Tuesday, December 9, 2025

Puisi Akrostik | Gajah Sumatera | Aku Bukan Hama

Puisi "Aku Bukan Hama"
Akrostik: Gajah Sumatera
Oleh Rin Muna



Gas air mata dan kantong-kantong molotov dilemparkan pada kami
Aku sudah berteriak kesakitan
Juga anak dan saudara-saudaraku
Aku tidak mengerti kenapa manusia panggil kami 'Hama'
Hama yang merusak lahan pertanian mereka

Sesungguhnya, mereka yang merusak rumah-rumah kami
Usai pohon-pohon leluhur ditebang
Mengubah mereka jadi lahan pertanian dan perkebunan
Aku menangis pilu bersama saudara-saudara gajahku
Tak ada lagi rumah untuk kami berteduh
Entah berapa lama kami harus menahan lapar karena berkah Tuhan tak lagi tumbuh
Rasanya kami ingin marah, tapi kami tak punya senjata. 
Aku hanya bisa menunggu ...Tuhan membalas ketidakberdayaanku. 




Kutai Kartanegara, 09 Desember 2025

Puisi Akrostik | Kementerian Kehutanan | Cukup Tanda Tangan


Puisi " Cukup Tanda Tangan"
Akrostik: Kementerian Kehutanan
oleh Rin Muna




Kalau hutan tinggal nama, apa lagi yang bisa kita wariskan?
Eyang bilang ... kami selalu menanam daun, tapi yang tumbuh justru pabrik dan tambang.
Mungkin alam yang salah, ia terlalu baik pada manusia.
Ekologi hadir sebatas teori.
Nakalnya tangan-tangan manusia,
Tak menghargai warisan leluhur.
Ekonomi memang butuh tumbuh, tapi manusia juga butuh berteduh.
Rasanya lucu, satu goresan tinta  mampu membunuh pohon ratusan ribu hektar.
Itu pohon warisan para leluhur,
Agar alam tetap seimbang, manusia hidup aman dalam kesejahteraan .
Namun tangan-tangan serakah telah merenggut semuanya.

Kayu-kayu gelondongan tiba-tiba bergandengan dengan air bah.
Elitis bilang: bencana adalah ujian, padahal itu kemarahan Tuhan.
Hebat, bukan? Alam ikut berpendapat, tapi suaranya tidak pernah dimasukkan risalah.
Untuk apa bicara konservasi kalau ekspansi lebih memanjakan mata?
Tidak ada hutan yang benar-benar diam, ia bergerak dan runtuh pelan-pelan.
Apakah kita menunggu sungai berubah jadi pasar kayu gelondongan dulu?
Nanti kalau ada proyek baru, tetap goreskan pena dulu.
Agar perut penguasa tetap aman, beritanya dikendalikan dulu.
Namanya juga kebijakan… tak perlu logis, cukup tanda tangan.



Kutai Kartanegara, 09 Desember 2025




Puisi Akrostik | Marga Mahesa Yudistira | Obat Putus Asa

Puisi Akrostik
"Obat Putus Asa"
oleh Rin Muna



Malam tanpa bintang tak selalu kelam
Awan-awan menggantung jadi pelindung
Rintik hujan yang jatuh beri kehangatan
Gelapnya jalan yang kutempuh, tak hentikan langkahku
Air mata yang jatuh jadi pengingat hidupku

Makna hidup sulit dimengerti
Aku sudah melangkah tiada henti
Hanya berbekal cinta dan ketulusan
Esok akan ada atau tiada
Semua sudah digariskan
Angin yang kupeluk jadi kantong-kantong syukur

Yakinkan hati yang sedang terombang-ambing
Ukirkan rasa yang sedang menimbang asa
Dari nadi sampai ke pucuk hati
Izinkan aku lahirkan satu gumpal darah
Sebagai tanda bila luka tak akan buatku penjamkan mata
Tetaplah berjalan meski hati sedang patah asa
Itulah alasan kenapa masih menghirup udara dunia
Raga dan jiwa tidak akan tercerai berai
Aku lahirkan satu lagi ... obat putus asa. 




Kutai Kartanegara, 09 Desember 2025



Wednesday, December 3, 2025

Ketentuan dan Keuntungan Menjadi Anggota Perpustakaan Rumah Literasi Kreatif

 

KETENTUAN MENJADI ANGGOTA PERPUSTAKAAN

RUMAH LITERASI KREATIF

 

1. Pendaftaran Anggota

  • Mengisi formulir pendaftaran (online atau offline).
  • Menyerahkan 1 lembar foto diri.
  • Menyertakan kontak aktif (WA).
  • Membayar biaya administrasi Rp. 5000 (berlaku seumur hidup)
  • Mendapat kartu anggota setelah data terverifikasi.

 

2. Hak dan Kewajiban Anggota

Hak Anggota

  • Meminjam koleksi buku sesuai ketentuan.
  • Mengikuti program Rulika: kelas literasi, kelas bahasa Inggris, workshop/pelatihan, mendongeng, Read Aloud, pelatihan menulis, dll.
  • Mengakses fasilitas taman baca (ruang baca, permainan edukasi, kegiatan kreatif).
  • Mengajukan permintaan judul buku yang ingin ditambahkan ke koleksi.

 

Kewajiban Anggota

  • Menjaga buku agar tetap bersih dan tidak rusak.
  • Mengembalikan buku tepat waktu.
  • Menjaga ketertiban dan kebersihan perpustakaan.
  • Menggunakan kartu anggota secara pribadi, tidak boleh dipinjamkan.
  • Melaporkan jika kartu anggota hilang.

 

3. Ketentuan Peminjaman Buku

  • Lama peminjaman: 7–14 hari per buku.
  • Maksimal peminjaman: 2–3 buku dalam satu waktu.
  • Perpanjangan peminjaman bisa dilakukan maksimal 1× selama buku tidak sedang dipesan anggota lain.
  • Buku yang hilang atau rusak diganti sesuai nilai buku atau dengan buku baru yang setara.
  • Buku yang boleh dipinjamkan hanya buku bacaan/sastra. Buku keterampilan (resep masakan, menjahit, kerajinan tangan, dsb.) hanya boleh baca di tempat atau tidak diperkenankan dibawa keluar dari gedung perpustakaan.

 

4. Ketentuan Pengembalian

  • Pengembalian dilakukan pada jam layanan Rulika.
  • Keterlambatan pengembalian dikenai sanksi ringan berupa:
    • Tugas sosial literasi, atau
    • Denda untuk perawatan buku Rp 500,-/hari.

5. Penertiban & Sanksi

Anggota dapat dikenai pembatasan peminjaman apabila:

  • Tercatat terlambat lebih dari 3 kali.
  • Merusak atau menghilangkan buku.
  • Tidak mengikuti aturan ruang baca.

 

 

 

 

KEUNTUNGAN MENJADI ANGGOTA

PERPUSTAKAAN RUMAH LITERASI KREATIF

 

1. Akses Buku yang Beragam

  • Koleksi fiksi, nonfiksi, cerita anak, edukasi, motivasi, hingga buku lokal Kalimantan.
  • Koleksi selalu bertambah dari donasi penulis seluruh Indonesia, Dinas Perpustakaan daerah, dan Perpustakaan Nasional RI.

 

2. Prioritas Mengikuti Kegiatan Rulika

  • Kelas menulis & kelas membaca
  • Kelas Bahasa Inggris
  • Dongeng / Read Aloud mingguan
  • Workshop kreatif (mewarnai, kerajinan, literasi digital, dll.)
  • Pelatihan kecil seperti public speaking, jurnalistik anak, dll.

 

3. Mendapat Kartu Anggota Eksklusif

  • Bisa dipakai sebagai identitas komunitas literasi.
  • Akses program khusus anggota seperti:
    • “Anggota Teraktif Bulanan”
    • “Tukang Baca Minggu Ini”
    • Tantangan membaca (Reading Challenge)

4. Mendukung Gerakan Literasi Daerah

  • Dengan menjadi anggota, kamu ikut menjaga taman baca Bunga Kertas / Rulika tetap hidup.
  • Anggota turut berkontribusi meningkatkan minat baca anak-anak di Kutai Kartanegara.

5. Ruang Belajar Aman & Nyaman

  • Tempat membaca yang ramah anak.
  • Fasilitas mewarnai, permainan edukatif, dan suasana komunitas yang hangat.
  • Cocok untuk keluarga, pelajar, mahasiswa, dan warga umum.

6. Kesempatan Menjadi Relawan Literasi

  • Anggota bisa bergabung sebagai relawan kegiatan, pendamping anak baca, atau tim kreatif Rulika.
  • Mendapat pengalaman berharga sekaligus jejaring sesama pegiat literasi.
  • Mendapatkan rekomendasi langsung dari Yayasan Rumah Literasi Kreatif sebagai relawan/pegiat literasi daerah.

Tuesday, November 18, 2025

Memory of Yupa || Memory of The World : Peradaban Nusantara yang Perlu Dijaga

 

Muara Kaman, 17 November 2025


Muara Kaman dan Museum (Situs) Lesung Batu (Lesong Batu) punya peran penting dalam sejarah kuno Kalimantan / Indonesia. Muara Kaman adalah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Luas wilayahnya sangat besar (sekitar 3.410 km²) dengan banyak desa.

Muara Kaman dianggap sebagai pusat kerajaan Kutai Martadipura, yang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Raja terkenal dari kerajaan ini adalah Maharaja Mulawarman. Lokasi Muara Kaman juga strategis karena berada di pertemuan sungai (Mahakam dan anak sungainya), menjadikannya jalur perdagangan penting di masa kuno.

Ada museum purbakala di Muara Kaman yang mengabadikan situs sejarah kerajaan Kutai. Museum ini menyimpan replika dari prasasti Yupa, benda pusaka purbakala, serta makam raja-raja Islam di wilayah itu. Sejak 2022, pengelolaan museum ini diambil alih oleh pemerintah kecamatan Muara Kaman, dengan rencana pembenahan dan pengembangan wisata sejarah. 

Prasasti Yupa adalah tiang batu yang ditulisi dengan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Ada 7 buah yupa yang ditemukan di area Muara Kaman. I si yupa menceritakan silsilah kerajaan (misalnya Raja Kudungga, Aswawarman, Mulawarman) dan kedermawanan Raja Mulawarman — misalnya memberi ribuan sapi sebagai persembahan. Dari kajian etimologi tertentu, meskipun dikenal sebagai “Kerajaan Kutai”, ada argumen bahwa nama sebenarnya kerajaan kuno ini adalah Martapura, bukan “Kutai”. Penelitian cagar budaya menyatakan bahwa situs Muara Kaman — yang meliputi Lesong Batu / yupa, makam, dan batu Lembu Ngeram — adalah “zona inti” penting yang harus dilestarikan.


Saya tidak pernah terpikir kalau akan menjadi bagian dari saksi sejarah Yupa bagi masa depan negeri ini. Sebagai Relima Perpusnas RI, tentu saya akan dilibatkan dalam beberapa kegiatan yang digagas oleh perpustakaan daerah maupun perpustakaan provinsi. Sehingga, saya bisa menjadi bagian dari festival Memory of Yupa yang baru dilaksanakan pertama kalinya di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam menyusuri jalur Sungai Mahakam, akhirnya kami sampai di Muara Kaman. Tempat di mana situs peradaban tertua di Indonesia ada dan masih dijaga kelestariannya. 

Tubuhku belum benar-benar pulih setelah berkegiatan selama 4 hari di Kota Bogor dan Jakarta. Tapi, aku tidak ingin melewatkan momen yang sangat langka ini. Jadi, aku berusaha sampai ke tujuan meski kondisiku tidak baik-baik saja. Selama masih bisa bergerak dan aku kuat untuk berdiri, maka aku tidak akan menyerah. 


Berangkat pukul 11.30 WITA, rombongan kami sampai saat menjelang magrib. Kami disambut oleh tetua adat dengan ritual 'Sawai', sebuah ritual untuk membersihkan diri dan jiwa sebelum kami memasuki tanah leluhur Muara Kaman. 
Kami dibawa ke sebuah 'Homestay' milik warga Muara Kaman. Entah rumah siapa, yang jelas bukan orang biasa karena rumahnya sangat besar dan cukup menampung sekitar 50 orang. Rumahnya juga dilengkapi dengan 3 kamar mandi. Sehingga, kami tidak terlalu lama bergantian untuk mandi. 
Usai makan mandi, makan malam dan bersiap, kami segera bergeser ke Museum Lesung Batu Kecamatan Muara Kaman. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap. Jadi, kami bisa berjalan kaki menuju ke sana. 
Saat sampai, acara langsung dimulai dan dibuka oleh Wakil Bupati Kutai Kartanegara (Rendi Solihin, S.M). 
Opening Ceremony Memory of Yupa berlangsung meriah. Acara diramaikan oleh band asal kota Samarinda, Valdiyandi. 
Begitu acara usai, kami bergegas kembali ke penginapan. Mengistirahatkan tubuh karena esok hari kita akan disibukkan dengan agenda kegiatan yang lebih padat lagi. 
Semoga ada banyak ilmu yang bisa kita dapatkan dan prasasti Yupa benar-benar menjadi salah satu warisan dunia versi Unesco. Aku tak sabar menunggunya... 
Semoga anak-anak Kecamatan Muara Kaman juga memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga prasasti berharga ini dan terus melestarikan kebudayaan asli Kutai. 



Sunday, November 9, 2025

Tips for Teaching English to Kids: Make It Fun and Simple

 


Tips for Teaching English to Kids

"Make It Fun and Simple"

Teaching English to children can be quite a challenge—but at Rumah Literasi Kreatif, it’s always filled with laughter, color, and creativity. The secret lies in two simple words: fun and simple.

1. Connect Lessons with Their Everyday World

Children learn faster when lessons relate to things they already know. In our classes, teachers often use “Show and Tell” with objects around the reading garden—like books, colored pencils, or dolls. Through these familiar items, kids learn new vocabulary and gain confidence to speak in front of others.

2. Sing and Move Together

Music is a magical bridge to language learning. Songs like Head, Shoulders, Knees, and Toes or If You’re Happy and You Know It are always favorites here. When kids sing and move along, they remember words more naturally. It feels more like playing than studying—and that’s exactly the point.

3. Use Visuals and Colors

In every class, teachers use colorful flashcards, word cards, and pictures. Visuals help children connect words with images and meanings. Sometimes, the kids even create their own flashcards! This creative process strengthens memory and sparks imagination.

4. Tell Stories and Act Them Out

Storytime is one of the best ways to teach English. At Rumah Literasi Kreatif, we often do short drama plays based on simple stories like The Hungry Caterpillar or Little Red Riding Hood. Role-playing helps children practice pronunciation, teamwork, and comprehension—all while having fun.

5. Give Praise and Positive Support

Children learn best when they feel appreciated. Every time a student says a new word or forms a sentence, we celebrate with claps or a little star sticker. Positive feedback builds confidence and teaches them that making mistakes is part of learning.

At Rumah Literasi Kreatif, our English class is more than just a place to learn a language—it’s a joyful space for creativity, curiosity, and growth.
Here, children discover that English isn’t something to be afraid of—it’s a bridge to explore a bigger, brighter world.

Because learning is always beautiful when it comes from a happy heart.

Thursday, November 6, 2025

Menyulam Waktu di Tengah Keceriaan Jambore PAUD Kecamatan Samboja




Menyulam Waktu di Tengah Keceriaan Jambore PAUD Kecamatan Samboja
oleh Rin Muna

Pagi itu, Kamis 6 November 2025, udara di halaman Balai Pertemuan Umum (BPU) Kecamatan Samboja terasa lebih semarak dari biasanya. Jam menunjukkan pukul 09.00 WITA ketika anak-anak kecil dengan seragam berwarna-warni mulai memasuki aula dengan wajah berseri. Ada yang membawa peralatan mewarnai, ada yang menenteng alat peraga buatan tangan, dan ada pula yang sibuk menepuk-nepuk kostum senam agar terlihat rapi di atas panggung.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Camat Samboja, Damsik, S.H., M.Si, bersama Bunda PAUD Kecamatan Samboja, Rusdiana Damsik, S.Hut, berdiri di depan panggung utama. Senyum mereka mengiringi pembukaan resmi Jambore PAUD Kecamatan Samboja Tahun 2025, yang tahun ini mengusung tema:
“Ceria, Cerdas, dan Berkarakter – Membangun Generasi Emas Sejak Dini.”

Dalam sambutannya, Camat Damsik menyampaikan bahwa pendidikan anak usia dini adalah pondasi bagi lahirnya generasi yang kuat dan berkarakter. Ia berharap kegiatan ini menjadi wadah pembelajaran yang menyenangkan, penuh tawa, dan bermakna bagi semua peserta. Sementara Bunda PAUD Rusdiana menekankan pentingnya dukungan bersama antara guru, orang tua, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang hangat dan inspiratif bagi anak-anak Samboja.

Begitu pembukaan selesai, suasana aula seketika berubah menjadi lautan warna dan tawa. Lomba mewarnai tingkat PAUD dan KB se-Kecamatan Samboja menjadi ajang pembuka. Anak-anak duduk berbaris rapi di atas tikar, menggoreskan warna-warna cerah dengan jemari mungil mereka. Ada yang menatap serius, ada pula yang sesekali tersenyum kecil saat melihat hasil goresannya tampak indah di atas kertas.

Di sudut lain ruangan, para guru PAUD memamerkan karya kreatif mereka dalam Lomba APE (Alat Peraga Edukasi). Dari bahan sederhana seperti kardus bekas, stik es krim, hingga kain perca, mereka menciptakan alat belajar yang menarik. Beberapa alat mengajarkan huruf, sebagian mengenalkan bentuk dan warna, sementara yang lain menumbuhkan rasa ingin tahu anak tentang lingkungan sekitar. Kreativitas para pendidik itu menjadi bukti bahwa semangat belajar bisa tumbuh dari hal-hal kecil yang sederhana.

Menjelang tengah hari, lantunan musik ceria menggema. Saatnya Lomba Senam Anak Indonesia Hebat. Di panggung, anak-anak berbaris dengan percaya diri. Gerakan tangan dan kaki mereka mengikuti irama lagu penuh semangat, disambut tepuk tangan para penonton. Ada yang sedikit terlambat mengikuti irama, ada pula yang menari terlalu cepat, tapi justru di situlah letak keindahannya — ketulusan dan keceriaan tanpa beban.

Sore menjelang, suasana aula menjadi lebih tenang. Kali ini giliran para Bunda PAUD tampil dalam Lomba Mendongeng. Satu per satu naik ke panggung, membawa kisah yang mereka rangkai sendiri. Ada yang bercerita tentang persahabatan, tentang pentingnya kejujuran, hingga tentang keberanian. Dengan ekspresi lembut dan suara yang penuh kasih, para bunda menyampaikan pesan moral yang menyentuh hati. Anak-anak yang duduk di barisan depan tampak terpukau, sesekali ikut menirukan tokoh-tokoh dalam cerita.

Jam dinding menunjukkan pukul 15.30 WITA ketika acara Jambore akhirnya ditutup. Di wajah setiap peserta, baik anak-anak, guru, maupun panitia, terpancar rasa lelah yang bercampur bahagia. Aula yang semula ramai kini perlahan lengang, namun gema tawa kecil dan warna-warna cerah di atas meja lomba seolah masih menempel di udara.

Jambore PAUD Kecamatan Samboja tahun ini bukan hanya tentang siapa yang menjadi juara, melainkan tentang bagaimana keceriaan, kreativitas, dan semangat belajar bisa menyatu dalam satu ruang waktu. Di antara warna krayon, alat peraga sederhana, dan kisah dongeng yang hangat, tersulam harapan besar — bahwa dari sinilah, dari tawa kecil anak-anak Samboja, generasi emas masa depan sedang tumbuh dengan indah.


Wednesday, November 5, 2025

Persiapan Jambore PAUD Kecamatan Samboja Tahun 2025




Persiapan Jambore PAUD Kecamatan Samboja


Hari ini, udara sore di Samboja terasa hangat dan penuh semangat. Di Balai Pertemuan Umum (BPU) Kecamatan Samboja, panitia Jambore PAUD Kecamatan Samboja sudah berkumpul sejak pukul dua siang. Mereka datang dengan senyum dan semangat gotong-royong yang khas — menyapu ruangan, menghias panggung, menata kursi, hingga menyiapkan sound system untuk kegiatan besar: Jambore PAUD Kecamatan Samboja.

Aku tahu betul bahwa jadwal gotong-royong dimulai pukul 14.00 WITA. Namun, sebelum berangkat, ada satu tanggung jawab kecil yang harus kuselesaikan — menjahit pesanan dress yang sudah dijanjikan sejak beberapa hari lalu. Mesin jahit di sudut ruang kerja masih berputar saat jarum jam hampir menyentuh angka dua. Setiap tarikan benang seolah menjadi simbol antara dua tanggung jawab yang sama penting: profesi dan pengabdian.

Setelah benang terakhir terkunci rapi, aku segera bergegas. Dengan tangan masih berbau kain dan jarum pentul terselip di ujung jilbab, aku melangkah cepat menuju BPU. Rumahku cukup jauh dari Kantor Camat. Aku harus menempuh perjalanan setidaknya 30 menit untuk bisa sampai ke sana. 

Saat tiba, suara riuh tawa sudah terdengar dari kejauhan. Para panitia gotong-royong tampak sibuk namun bahagia. Beberapa sedang membersihkan lantai aula, sementara sekelompok ibu-ibu tengah menata meja dan mempersiapkan sound. Meskipun aku datang sedikit terlambat, kehangatan mereka membuatku tidak merasa canggung. 

Aku tersenyum, mengangguk, dan langsung ikut menata kursi. Di tengah kegiatan itu, aku menyadari bahwa gotong-royong bukan sekadar tentang bekerja bersama, tetapi tentang merangkai kebersamaan dari waktu-waktu kecil yang kita sisihkan untuk kepentingan bersama. Tidak ada yang menghitung siapa datang lebih dulu atau siapa paling banyak berbuat — semua hanya bergerak dalam satu irama: ikhlas.

Sore itu, di antara canda dan tawa, aku merasa bahwa kehadiran meskipun sedikit terlambat tetap berarti. Sebab dalam setiap upaya, yang paling penting bukan waktu kedatangan, tetapi niat yang menyertai langkah.

Menjelang magrib, kami semua menatap hasil kerja bersama — aula yang semula tampak biasa kini berubah meriah. Di sanalah besok guru-guru dan anak-anak PAUD akan berlomba dan tertawa bahagia. Dan aku, yang datang setelah menyelesaikan jahitan, merasa telah menyulam satu lagi kenangan indah: kenangan tentang kebersamaan yang dijahit dengan benang niat baik dan cinta terhadap dunia pendidikan.

Setelah memastikan semua kebutuhan acara telah siap, aku pun berpamitan pulang. Beberapa teman juga sudah berpamitan lebih dahulu karena rumah mereka juga cukup jauh. 

Terima kasih untuk Pokja PAUD Kecamatan Samboja yang telah mengukir cerita bersamaku. Meski posisiku sederhana, tapi aku sangat bahagia menjadi saksi keceriaan dan kebersamaan bunda-bunda PAUD Kecamatan Samboja. 

Tuesday, November 4, 2025

Cerita dari Sudut Taman Baca





Cerita dari Sudut Taman Baca

Karya: Rin Muna


Ada aroma buku tua di udara sore itu. Debu yang menempel di sampul-sampul lusuh terasa seperti catatan waktu — bahwa hari-hari di taman baca terus berlalu, meninggalkan jejak cerita kecil yang tak semua orang sempat membaca. Di sudut rak yang mulai miring, aku melihat tulisan tangan seorang anak di kertas bekas: “Aku ingin jadi guru bahasa Inggris.” Tulisan itu sudah pudar, tapi maknanya masih menyala di hatiku setiap kali aku merasa lelah.

Taman baca ini mungkin tampak sederhana. Dindingnya tidak dilapisi cat baru, beberapa meja kayu mulai goyah, dan buku-buku yang dulu datang dengan aroma kertas segar kini tertutup lapisan debu tipis. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada kehidupan yang terus berdenyut. Setiap minggu, anak-anak datang — kadang dengan sandal penuh lumpur, kadang dengan tawa yang menutupi rasa malu mereka. Mereka datang bukan sekadar membaca, tapi mencari ruang untuk bermimpi.

Kelas Bahasa Inggris menjadi bagian paling riuh di taman baca kami. Suara anak-anak yang mempraktikkan dialog sederhana seperti, “Hello, my name is Haifa!” atau “This is my brother!” sering bercampur dengan tawa karena pelafalan yang lucu. Tapi di sanalah letak keindahannya — proses belajar yang tidak menakutkan, yang tumbuh dari rasa ingin tahu, bukan dari tekanan. Kadang, papan tulis kami hanya berupa potongan triplek bekas, dan kapur tulisnya tinggal separuh, tapi semangat anak-anak itu tak pernah separuh. Mereka mengajarkan padaku arti kesungguhan dalam bentuk paling polosnya.

Rak-rak buku di taman baca ini sudah mulai renta. Beberapa sisi lapuk karena terlalu sering disentuh tangan-tangan mungil yang penasaran. Ada coretan kecil di ujungnya, ada sudut buku yang terlipat, tapi aku tidak tega menegurnya. Bagiku, setiap lipatan itu adalah tanda kehidupan — bukti bahwa buku-buku ini pernah dicintai. Bahwa di tengah derasnya gawai dan gim digital, masih ada anak-anak yang rela duduk bersila, membuka halaman demi halaman dengan mata berbinar.

Namun, aku juga tahu taman baca ini sedang menanti sesuatu. Menanti pembaca baru yang mungkin sudah lama lupa caranya mencium bau buku. Menanti relawan yang mau duduk sebentar, membacakan dongeng, atau sekadar bertanya, “Apa yang kamu baca hari ini?” Karena di tempat kecil seperti ini, setiap kunjungan adalah bentuk cinta.

Aku sering berpikir, taman baca ini bukan sekadar ruang penuh buku, melainkan cermin dari cara kita menghargai pengetahuan. Ia bukan bangunan yang megah, tapi tempat di mana nilai-nilai gotong royong, kesederhanaan, dan kasih sayang tumbuh dalam bentuk paling nyata. Di sini, tidak ada pembaca yang lebih tinggi dari yang lain. Semua duduk di lantai yang sama, berbagi tawa yang sama, belajar dari halaman yang sama.

