Bab 3 – Senja yang Menyimpan Rahasia
Langit Balikpapan sore itu tampak seperti kanvas yang diusap dengan warna oranye lembut dan semburat ungu yang samar. Suara jangkrik mulai menggantikan tawa para siswa yang berangsur pulang. Di antara lalu lalang langkah kaki dan deru motor yang menyalakan mesin, Rania Handara Arthadipura menenteng tasnya dan berjalan menuju gerbang sekolah.
Sudah hampir dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit. Balutan di jarinya kini tinggal perban tipis. Luka fisik itu memang hampir sembuh, tapi di dalam dadanya masih ada sesuatu yang belum pulih sepenuhnya—rasa bersalah yang diam-diam menggigit di dasar pikirannya.
Berita tentang kematian Sarah perlahan hilang dari linimasa sekolah. Orang-orang sudah kembali tertawa di kantin, membicarakan hal-hal sepele seperti lomba 17-an dan rencana study tour. Hanya sesekali, ketika nama Sarah disebut, ada bisikan samar yang lewat, tapi cepat hilang ditelan kesibukan remaja yang mudah lupa.
Rania belajar tersenyum lagi. Ia berusaha terlihat seperti dulu. Tapi setiap kali melihat foto-foto kegiatan OSIS di papan mading, matanya sering berhenti di satu wajah—Sarah Rahmadina—dengan senyum yang kini tak mungkin ditemuinya lagi.
***
Sore itu, Rania kembali ke perpustakaan bersama tim mading. Ruangan itu kini tak lagi sesepi dulu. Lampu-lampu yang sempat redup sudah diganti, dan aroma kertas tua masih sama seperti kenangan yang enggan pergi.
Tia sedang mengetik naskah berita baru tentang lomba debat, Nanda merapikan kamera di atas meja, sementara Rido sibuk menyortir foto kegiatan. Rania sendiri duduk di pojok ruangan, mengetik pelan berita utama untuk edisi bulan depan: “Menulis dari Luka: Ketika Suara Kebenaran Tak Bisa Dibungkam.”
“Aduh, Ran,” ujar Tia sambil menatap layar laptop Rania. “Judulnya dalem banget. Kayak bukan majalah sekolah, tapi kayak tulisan buat koran nasional.”
Rania tersenyum kecil. “Justru itu yang mau aku buat. Sekolah kita harus punya standar tinggi.”
“Wah, kalau kayak gini bisa-bisa kamu direkrut jadi jurnalis beneran,” sahut Rido. “Eh, tapi kamu nggak trauma, kan, balik ke sini?”
“Trauma?” Rania menatap jari-jarinya sendiri yang sudah hampir pulih. “Kalau aku berhenti datang ke sini, berarti kejahatan dan kebohongan akan menang.”
Hening sejenak. Suara kipas angin di pojok ruangan menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.
Senja hadir perlahan. Cahaya jingga menyusup lewat jendela besar dan mengguratkan bayangan panjang di dinding rak buku. Rania membereskan berkas-berkas terakhir dan mematikan komputer sekolah. Teman-temannya sudah lebih dulu pulang karena hujan gerimis mulai turun.
“Ran, kamu yakin nggak mau aku anter?” tawar Rido sambil menenteng tas.
“Nggak usah. Rumahku deket, kok. Kamu langsung aja, nanti kehujanan,” jawab Rania.
“Ya udah. Hati-hati, ya!” pesan Rido sebelum melangkah pergi.
Rania tersenyum, lalu menunggu beberapa saat sampai suara langkah teman-temannya benar-benar hilang. Barulah ia keluar dari gedung perpustakaan. Di langit barat, matahari mulai tenggelam sempurna, menyisakan warna darah yang lembut di cakrawala.
Ia menyalakan motor bebek tuanya dan melaju perlahan keluar gerbang sekolah.
***
Hujan reda, tapi jalanan masih licin. Angin sore menampar lembut wajah Rania yang sedikit pucat. Ia mengendarai motornya hati-hati, melintasi gang kecil menuju jalan utama. Sesekali, genangan air memantulkan bayangan langit yang sudah berubah kelam.
Tikungan di depan kantor kelurahan tampak sepi. Saat Rania memutar gas sedikit lebih dalam, tiba-tiba seseorang menyeberang begitu saja dari balik mobil yang parkir di tepi jalan.
“ASTAGA!”
Rania menarik rem mendadak.
BRAK!
Suara benturan keras menggema. Motornya terguling, tubuh Rania terpental ke pinggir jalan beraspal. Suara logam bergesek dengan batu kerikil, disusul dengan ringisan seorang pemuda yang ikut terjatuh ke tanah.
