BRAK
...!
“Rania
...!”
Suara
lantang Sarah menggelegar di seluruh ruang perpustakaan ketika gadis itu datang
dan langsung menggebrak meja di hadapan Rania.
Rania
terdiam menatap Sarah yang berdiri di depannya.
“Kamu
ketua mading dan jurnalis sekolah, kan? Apa maksudnya kamu bikin berita kayak
gini di majalah sekolah, hah!?” seru Sarah sambil menunjukkan lembar majalah
yang ia maksud.
Rania
melihat majalah itu sekilas dan langsung mengerti. Itu adalah artikel yang
ditulis oleh timnya tentang fenomena kesurupan yang sering terjadi di sekolah
akhir-akhir ini. Kebetulan Sarah juga sering kesurupan dan timnya mendapati
foto Sarah yang paling bagus untuk dijadikan gambar pendukung artikel.
Rania
dan timnya mempertimbangkan wajah Sarah yang cantik sebagai hal yang menarik.
Selain itu, Sarah juga Ketua Osis yang cukup populer. Walau bagaimana pun, ia
juga harus memikirkan strategi pasar dan bagaimana artikel-artikelnya bisa
menarik lebih banyak pembaca.
“Bikin
malu, aja. Tim ekskul kalian nggak punya bahan lain buat dijadikan berita? Ini
berita kesurupan segala ditulis di sini. Kamu sengaja mau buka aib orang, hah!?”
cerocos Sarah.
“Bukan
begitu maksudnya, Kak. Berita ini dibuat berdasarkan fakta. Tanpa kami tulis
pun, semua murid di sekolah ini tahu kalau Kak Sarah sering kesurupan,” sahut
Rania.
“Terus,
kalo semua orang sudah tahu ... kamu tulis di majalah? Biar apa? Biar kelihatan
keren, gitu? Biar orang yang nggak tahu, jadi tahu semua? Senang kamu nyebarin
aib orang, hah!?”
“Kak,
kesurupan itu bukan aib. Aib itu kalau aku bikin berita tentang Kak Sarah hamil
di luar nikah.”
PLAK
...!
Telapak
tangan Sarah mendarat kencang di pipi Rania.
Rania
langsung memegangi pipinya yang memanas. Air matanya otomatis menggenang
menahan rasa sakit. Di sudut bibirnya, terlihat bercak darah yang keluar.
“Mau
nangis!? Nangis aja!” sentak Sarah. “Hari ini aku cuma tampar kamu, ya! Kalau
berani nyebarin rumor macem-macem lagi, aku nggak akan segan-segan bunuh kamu!”
lanjutnya.
“Aku
nggak akan nangis untuk sesuatu yang nggak salah!” sahut Rania.
“Kamu
masih nggak sadar kalo salah, hah!? Kamu itu sudah melanggar privasi orang
lain. Aku bisa tuntut kamu, ya!”
Rania
tersenyum miring sambil menatap wajah Sarah. “Kamu paham atau nggak privasi itu
apa? Semua hal yang sudah diketahui publik, itu namanya bukan privasi lagi. Privasi
yang harus dijaga itu data diri kamu seperti kk, ktp, dan akun email. Karena
bisa dipergunakan oleh oknum untuk mengambil keuntungan. Kalau Cuma kesurupan,
itu bukan privasi. Kalau kamu nggak mau dilihat orang karena alasan privasi, kamu
nggak perlu keluar rumah, nggak perlu ketemu manusia lain!”
“Kamu
...!?” Sarah makin geram melihat Rania yang melawannya. Ia langsung menarik
rambut Rania hingga wajah gadis itu mendongak ke arahnya.
“Hari
ini kamu masih punya kemampuan buat ngelawan aku, hah!? Aku pastikan posisimu
sebagai ketua jurnalis sekolah cuma sampai hari ini aja!” ancam Sarah.
Rania
tersenyum kecil. “Kamu pikir, bisa dengan mudah melengserkan posisiku? Kamu
nggak takut kalau aku bikin berita tentang apa yang kamu lakuin ke aku hari
ini?”
“Kamu
ngancam aku!?”
“Siapa
yang lebih dulu ngancam?” sambar Rania. “Aku berada di jalan kebenaran. Aku
nggak akan gentar selama apa yang aku lakukan benar. Aku juga nggak akan
ngebiarin orang seperti kamu mengendalikan aku. Kamu pikir, kamu siapa?”
“Aku
ketua osis di sini. Ayahku juga donatur utama di sekolah ini. Aku bisa dengan
mudah bikin kamu keluar dari sekolah ini!” jawab Sarah. Ia makin geram dengan
Rania. Yang ia tahu, Rania adalah anak kutu buku yang jarang berbicara. Ia
tidak menyangka jika Rania begitu berpendirian dan berani melawannya.
Rania
tersenyum kecil. “Semua orang tahu itu. Tapi bukan berarti kamu bisa menindas
orang seenaknya. Meskipun menyakitkan, kebenaran tetaplah kebenaran.”
“Nggak
usah banyak bacot, ya! Kamu itu udah nyebar aib orang! Nggak usah mengalihkan
pembicaraan!” sambar Sarah makin geram.
“Aku
sudah bilang kalau itu bukan aib. Ada berapa banyak orang yang kesurupan di
luar sana dan jadi bahan tontonan? Apa itu yang namanya aib? Kamu jangan
membuat standar hidup sendiri! Hal biasa kamu anggap aib, sedangkan aib kamu
anggap sebagai hal biasa,” ucap Rania yang tetap teguh pada pendiriannya.
“Kamu
nggak boleh nulis apa pun tentang aku tanpa izin!” sentak Sarah makin geram. Ia
semakin menarik keras rambut Rania hingga gadis itu tersungkur di lantai.
“Kita
hidup di negara demokrasi. Semua orang bebas berbicara dan aku tahu sampai di
mana batasannya. Kamu bukan siapa-siapa yang bisa membungkam mulutku dan
menghentikan penaku begitu saja.”
Sarah
langsung menginjak punggung tangan Rania yang berada di lantai dan
menggilasnya. “Kamu masih nggak mau nyerah, hah!?” batinnya geram.
“Karena
kamu menuduhku membuka aibmu ... bagaimana kalau aku sebarkan berita tentang
kamu yang sering berada di kamar hotel bersama pria tua itu?” tanya Rania
sambil menahan rasa sakit di punggung tangannya. “Supaya tuduhanmu itu bisa
jadi kenyataan yang benar.”
Sarah
makin menghentakkan kakinya. “Kamu jangam ngarang, ya! Aku ini anak orang
paling kaya di sekolah ini. Mana mungkin aku jadi wanita simpanan, hah!?”
“Itu
yang akan jadi berita paling besar, kan? Anak orang paling kaya di sekolah,
yang setiap hari diantar pakai mobil mewah dengan semua barang-barang ber-merk,
ternyata gadis simpanan oom-oom.”
Sarah
kembali menjambak rambut Rania. “Kalau kamu berani fitnah aku, aku bakal kasih
kamu pelajaran yang lebih sakit dari ini.”
“Fitnah?
Kamu pikir, jurnalis sepertiku nggak punya bukti untuk membuktikan
kebenarannya?” tanya Rania sambil menahan sakit di tangan dan kepalanya.
Sarah
terdiam sejenak mendengar ucapan Rania. Jangan-iangan gadis culun ini sudah
menguntitnya diam-diam? Gimana Rania bisa punya bukti kalau ia sering berada di
hotel bersama Sugar Daddy yang selama ini memeliharanya?
Sarah
tak peduli. Ia makin menjambak keras rambut Rania. Ia tahu tidak akan ada orang
yang masuk ke perpustakaan tersebut. Sebab, tidak ada petugas khusus
perpustakaan. Perpustakaan sekolah lebih banyak dikelola oleh tim mading
sekolah dan menjadi markas bagi mereka. Satu-satunya orang yang sering berada
di ruangan itu hanya Rania.
“Lepasin
...!” pinta Rania sambil memegangi rambut dengan salah satu tangannya.
“Aku
bakal lepasin kamu kalau kamu berlutut minta maaf dan hapus semua konten
tentang aku yang kesurupan!” pinta Sarah.
“Aku
nggak punya alasan untuk menurunkan berita yang sudah timku rilis ke publik,”
ucap Rania bersikukuh. “Apa kamu mau kalau aku menuliskan berita tentang kamu
yang mengancamku?”
“Kalau
kamu berani nulis berita jelek lagi tentang aku, aku nggak akan segan-segan
buat bunuh kamu!” ancam Sarah. Ia langsung menghentakkan kakinya dengan keras
di atas punggung tangan Rania dan menggilasnya.
“AARGH
...!” Suara Rania menggema di seluruh ruang perpustakaan yang sepi.
Sarah
tak memperdulikan. Ia malah menikmati suara teriakan Rania. Ia tahu suara
teriakan Rania tidak akan mudah didengar oleh orang di luar sana karena gedung
perpustakaan terpisah jauh dengan kelas. Bahkan, masih harus melewati musholla
sekolah tersebut. Sehingga gedung perpustakaan itu memang sangat sepi.
Meski
banyak yang mendengar teriakan Rania, Sarah tetap tidak gentar untuk melukai
gadis itu. Sebab, orang tuanya adalah donatur utama di sekolah tersebut. Tak
ada satu pun yang berani melawan Sarah, sekalipun itu kepala sekolah.
Air
mata Rania menetes deras sembari menahan rasa sakit di tangannya. Ia menatap
tubuh Sarah yang perlahan menjauh darinya. Tepat di depan wajahnya, ia bisa
melihat jemari-jemari tangannya tak lagi mulus seperti biasa. Kulit-kulitnya
mengelupas. Dari sela-sela daging jemarinya, mengalir zat berwarna merah yang
khas hingga menggenang di lantai keramik yang putih.
“Sialan
kamu, Sarah. Cuma karena hal sekecil ini, kamu sampai menghancurkan jari-jari
tanganku. Aku sumpahin kamu mati ketabrak mobil!” teriak Rania di sisa-sisa
tenaganya yang hampir habis.
Rania
merasa kepalanya sangat pening. Pandangannya memudar. Buku-buku yang berjejar
rapi di rak, seolah terus bergerak hingga semuanya menghilang. Gelap!

0 komentar:
Post a Comment