Dan di setiap sore yang sepi, ketika tak ada langkah kaki yang masuk, aku biasanya berdiri di depan rak yang mulai berdebu itu. Aku sapu perlahan permukaan buku, seolah membangunkan mereka dari tidur panjang. “Sabar ya,” bisikku, “pembaca barumu akan datang.” Karena aku percaya, selama masih ada satu hati yang mau membaca, taman baca ini akan terus hidup.


Semangat yang Tak Pernah Padam



Semangat yang Tak Pernah Padam

Karya: Rin Muna


Setiap Minggu pagi, ketika matahari belum begitu tinggi, suara sapu lidi dan cangkul mulai terdengar di sepanjang gang kecil RT 03. Ada aroma tanah basah yang berpadu dengan semangat kebersamaan, seolah setiap ayunan tangan yang mengangkat sampah adalah tanda cinta terhadap tempat kami berpijak. Gotong-royong membersihkan lingkungan bukan sekadar rutinitas; ia adalah napas kehidupan yang meneguhkan bahwa kami masih peduli, masih ingin hidup dalam ruang yang layak, bersih, dan manusiawi.

Namun, seperti daun kering yang tertinggal di sudut jalan, selalu ada yang absen dari pemandangan itu. Beberapa warga memilih menutup pintu rumah rapat-rapat, berpura-pura tidak mendengar suara sapu yang menggesek jalan atau tumpukan daun yang menunggu dikumpulkan. Barangkali mereka lelah. Barangkali mereka sibuk. Atau barangkali, mereka lupa — bahwa setiap rumah yang berdiri di tanah RT 03 membawa konsekuensi: menambah beban energi, air, dan tentu saja, sampah.

Lingkungan adalah cermin dari penghuni di dalamnya. Sampah yang berserakan bukan semata soal kebersihan, melainkan juga soal kesadaran. Di balik kantong plastik yang terbang tertiup angin, terselip pesan sunyi: bahwa sebagian dari kita masih menunda tanggung jawab bersama. Kita menunggu orang lain bergerak lebih dulu, padahal perubahan selalu dimulai dari langkah paling kecil — satu tangan yang rela menyapu, satu hati yang mau peduli.

Gotong-royong bukan tentang siapa yang datang dan siapa yang absen. Ia tentang semangat yang tak pernah padam meski jumlah tangan yang bekerja tak seimbang dengan jumlah kepala yang menghuni. Selalu ada wajah-wajah yang tersenyum di tengah peluh, ada tawa yang menutupi lelah, dan ada rasa syukur yang tumbuh setiap kali selokan bersih kembali mengalir.

Saya percaya, gotong-royong bukan sekadar warisan budaya; ia adalah bentuk perlawanan terhadap sikap individualis yang semakin kuat menggenggam masyarakat modern. Di tengah dunia yang sibuk menghitung keuntungan pribadi, warga RT 03 yang masih turun ke jalan dengan sapu di tangan adalah pahlawan kecil yang menjaga denyut sosial agar tak padam.

Barangkali suatu hari nanti, mereka yang kini bersembunyi di balik alasan dan waktu akan menyadari bahwa rumah yang bersih tidak lahir dari tangan petugas kebersihan, melainkan dari kesadaran kolektif. Karena sejatinya, setiap warga yang bermukim di sini — termasuk yang diam — turut meninggalkan jejak energi dan sampah bagi lingkungannya. Maka, tidakkah adil jika beban itu juga dibagi dalam bentuk kerja bersama?

Gotong-royong adalah cermin jiwa kita sebagai bangsa. Ia mungkin tak lagi seramai dulu, tapi di RT 03, semangat itu masih menyala. Tak sebesar nyala obor, mungkin hanya seberkas cahaya kecil di ujung gang, tapi cukup untuk mengingatkan kita bahwa kepedulian — sekecil apa pun — adalah tanda bahwa hati kita belum mati.



Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas