Thursday, October 9, 2025

Pendamping Nakal Bab 1 : Pertarungan Pena Rania

BRAK ...!

“Rania ...!”

Suara lantang Sarah menggelegar di seluruh ruang perpustakaan ketika gadis itu datang dan langsung menggebrak meja di hadapan Rania.

Rania terdiam menatap Sarah yang berdiri di depannya.

“Kamu ketua mading dan jurnalis sekolah, kan? Apa maksudnya kamu bikin berita kayak gini di majalah sekolah, hah!?” seru Sarah sambil menunjukkan lembar majalah yang ia maksud.

Rania melihat majalah itu sekilas dan langsung mengerti. Itu adalah artikel yang ditulis oleh timnya tentang fenomena kesurupan yang sering terjadi di sekolah akhir-akhir ini. Kebetulan Sarah juga sering kesurupan dan timnya mendapati foto Sarah yang paling bagus untuk dijadikan gambar pendukung artikel.

Rania dan timnya mempertimbangkan wajah Sarah yang cantik sebagai hal yang menarik. Selain itu, Sarah juga Ketua Osis yang cukup populer. Walau bagaimana pun, ia juga harus memikirkan strategi pasar dan bagaimana artikel-artikelnya bisa menarik lebih banyak pembaca.

“Bikin malu, aja. Tim ekskul kalian nggak punya bahan lain buat dijadikan berita? Ini berita kesurupan segala ditulis di sini. Kamu sengaja mau buka aib orang, hah!?” cerocos Sarah.

“Bukan begitu maksudnya, Kak. Berita ini dibuat berdasarkan fakta. Tanpa kami tulis pun, semua murid di sekolah ini tahu kalau Kak Sarah sering kesurupan,” sahut Rania.

“Terus, kalo semua orang sudah tahu ... kamu tulis di majalah? Biar apa? Biar kelihatan keren, gitu? Biar orang yang nggak tahu, jadi tahu semua? Senang kamu nyebarin aib orang, hah!?”

“Kak, kesurupan itu bukan aib. Aib itu kalau aku bikin berita tentang Kak Sarah hamil di luar nikah.”

PLAK ...!

Telapak tangan Sarah mendarat kencang di pipi Rania.

Rania langsung memegangi pipinya yang memanas. Air matanya otomatis menggenang menahan rasa sakit. Di sudut bibirnya, terlihat bercak darah yang keluar.

“Mau nangis!? Nangis aja!” sentak Sarah. “Hari ini aku cuma tampar kamu, ya! Kalau berani nyebarin rumor macem-macem lagi, aku nggak akan segan-segan bunuh kamu!” lanjutnya.

“Aku nggak akan nangis untuk sesuatu yang nggak salah!” sahut Rania.

“Kamu masih nggak sadar kalo salah, hah!? Kamu itu sudah melanggar privasi orang lain. Aku bisa tuntut kamu, ya!”

Rania tersenyum miring sambil menatap wajah Sarah. “Kamu paham atau nggak privasi itu apa? Semua hal yang sudah diketahui publik, itu namanya bukan privasi lagi. Privasi yang harus dijaga itu data diri kamu seperti kk, ktp, dan akun email. Karena bisa dipergunakan oleh oknum untuk mengambil keuntungan. Kalau Cuma kesurupan, itu bukan privasi. Kalau kamu nggak mau dilihat orang karena alasan privasi, kamu nggak perlu keluar rumah, nggak perlu ketemu manusia lain!”

“Kamu ...!?” Sarah makin geram melihat Rania yang melawannya. Ia langsung menarik rambut Rania hingga wajah gadis itu mendongak ke arahnya.

“Hari ini kamu masih punya kemampuan buat ngelawan aku, hah!? Aku pastikan posisimu sebagai ketua jurnalis sekolah cuma sampai hari ini aja!” ancam Sarah.

Rania tersenyum kecil. “Kamu pikir, bisa dengan mudah melengserkan posisiku? Kamu nggak takut kalau aku bikin berita tentang apa yang kamu lakuin ke aku hari ini?”

“Kamu ngancam aku!?”

“Siapa yang lebih dulu ngancam?” sambar Rania. “Aku berada di jalan kebenaran. Aku nggak akan gentar selama apa yang aku lakukan benar. Aku juga nggak akan ngebiarin orang seperti kamu mengendalikan aku. Kamu pikir, kamu siapa?”

“Aku ketua osis di sini. Ayahku juga donatur utama di sekolah ini. Aku bisa dengan mudah bikin kamu keluar dari sekolah ini!” jawab Sarah. Ia makin geram dengan Rania. Yang ia tahu, Rania adalah anak kutu buku yang jarang berbicara. Ia tidak menyangka jika Rania begitu berpendirian dan berani melawannya.

Rania tersenyum kecil. “Semua orang tahu itu. Tapi bukan berarti kamu bisa menindas orang seenaknya. Meskipun menyakitkan, kebenaran tetaplah kebenaran.”

“Nggak usah banyak bacot, ya! Kamu itu udah nyebar aib orang! Nggak usah mengalihkan pembicaraan!” sambar Sarah makin geram.

“Aku sudah bilang kalau itu bukan aib. Ada berapa banyak orang yang kesurupan di luar sana dan jadi bahan tontonan? Apa itu yang namanya aib? Kamu jangan membuat standar hidup sendiri! Hal biasa kamu anggap aib, sedangkan aib kamu anggap sebagai hal biasa,” ucap Rania yang tetap teguh pada pendiriannya.

“Kamu nggak boleh nulis apa pun tentang aku tanpa izin!” sentak Sarah makin geram. Ia semakin menarik keras rambut Rania hingga gadis itu tersungkur di lantai.

“Kita hidup di negara demokrasi. Semua orang bebas berbicara dan aku tahu sampai di mana batasannya. Kamu bukan siapa-siapa yang bisa membungkam mulutku dan menghentikan penaku begitu saja.”

Sarah langsung menginjak punggung tangan Rania yang berada di lantai dan menggilasnya. “Kamu masih nggak mau nyerah, hah!?” batinnya geram.

“Karena kamu menuduhku membuka aibmu ... bagaimana kalau aku sebarkan berita tentang kamu yang sering berada di kamar hotel bersama pria tua itu?” tanya Rania sambil menahan rasa sakit di punggung tangannya. “Supaya tuduhanmu itu bisa jadi kenyataan yang benar.”

Sarah makin menghentakkan kakinya. “Kamu jangam ngarang, ya! Aku ini anak orang paling kaya di sekolah ini. Mana mungkin aku jadi wanita simpanan, hah!?”

“Itu yang akan jadi berita paling besar, kan? Anak orang paling kaya di sekolah, yang setiap hari diantar pakai mobil mewah dengan semua barang-barang ber-merk, ternyata gadis simpanan oom-oom.”

Sarah kembali menjambak rambut Rania. “Kalau kamu berani fitnah aku, aku bakal kasih kamu pelajaran yang lebih sakit dari ini.”

“Fitnah? Kamu pikir, jurnalis sepertiku nggak punya bukti untuk membuktikan kebenarannya?” tanya Rania sambil menahan sakit di tangan dan kepalanya.

Sarah terdiam sejenak mendengar ucapan Rania. Jangan-iangan gadis culun ini sudah menguntitnya diam-diam? Gimana Rania bisa punya bukti kalau ia sering berada di hotel bersama Sugar Daddy yang selama ini memeliharanya?

Sarah tak peduli. Ia makin menjambak keras rambut Rania. Ia tahu tidak akan ada orang yang masuk ke perpustakaan tersebut. Sebab, tidak ada petugas khusus perpustakaan. Perpustakaan sekolah lebih banyak dikelola oleh tim mading sekolah dan menjadi markas bagi mereka. Satu-satunya orang yang sering berada di ruangan itu hanya Rania.

“Lepasin ...!” pinta Rania sambil memegangi rambut dengan salah satu tangannya.

“Aku bakal lepasin kamu kalau kamu berlutut minta maaf dan hapus semua konten tentang aku yang kesurupan!” pinta Sarah.

“Aku nggak punya alasan untuk menurunkan berita yang sudah timku rilis ke publik,” ucap Rania bersikukuh. “Apa kamu mau kalau aku menuliskan berita tentang kamu yang mengancamku?”

“Kalau kamu berani nulis berita jelek lagi tentang aku, aku nggak akan segan-segan buat bunuh kamu!” ancam Sarah. Ia langsung menghentakkan kakinya dengan keras di atas punggung tangan Rania dan menggilasnya.

“AARGH ...!” Suara Rania menggema di seluruh ruang perpustakaan yang sepi.

Sarah tak memperdulikan. Ia malah menikmati suara teriakan Rania. Ia tahu suara teriakan Rania tidak akan mudah didengar oleh orang di luar sana karena gedung perpustakaan terpisah jauh dengan kelas. Bahkan, masih harus melewati musholla sekolah tersebut. Sehingga gedung perpustakaan itu memang sangat sepi.

Meski banyak yang mendengar teriakan Rania, Sarah tetap tidak gentar untuk melukai gadis itu. Sebab, orang tuanya adalah donatur utama di sekolah tersebut. Tak ada satu pun yang berani melawan Sarah, sekalipun itu kepala sekolah.

Air mata Rania menetes deras sembari menahan rasa sakit di tangannya. Ia menatap tubuh Sarah yang perlahan menjauh darinya. Tepat di depan wajahnya, ia bisa melihat jemari-jemari tangannya tak lagi mulus seperti biasa. Kulit-kulitnya mengelupas. Dari sela-sela daging jemarinya, mengalir zat berwarna merah yang khas hingga menggenang di lantai keramik yang putih.

“Sialan kamu, Sarah. Cuma karena hal sekecil ini, kamu sampai menghancurkan jari-jari tanganku. Aku sumpahin kamu mati ketabrak mobil!” teriak Rania di sisa-sisa tenaganya yang hampir habis.

Rania merasa kepalanya sangat pening. Pandangannya memudar. Buku-buku yang berjejar rapi di rak, seolah terus bergerak hingga semuanya menghilang. Gelap!

 

 ((Bersambung...)) 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas