berani menempuh jarak demi menyampaikan pesan kebaikan.

Sore harinya aku kembali ke Samboja dengan rasa lelah yang indah. Di jalan, angin sore menampar lembut wajahku, seolah berbisik, “Langkahmu hari ini bukan akhir, tapi awal dari perjalanan panjang menuju terang.”

Dan aku tahu, perjuangan ini belum selesai—karena setiap pertemuan, setiap jabatan tangan, dan setiap cerita yang dibawa pulang… adalah bagian dari sejarah kecil gerakan literasi Kalimantan Timur.








Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Oleh: Rin Muna

 




Jejak Senja di Perpustakaan Musholla Al-Fattah
Oleh: Rin Muna


Kutai Kartanegara, 23 Oktober 2025



Perjalanan kali ini terasa seperti menulis bab baru dalam buku hidupku—penuh debu jalanan, tawa yang menular, dan rasa syukur yang hangat. Pukul lima sore, langit di Kelurahan Maluhu, Tenggarong, mulai menua. Aku baru saja tiba di Perpustakaan Musholla Al-Fattah, tempat yang sederhana namun berkilau oleh semangat ilmu dan kebersihan yang nyaris menenangkan hati. Tapi sebelum sampai ke sana, perjalanan panjang dari pagi masih membekas di badan.

Pagi itu, aku berangkat lebih awal karena harus mengisi sosialisasi di Perpustakaan Gema Loa Duri Ilir. Selesai kegiatan, aku menunggu waktu makan siang sambil menanti rombongan anggota UMKM Mamuja (Mama Muda Samboja)—Rety, Anis, Eni, dan Alfia—yang masih menempuh perjalanan tiga jam dari Samboja menuju Tenggarong. Mereka semua naik motor, dengan semangat yang tak kalah dari embusan angin jalanan. Aku sempat menjemput mereka di sekitar Desa Purwajaya, lalu kami bersama-sama melanjutkan perjalanan.

Tentu, hidup tak pernah lurus seperti jalan tol—kami sempat mampir dulu ke Desa Rapak Lambur untuk menyimpan barang-barang. Barulah selepas itu, kami melaju menuju Perpustakaan Musholla Al-Fattah.



Saat tiba menjelang magrib, suasana musholla dan perpustakaan itu benar-benar membuat kami terdiam. Lantai yang bersih berkilau, rak-rak buku tertata rapi, dan jamaah yang ramai datang bersahutan dengan azan magrib. Ada kesederhanaan yang menenangkan di sana—seolah setiap halaman buku dan setiap sajadah menyimpan doa tentang keberkahan ilmu.

Kami disambut hangat oleh Bapak Muhammad, pengelola perpustakaan yang begitu ramah dan rendah hati. Beliau bercerita banyak tentang bagaimana musholla ini bukan hanya tempat beribadah, tapi juga tempat menumbuhkan minat baca anak-anak di sekitar. “Ilmu dan iman harus berjalan seiring,” katanya, dengan senyum yang menular.
Pak Muhammad langsung mengajak kami berkeliling. Di pojok kiri bangunan musholla, terdapat Ronda Baca yang tempatnya sangat mewah dan estetik meski ukurannya kecil. Dinding pembatas musholla dipenuhi dengan literasi yang menggugah jiwa. Terdapat tempat bersantai/berdiskusi yang cozy. 
Di belakang bangunan musholla, terdapat ruang mungil berukuran sekitar 2x2meter yang dijadikan sebagai ruang penyimpanan buku-buku. Tepat di sebelah ruangan itu adalah tempat berwudhu untuk pria dan wanita. Tempat wudhu wanita sendiri dibatasi oleh tirai. Sehingga, meski ruangan mungil, tapi para wanita tetap memiliki privasi untuk tidak memperlihatkan aurat mereka pada lawan jenis. 

Bangunan itu terlihat sangat sederhana, tapi terkesan mewah dan rapi. 
Pak Muhammad mengajak kami menaiki tangga yang berada di sisi kanan bangunan musholla. Ah, ternyata itu adalah ruang baca dan ruang belajar untuk anak-anak. Tidak hanya sebagai tempat untuk membaca buku, ruangan itu juga dijadikan pusat belajar untuk mengaji, kelas bahasa Inggris, dll. 


