Friday, April 4, 2025

Cara Mengelola Setress Dengan Baik

 



Setres adalah kondisi yang terjadi pada setiap manusia dan tidak bisa kita hindari. Terutama di era yang sangat sulit seperti ini. Banyak orang yang merasakan aktivitas keseharian membuat setrss, bahkan setress bisa terjadi sejak masa anak-anak.

Setres menjadi salah satu kendala bagi kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Sangat terasa jika dalam waktu sebentar saja, kita bisa merasakan setres. Setiap perubahan yang terjadi dalam sehari, bisa memicu pikiran kita untuk setres.

Setres tidak bisa kita biarkan terus menerus karena kondisi ini memiliki dampak buruk pada kesehatan. Kesehatan mental yang tidak terjaga dapat mengakibatkan kesehatan fisik terganggu. Karena mental dan fisik adalah satu kesatuan yang ada dalam diri kita dan tidak bisa kita pisahkan.

Menurut Alodokter, ketika mengalami stres, tubuh akan melepaskan hormon kortisol dan adrenalin yang membuat kerja jantung menjadi lebih cepat. Daya tahan tubuh akan menurun dan menyebabkan tubuh menjadi sulit melawan virus atau bakteri, sehingga rentan terkena penyakit.


Tentunya kita tidak ingin menjadi manusia yang mudah sakit. Terlebih di zaman yang serba mahal ini. Kesehatan menjadi barang yang sangat mahal untuk kita. Oleh karenanya, kita harus mampu mengolah setres dengan baik agar kesehatan fisik kita juga terus terjaga.

Tak dapat dipungkiri jika setres menjadi salah satu faktor penyakit, meski terlihat sepele. Lalu, bagaimana caranya supaya kita tidak mudah setres? 

Secara medis, ada banyak cara untuk menghilangkan setres. Mulai dari jalan-jalan, meditasi atau melakukan hobi yang kita sukai. Lalu, apakah hal tersebut benar-benar bisa menghilangkan setres di pikiran kita untuk jangka waktu yang lama? Tentunya tidak. Healing hanya bisa menjadi obat setres dalam jangka pendek apabila kita sendiri tidak bisa mengelola emosi dengan baik. Artinya, kondisi setres akan tetap muncul ketika kita sudah selesai healing/meditasi dan kembali ke rutinitas sehari-hari. 

Mengelola setres tidak bisa dilakukan dengan bantuan orang lain. Kita harus bisa mengenali diri kita sendiri dan apa saja yang kita butuhkan. 

Setres seringkali muncul karena pemikiran kita yang berlebihan atau karena perkataan orang lain. Pemikiran yang berlebihan kerap menimbulkan kecemasan yang akhirnya berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik jika dibiarkan berkepanjangan. Perkataan orang lain yang terus-menerus kita pikirkan juga dapat memperburuk keadaan mental kita. Sedang, tujuan orang lain berkata buruk pada kita adalah untuk menyerang mental kita secara perlahan. Sehingga ketika memikirkannya terus-menerus, maka tujuan orang tersebut sudah berhasil. 


Belajar untuk menerima semua hal dengan baik, bukanlah hal yang mudah. Tapi semua orang bisa melakukannya jika mereka menginginkannya. Sayangnya, banyak orang yang memilih untuk menghakimi dirinya sendiri pada kenyataan pahit yang mereka terima. Hal ini tentunya akan memperburuk keadaan. 

Setres dapat dengan mudah kita hadapi ketika kita bisa mengelola isi pikiran kita dengan baik. 

Selalu berpikir positif adalah cara terbaik untuk mengelola setres. Pemikiran yang positif membuat kita lebih mudah menerima kenyataan hidup, sepahit apa pun itu. Ketika menghadapi masalah akan lebih mudah menemukan jalan penyelesaian atas permasalahan yang sedang kita hadapi. Sekalipun kita harus menghadapi kesulitan bertubi-tubi, tapi kita tetap positif thinking kepada Tuhan sehingga kita akan menemukan jalan terbaik. 

Orang yang berpikir positif, biasanya memiliki ilmu spiritual yang cukup tinggi. Sehingga ia mampu berpikir dan menerima keadaan. Keadaan sesulit apa pun, akan tetap disyukuri. 

Bersyukur juga merupakan salah satu cara mengelola setres yang baik. Tanpa rasa syukur, hati kita akan selalu merasa kurang. Sehingga otak kita selalu berpikir bahwa si A memiliki hal yang lebih baik dari kita, sedang kita tidak seperti dia. Pemikiran yang seperti ini akan memberikan tekanan besar jika seseorang tidak memiliki kemampuan yang setara. Orang yang memiliki kemampuan sama juga bisa memiliki takdir hidup yang berbeda. 

Pada dasarnya, pengelolaan setres yang baik adalah dengan bersyukur dan berpikiran positif. 

Orang yang selalu bersyukur akan menerima dan berterima kasih atas apa yang sudah ia miliki. Ia tidak akan memiliki rasa iri hati terhadap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain. Hatinya akan lebih tenang dan damai karena pikirannya tidak sibuk memikirkan orang lain yang hidupnya terlihat lebih baik. 

Orang yang selalu berpikiran positif akan berani menghadapi setiap masalah kehidupan. Ia berpikiran positif kepada orang-orang di sekitarnya dan juga kepada penciptanya. Orang yang seperti ini tidak akan mudah menyerah ketika ia sedang menghadapi masalah. Ia mudah untuk berkomunikasi dengan orang lain dan selalu mencari cara untuk keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Mereka akan selalu berpikir bahwa setiap kesulitan yang mereka jalani adalah ujian dari Allah agar mereka bisa mencapai tangga kehidupan yang lebih tinggi lagi. Setiap naik satu tangga, mereka akan menghadapi ujian. Tidak ada ujian yang mudah, oleh karenanya mereka akan selalu bersyukur ketika menghadapi ujian karena mereka percaya bahwa Allah akan menolong mereka. 

Dua hal ini menjadi cara paling mudah untuk menghilangkan setres. Kita tidak perlu lagi harus menghabiskan uang untuk pergi berlibur dengan dalih menghilangkan setres karena pulang liburan masih akan setres lagi. 

Cukup dengan bersyukur dan berpikiran positif, kita bisa menghilangkan setres tanpa harus kehilangan apa-apa. Kita bisa self healing dengan membaca buku atau berdiam diri di dalam rumah karena setiap hal yang ada di dalam rumah adalah kebahagiaan. Sehingga kita bisa lebih banyak melakukan hal positif dan bermanfaat sebagai bagian dari self healing. 

Memang, setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah. 

Tapi cobalah untuk menghadapinya dengan cara yang sederhaba. Cobalah untuk menghadapinya dengan cara bersyukur dan berpikiran positif. Nantinya, kamu akan menemukan ketenangan hidupmu di sana, jika kamu menikmatinya. 








Monday, March 31, 2025

Tradisin Angpao Menghilangkan Esensi Minal Aidzin Wal Faidzin

 

Tradisi Angpao Menghilangkan Esensi Minal Aidzin Wal Faidzin

oleh Rin Muna



Ada yang makin ramai di timeline setiap lebaran: angpao. Bukan hanya di keluarga Tionghoa lagi, tapi sudah masuk ke rumah-rumah muslim, bahkan jadi agenda “wajib” saat Idulfitri. Amplop warna-warni, desain lucu, disisipkan selembar uang 10 ribu, 20 ribu, sampai 100 ribuan. Anak-anak ngantri, senyum manis—atau kadang cemberut kalau “isinya kecil”.

Tapi pertanyaannya sederhana:
Apakah kita masih benar-benar saling memaafkan, atau sedang sibuk menilai nilai nominal?


Lupa pada Akar ‘Minal Aidzin wal Faidzin’

Kita sering mengucapkan “Minal Aidzin wal Faidzin”—meski artinya sering salah dimengerti. Banyak yang mengira artinya “mohon maaf lahir dan batin”, padahal frasa ini berasal dari bahasa Arab klasik:

“Ja‘alanallāhu wa iyyākum minal ‘āidīn wal fāizīn”
Artinya: “Semoga kita termasuk orang yang kembali (kepada fitrah) dan menang (dari hawa nafsu).”

Jadi ini bukan sekadar kalimat basa-basi, tapi doa spiritual mendalam—harapan agar kita menjadi manusia yang kembali jernih, bersih, dan menang melawan ego.

Kalau lebaran jadi ajang "tarik angpao", apakah kita masih menang dari hawa nafsu?


Kapitalisasi Hari Suci, Kritik dari Ahli Sosiologi

Sosiolog Jean Baudrillard pernah menulis bahwa “masyarakat modern menciptakan makna melalui simbol dan konsumsi”. Dalam konteks lebaran, angpao bukan hanya amplop berisi uang, tapi telah menjadi simbol status, gengsi, dan ekonomi keluarga.

Dari sini muncul fenomena:

  • Keluarga merasa malu kalau tidak bisa memberi banyak.

  • Anak-anak membandingkan isi amplop.

  • Silaturahmi jadi transaksional: siapa yang dapat lebih banyak.


Dalam survei kecil oleh Pusat Studi Sosial UGM yang dilakukan pada tahun 2022, 68% orang tua di perkotaan merasa tekanan finansial saat lebaran karena angpao anak-anak dan "gengsi keluarga besar". Tradisi yang seharusnya hangat dan penuh makna, berubah jadi ajang “saling ukur dompet”.


Pandangan Filsafat: Keikhlasan vs Ekspektasi

Filsuf Stoik Epictetus mengingatkan:

“Semakin kita bergantung pada hal di luar kendali kita, semakin kita jadi budaknya.”

Ketika silaturahmi dikaitkan dengan angpao, maka momen suci kehilangan substansi. Anak-anak tumbuh tanpa nilai syukur dan ikhlas, hanya belajar bahwa "pertemuan" sama dengan "hadiah". Ini menciptakan ilusi tentang nilai kasih sayang diukur dari nilai rupiah.

Pandangan Islam: Memberi itu Sunnah, Menyombong itu Celaka

Islam sangat menganjurkan memberi, tapi bukan dalam kerangka pamer atau menjerumuskan orang dalam keterpaksaan.

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari)

Tapi memberi juga harus disertai dengan niat yang ikhlas, bukan demi sebuah citra sosial. Memberi tidak menyakiti yang diberi (QS Al-Baqarah: 262):

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya... lalu mereka tidak mengiringinya dengan menyebut-nyebut pemberian itu dan tidak menyakiti (perasaan si penerima)...”

Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa membuat saudaranya merasa malu karena tidak mampu, maka ia telah berdosa." (HR. Abu Dawud)

Apa jadinya kalau keponakan jadi minder karena “nggak bisa kasih balik”, atau orang tua jadi tertekan karena tidak punya cukup uang untuk membagi angpao?


Lalu, apa solusi yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan esensi Minal Aidzin Wal Faidzin yang sebenarnya?

Memaafkan dan silaturahmi bukan bisnis tahunan. Kalau mau memberi, lakukan dengan senyap dan tulus. Tanpa pamer, tanpa ditagih, tanpa jadi standar sosial.

Beberapa alternatif yang lebih mendidik:

  • Alihkan angpao ke bentuk kegiatan bersama: membuat kue, berbagi cerita, main tradisional.

  • Kalau tetap ingin memberi, ajari anak-anak untuk bersyukur dan menyisihkan sebagian untuk sedekah.

  • Kurangi tekanan gengsi: beri sesuai kemampuan, bukan demi “balapan” amplop.


Jangan Biarkan Uang Membakar Niat Baikmu!

Minal Aidzin wal Faidzin adalah doa kemenangan ruhani. Jangan biarkan ia dikalahkan oleh inflasi angpao dan ekspektasi palsu. Karena pada akhirnya, anak-anak akan lupa berapa yang mereka terima. Tapi mereka akan ingat siapa yang benar-benar memeluk mereka tanpa syarat.




Ditulis di tengah suara mesin jahit dan tumpukan bahan kebaya yang harus selesai, tapi hati ingin tetap pulang ke sesuatu yang penuh esensial di masa lalu.



Rin Muna


Monday, March 24, 2025

Kamu Bukan Tuan Atas Emosiku







Suatu hari aku duduk di sebuah forum diskusi di mana aku adalah penanggung jawab sebuah kegiatan. Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dan aku belum memahami seperti apa sifat orang-orang yang ada di lapangan kala itu. 
Sebagai penanggung jawab, aku memilih untuk banyak diam dan mendengarkan. Mencoba memahami satu per satu apa yang mereka inginkan dan mencocokkannya dengan beberapa wawancara kecil yang telah aku lakukan secara individu sebelumnya. 

Ada satu hal yang cukup mengejutkan bagiku dan cukup memancing emosi ketika koordinator lapangan mencoba menyampaikan ke dalam forum tentang kesalahan-kesalahan yang aku sendiri tidak pahami. Dia bilang sudah berkomunikasi denganku, tapi aku tahu persis bahwa tidak ada komunikasi apa pun di antara kami. Bahkan semua rencana kerja yang aku buat, dibuat berantakan oleh koordinator lapangan yang bisa seenaknya mengubah jadwal tanpa koordinasi. 
Jika aku tidak bisa mengendalikan emosiku, tentunya aku akan marah. Aku akan tidak terima dengan pernyataan dia yang diungkapkan di depan banyak orang, tapi tidak pernah dia ungkapkan langsung kepadaku sebelumnya. 
Aku tidak bisa mengontrol apa yang orang lain ucapkan, tapi aku bisa berusaha mengontrol bagaimana caraku meresponnya. 
Aku hanya bertanya dalam hati, "apa maksud orang ini?"
Aku tidak merespon apa pun. Mungkin, semua orang akan menilai bahwa ucapan dia benar, sedang aku yang bersalah dan harus menanggung semuanya. Tapi kita tahu persis apa yang terjadi dan seberapa besar ketidakjujuran yang sedang ia ciptakan. 

Sampai forum diskusi selesai, aku hanya berpikir dan berdialog dengan diriku sendiri. Aku tahu jika aku sedang berhadapan dengan orang yang manipulatif dan pembohong patologis. Itulah sebabnya aku tidak ingin merespon apa pun. Aku tidak ingin bereaksi apa pun meski aku adalah tipe orang yang suka berdebat. Aku tidak ingin berdebat kosong dengan seseorang yang sedang berusaha memancing emosiku. Aku tidak ingin berdebat dengan orang yang manipulatif dan pembohong patologis. Aku tidak perlu validasi dari sana-sini untuk mendapatkan pembenaran karena aku sudah tahu siapa sesungguhnya yang benar dan yang salah. Suatu hari nanti, kebenaran akan menemukan jalannya. 


Kemudian, ada satu waktu di mana ada seseorang yang datang padaku untuk memancing emosiku. Dia datang padaku dan berkata, "Mbak, si A ada bilang ke aku kalau Mbak Rina suka makan uang anak-anak taman baca".
Aku terkejut dan nyaris emosi dalam waktu beberapa detik. Tapi kemudian aku berhasil mengendalikan diriku sendiri dan memilih untuk tersenyum. Semua orang tahu kalau taman baca aku dirikan secara pribadi. Belajar di taman baca selalu gratis. Semua biaya operasional (kebersihan, listrik, air, dll.) aku tanggung secara pribadi. Lalu, bagaimana aku bisa dikatakan makan uang taman baca? Sedang uang untuk taman baca pun, aku mengeluarkan dari kantongku sendiri. 

Beberapa waktu kemudian, aku duduk di forum persaudaraan. Seseorang menyampaikan berita kepadaku bahwa si B berkata, "Kapok jadi janda!" 
Aku hanya bisa beristigfar mendengar kalimat yang begitu bersemangat menginaku. Terlebih, saat itu memang aku baru saja menyandang status "janda". Aku berusaha keras mengendalikan emosiku. Aku tersenyum dan berkata, "Nggak papa. Pada akhirnya, semua orang akan jadi janda/duda. Hanya soal waktunya saja yang berbeda."

Tak sekedar tiga hal itu saja yang berusaha membangkitkan emosiku. Masih ada banyak kalimat buruk yang kerap kudengar di luar sana dan sampai ke telingaku. 
Aku tidak emosi. Aku hanya berpikir, "apa maksudnya orang ketiga menyampaikan ucapan itu ke aku? Apakah ada indikator untuk mengadu domba kami? 
Meski perkataan itu jujur dan apa adanya, aku tetap tidak bisa merespon dengan emosi. Aku sudah terbiasa mendapatkan penghinaan dan diremehkan. Aku biasa mudah emosi, tapi aku selalu bisa mengolah emosiku. Aku tidak akan emosi untuk hal-hal yang tidak layak untuk diperjuangkan. 
Aku belajar banyak hal untuk bisa mengolah emosi, mulai dari tokoh-tokoh Yunani kuno sampai tokoh-tokoh Islami yang mengajarkan banyak pola pikir sehat. Sehingga, aku tidak akan mudah untuk emosi. 

Aku memilih untuk bisa merespon perkataan/tindakan orang lain dengan diam dan tenang. Bukan aku lemah atau tidak bisa bicara, tapi karena aku tidak perlu bicara dan aku merasa tidak perlu merespon apa pun yang tidak layak untuk kuperjuangkan. 

Aku adalah pemilik emosiku sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa mengendalikannya, apalagi menjadi tuan bagi emosiku. Tidak ada yang bisa menyakitiku hanya dengan kata-kata karena aku tidak mudah untuk terpengaruh. 
Sifatku adalah menganalisa keadaan, bukan ingin menjadi pengendali keadaan. Jadi, aku tidak akan mudah terpengaruh dengan kata-kata orang lain yang berusaha untuk menjatuhkan harga diriku. 
Sudah begitu banyak kalimat penghinaan yang ditujukan ke aku, tapi tidak pernah dibicarakan padaku langsung, selalu dibicarakan di depan orang lain. Entah apa maksudnya. Tapi aku enggan menghadapi orang-orang yang seperti itu. Sedang aku tidak punya waktu untuk meresponnya, apalagi untuk balas membicarakan keburukan mereka. 

Sesungguhnya, satu kalimat saja yang aku tuliskan ketika emosi, bisa diketahui oleh banyak orang di dunia ini. 

Bukankah mudah bagiku menghancurkan reputasi orang lain? Sedang mereka yang ingin menghancurkan reputasiku hanya bisa sebatas di kampung sendiri. 

Aku memilih diam bukan karena aku takut atau lemah. Tapi karena aku justru sangat kuat karena bisa mengendalikan emosiku sendiri. Aku tidak ingin emosi yang menguasai diriku, apalagi ada orang lain yang menjadi tuan atas emosiku. 

Aku berusaha untuk merespon dengan baik setiap kalimat atau tindakan negatif dari orang lain. Tidak semua hal harus aku dengarkan. Tidak semua saran orang harus aku laksanakan. Ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan orang lain terhadapku.

Jika kamu juga tidak suka dengan sikapku, cobalah untuk merenung sejenak! 
Benarkah kamu benci denganku karena sikapku atau kamu sedang bermasalah dengan hati dan pikiranmu sendiri? 


Ingatlah, kamu bukan tuan atas emosiku! 
Kamu bukan orang yang berhak menggugah emosiku untuk hal-hal yang tidak layak untuk aku perdebatkan. 
Kalau kamu kecewa, itu bukan karena aku, tapi karena kamu tidak bisa mengolah masalahmu sendiri sehingga mengorbankan orang lain untuk sebuah pembenaran/validasi.



Sunday, March 23, 2025

Kebohongan Patologis Dapat Menghancurkan Hubungan

 



Kebohongan Patologis Dapat Menghancurkan Hubungan

 Luka yang Tidak Tampak, Tapi Nyata


Ada luka yang tidak meneteskan darah, tapi menganga dalam diam: luka karena kebohongan. Apalagi jika kebohongan itu bukan satu-dua kali, melainkan terus-menerus seperti napas—kebohongan yang sudah menjadi kebiasaan. Inilah yang disebut sebagai kebohongan patologis (pathological lying).

Sebagai penulis yang gemar mengamati dinamika relasi manusia, saya sering menjumpai tema ini dalam kisah nyata maupun fiksi. Dan yang paling menyedihkan adalah ketika seseorang sadar bahwa pasangannya bukan sekadar "berbohong sesekali", tapi memiliki pola bohong kronis yang membentuk realitas semu—seolah hidup dalam sandiwara.

Apa Itu Kebohongan Patologis?

Kebohongan patologis bukan sekadar dusta sesekali untuk menghindari konflik. Ini adalah kebohongan yang berulang, tidak perlu, dan kadang tidak masuk akal, bahkan ketika tidak ada keuntungan jelas dari kebohongan itu.

Psikolog Charles Dike dari UCLA menyebut kondisi ini sebagai bagian dari Pseudologia Fantastica—sebuah fenomena di mana pelaku menyusun narasi palsu yang ia percayai sendiri, dan menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian. Dalam jurnal Psychiatric Times (2008), Dike menjelaskan bahwa kebohongan patologis bisa muncul karena trauma masa kecil, dorongan untuk terlihat superior, atau keinginan kompulsif untuk mengontrol persepsi orang lain.

Mengapa Ini Bisa Menghancurkan Hubungan?

Hubungan dibangun atas dasar kepercayaan. Dan kepercayaan itu seperti gelas kaca—sekali retak, sulit kembali seperti semula. Ketika seseorang terus-menerus dibohongi, ia bukan hanya kehilangan kepercayaan pada pasangannya, tapi juga pada persepsinya sendiri. Ia mulai mempertanyakan: “Apakah aku terlalu curiga? Apakah aku yang berlebihan?”

Kebohongan yang terus diulang akan melahirkan gaslighting, di mana korban dipaksa meragukan realitasnya sendiri. Dan inilah yang sangat berbahaya. Hubungan menjadi tidak sehat. Ada ketimpangan kuasa. Dan sering kali, sang pembohong akan memutarbalikkan logika hingga ia tampil sebagai korban.

Kita tahu, dalam relasi apa pun—baik romantis, pertemanan, keluarga, maupun profesional—integritas adalah fondasi. Ketika seseorang berbohong terus-menerus, maka ia menghancurkan fondasi itu secara perlahan, seperti rayap yang memakan rumah dari dalam.

Kebohongan Sebagai Alat Manipulasi

Kebohongan patologis bisa menjadi bentuk manipulasi psikologis. Pelakunya kadang tampak charming, penuh pesona, tapi di balik itu ia menyimpan agenda. Ia bisa membuat pasangannya tergantung padanya secara emosional, dan memutar fakta demi menjaga ilusi citra diri.

Kisah-kisah seperti ini banyak diangkat dalam literatur populer maupun dunia nyata. Salah satunya dalam kisah Dirty John (kisah nyata yang difilmkan oleh Netflix), di mana seorang pria manipulatif membohongi istrinya tentang identitas, pekerjaan, hingga masa lalunya demi keuntungan pribadi. Ia membungkus semua itu dalam pesona dan perhatian semu, yang pada akhirnya membuat korbannya hampir kehilangan segalanya.

Islam dan Filsafat: Perspektif tentang Dusta

Dalam Islam, berbohong adalah dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan kefasikan membawa ke neraka." (HR. Bukhari & Muslim).

Sementara dalam filsafat, Plato menganggap kebenaran sebagai bentuk tertinggi dari keadilan. Berbohong berarti mencederai logos, merusak harmoni antara pikiran dan kenyataan. Dalam tradisi stoikisme, seperti yang diajarkan oleh Epictetus, kejujuran adalah wujud integritas diri. “It’s not things themselves that disturb us, but our interpretations of them.” Maka jika seseorang terus-menerus menciptakan ilusi, ia bukan hanya menipu orang lain, tapi juga menipu dirinya sendiri dari realitas yang jujur.

Apakah Bisa Disembuhkan?

Secara psikologis, orang dengan kecenderungan kebohongan patologis membutuhkan terapi yang mendalam. Tidak cukup hanya dengan nasehat atau kemarahan. Mereka harus memahami akar dari kebohongan itu: apakah karena trauma, rasa tidak aman, atau kelainan kepribadian seperti antisosial atau narsistik.

Tapi sayangnya, banyak dari mereka tidak menyadari masalahnya. Bahkan ketika relasi mereka mulai runtuh, mereka akan mencari kambing hitam, bukan bercermin.

Cinta Tidak Akan Tumbuh di Atas Kebohongan

Membangun relasi itu seperti merawat taman. Butuh kesabaran, kejujuran, dan konsistensi. Jika tanahnya diracuni kebohongan, maka bunga cinta akan layu bahkan sebelum sempat mekar.

Jadi, jika kamu berada dalam hubungan yang dipenuhi dusta, tanya pada dirimu sendiri: “Apakah aku sedang mencintai seseorang, atau sedang mencintai ilusi yang ia ciptakan?”

Beranilah untuk membuka mata, dan jangan biarkan kebohongan—sekecil apa pun—merusak jiwamu. Karena hubungan yang sehat selalu tumbuh di atas kebenaran, meski terkadang pahit.

Referensi:

  1. Dike, Charles. Pathological Lying: Symptom or Disease? Psychiatric Times, Vol. 25 No. 9 (2008).

  2. American Psychiatric Association. DSM-5 Diagnostic Criteria for Personality Disorders.

  3. Hadis Riwayat Bukhari & Muslim.

  4. Plato. The Republic.

  5. Epictetus. Discourses.

Apakah Mereka Benar-Benar Baik Seperti Yang Aku Pikirkan?



 Apakah Mereka Benar-Benar Baik Seperti yang Aku Pikirkan?

Oleh: Rin Muna


Pernah nggak sih kamu duduk sendirian, termenung, lalu muncul pertanyaan kecil yang seperti bisikan: “Apa mereka benar-benar sebaik itu?”
Pertanyaan ini datang ke aku tidak dengan dentuman besar, tapi perlahan—melalui retakan kepercayaan yang pelan-pelan menganga. Lewat sikap, bahasa tubuh, keputusan-keputusan kecil yang aku abaikan selama ini. Lalu seperti kepingan puzzle yang mulai pas satu-satu, aku terdiam dan mengakui: “Ternyata aku salah menilai mereka.”

Tulisan ini bukan curhatan patah hati atau pengkhianatan. Ini adalah catatan keheningan, ketika kita berhadapan dengan kenyataan bahwa kebaikan tidak selalu tulus, dan niat tidak selalu bersih.


Sejak kecil, aku diajarkan untuk mempercayai orang. Bahwa semua orang pada dasarnya baik. Bahwa jika kita berbuat baik, kita akan diperlakukan baik pula. Tapi hidup tidak selalu berjalan seadil itu. Aku beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang terlihat manis di depan, tapi ternyata menyimpan kepentingan. Mereka yang memujimu setinggi langit, tapi diam-diam menggali tanah tempatmu berdiri.

Aku mulai bertanya-tanya, apa selama ini aku terlalu polos? Terlalu mudah percaya? Atau mungkin… terlalu ingin melihat sisi baik orang lain, sampai aku menutup mata dari sinyal bahaya?


Dalam filsafat Islam, Imam Al-Ghazali pernah menulis bahwa manusia memiliki tiga unsur: akal, nafsu, dan hati. Ketika nafsu menguasai, manusia bisa tampil seperti kawan namun sesungguhnya menyimpan niat buruk. Allah pun dalam Al-Qur’an telah berpesan dalam surah Al-Hujurat ayat 12, “Wahai orang-orang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.”
Namun di sisi lain, kita juga diperintahkan untuk berhati-hati.

Berhati-hati bukan berarti berprasangka buruk. Tapi tajam dalam mengamati, dan jujur pada intuisi. Kadang hati kita tahu, tapi akal kita menyangkal, karena terlalu ingin percaya bahwa mereka adalah orang baik.

Marcus Aurelius, filsuf Stoik dari Romawi, pernah berkata: “If someone does wrong, it’s because they think it’s right. If they knew better, they would not do it.”
Pandangan ini mengajarkanku bahwa setiap orang bertindak berdasarkan kerangka pikirnya sendiri. Mungkin mereka memang tidak sebaik yang kupikirkan—tapi juga tidak jahat secara sadar. Mereka hanya hidup dengan prinsip yang berbeda dari prinsipku.

Stoikisme mengajarkanku untuk tidak terikat pada ekspektasi. Bahwa penderitaan sering kali lahir dari bayangan kita sendiri, bukan dari kenyataan. Aku menderita karena berpikir mereka adalah orang baik. Tapi sebenarnya, itu hanyalah konstruksi dalam benakku.

Ketika akhirnya aku sadar, bahwa orang yang kuanggap "baik" ternyata penuh manipulasi atau hanya memanfaatkan kebaikanku, rasanya seperti patah sayap. Tapi dari situ, aku mulai belajar:

  1. Menilai dari tindakan, bukan kata-kata.
    Banyak orang pandai berkata manis, tapi perbuatannya penuh kontradiksi. Lihat bagaimana mereka bertindak saat tidak ada keuntungan bagi mereka. Di situlah watak asli terkuak.

  2. Memberi tanpa mengikat.
    Kalau kita berbuat baik karena ingin dibalas baik, kita akan kecewa. Tapi kalau kita berbuat baik karena itu nilai yang kita pegang, maka kita tidak mudah terluka ketika dikhianati.

  3. Memaafkan, bukan untuk mereka, tapi untuk diriku.
    Maaf adalah jalan melepaskan diriku dari belenggu kemarahan dan luka. Karena hidup terlalu singkat untuk menggendong beban dendam dari orang-orang yang bahkan mungkin tak lagi memikirkan kita.


Kini, ketika aku bertemu orang, aku tidak lagi terburu-buru menaruh label "baik" atau "buruk". Aku belajar menjadi pengamat yang tenang. Aku tahu bahwa manusia kompleks. Dan kebaikan sejati tidak perlu ditunjukkan. Ia terpancar dalam kesederhanaan, dalam konsistensi, dalam ketulusan yang tak berbunyi.

“Apakah mereka benar-benar baik seperti yang aku pikirkan?”
Mungkin tidak.
Tapi yang lebih penting adalah, apakah aku tetap memilih untuk jadi orang baik meski kenyataan sering menyakitkan?

Kalau kamu sedang merasa dikhianati oleh seseorang yang kamu pikir baik, jangan buru-buru mengutuk. Duduklah. Dengarkan hatimu. Dan biarkan kesadaran menguatkanmu—bahwa kamu sedang belajar jadi manusia yang lebih bijaksana.



Salam hangat,
Rin Muna
(Yang belajar dari diam dan luka untuk tumbuh lebih jernih.)

Referensi:

  1. Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, Kitab tentang Hati dan Nafsu.

  2. Al-Qur’an Surat Al-Hujurat (49): Ayat 12.

  3. Marcus Aurelius, Meditations, terjemahan Gregory Hays.

  4. Ryan Holiday, The Daily Stoic.

  5. Said Hawwa, Tarbiyah Ruhiyah.

Kamu Punya Hak untuk Tidak Selalu Dihubungi



 Kita Punya Hak untuk Tidak Selalu Dihubungi

Oleh: Rin Muna


Beberapa waktu lalu, aku memutuskan untuk tidak membalas chat selama dua hari. Bukan karena marah, bukan juga karena ingin dianggap misterius. Tapi karena aku lelah. Jiwaku lelah. Dan aku butuh waktu untuk diam.

Reaksinya? Beragam. Ada yang khawatir, ada yang tersinggung, dan tentu saja—ada yang menganggapku sombong. Seolah-olah kita, manusia, selalu harus available, harus fast response, harus cepat tanggap. Padahal, bukankah diam juga adalah bentuk komunikasi? Bukankah memilih untuk tidak dihubungi juga bisa menjadi bentuk cinta pada diri sendiri?

Di era digital ini, kita dituntut untuk selalu on. Selalu merespons dengan cepat. Balas DM. Angkat telepon. Jawab komentar. Bahkan, diam kita pun dipertanyakan: “Lagi kenapa? Kenapa nggak jawab?”

Padahal, kita ini manusia, bukan pusat layanan 24 jam.

Psikolog Nancy Colier dalam bukunya “The Power of Off” mengatakan bahwa kita hidup dalam ilusi koneksi yang justru mengasingkan. Terlalu banyak interaksi yang dipaksakan hanya karena merasa wajib. Kita menjadi makhluk sosial yang lupa bagaimana rasanya sendiri tanpa merasa bersalah.

Aku akhirnya sadar, bahwa membatasi akses adalah hak. Dan hak itu tidak perlu dijustifikasi panjang lebar. Kita punya hak untuk tidak selalu dihubungi.

Dalam Islam, ada konsep yang indah bernama khalwat—menyendiri bukan karena membenci, tapi untuk mendekatkan diri pada Allah. Para ulama terdahulu bahkan menyisihkan waktu-waktu khusus untuk uzlah (mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia), agar hati tetap bening.

Al-Qur’an pun menyebutkan kisah Maryam, ibu Nabi Isa, yang ketika hamil memilih untuk menyendiri di tempat yang sunyi (QS. Maryam: 16). Bahkan Rasulullah SAW pun menyendiri di Gua Hira sebelum menerima wahyu pertama.

Jadi, jika bahkan para manusia terpilih pun punya waktu untuk tidak ingin diganggu, mengapa kita—yang hanya manusia biasa—harus merasa bersalah karena tidak selalu membalas chat?

Dalam Stoikisme, Epictetus menekankan bahwa hal yang bisa kita kendalikan adalah respon dan pilihan pribadi, bukan ekspektasi orang lain.

Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak selalu merespons dunia. Tidak setiap stimulus harus mendapat reaksi. Kadang, diam adalah pilihan yang paling waras. Marcus Aurelius bahkan menulis: “Withdraw into yourself. The rational soul is self-sufficient.”

Jadi ya, kita berhak memilih untuk tidak merespons pesan yang tidak perlu. Bukan karena kita jahat, tapi karena kita belajar membedakan antara penting dan mendesak—antara kebutuhan orang lain dan kebutuhan jiwa kita sendiri.

Memilih untuk tidak selalu terhubung bukanlah bentuk pelarian, tapi perlindungan. Kita tidak bisa memberi jika kita kosong. Tidak bisa hadir sepenuhnya jika jiwa kita compang-camping karena terus dipaksa hadir di setiap layar. Kita perlu istirahat. Istirahat dari ekspektasi. Istirahat dari notifikasi. Istirahat dari keharusan membalas semua hal yang tidak esensial.

Dan kamu tahu apa yang lebih penting?

Membuat batas itu adalah bentuk cinta pada diri sendiri.

Hari ini, aku ingin mengingatkan kamu dan juga diriku sendiri: kita tidak diciptakan untuk jadi manusia serba cepat. Kita bukan robot. Kita punya ritme. Dan kadang, ritme itu mengajak kita untuk diam, untuk jeda, untuk hanya menjadi.

Kita punya hak untuk tidak selalu dihubungi.
Dan kita tidak perlu merasa bersalah karenanya.

Jika kamu hari ini memutuskan untuk menonaktifkan notifikasi, menolak ajakan ngopi, atau bahkan tidak menjawab satu pun pesan, aku ingin bilang: It’s okay.
Kamu punya hak untuk memilih tenang.
Dan kamu tetap berharga, bahkan ketika tidak sedang online.


Salam penuh jeda,



Rin Muna
(Yang sedang menikmati sunyi sebagai teman baru dalam perjalanan pulang ke dalam diri.)



___________________________________________________________________________

Referensi & Bacaan Tambahan:

  1. Nancy Colier. The Power of Off: The Mindful Way to Stay Sane in a Virtual World.

  2. Al-Qur’an Surah Maryam Ayat 16–17 (tentang menyendiri).

  3. Marcus Aurelius. Meditations.

  4. Epictetus. The Enchiridion.

  5. Imam Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin (bab tentang uzlah dan khalwat).

  6. Jonathan Malesic. The End of Burnout: Why Work Drains Us and How to Build Better Lives.

Menulis Adalah Luapan Emosi yang Tidak Berisik

 


KENAPA KITA HARUS MENULIS?

Banyak orang bertanya tentang kenapa harus menulis?

Menulis adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai bekal dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tanpa bisa membaca dan menulis, kita tidak bisa berkomunikasi dan menyampaikan pendapat kita pada orang lain.

Allah SWT menurunkan wahyu pertamanya yakni "Iqro" kepada Nabi Muhammad SAW. Iqro' memiliki makna "bacalah!"

Maka, perintah membaca adalah perintah yang pertama kali diturunkan pada manusia. Perintah membaca, berarti juga merupakan perintah untuk menulis. Sebab, tak akan ada bacaan jika tidak ada yang dituliskan.

Menulis bukan sekedar perintah untuk menghadirkan bahan bacaan yang baik kepada pembacanya. Tapi menulis juga memiliki banyak manfaat positif yang bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang memiliki kebiasaan menulis, cenderung memiliki pemikiran yang sehat, wawasan yang luas, mampu mengendalikan emosinya, dan berbicara dengan teratur.


Menulis adalah self healing (proses pemulihan diri secara emosional, mental, dan fisik tanpa bergantung sepenuhnya pada bantuan orang lain) yang paling baik. Menulis mampu membuat emosi kita menjadi lebih stabil tanpa melibatkan orang lain.


Menulis dengan jujur dan apa adanya adalah cara untuk meluapkan emosi kita tanpa berisik. Kita tidak perlu berteriak atau mencaci maki orang lain yang justru akan menimbulkan masalah baru. Kita tidak perlu melibatkan bantuan orang lain untuk menyembuhkan mental kita sendiri ketika kita harus berhadapan dengan masalah kehidupan yang sangat berat.


Salah satu alasan kenapa aku harus menulis adalah untuk mencurahkan apa yang terpendam di dalam hati dan pikiranku ke dalam bentuk yang lebih bermanfaat. Mungkin, untuk sebagian orang ini terlalu lebay. Sedikit-sedikit harus sharing tentang kehidupan dan pengalamannya dalam bentuk tulisan atau di media sosial. Bukan tidak menutup kemungkinan kalau banyak orang yang nyinyir dengan apa yang aku lakukan. 

Sempat merasa kurang percaya diri dan kembali menutup diri. Tidak sharing apa pun tentang kegiatan dan pengalaman hidupku. Karena untuk sebagian orang yang membenci, ini adalah hal yang tidak baik dan tidak mereka sukai.

Tapi kemudian aku berpikir ... tugasku bukan untuk menyenangkan orang lain. Tugas utamaku adalah membahagiakan diri sendiri dengan caraku sendiri. Orang lain bukanlah tuan atas emosiku. Aku harus kembali pada prinsip hidupku sendiri tanpa memikirkan apa kata orang lain.


Aku memilih untuk tetap terus menulis. Menuliskan semua pemikiranku secara jujur, terbuka, dan apa adanya. Karena dengan begitu, aku merasa emosiku bisa lebih tertata dengan baik.

Kemudian, aku menganalisa pergerakan sosial yang ada di sekitarku. Aku menganalisa bagaimana sikap dan sifat orang-orang yang tidak pernah menulis. Kebanyakan mereka memiliki emosi yang tidak stabil. Karakternya mudah berubah. Tidak memiliki prinsip hidup yang kuat. Ketika menghadapi masalah, mereka membutuhkan validasi dari sana-sini. Mereka bahkan tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

Aku tahu, mereka bukan tidak bisa menulis, mereka hanya tidak mau menulis. Tidak bisa dan tidak mau adalah dua hal yang berbeda. Mereka menganggap bahwa hidup mereka sangat privasi. Padahal, privasi itu juga ada batas-batasannya. Banyak hal pribadi yang tetap aku jaga kerahasiaannya dari publik. Tapi lebih banyak hal yang bisa kita bagikan kepada publik agar dunia tahu bahwa kita masih bisa bermanfaat walau sekecil biji sawi.

 

Sejak kecil, aku sudah suka menuliskan segala hal lewat Buku Diary. Aku merasa hari-hariku menjadi lebih baik ketika aku menuliskan ceritaku. Aku tidak bisa meluapkan emosiku di depan banyak orang dengan tiba-tiba. Tapi aku bisa meluapkan emosiku dalam bentuk sebuah karya tulis. Karya tulis yang membuatku memandang sesuatu dari banyak perspektif. Sehingga aku tidak begitu ngotot di depan orang lain meski aku memegang teguh prinsip hidupku sendiri.


Menulis menjadi bagian dari self healing yang aku lakukan setiap hari. Ada banyak masalah besar yang harus aku hadapi sendiri dan aku tidak tahu harus bercerita pada siapa. Aku hanya bisa bercerita pada Allah dan lewat tulisan. Aku tidak ingin menceritakan setiap masalahku pada orang lain. Sebab, semua orang sedang berjuang dengan masalahnya sendiri dan aku tidak perlu menjadi tambahan beban pikiran untuk orang lain.

Aku tidak perlu berisik hanya untuk meluapkan emosi yang terpendam di dalam hati dan pikiranku. Aku merasa sudah lega ketika aku bisa meluapkannya dalam bentuk tulisan. Tidak ada orang lain yang bisa membantuku menyelesaikan masalah mentalku, kecuali diriku sendiri. Aku tidak perlu melibatkan orang lain. Orang lain tidak perlu meributkan apa yang terjadi di dalam hidupku. Aku bisa lebih tenang dalam menghadapi kepahitan hidup, bahkan aku menikmatinya. Sebab, semua rasa sakit dan hal pahit dalam hidupku bisa berbuah manis ketika aku olah menjadi sebuah tulisan.

Kamu sendiri bagaimana?

Sudahkah kamu meluapkan emosimu dalam bentuk tulisan atau masih memendamnya dalam hati dan pikiranmu sendiri?

Jangan dipendam, ya! Jika tidak bisa bercerita dengan orang lain, berceritalah dalam bentuk tulisan. Ini akan membuat hidupmu lebih tenang, lebih damai dan berwawasan.










 








Wednesday, March 19, 2025

Local Hero Pertamina yang Kerap Dijuluki Sebagai Wanita Simpanan Di Kampungnya



Tiba-tiba nemu foto di galeri laptop waktu mau bersih-bersih memori karena semua memoriku udah kepenuhan.

Ini foto waktu aku nginap di Pertamina Patra Land Residence di tanggal 01 Maret 2024.


Disclaimer : Foto-foto aku di hotel atau apartemen itu bukan karena aku jadi wanita simpanan, tapi karena aku dibayar untuk ikut seminar, pelatihan, diskusi, atau ngisi acara.

Mungkin, foto-foto kayak gini yang sering banget bikin aku dibilang wanita simpanan bos-bos. Padahal, aku nggak kenal sama bos siapapun. Kalaupun kenal, itu cuma untuk belajar bisnis atau sharing tentang pengalaman usaha.

Jadi, Sehari sebelumnya, aku ditelpon sama CDO Pertamina Hulu Sanga-Sanga. Semuanya mendadak banget. Beliau juga diinformasikan dadakan. Awalnya, cuma CDO yang mau terbang ke Jakarta untuk kegiatan. Tapi kemudian, Local Hero juga diajak untuk pergi ke tempat acara. Alhasil, sore itu juga dipesanin tiket dan harus berangkat pagi banget karena acara dimulai jam 8 pagi. Jadi, kita udah harus sampai di Jakarta sebelum acara dimulai.
PHSS punya 2 Local Hero binaan di tahun 2024. Artinya, aku tidak sendiri. Aku berangkat bersama seorang CDO (Mas Prass) dan 1 Local Hero asal Samboja juga, yakni Mas Tio (Pengelola Wisata Bekantan Sungai Hitam Lestari) yang bergerak di bidang Ekowisata.
Karena penerbangan pagi banget, nggak memungkinkan lagi kalau berangkatnya jam 2 subuh. Soalnya, CDO kami dari Muara Badak, sedangkan aku di Desa Beringin Agung dan Mas Tio dari Sungai Hitam.
So, kami berangkat sore hari menuju kota Balikpapan dan sampai di Patra Land Residence jam sembilan malam.
Ini pertama kalinya aku masuk ke Patra Land Residence. Mungkin, akan jadi yang pertama dan terakhir seumur hidupku karena aku bukan orang yang bekerja di Pertamina.
Karena datangnya malam, aku ngerasa tempat ini kayak serem banget. Mewah, tapi horor. Karena kebanyakan apartemen tuh kosong. Maklum, cuma orang-orang tertentu yang menginap di tempat ini. Jadi, nggak akan ramai seperti hotel atau apartemen lain. Aku jadi flasback ke masa saat aku masih bekerja di perusahaan dan menginap di Mess Executive. Aku juga jadi teringat ketika aku menerima penghargaan Pemuda Pelopor dan menginap di salah satu villa pelatih yang ada di area stadion Aji Imbut.
Vibes-nya tuh sama. Sama-sama horor karena sepi dan kosong.
Sebenarnya, apartemen ini mewah banget. Udah ada ruang tamu yang luas, ruang makan yang luas, pantry, ruang loundry, dan 3 kamar tidur.
Aku tidur di kamar utama. sedang Mas Prass dan Mas Tio tidur di kamar yang lain. Mereka berdua sempat main keluar, entah ke mana. Dan aku memilih untuk tidak keluar dari kamar karena aku takut.
Alhamdulillahnya, aku masih bisa tidur nyenyak. Mungkin karena aku juga terbiasa dengan suasana sepi. Jadi, lebih nyaman berdiam diri di dalam kamar daripada ngeluyur keluar. Itulah yang selalu aku lakukan setiap kali berkegiatan. Kalau udah baring di kamar, rasanya nyaman banget. Main hape, nonton tv, main laptop, atau teleponan sama anak-anak.
Jam 5 subuh, aku sudah bersiap dan kami langsung pergi ke bandara. Kebetulan, jarak apartemen dan bandara tidak jauh. Tidak harus terjebak macet seperti kota Jakarta. Jadi, kami bisa sampai tepat waktu untuk check-in di bandara.
Alhamdulillah, setiap langkah dan waktu yang aku lalui, semuanya sangat berkesan. Banyak ilmu dan pengalaman hidup yang aku dapatkan.
Aku bertemu dengan 170 Local Hero Pertamina dari seluruh Indonesia di saat aku ingin menyerah pada apa yang selama ini aku perjuangkan. Ternyata, perjuangan mereka jauh lebih berat dari yang aku lakukan. Kalau aku menyerah, artinya aku kalah pada takdir yang sedang direncanakan Allah. Bisa jadi, Allah sedang menyiapkan hadiah di ujung sana. Di tempat di mana aku harus melalui banyak kesulitan lebih dahulu.


Terima kasih banyak untuk pengalaman berharga yang tak terhingga. Aku tidak kaya harta, tapi aku punya intelectual investment (investasi intelektual) yang membuatku dihargai. Investasi intelektual tidal bisa didapat dengan cara yang instan. Butuh proses dan perjuangan keras selama belasan tahun untuk bisa menghasilkan sebuah karakter yang kuat, karakter yang bisa dipercaya oleh orang lain. Yang ketika aku merekomendasikan seserang untuk menjalankan program, mereka berkata, "Kalau bukan Mbak Rin Muna, kami nggak yakin akan bertahan lama."

Benar saja, taman bacaanku "Rumah Literasi Kreatif" kini sudah berusia 7 tahun. Meski setiap harinya harus tertatih menghidupkannya sendirian, tapi masih bisa bertahan selama ini.
Sebab, banyak orang yang ikut membuka taman bacaan, tapi tidak mampu bertahan sampai satu tahun. Karena di sini semuanya murni sosial. Tidak ada keuntungan yang aku dapatkan. Aku merawat dan menjaga buku-buku dengan tulus. Aku belum mampu berkembang lebih luas lagi, masih sebatas bertahan untuk tidak hancur oleh zaman.









Monday, March 17, 2025

Menjadi Wanita Produktif di Bulan Ramadan Bersama Komunitas Muslimah






Setiap hari adalah proses untuk belajar. Tidak ada kata berhenti untuk belajar selama kita masih hidup di dunia ini. 
Sama seperti hari ini, aku pergi ke majelis taqlim untuk belajar agama lebih dalam. Aku sadar, aku bukan anak yang terlahir dengan didikan agama yang baik dari orang tua. Oleh karenanya, aku sangat ingin bisa belajar agama Islam yang baik dan benar. Walau sampai hari ini, aku masih belum bisa istiqomah untuk menjalankan syariat agama yang baik dan benar. Tapi segala hal butuh proses dan aku berharap suatu hari nanti ditunjukkan jalan yang lurus oleh Allah SWT.
Hari Jum'at ini, 14 Maret 2025 adalah hari pertama aku mengikuti kajian agama di bulan Ramadan. Bersama dengan Komunitas Muslimah Samboja, aku sama-sama belajar tentang agama agar aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi di masa depan.

Pertemuan kali ini mengkaji tema "Menjadi Wanita Produktif di Bulan Ramadan".
Berpuasa adalah perintah dari Allah dan tidak membuat kita kehilangan produktifitas sedikit pun. Beruntungnya, kita tinggal di Indonesia yang mayoritas muslim dan bisa menjalankan ibadah puasa dengan baik. Karena ada beberapa negara yang melarang umat muslim untuk berpuasa seperti Turkmenistan, Tajikistan, dan Prancis. Di tiga negara ini, umat muslim dilarang untuk berpuasa, bahkan harus mendapatkan hukuman jika berpuasa. 
Sungguh, iman seorang muslim diuji dengan hal yang seperti ini. Sulit untuk bisa beribadah kepada Allah adalah nikmat yang tidak bisa kita dapatkan karena keimanan mereka sangatlah membuat kita iri. Allah pasti akan memberikan balasan yang jauh lebih besar dari apa yang kita lakukan hari ini. Sedangkan puasa adalah perintah Allah yang harus dijalankan oleh setiap muslim yang beriman. Bagi yang tidak beriman, meninggalkan puasa adalah hal yang biasa. Sebab, ada banyak orang muslim tapi tidak beriman.
Seperti yang disabdakan Allah dalam Surat Al-Baqoroh ayat 183:
yâ ayyuhalladzîna âmanû kutiba ‘alaikumush-shiyâmu kamâ kutiba ‘alalladzîna ming qablikum la‘allakum tattaqûn
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

English Translation : O you who have believed, decreed upon you is fasting as it was decreed upon those before you that you may become rigtheous.

Dalam ayat yang tertera di atas, dapat kita ketahui bahwa berpuasa adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah SWT. Bahkan, Allah juga mewajibkan kita untuk membayar utang puasa jika kita tidak bisa menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadan. 

Oleh karenanya, puasa menjadi kewajiban bagi orang-orang yang beriman. Berpuasa sama sekali tidak menghalangi aktifitas kita. Kita masih bisa menjadi wanita yang produktif meski sedang berpuasa. Menjadi wanita produktif bagi mereka yang bekerja di luar rumah, juga menjadi wanita yang produktif dalam merawat dan menjaga keluarganya di dalam rumah.
Sebab, wanita adalah madrasah ula atau madrasa pertama bagi anak-anaknya. Akan menjadi apa anak-anaknya kelak, akan bergantung pada pendidikan dari ibunya. 

Semoga, aku bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku meski sampai hari ini ilmuku masih minim, emosiku masih belum stabil, ego dan nafsuku masih lebih tinggi dari ibadahku. 

Aku sangat ingin menjadi orang-orang beriman yang selalu disayang oleh Allah karena orang-orang yang beriman selalu dipanggil oleh Allah di dalam Al-Qur'an. 
Semoga Allah selalu pertemukan aku dengan orang-orang baik yang bisa membawaku ke dalam kebaikan. Orang-orang yang mengajariku banyak hal, terutama tentang bagaimana menjadi ummat yang baik. Aku ingin berada di jalan Allah yang lurus dan selalu disayang oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Semoga, yang membaca tulisan ini juga mendapatkan keberkahan dari Allah dan kita dipertemukan di surga nanti sebagai orang-orang beriman yang disayang Allah.


Kamu bisa lihat aktivitas keseharianku dengan lengkap di Channel Youtube "Rin Muna".
Bantu support konten-kontennya supaya aku bisa memberikan banyak inspirasi dan bermanfaat.




Much Love,

Rin Muna

Karyaku Bisa Diterbitkan Perpusnas Press || Praktik Baik Pemanfaatan 1000 Buku (Wilayah Kalbar, Kaltim, Kalsel)








Tuhan selalu punya cara untuk membuat hidup kita menjadi lebih baik. 
Tuhan selalu punya cara yang indah untuk mengubah keinginan kita. 
Sama seperti yang terjadi hari ini. 
Aku menerima paket buku berbonus tas keren dari Forum TBM Pusat. 
Paket buku kali ini adalah paket buku paling istimewa sepanjang hidupku. Karena di buku ini ada karya kecilki tentang Rumah Literasi Kreatif yang aku bangun sendiri sebagai upaya untuk membantu pergerakan literasi di Indonesia. 
Aku tidak menyangka kalau karya tulisku bisa diterbitkan oleh Perpusnas Press RI. Bermimpi saja aku tidak punya keberanian. Aku siapa? Karyaku masih belum apa-apa. 


Tapi kemudian aku berpikir ... suatu hari aku pernah berharap sesuatu yang hari ini diwujudkan oleh Allah. "Gimana caranya bukuku bisa diterbitkan perpustakaan negara, ya? Mereka yang bukunya diterbitkan oleh Perpusnas RI, pastilah penulis-penulis istimewa yang karyanya sudah dikurasi dengan ketat," ucapku ketika aku membaca buku-buku terbitan Perpustakaan Nasional yang kualitasnya sudah tentu sangat baik. 
Aku lupa kapan aku berucap seperti itu dalam hatiku. 

Tapi masih lekat dalam ingatan jika aku sangat menginginkan karyaku bisa diterbitkan oleh penerbit besar dan berkualitas. Sayangnya, proses penulisanku masih sangat buruk. Aku masih belum punya keberanian untuk mengajukan naskah-naskahku ke penerbit mayor. Karena aku masih berproses dan masih perlu banyak jam terbang dalam berkarya. 

Hari ini aku mendapatkan kejutan tak terduga di hari ke-17 Ramadan. Aku mendapat kiriman buku fisik yang di dalamnya ada karyaku. Setelah melewati proses kurasi yang sangat ketat, akhirnya tulisanku bisa lolos dan diterbitkan langsung oleh Perpusnas Press. 
Tidak semua penulis memiliki kesempatan untuk mengabadikan karyanya di Perpustakaan Nasional. Oleh karenanya, aku merasa bangga pada diriku sendiri karena telah berhasil menjadi salah satu kontributor Perpusnas Press. 
Buku ini diterbitkan dalam rangka mengabadikan program Perpusnas RI yang telah memberikan bantuan 1000 buku bacaan anak bermutu kepada 10.000 taman bacaan masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia. Taman bacaan yang aku dirikan sejak tahun 2018 menjadi salah satu penerima bantuan 1000 buku cerita anak bermutu yang dikirimkan langsung oleh Perpustakaan Nasional RI. 
Bantuan yang diberikan ini tentunya tidak lepas dari peran teman-teman Forum TBM Pusat yang sangat aktif dalam pergerakan literasi di Indonesia. 

Aku sangat antusias  ketika dihubungi oleh tim untuk mengirimkan naskah tentang pemanfaatan bantuan 1000 buku yang telah aku terima untuk taman bacaku. Meski di tengah kesibukanku sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah, aku berusaha untuk bisa menuliskan sebuah karya kecil. 

Setelah melewati proses kurasi dan revisi, akhirnya naskahku bisa dikatakan lolos untuk diterbitkan oleh Perpusnas Press. Rasanya sangat lega dan berharap kalau Perpusnas Press akan benar-benar mengabadikan karyaku.

Beberapa bulan kemudian, aku mendapatkan paket kiriman dari Forum TBM beruba sebuah buku yang sudah dicetak berjudul "Praktik Baik Pemanfaatan 1.000 Buku" untuk wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. 

Bukan hanya 1 eksemplar buku, tapi juga ada sebuah tas keren yang dikirimkan. Hampir sama seperti tas yang biasa aku kenakan dan aku dapat dari kegiatan Forum TBM di The Sultan Hotel & Residence Jakarta. Tapi, tas yang ini ukurannya jauh lebih besar. Dua tas hadiah dari Forum TBM Pusat ini menjadi tas favorite buat aku karena ada banyak kantong di dalamnya dan sangat nyaman dipakai jalan ketika membawa banyak bawaan. 


Rasanya senang sekali ketika mendapatkan hadiah istimewa ini. Di hari ke-17 Ramadan, aku seperti sedang mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

Buku ini akan jadi buku yang paling aku sayang karena pertama kalinya tulisanku diterbitkan oleh Perpusnas Press dan akan menjadi kenangan untuk selamanya. 
Buku ini sangat exclusive karena tidak dijual di toko buku. Kamu tidak akan bisa membacanya jika kamu tidak datang ke Perpusnas RI atau datang ke TBM di mana ada kontributor untuk buku ini. Jadi, kalau mau baca buku ini, kamu harus mengunjungi Perpustakaan RI. Buku ini sangat luar biasa karena ada banyak tulisan tentang perjalanan membuat taman baca yang penuh dengan liku-liku dan bisa menjadi inspirasi kehidupan agar hidup kita bermanfaat.
Jangan lupa cari buku ini, ya!

Kalau nanti aku mati, cari keyword nama "Rin Muna" di google, ya! Semoga karya-karyaku bisa menginspirasi dan membuat kalian lebih semangat dalam menjalani ujian kehidupan ini. 🤗

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas