Bab 2 – Doa yang Menyeret Nyawa
Hujan mengguyur Balikpapan sejak sore. Airnya menetes pelan dari atap rumah
sakit, menimbulkan bunyi ritmis yang mengiringi detak jam di dinding.
Rania terbaring di ranjang dengan tangan kanan terbalut perban tebal. Setiap
denyut di jarinya seperti gema dari peristiwa kemarin. Samar ... tapi perihnya menolak pergi.
Di sisi ranjang, ponselnya bergetar pelan. Sekali, dua kali, lalu terus
menerus.
Ie meraih ponsel menggunakan tangan kirinya dan membuka pesan grup Whatsapp ”Mading
Smarihexa”.
Rido:
“Ran, kamu udah lihat berita?”
Tia: “Sarah... ketabrak mobil waktu pulang sekolah ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜”
Nanda: “Gila, parah banget... badannya sebagian hancur.”
Rido
: ”Motornya ringsek. Kebayang ’kan kondisinya gimana?”
Tia
: ”Aku ngeri banget lihatnya. Perlu kita naikkan ke mading sekolah kita atau
nggak, sih?”
Nanda
: ”Naikkan aja nggak papa. Toh, udah viral juga di berita kota Balikpapan. Masa
sekolah kita malah nggak angkat beritanya?”
Rido
: ”Tapi ini berita duka. Kita buat beritanya, tapi jangan ditampilkan korban
kecelakaannya. Cukup jadi arsip kita aja.”
Tia
: ”Sementara kita buat postingan ’Rest in Peace’ aja dulu, deh. Sampai ada
keputusan dari Rania mau dinaikkan beritanya atau nggak ke majalah sekolah.”
Rido : ”Nggak usah naif, deh! Sarah itu
abis ngelukain Rania sampai jari tangannya Rania hancur kayak gitu. Masih aja jaga perasaannya. Keluarin aja kali, bikin dia
malu.”
Tia
: ”Orangnya udah meninggal. Nggak usah nambahin beban dosa orang, Do.”
Rido : ”Tangan Rania itu penting. Dia yang menuliskan semua kebenaran yang ada di sekolah
kita. Kita ini kalau nggak ada tangan, nggak bisa nulis.”
Tia : ”Bisa pakai voice to text, ya. Nggak usah ngomporin Rania, deh!”
Rania membaca percakapan grup
yang tiba-tiba ramai. Ia membuka galeri dan melihat foto-foto yang dikirim
oleh Tia. Ada beberapa potong gambar: jalanan kota yang basah, tubuh berlumur darah
yang menetes di aspal, sepeda motor yang ringsek dan ada potongan tubuh yang
tertinggal di sana, pita kuning polisi mengelilingi TKP, tepat di simpang empat
Rapak yang basah hujan.
Rania meringis ngeri. Wajahnya memucat dan tangannya gemetaran. Isi
perutnya bergejolak menemani perasaan hatinya yang tak karuan.
Samar-samar ia mendengar suaranya sendiri, suara yang dulu ia ucapkan di
perpustakaan bergema kembali di kepalanya.
“Aku sumpahin kamu mati ketabrak mobil!”
Seketika, udara di ruang itu menipis. Rania terduduk lemah, napasnya
memburu. Dadanya terasa berat, seperti ditindih oleh kata-katanya sendiri.
Di luar jendela, kilat membelah langit. Suaranya seperti tamparan yang sedang
mengingatkan bahwa sesuatu telah terjadi, dan mungkin ia bagian dari
penyebabnya.
***
Keesokan paginya, aroma kopi dan suara televisi dari ruang tunggu rumah
sakit memecah kesunyian.
Rania mendengar dengan samar suara pembawa berita dari TV kecil di pojok
ruangan.
“Kecelakaan tragis menimpa siswi SMA ternama di Balikpapan. Korban
meninggal di tempat dengan luka parah di bagian kepala, tangan dan dadanya.”
Kalimat berikutnya membuat tangan Rania berhenti bergerak.
“Hasil otopsi sementara menunjukkan bahwa korban tengah berbadan dua.”
Suara televisi seolah menjauh, berganti dengan dengung panjang di
telinganya.
Bayangan wajah Sarah muncul. Senyum sinis, mata menyala, lalu darah yang
mengalir di lantai perpustakaan.
Rania menggenggam selimut erat-erat. Tubuhnya gemetar. Ia masih tidak
percaya jika hidup Sarah harus berakhir tragis seperti apa yang dia ucapkan. Ia
tidak sungguh-sungguh ingin melukai Sarah. Ia hanya emosi sesaat dan tidak bisa
mengendalikan emosinya saat itu.
Bagaimana bisa semuanya terasa kebetulan? Ia ingin percaya semua itu hanya
kebetulan. Tapi di benaknya, kalimat doa itu terus menari seperti mantra yang
menuntut balasan.
“Doa bukan hanya tentang harapan… kadang ia juga
jadi pedang.”
***
Siang itu, tim mading datang menjenguk. Rido, Nanda, dan Tia berdiri di
sisi ranjang membawa bucket bunga asoka yang mereka ambil dari taman sekolah. Maklum,
mereka masih anak sekolah dan harus menghemat pengeluaran. Terlebih, Rania tidak
senang jika mereka menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak terlalu
penting.
“Ran,” ucap Rido pelan. ”Polisi udah datang ke sekolah. Mereka ambil
rekaman CCTV. Katanya... terakhir kali Sarah keliatan, dia keluar dari gedung
perpustakaan.”
Rania mengangkat kepala perlahan. Pandangan mereka saling bertaut, dan
dalam tatapan itu, Rido menunduk, seolah kalimat barusan terlalu berat untuk
diucapkan.
”Memang apa hubungannya sama Rania?” tanya Tia.
”Pasti ada hubungannya, dong. Pasti Rania dimintai keterangan buat jadi
saksi apa yang dilakukan Sarah terakhir kalinya.”
”Trus, Rania bisa dipenjara, gitu?” tanya Nanda polos.
Rania menahan tawa mendengar pertanyaan Nanda. ”Emangnya aku yang nabrak Sarah.”
”Bukan, sih,” sahut Nanda pelan.
”Justru dia yang bikin tanganku hancur. Dia seharusnya jadi tersangka,”
ucap Rania. ”Tadinya aku mau masukin laporan ke polisi supaya dia nggak
semena-mena terus sama kita. Tapi karena ada berita dia meninggal, aku nggak
jadi laporin.”
”Bener juga.” Nanda manggut-manggut.
”Terus, kenapa polisi nyariin siapa yang terakhir interaksi sama Sarah?”
tanya Rido.
”Mungkin karena kehamilannya,” jawab Rania.
Rido, Nanda, dan Tia saling pandang.
”Bener juga, Ran. Kira-kira, siapa yang hamilin Sarah? Dia itu ketua OSIS
yang harusnya jadi panutan, kan? Apa mungkin kalau keluarga Sarah nyari cowok
yang hamilin dia? Bisa jadi, Sarah bawa motor dengan pikiran kacau karena dia MBA
(Marriage Baby Accident),” cerocos Tia.
”Kita belum tahu sampai nanti kita temukan faktanya. Sementara, kita simpan
dulu pertanyaan-pertanyaan itu. Karena aku tahu, isi kepala kita hari ini sama,”
ucap Sarah.
Mereka semua mengangguk dan mulai membahas beberapa berita dan artikel yang
akan mereka terbitkan dalam minggu ini.
***
Malamnya, hujan turun lagi.
Rania tak bisa tidur. Ia duduk menatap jendela, mendengarkan suara air yang
jatuh ke genting.
Di luar sana, kota Balikpapan berkilau dalam cahaya lampu yang beku.
Pikirannya melayang-layang pada wajah Sarah, bunyi tulang retak, sirene
ambulans, dan kata-kata yang tak bisa ditarik kembali.
Ia menarik selimut sampai ke dada, berusaha menenangkan diri. Namun sebelum
matanya terpejam, terdengar ketukan pelan di pintu kamar.
Tok. Tok. Tok.
Tiga kali.
Pelan, tapi pasti.
Rania menoleh. Suara hujan seperti berhenti mendadak.
Pintu kamar itu terbuka sedikit. Dua pria berseragam coklat berdiri di
ambang pintu, basah kuyup, topi mereka meneteskan air ke lantai putih rumah
sakit.
“Permisi,” sapa salah satu dengan nada tenang namun tegas. “Rania Handara
Arthadipura, ya?” tanya seorang pria muda berwajah tampan sembari menghampiri
Rania.
Rania hanya bisa mengangguk. Suaranya tercekat di tenggorokan.
“Kami dari Polresta Balikpapan,” lanjutnya sambil menunjukkan kartu
identitas.
“Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan... soal Sarah Rahmadina. Kamu
tercatat sebagai orang terakhir yang berinteraksi dengannya sebelum kejadian.”
Rania mengangguk. “Ada apa, Pak?” tanyanya.
”Dari haril otopsi, korban diketahui sedang hamil. Sehingga pihak keluarga
meminta kami untuk mencari tahu siapa yang telah menghamili korban.”
”Hamil?” Rania mengangkat sebelah alisnya.
Polisi itu mengangguk. ”Diperkirakan usia kandungannya sudah 3 bulan. Apa
kamu tahu siapa cowok yang sedang dekat dengan korban?”
Rania menggeleng.
”Kamu jangan berbohong! Ini sangat penting untuk penyelidikan kami,” pinta
polisi tersebut.
”Apa karena aku yang terakhir berinteraksi dengan Sarah, bikin aku tahu
semua tentang dia?” tanya Rania.
Dua polisi itu saling pandang mendengar pertanyaan Rania. Rania tidak terlihat
seperti anak SMA di mata mereka. Cara bicaranya seperti mahasiswa karena
ucapannya runut dan pilihan diksinya cukup baik.
”Sarah menemuiku di perpustakaan hanya untuk menghancurkan jari tanganku,”
ucap Rania sambil menunjukkan telapak tangan kanannya yang masih terbalut
perban. ”Dia marah karena aku posting artikel tentang kesurupan yang ada foto
dia. Interaksi kami cuma sebatas itu. Kami tidak begitu mengenal, apalagi
sampai tahu urusan pribasi,” jelas Rania.
Dua polisi itu kembali saling pandang, kemudian menganggukkan kepala.
”Baiklah. Terima kasih atas keterangannya! Mohon maaf, kami sudah menganggu
Mba Rania,” ucap salah seorang polisi. Kemudian, mereka pamit pergi.
Petir menyambar di luar jendela, menerangi ruangan sesaat dan di pantulan
kaca jendela, Rania melihat dirinya sendiri tangan kanan yang masih dibalut
perban.
”Maafkan aku, Sarah! Semoga kamu bisa tidur dengan tenang. Aku tidak
bermaksud melukaimu sedikitpun. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi di
kehidupan selanjutnya,” batin Rania.
((Bersambung...))

0 komentar:
Post a Comment