Tak lama, azan berkumandang, dan kami ikut shalat berjamaah. Ada perasaan tenteram yang sulit dijelaskan—mungkin karena di tempat itu, antara buku dan ibadah seolah berdialog dalam diam. Setelah shalat, kami berbincang panjang dengan Bapak Muhammad tentang berbagai kegiatan literasi di Maluhu. Dari obrolan itu, aku belajar satu hal: perpustakaan kecil bisa memiliki jiwa sebesar dunia, asalkan dikelola dengan cinta dan ketulusan.

Malamnya, kami menginap di rumah Ibu Siti, kakak yang sekaligus menjadi teman perjalanan baru kami. Rumahnya sederhana tapi penuh kehangatan. Kami menutup hari dengan obrolan ringan, tawa, dan rencana kecil untuk berkolaborasi suatu saat nanti.

Perjalanan panjang ini membuatku semakin yakin bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi tentang menghidupkan nilai-nilai—tentang bagaimana sebuah musholla bisa menjadi taman ilmu, dan bagaimana komunitas kecil bisa melahirkan inspirasi besar.

Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah guru.” Maka, hari itu aku merasa telah belajar banyak dari jalan, dari teman seperjalanan, dari buku-buku di rak Musholla Al-Fattah, dan dari keikhlasan orang-orang yang menjaganya.

Perjalanan ini mungkin sederhana, tapi di dalamnya ada makna yang tak sederhana—tentang persaudaraan, perjuangan, dan keyakinan bahwa cahaya literasi bisa tumbuh di mana pun, bahkan di antara sajadah dan rak buku.




Referensi:

1. Ki Hadjar Dewantara. (1935). Pendidikan: Pengaruhnya bagi Kemajuan Bangsa. Taman Siswa Press.


2. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Gerakan Literasi Nasional: Panduan Implementasi di Komunitas. Jakarta.


3. Data lapangan pribadi penulis dalam kunjungan ke Perpustakaan Musholla Al-Fattah, Kelurahan Maluhu, Tenggarong (Oktober 2025).




Kita Tidak Perlu Jadi Hebat

 

KITA TIDAK PERLU JADI HEBAT — HANYA PERLU BERGERAK LEBIH CEPAT DARI YANG LAIN UNTUK MENGAMBIL KESEMPATAN
Oleh: Rin Muna

Ada kalanya hidup ini terasa seperti perlombaan maraton tanpa garis akhir. Semua orang tampak berlari, sebagian tersenyum karena sudah di depan, sebagian lagi kelelahan tapi tetap memaksa kaki melangkah. Dalam perjalanan seperti itu, sering kali kita merasa kecil — tidak cukup hebat, tidak cukup pandai, tidak cukup beruntung. Tapi siapa bilang kita harus jadi yang paling hebat untuk bisa sampai? Kadang, kita hanya perlu lebih cepat bergerak ketika kesempatan lewat di depan mata.

Aku percaya, banyak orang gagal bukan karena mereka tidak punya kemampuan, tapi karena terlalu lama berpikir, terlalu sibuk menimbang, hingga kesempatan yang semestinya jadi milik mereka justru diambil orang lain yang lebih berani. Dalam dunia nyata, kecepatan bukan sekadar tentang langkah kaki, tapi tentang kepekaan hati — kapan harus mulai, kapan harus berhenti, dan kapan harus berani melompat.


Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, pernah menulis tentang praxis — tindakan yang lahir dari kebijaksanaan praktis (phronesis). Artinya, pengetahuan saja tidak cukup; ia harus diikuti oleh tindakan nyata. Dalam konteks modern, banyak orang berhenti di fase berpikir, menganalisis, dan merancang strategi sempurna, padahal dunia terus berubah tanpa menunggu.

Di sini, keberanian mengambil langkah menjadi bentuk kebijaksanaan itu sendiri. Kierkegaard, filsuf eksistensialis, bahkan menyebut bahwa lompatan iman (leap of faith) diperlukan untuk menembus batas logika dan rasa takut. Karena sering kali, kesempatan tidak datang dua kali — dan yang menentukan bukan siapa paling pintar, tapi siapa paling siap saat momen itu tiba.

Maka, tak perlu menunggu jadi hebat dulu untuk memulai. Justru, dengan memulai lebih dulu, kita akan tumbuh menjadi hebat. Seperti benih kecil yang tak menunggu menjadi pohon sebelum ditanam — ia menanam dulu, baru tumbuh.






Dalam Islam, konsep bergerak cepat di jalan kebaikan disebut fastabiqul khairat — “berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. Al-Baqarah: 148). Ayat ini bukan hanya perintah untuk berbuat baik, tapi juga seruan agar jangan menunda. Sebab, kebaikan yang ditunda bisa kehilangan maknanya.

Rasulullah SAW juga bersabda:
 “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, sehatmu sebelum datang sakitmu, kayamu sebelum datang miskinmu, waktu luangmu sebelum datang sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim)



Hadis ini sejatinya mengajarkan urgensi gerak cepat dalam kebaikan dan kesempatan. Hidup ini sementara, dan waktu adalah sumber daya paling mahal yang tidak bisa dibeli kembali. Maka, setiap detik yang diisi dengan langkah berarti adalah bentuk kemenangan kecil dalam perjalanan panjang menuju makna hidup.



Kita sering berpikir bahwa dunia akan memberi ruang bagi yang paling berbakat. Padahal kenyataannya, dunia lebih menghargai yang berani. Orang hebat memang dikagumi, tapi orang yang bergeraklah yang mengubah keadaan.

Coba lihat di sekeliling — banyak orang sederhana yang sukses bukan karena mereka lebih pintar, tapi karena mereka tidak takut mencoba lebih dulu. Mereka menjemput peluang bahkan ketika belum siap sepenuhnya. Dan sering kali, kesuksesan datang bukan dari kesiapan penuh, melainkan dari langkah awal yang berani.

Dalam bahasa sederhana: kadang kita hanya perlu lebih dulu satu langkah.




Gerak cepat bukan berarti terburu-buru. Ini soal kesadaran dan ketegasan mengambil keputusan. Dalam filsafat Timur, terutama dalam ajaran Lao Tzu, ada keseimbangan antara wu wei — bertindak tanpa paksaan — dan momentum. Artinya, bergerak dengan kesadaran penuh, tahu kapan waktu yang tepat, tapi tidak menunggu terlalu lama hingga kehilangan kesempatan.

Begitu pula dalam Islam, ada istilah ijtihad — usaha sungguh-sungguh untuk mencari solusi terbaik. Ijtihad adalah bentuk gerak intelektual dan spiritual. Jadi, bergerak cepat tidak berarti tanpa pikir, melainkan berpikir secukupnya dan bertindak seperlunya.



Kita lahir dalam gerak — detak jantung, tarikan napas, bahkan waktu yang terus berjalan. Maka, diam terlalu lama adalah bentuk kemunduran. Tidak bergerak berarti menyerahkan diri pada stagnasi.

Ketika Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11),
ayat ini bukan sekadar motivasi spiritual, melainkan prinsip perubahan. Tidak perlu jadi hebat, cukup mau bergerak lebih dulu — karena perubahan tidak lahir dari kehebatan, tapi dari kemauan.



Aku pernah mendengar seorang sahabat berkata, “Aku bukan orang paling pintar di ruangan ini, tapi aku ingin jadi orang pertama yang berani mencoba.” Kalimat itu sederhana tapi kuat. Karena pada akhirnya, kehidupan ini bukan tentang siapa yang paling tahu, tapi siapa yang paling mau.

Kita tidak perlu jadi hebat untuk memulai sesuatu. Tapi kita perlu memulai agar suatu hari bisa jadi hebat. Karena kesempatan sering kali hanya menampakkan diri pada mereka yang sudah bersiap — dan bersiap itu dimulai dengan langkah kecil hari ini.

Maka, jangan tunggu sampai sempurna untuk melangkah. Dunia terlalu cepat berubah untuk menunggu seseorang yang masih sibuk merasa belum siap.

Bergeraklah.
Sekarang juga.
Sebelum kesempatan menutup pintunya.


Wednesday, October 29, 2025

PGE Bukukan Pendapatan US$318,86 Juta di Kuartal III 2025, Dorong Transisi Energi dan Stabilitas Ekonomi Hijau Nasional

 


PGE Bukukan Pendapatan US$318,86 Juta di Kuartal III 2025, Dorong Transisi Energi dan Stabilitas Ekonomi Hijau Nasional

Jakarta, 29 Oktober 2025 — PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO) mencatat kinerja keuangan impresif hingga kuartal III tahun 2025 dengan pendapatan mencapai US$318,86 juta, melampaui target yang ditetapkan sebesar US$314,30 juta. Pendapatan ini naik 4,20% year-on-year (YoY) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$306,02 juta. 

Peningkatan pendapatan tersebut didorong oleh beroperasinya Lumut Balai Unit 2 dengan kapasitas 55 megawatt (MW) sejak Juni 2025. Keberhasilan ini memperkuat posisi PGE sebagai pemain utama dalam sektor energi terbarukan nasional, sekaligus mendukung agenda pemerintah untuk mencapai swasembada energi dan transisi menuju energi bersih.

Dari laporan keuangan konsolidasi per 30 September 2025, PGE juga membukukan laba bersih US$104,26 juta, EBITDA US$248,97 juta, serta total aset US$2,96 miliar. Aset lancar meningkat menjadi US$831,78 juta dari posisi Desember 2024 sebesar US$828,56 juta, mencerminkan pertumbuhan bisnis yang sehat dan struktur keuangan yang solid.

Direktur Keuangan PGE, Yurizki Rio, menegaskan bahwa hasil positif ini menjadi bukti kemampuan perseroan mempertahankan pertumbuhan berkelanjutan. “Kami berkomitmen memberikan nilai tambah bagi pemegang saham sekaligus mempercepat transisi nasional menuju energi bersih,” ujarnya.

Sementara Direktur Operasi Ahmad Yani menambahkan bahwa strategi peningkatan kapasitas melalui proyek-proyek strategis, termasuk Lumut Balai Unit 2, telah menunjukkan hasil nyata dalam memperkuat portofolio panas bumi nasional.

Langkah Menuju Swasembada Energi dan Dampak Ekonomi Nasional

Direktur Utama PGE, Julfi Hadi, menargetkan kapasitas terpasang 1 gigawatt (GW) yang dikelola secara mandiri dalam 2–3 tahun ke depan. PGE juga berambisi mencapai 1,8 GW pada 2033 dan mengembangkan potensi panas bumi hingga 3 GW, sejalan dengan program Net Zero Emission 2060 pemerintah Indonesia.

Selain mengelola 727 MW dari enam wilayah operasi, PGE sedang menggarap proyek Hululais Unit 1 & 2 (110 MW), proyek co-generation 230 MW, serta eksplorasi di WKP Gunung Tiga yang telah diresmikan oleh Presiden Prabowo pada Juni 2025.

Lebih jauh, PGE tengah memperluas pengembangan energi hijau melalui Pilot Project Green Hydrogen Ulubelu, serta memetakan inisiatif hilirisasi green ammonia dan green methanol, sebagai bagian dari solusi energi rendah emisi masa depan

Pertumbuhan PGE memiliki korelasi erat dengan arah pembangunan ekonomi Indonesia yang berorientasi pada energi hijau dan ketahanan ekonomi jangka panjang.

Menurut laporan International Renewable Energy Agency (IRENA, 2024), setiap investasi US$1 juta di sektor energi terbarukan dapat menciptakan 7,5 hingga 15 lapangan kerja baru di rantai pasok energi hijau. Dengan peningkatan pendapatan dan ekspansi proyek PGE, kontribusi terhadap lapangan kerja di sektor energi, konstruksi, dan teknologi berpotensi signifikan.

Selain itu, pengembangan panas bumi yang dikelola PGE—yang menyumbang sekitar 70% kapasitas panas bumi nasional—menjadi pilar penting dalam mengurangi impor bahan bakar fosil, memperkuat neraca perdagangan, dan menstabilkan kurs rupiah melalui pengurangan defisit energi.

Dari sisi fiskal, sektor energi terbarukan juga meningkatkan penerimaan pajak korporasi dan memperluas basis pajak daerah di wilayah penghasil energi. Hal ini sejalan dengan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM, 2025) yang menyebutkan bahwa setiap tambahan 100 MW energi panas bumi dapat menghemat hingga US$40 juta per tahun dari biaya impor bahan bakar.

Dalam konteks makroekonomi, keberhasilan PGE juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat investasi energi hijau di Asia Tenggara, yang berpotensi menarik modal asing melalui skema green financing dan carbon credit trading.

Kinerja cemerlang PGE hingga kuartal III 2025 bukan hanya menegaskan kekuatan finansial perusahaan, tetapi juga menandai babak baru dalam transformasi ekonomi Indonesia menuju kemandirian energi dan ekonomi rendah karbon. Dengan ekspansi proyek panas bumi, pengembangan green hydrogen, dan hilirisasi energi hijau, PGE berperan penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan serta memperkuat ketahanan energi nasional di masa depan.


Referensi:

  • Siaran Pers PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, 29 Oktober 2025. 

  • Kementerian ESDM RI. (2025). Laporan Tahunan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi.

  • International Renewable Energy Agency (IRENA). (2024). Global Renewables Outlook: Energy Transformation 2050.

  • Bank Indonesia. (2025). Outlook Ekonomi Hijau Indonesia 2025.

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas