Roro Ayu
melangkah masuk ke dalam mansion keluarga besar Hadikusuma sambil menggandeng
lengan Nanda. Mereka langsung menghampiri Nyonya Ye yang menyambut semua tamu
undangannya dengan ramah. Di sana, sudah ada papa dan mama mertua Roro Ayu yang
datang lebih dulu.
"Selamat
ulang tahun, Oom, Tante ...!" ucap Roro Ayu sambil menyodorkan hadiah yang
sudah ia siapkan.
"Ini
menantunya Andre?" tanya Yuna sambil tersenyum manis. "Cantik
banget!"
Ayu
tersenyum menatap wajah Yuna. "Biasa aja, Tante."
"Nggak
usah panggil Tante! Panggil Bunda Yuna aja, ya!" pinta Yuna sambil
menyerahkan hadiah yang diberikan Ayu kepada salah satu pelayan di rumahnya.
"Harusnya nggak usah kasih hadiah segala. Kami ini bukan anak kecil
lagi."
Ayu
hanya tersenyum mendengar ucapan Yuna. "Nggak papa Tante. Eh, Bunda,"
ralatnya. "Anggap saja ini tanda perkenalan dari saya."
Yuna
tersenyum sambil menatap wajah Ayu. "Ayo, duduk!"
Ayu
tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia membungkuk sopan melewati beberapa
orang yang ada di dekatnya dan menghampiri Andre dan Nia. Ia langsung menyalami
tangan mertuanya dan mencium punggung tangan mereka tanpa canggung.
"Gimana
kabar Mama?" tanya Ayu sambil menatap wajah Nia.
"Baik.
Kami semua baik. Gimana kandungan kamu? Sehat?" tanya Nia sambil mengelus
perut Ayu yang sudah terlihat membuncit. Ia merasa sangat bahagia karena akan
memiliki cucu. Terlebih, wanita yang mengandung anaknya adalah wanita baik-baik
dan berpendidikan. Ia harap, rumah tangga anaknya itu bisa bertahan sampai maut
memisahkan.
"Alhamdulillah
... sehat, Ma."
"Sudah
USG atau belum?" tanya Nia.
"Belum,"
jawab Ayu sambil menggelengkan kepala.
“Kalau mau USG. Ajak Mama Nia,
ya! Mama pengen lihat calon cucu Mama,” pinta Nia berbisik.
Ayu mengangguk sambil
tersenyum. Ia segera duduk berdampingan dengan Nia. Membiarkan Nanda bergabung
dengan Rocky dan teman-temannya.
“Ndre, kamu udah mau punya
cucu?” tanya Chandra yang ikut duduk di meja bersama Andre dan yang lainnya.
“Iya, Chan. Kamu kapan?”
“Nggak tahu. Masih belum pengen
nikah anakku itu. Malah ambil S2 lagi di New York. Nemenin anaknya Lutfi,”
jawab Chandra santai.
“Oh.” Andre manggut-manggut.
“Kamunya kapan, Chan?” goda
Lutfi. “Jangan menduda terus! Banyak janda-janda yang nganggur di luar sana,”
ucapnya sambil memainkan mata ke arah Mira.
“Kenapa lihatin aku kayak
gitu?” tanya Mira.
“Nggak papa,” jawab Lutfi
sambil menahan senyuman di bibirnya.
“Satria nggak ke sini, Mir?”
tanya Andre sambil menatap wajah Mira.
Mira menggeleng. “Dia sibuk.
Udah diwakilin anaknya, tuh.” Ia menunjuk ke arah Nadine yang sedang berbincang
dengan Yuri dan yang lainnya.
Andre manggut-manggut sambil
menoleh ke arah Nadine.
“Ayu, kamu nggak mau gabung
sama anak-anak muda yang lain?” tanya Nia lembut sambil menunjuk ke arah Rocky
dan teman-teman sebayanya yang sedang asyik mengobrol.
Ayu menggeleng sambil tersenyum
manis. Sejak hari pernikahannya, ia tidak pernah berada di tengah keramaian. Ia
takut dengan dirinya sendiri. Takut orang-orang akan memandang rendah ke
arahnya karena ia mengandung anak di luar pernikahan. Rasa malu dalam dirinya,
tidak pernah bisa hilang. Bahkan untuk bertemu dengan keluarga besarnya sendiri
saja, ia merasa sangat canggung.
“Eh, Ayu di sini aja, dong! Aku
mau ngobrol sama dia,” pinta Yuna sambil duduk di kursi kosong yang ada di
sebelah kanan Ayu.
“Dia masih muda, biarkan
ngumpul sama sebayanya! Mau ngobrolin apa sama kamu?” pinta Yeriko sambil menatap
wajah Yuna.
Yuna tertawa kecil menanggapi
ucapan suaminya. “Eh, si Roro ini lulusan terbaik di Melbourne University, loh.
Aku sekolah di sana, belajar tiap malam sampai tidur di perpustakaan, tetap aja
nggak bisa dapet nilai bagus.”
“Emang dasarnya kamu bodoh,”
sahut Yeriko.
“Iih ... ngolok banget! Biar
bodoh di sekolah, nggak bodoh ngurus perusahaan ‘kan?” ucap Yuna sambil
memainkan kedua matanya ke arah Yeriko.
Yeriko tertawa kecil sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Udah tua, centilnya nggak ilang-ilang.”
“Kamu jatuh cinta sama aku
karena aku centil ‘kan? Kalau centilku ilang, ntar kamu cari perempuan lain
yang lebih centil,” sahut Yuna. Suaranya menguasai ruangan tersebut dan membuat
semua orang geleng-geleng kepala, termasuk Rocky yang duduk di sebelah meja
sebelahnya.
“Bunda, maunya punya menantu
yang centil atau kalem?” tanya Rocky sambil menoleh ke arah Yuna.
“Yang kalem dan elegan kalau di
luar, tapi sayang dan peduli sama kamu,” jawab Yuna.
Rocky terkekeh sambil
menyandarkan lengannya ke punggung kursi yang diduduki Nadine. “Kamu sayang
sama aku, nggak?”
“Apaan sih?” sahut Nadine
sambil menyubit perut Rocky.
“Aw ...! Sakit, Nad!” bisik
Rocky sambil mengelus perutnya yang terasa memanas.
“Kalian berdua udah balikan?”
tanya Yuna sambil menatap Nadine dan Rocky yang terlihat mesra.
“Nggak, Bunda,” jawab Nadine
sambil tertawa kecil.
“Nggak mau dipacarin, Bunda.
Dia maunya langsung dilamar. Kapan bunda lamarkan Nadine buat aku?” sahut Rocky
sambil memainkan alisnya.
“Heleh, kemarin kamu masih jalan
sama cewek lain. Kok, mau minta lamarkan Nadine. Nadine terlalu baik buat
kamu.”
Rocky mendelik ke arah Yuna
yang tidak mendukung dirinya sedikit pun.
Nadine menjulurkan lidahnya ke
arah Rocky.
Rocky langsung memajukan
wajahnya, berniat menyambar lidah Nadine yang terjulur menggunakan bibirnya.
Tapi Nadine sudah berkelit dengan cepat dan berusaha menghindari Rocky meski
pria itu terus memaksa dan mengunci kepala Nadine ke lengannya.
“Okky ...! Ampun ...!” seru
Nadine saat kepalanya dijepit di dada Rocky. “Nanti make-up aku rusak!”
Semua orang tertawa melihat
kelakuan Rocky yang mengganggu
teman-teman wanitanya. Tidak hanya dengan Nadine, Chika dan yang lain pun sudah
biasa menghadapi candaan Rocky.
Yuna menggeleng-gelengkan
kepala. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Roro Ayu. Mengajak wanita muda itu
bercerita banyak hal tentang masa lalu mereka saat masih bersekolah di
Melbourne University.
“Ternyata tongkrongan kita sama
aja, ya? Tetep aja perpustakaan. Sekarang, kamu berhenti kerja? Kenapa?” tanya
Yuna sambil menatap wajah Roro Ayu.
“Di keluarga kami, perempuan
yang sudah menikah harus fokus mengurus rumah tangga dan mengutamakan
pendidikan anak-anak. Jadi, saya resign.”
“Duh, sayang banget. Kalau ikut
ngurus perusahaan keluarga, boleh kan?” tanya Yuna. “Aku juga nggak kerja.
Orang lain yang kerja untuk aku,” lanjutnya sambil mengerdipkan sebelah
matanya.
Ayu tersenyum menanggapi ucapan
Yuna.
“Ndre, kamu jangan biarin dia
jadi ibu rumah tangga doang, dong! Sayang loh prestasi yang dia punya. Kasih
jabatan di perusahaanmu, Ndre. Amora ‘kan perusahaan besar. Masa menantu
sendiri nggak dikasih kursi? Orang lain aja bisa menduduki kursi pimpinan di
perusahaanmu.”
Andre tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jangan senyum-senyum aja! Menantu
kayak gini harus diperlakukan dengan baik. Kalau urusan rumah, bisa pakai
pelayan. Kamu jangan kayak orang susah gitu dong, Ndre!” ucap Yuna sambil
menatap wajah Andre.
Andre menahan tawa sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akan aku pikirkan.”
“Jangan dipikir doang! Langsung
bertindak! Kamu mau kasih jabatan apa buat menantumu ini? Kami semua jadi
saksinya,” pinta Yuna.
Andre menggaruk kepalanya yang
tidak gatal.
“Eh, dia punya track record
yang bagus. Prestasi bagus dan pengalaman kerja di perusahaan yang bagus juga. Kalau
kamu nggak mau kasih jabatan buat dia. Aku hire dia jadi Wakil Direktur
Pengembangan Bisnis. Chandra lagi butuh wakil karena yang sebelumnya udah
resign,” tutur Yuna.
“Hahaha.” Andre tergelak
mendengar ucapan Yuna. “Kamu jangan terang-terangan ngambil orangku, Yun.”
“Kamu sia-siain orang seperti
ini. Aku mana bisa melewatkan orang-orang berpotensi seperti ini. Galaxy need
generasi baru yang seperti ini,” ucap Yuna sambil menoleh ke arah Ayu. “Kamu
mau salary berapa? Tinggal sebut dan kami akan kasih untukmu!”
Ayu tersenyum menatap wajah
Yuna. “Nyonya, saya merasa sangat
terhormat mendapat tawaran seperti ini. Tapi saya sudah menikah. Kalau bekerja
di luar, harus atas izin suami. Saya tidak bisa melanggar peraturan keluarga
kami.”
Yuna tersenyum sambil mengusap
lembut lengan Ayu. “Kamu istri yang berbakti banget?” ucapnya terharu. Ia
mengedarkan pandangannya, mencari sosok suami Ayu yang ada di meja lain.
“Nanda, Ayu boleh kerja di
Galaxy?” seru Yuna.
Nanda yang baru ingin menyuapkan
makanan ke mulutnya, langsung memutar kepala menatap wajah Yuna.
“Boleh, ya!” pinta Yuna sambil
memainkan alisnya menatap Nanda.
Nanda langsung meletakkan
sendoknya perlahan ke atas piring. “Nggak kerja aja dia udah pinter. Kalau
kerja di Galaxy, aku bakal jadi jongos buat dia, dong?” batinnya.
“Kalau diam artinya setuju!”
seru Yuna sambil tersenyum puas dan langsung merangkul Ayu. Mengajak wanita itu
untuk membicarakan tentang ekonomi dan bisnis di masa depan.
“Uhuk ... uhuk .. uhuk ...!”
Nanda langsung tersedak. Ia segera meminum air putih yang ada di hadapannya.
Rocky memperhatikan wajah Nanda
yang duduk berseberangan dengannya. “Bundaku paling jago kalau ngerebut orang.
Kalau kamu sia-siakan Roro Ayu. Galaxy akan menyiapkan rumah yang nyaman untuk dia,”
ucapnya lirih.
GLEG!
Nanda menelan salivanya dengan
susah payah. “Shit! Apa sih yang dilihat dari Roro Ayu sampai semua orang
belain dia dan menginginkan dia seperti ini?” batinnya menahan kesal.