“Aduh... gila kamu, ya!?” teriak pemuda itu sambil bangkit. Ia berseragam SMA dari sekolah lain, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya keras dan penuh emosi. “Nabrak orang sembarangan, nggak pake liat jalan! Matamu taro di mana!?”
Rania menahan perih di lututnya yang tergores. “Maaf... aku nggak sengaja, tadi kamu tiba-tiba—”
“NGGAK SENGAJA!? Kamu kira motorku ini murah, hah!?” bentak cowok itu. Ia menendang bodi motornya sendiri yang kini tergores. Honda CBR 150 Facelift berwarna merah-hitam itu terlihat lecet sedikit di sisi kirinya. “Nih liat! Lecet semua! Ganti!”
Rania terdiam. Ia memejamkan mata sembari menarik napas perlahan, berusaha menenangkan dirinya. “Aku minta maaf. Aku ganti. Tapi tolong jangan marah di jalan kayak gini. Orang-orang ngeliatin.”
Cowok itu mendengus. “Ngapain malu? Emang kamu yang salah! Bayar sekarang!”
Rania membuka dompet kecilnya. Hanya ada selembar uang seratus ribuan dan beberapa lembar dua puluh ribu yang sudah lecek. Ia menyerahkan uang itu dengan tangan gemetar. “Cuma ini yang aku punya.” Ia terpaksa menyerahkan seluruh uang yang ia miliki meski ia tahu kalau itu adalah uang jajan untuk seminggu ke depan.
Cowok itu menatap uang di tangan Rania dengan sinis. “Seratus ribu buat lecet segini? Kamu pikir ada bengkel dewa yang bisa benerin pakai doa?”
Rania menarik napas panjang, mencoba menahan amarah. “Aku udah minta maaf, aku udah ganti. Kalau kamu nggak puas, laporin aja aku ke polisi.”
Cowok itu tersenyum miring. “Berani juga kamu ngomong gitu.”
Rania berusaha menguatkan hatinya untuk menghadapi cowok yang ada di hadapannya itu. Matanya tertuju pada nama yang tertera di bajunya, Galang Wirasena.
Galang mendekat, menatap Rania dari dekat dengan senyum sinis. “Cantik-cantik, mulutmu tajem juga, ya?”
Rania menatapnya tanpa gentar. “Aku cuma nggak mau perpanjang masalah ini. Aku buru-buru harus pulang.”
"Kamu pikir bisa pulang seenaknya? Uang segini buat beli bensin motorku aja nggak cukup, apalagi buat baikin motor ini." Galang memperhatikan seragam sekolah Rania yang khas. Ia langsung tahu kalau Rania bersekolah di Smarihexa. Salah satu sekolah elite di kota ini.
"Rania H.A," ucap Galang sambil membaca nama yang tertera di baju Rania. "Besok aku bakal cari kamu buat ambil kekurangan ganti rugi. Kalau sampai kamu nggak kasih uangnya, aku bakal onar di sekolahmu."
Rania menghela napas kembali. "Nggak perlu datang ke sekolahku. Ini urusan pribadi antara kita berdua, nggak ada hubungannya dengan siapa pun, apalagi dengan pihak sekolah. Kamu mau aku ganti rugi berapa? Aku antarkan nanti malam. Aku pulang dan mandi dulu," ucapnya. Ia mencoba untuk bernegosiasi.
"Satu juta," jawab Galang.
"Kamu mau minta ganti rugi atau mau malak?" sahut Rania.
"Kamu mau ganti rugi atau semua orang di deketmu ikut nanggung?" sahut Galang.
"Terserah. Aku kasih kamu lima ratus ribu. Kalau nggak mau, kamu laporin aja aku ke polisi!" tegas Rania.
"Oke. Aku tunggu di Rumah Kopi Mantan jam delapan malam. Kalau sampai kamu nggak datang, aku pastikan pihak sekolah atau orang tuamu yang aku datangi buat tanggung jawab," ucap Galang.
Rania mengangguk. Ia membiarkan Galang pergi. Ia segera menyalakan mesin motornya dan pulang ke rumah. Di dalam dadanya, ada getaran aneh yang sulit dijelaskan. Kata-kata Galang tadi menggantung di udara, dingin, seperti kabut yang belum sepenuhnya pergi.
***
Rania terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi begitu ia sampai rumah. Ia segera membersihkan diri, membalut luka di lututnya dan segera keluar kembali menuju Kedai Kopi Mantan untuk mengantarkan sisa uang ganti rugi yang harus ia bayarkan. Untungnya, ia masih memiliki uang tabungan karena ia selalu menyisihkan uang jajan hariannya.
Rania bukan takut terhadap ancaman Galang. Ia hanya tidak ingin terjadi keributan hanya karena masalah sepele, terlebih sampai melibatkan orang lain. Ia akan berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa merepotkan orang lain, bahkan orang tuanya sendiri. Baginya, ini bukan masalah besar yang harus dicampuri oleh tangan orang tua, apalagi pihak sekolah.
Pukul 20.15 WITA, Rania baru sampai di kedai kopi tempat ia dan Galang janjian bertemu.
"Sorry, aku telat!" ucap Rania sambil menghampiri Galang begitu ia sudah menemukan pria itu.
Galang tersenyum sinis. "Aku pikir, kamu bakal bohongi aku. Aku udah siap-siap mau nyerang sekolahmu."
"Nggak perlu. Aku pasti penuhi janjiku," sahut Rania. Ia segera meletakkan amplop berisi uang ke atas meja, tepat di hadapan Galang. Ia langsung berbalik dan melangkah pergi, sebab ia tidak memiliki kepentingan lain selain memberikan uang itu pada Galang.
"Tunggu!" seru Galang.
Rania menghentikan langkah kakinya.
"Nggak mau minum es kopi dulu?" tanya Galang sambil menatap punggung Rania.
"Nggak perlu. Makasih," sahut Rania.
"Cantik-cantik jangan ketus gitu, dong!" ucap Galang. Ia bangkit sambil melangkah menghampiri Rania. "Gimana kalau kita santai dulu sambil ngobrol?" tanyanya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Rania dengan senyum miring. "Ketua Mading Smarihexa," lanjutnya.
"Kamu dapet info dari mana?" tanya Rania sambil menatap serius ke arah Galang.
Galang tertawa kecil. "Nggak usah terlalu serius begitu! Apa yang aku nggak tahu? Dapetin informasi tentang kamu itu hal mudah."
Rania tak menggubris. Ia berusaha menerobos tubuh Galang agar ia bisa segera pergi. Ia sama sekali tidak berminat berinteraksi lama-lama dengan cowok itu.
"Bangsat nih, cewek!" batin Galang kesal karena Rania menolak ajakannya. Ia kembali menghadang tubuh Rania yang sudah menerobos tubuhnya.
"Mau kamu apa, sih!?" sentak Rania.
"Seumur hidupku, aku nggak pernah ditolak sama cewek. Kamu ini siapa, hah!? Berani-beraninya kamu nolak ajakanku?"
"Nggak penting aku siapa. Aku bukan cewek yang selama ini ketemu sama kamu. Jadi, jangan samakan aku sama mereka," sahut Rania ketus.
Galang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melirik beberapa temannya yang juga berada di kedai kopi tersebut. Kalau sampai ia tidak berhasil mengajak Rania makan bersama, ia akan ditertawakan oleh seisi sekolah dan jadi bahan lelucon.
"Kalau kamu nggak mau nemenin aku ngopi, aku bakal ajak satu sekolah nyerang sekolahmu," ancam Galang.
"Kamu ...!?" Rania menatap geram ke arah Galang sembari menahan api amarah di dadanya. "Mimpi apa aku sampai ketemu cowok kayak gini," batinnya. Ia tidak lupa jika Galang mengenakan seragam SMK yang terkenal sebagai sekolah preman karena sering terlibat tawuran antar sekolah setiap minggunya.
Rania tidak akan membiarkan Galang and the Gank menyentuh sekolahnya sedikitpun. Baginya, Smarihexa bukan sekedar tempat bersekolah, tapi juga martabat yang harus dijaga. Smarihexa dikenal sebagai sekolah yang berprestasi dan jauh dari pemberitaan buruk, apalagi tawuran yang kerap dilakukan oleh siswa antar sekolah di kota itu.
Rania tak bisa menolak lagi. Ia langsung melangkahkan kakinya kembali ke meja tempat Galang tadi duduk santai.
Galang memainkan mata ke arah teman-temannya yang duduk di meja berbeda dengannya. Ia tersenyum penuh kemenangan karena bisa membuktikan dirinya sebagai penakhluk wanita nomor satu di kota tersebut.
"Mau pesan apa?" tanya Galang.
"Cafe Latte," jawab Rania santai.
Galang langsung melangkah menuju meja barista dan memesan secangkir Cafe Latte, juga beberapa cemilan.
TING!
Pandangan mata Rania tertuju pada ponsel Galang yang tiba-tiba menyala. Matanya terbelalak lebar saat melihat foto Sarah dan Galang menjadi wallpaper handphone tersebut.
"Sarah sudah meninggal dua bulan lalu. Kenapa dia masih pajang foto Sarah di ponselnya? Apa hubungan Galang dan Sarah?" batin Rania penuh tanya.
Rania ingin sekali mengetahui siapa Galang sebenarnya. Tapi ia tidak memiliki keberanian menyentuh ponsel pria itu. Ia memilih untuk mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan ke grup Mading Smarihexa.
Rania : "Kalian sudah dapet informasi tentang pacar Sarah?"
Tia : " Iih ... apaan, sih? Kenapa dibahas lagi orang yang sudah meninggal?"
Rania : "Aku baru aja nemuin sesuatu."
Rido : "Apa itu?"
Rania : "Posisi kalian di mana? Jangan jauh-jauh dari Kedai Kopi Mantan! Aku lagi di sini sama cowok yang nggak sengaja aku tabrak sore tadi. Sepertinya dia punya hubungan spesial sama Sarah."
Nanda : "Pentingnya kita tahu pacar Sarah itu apa? Toh, Sarah juga sudah meninggal."
Tia : "Penting dong, Nan. Soalnya sampai sekarang masih belum diketahui siapa pacar Sarah. Emang kamu nggak penasaran?"
Rania : "Sepertinya ada misteri di balik meninggalnya Sarah. Ponsel dia nggak ketemu sampai sekarang. Nggak mungkin menghilang begitu aja saat di TKP. Aku akan selidiki cowok ini, kalian jagain aku dari jauh. Karena cowok ini ketua geng dan aku yakin dia nggak mungkin sendirian di tempat seperti ini."
Rido : "OK."
Nanda : "OK"
Tia : "Aku nggak bisa keluar malam. Aku tunggu kabar dari kalian aja, ya! Hehehe."
"Kamu sudah punya pacar?" tanya Galang to the point. Ia cukup tertarik dengan wajah cantik Rania, juga sikapnya yang membuatnya penasaran.
"Belum," jawab Rania sambil menatap Galang.
"Kenapa nggak punya pacar?"
"Bukan urusan kamu."
"Nggak usah ketus gitu, dong!" pinta Galang. Ia tertegun sejenak saat layar ponselnya menyala karena ada notifikasi masuk. Ia lupa mengganti wallpaper ponselnya sehingga masih terpajang foto Sarah dan dirinya di sana. Ia buru-buru mengganti wallpaper tersebut. Ia tahu jika Rania adalah jurnalis sekolah dan pasti mengetahui berita viral yang beredar dua bulan lalu.
"Kamu kenal sama Sarah?" tanya Rania tanpa basa-basi.
Wajah Galang berubah ketika mendengar pertanyaan Rania. "Temen," jawabnya. Sebab, ia tahu jika keberadaannya sempat diincar oleh polisi. Ia adalah pria yang menghamili Sarah dan juga berusaha untuk menggugurkan bayi itu. Ia belum siap menjadi seorang ayah karena ia masih duduk di bangku SMK.
"Kalau kamu nggak bisa ngasih jawaban, waktu yang akan ngasih jawaban. Mungkin, jawabannya akan lebih pahit dari kenyataan yang sudah berlalu," ucap Rania.
Galang tetap bungkam. Ia berusaha mengalihkan perhatian agar Rania tidak membahas soal Sarah. Ia tidak ingin mengingatnya. Ia sangat mencintai Sarah, tapi ia tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Ia tidak ingin ada satu orang pun yang mengetahui hal itu dan akan ia tutup rapat-rapat sampai akhir hidupnya.
***
Rania tak menyerah begitu saja. Urusannya masih belum selesai. Ia masih belum tenang jika belum bisa mengetahui dengan pasti apa hubungan Sarah dan Galang di masa lalu. Mungkinkah Galang yang menghamili Sarah?
Hingga suatu hari, Rania tak sengaja melihat Galang masuk ke dalam sebuah perkebunan sawit yang berada di kawasan kilometer 24. Saat itu Rania baru saja pulang dari rumah saudaranya karena ada acara keluarga.
Rania meminta supir yang mengantarnya untuk berhenti sejenak. Ia segera mengeluarkan lalat pengintai yang ia miliki dan mengendalikannya mengikuti langkah Galang.
Galang terlihat sedang menggali tanah yang ada di sana dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sana.
"Syukurlah hape Sarah masih aman di sini. Aku harus musnahin hape ini sebelum ada orang lain yang nemuin," ucap Galang. Ia segera memasukkan kotak tersebut ke dalam ranselnya.
Rania buru-buru menarik lalat pengintai kembali ke dalam mobil dan memerintahkan supir untuk bergegas pergi. Ia juga meminta teman-temannya untuk mencari cara mengambil ransel yang dibawa Galang saat ini karena ada rahasia besar di dalamnya tentang masa lalu Sarah.
((Bersambung...))

0 komentar:
Post a Comment