Saturday, July 12, 2025

AKU DAN TAMAN BACAKU || Bab 1 : Titik Balik Kehidupanku

Titik Balik Kehidupanku


Menjadi seorang wanita ternyata tidak mudah. Terlebih ketika memasuki usia dewasa. Ada titik di mana kita harus dihadapkan oleh pilihan yang sulit, antara karir dan keluarga.
Sudah satu minggu aku tidak pulang ke rumah. Bukan karena masalah keluarga, tapi karena tanggung jawab pekerjaan.
Ini bukan pertama kalinya. Setiap bulan saat tutup buku, aku harus lembur di kantor selama satu minggu penuh. Membuatku tidak bisa pulang ke rumah dan harus menginap di mess karyawan.
Beberapa tahun sebelumnya, aku menjalaninya dengan bahagia. Tidak ada beban yang bergelayut di pundak meski aku tidak pulang ke rumah dalam jangka waktu yang lama.
Tapi kali ini, aku mulai resah. Satu hari saja tidak pulang ke rumah, seperti ada beban yang begitu menyesakkan dada. Wajah mungil puteriku yang baru berusia dua tahun, membuatku tidak cukup tenang.
Sejak pindah kantor, kami harus tinggal berjauhan. Membuatku tidak bisa bertemu dengan puteriku sendiri. Padahal, ia masih butuh sosok ibu dalam kehidupannya yang baru.
Setelah berpikir panjang dengan begitu banyak pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk menyodorkan surat resign ke hadapan atasanku sendiri.
Ini bukan surat resign pertama. Ini surat resign yang ketiga kalinya. Pengajuanku untuk resign ditolak oleh bosku sebelumnya, meski keduanya adalah orang yang berbeda.
Bos pertama melarangku resign dan dia memberi nasihat “Ke depannya, kebutuhan keluargamu akan lebih banyak. Kamu yakin mau resign?”
Bukan cuma kalimat itu. Masih ada banyak kalimat yang dia berikan padaku hingga membuatku tetap bertahan bekerja di perusahaan.
Bos kedua menggantikan bos pertama yang dimutasi ke provinsi lain. Aku juga mengajukan resign dan mendapatkan penolakan. “Kalau kamu resign, kamu mau ngapain di kampung seperti ini?”
Dengan santai aku menjawab, “Mau nulis novel, Pak.”
Padahal, aku sama sekali tidak memiliki ilmu menulis. Hanya asal bicara agar surat pengunduran diriku diterima.
Bukan menandatangani surat resign, beliau malah memberi aku banyak wejangan. Akhirnya, aku mengurungkan kembali niatku untuk resign.
Bos kedua kembali di mutasi ke provinsi lain. Kemudian, datanglah bos ketiga.
Aku benar-benar memanfaatkan momen untuk bisa mengundurkan diri dari perusahaan. Bos yang baru tidak begitu paham seluk-beluk perusahaan, terutama tentang bagaimana kinerjaku selama ini. Aku tidak ingin terlalu lama membangun ikatan pekerjaan dengannya. Jadi, aku segera mengajukan surat pengunduran diri agar aku bisa segera berhenti bekerja dari perusahaan.
Bos ketiga tidak begitu banyak bertanya dan menasehatiku. Aku justru mendapat nasehat dari istri beliau supaya aku tidak harus resign. Bosku juga memberikan banyak tawaran agar aku tidak mengundurkan diri, karena akulah yang paling diandalkan di perusahaan tersebut.
Aku merasa, tidak ada yang istimewa dariku. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan yang sudah menghidupiku. Bukan untuk cari muka, apalagi untuk bersaing dengan yang lain.
Sembari menatap langit sore yang cerah, aku berkata dalam hati. “Ilmu yang aku miliki saat ini adalah ilmu yang aku pelajari di masa lalu. Semua orang bisa mendapatkannya jika mereka mau. Akan ada orang yang jauh lebih hebat dari aku. Akan ada orang yang menggantikan posisiku, sekalipun aku berada di posisi yang penting.”
Hari itu, aku benar-benar memantapkan langkahku untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Ada wajah puteriku yang menari-nari di pelupuk mata. Meski aku kehilangan pekerjaan dan tidak tahu harus bagaimana menjalani hidup ke depannya, aku merasa sangat bahagia ketika mendapatkan Surat Pengalaman Kerja.









Satu bulan kemudian ...
Hatiku mulai resah. Uang tabunganku sudah sangat menipis. Hanya cukup untuk bertahan hidup selama beberapa hari ke depan. Sementara, aku tidak punya pekerjaan sama sekali. Aku berusaha untuk membuka usaha dengan sisa uang yang aku miliki, tapi usaha di kampung, ternyata tidaklah mudah.
“Aku harus gimana?”
Di tengah gelapnya malam aku merenung sembari menatap rembulan dari balik jendela kamar. Puteriku kecilku sudah tertidur lelap. Kakek dan nenekku juga sudah terlelap di kamarnya. Sesekali aku melihat wajah puteriku yang mungil, kemudian aku tersenyum. Entah apa yang membuatku tetap bisa tersenyum dalam kepahitan ini.
Aku melangkah perlahan mendekati kamar nenekku. Pintu kamarnya hanya ditutup menggunakan kain. Aku bisa menyibaknya dengan mudah. Nenek kakekku sudah tertidur pulas di dalam kelambu usang yang setiap hari mereka kenakan. Kalau tidak pakai kelambu, nyamuknya sangat banyak. Rumah kami masih terbuat dari kayu dan banyak lubang di sana-sini. Terlebih, lantai kamar nenek-kakekku masih tanah. Ketika hujan deras datang, kami biasa kebanjiran dan lantai di bawah dipan mereka selalu basah.
“Ya Allah, mudahkanlah rezekiku supaya bisa bikinkan kamar yang layak untuk mereka,” batinku sembari meneteskan air mata.
Aku melangkah mendekati meja dapur. Menyeduh secangkir kopi dan menyesapnya perlahan sembari menikmati kelamnya malam yang sunyi.
Malam ini tidak terlalu sunyi. Aku masih bisa mendengar suara jangkrik bercengkerama, suara katak berirama, dan suara burung hantu yang terkadang membuat bulu kuduk berdiri.
TING!
Aku langsung menoleh ke arah ponselku yang tiba-tiba menyala.
“Siapa yang chat malam-malam begini?” batinku.
Aku meraih ponsel tersebut dan membuka DM Instagram. Di sana tertera nama seorang pria yang tidak aku kenal. Siapa?
“Mbak, perkenalkan saya Abi Ramadhan, ketua Fokus (Forum Kreatif Usaha Sama-Sama). Saya lihat, Mbak sering bikin-bikin bunga dan kerajinan tangan. Kira-kira, berminat atau tidak ikut pameran bersama komunitas kami?”
Aku mengernyitkan kening sejenak. Dari mana dia tahu kalau aku sering bikin bucket dan kerajinan tangan? Padahal, kami tidak saling mengenal. Aku memang kerap membagikan kegiatanku di sosial media. Tapi tidak berpikir akan sampai sejauh ini.
Setelah berpikir cukup lama, aku menerima tawaran beliau untuk ikut pameran. Saat itu, aku membuka stand kriya di Royal Suite Hotel, tempat kami pameran untuk pertama kalinya.
Di sanalah aku bertemu dengan banyak seniman dan pengrajin. Ada banyak ilustrator, seniman lukis, juga pengrajin tas, busana, dan aksesoris.
Aku tidak tahu bagaimana caranya mempromosikan produk aku sendiri karena aku tidak punya teman di hotel tersebut. Apalagi, hotel adalah tempat yang sangat eksklusif. Tapi aku tidak akan pernah melupakan dua orang wanita yang berkunjung ke stand-ku. Mereka adalah teman-temanku saat aku bekerja di perusahaan. Asmi dan Mia.
Pameran Fokus selanjutnya berada di Dome Balikpapan yang mengusung tema “Mathilda Fest”. Di sinilah titik balik hidupku dimulai.
Dalam pameran tersebut, kami mendapatkan stand gratis untuk komunitas. Karena sektor seni dan kriya memang tidak seramai sektor kuliner. Sehingga, kami mendapatkan support dari pemerintah kota Balikpapan dengan difasilitasi stand dan tenda gratis.
Saat hari pertama pameran, perhatianku langsung terfokus pada stand buku-buku di sebelahku. Ada banyak buku yang bisa dibaca gratis. Bahkan, beberapa diberikan secara cuma-cuma kepada pengunjung yang berminat.
Tanpa ragu, aku langsung mendekati stand buku tersebut. Melihat-lihat buku, juga berkenalan dengan pemilik stand buku tersebut.
Namanya Ibu Roelyta Aminudin, beliau dikenal dengan nama tersebut. Pemilik dari PAUD An-Nisa dan TBM An-Nisa, yang juga dinobatkan menjadi Kampoeng Literasi Gajah Mada.
LITERASI – Sebuah kata yang masih asing di telingaku. Kata yang tiba-tiba memunculkan banyak tanya di kepalaku. Biasanya, aku tidak begitu peduli dengan frasa asing yang aku dengar. Tapi kali ini, seolah ada sesuatu yang memanggilku.
“Bu, literasi itu apa?” tanyaku.
Ibu Roelyta tersenyum. “Baca ini!”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Ibu Roelyta malah memberiku sebuah flyer tentang “Gerakan Literasi Nasional”. Di dalamnya sudah ada pengertian tentang literasi, tujuan literasi, dan pola dasar literasi yang harus dimiliki oleh setiap individu.
Menarik.
Akhirnya, aku dipertemukan dengan orang yang mencintai buku. Sejak dulu, aku sangat suka dengan buku-buku. Hanya saja, aku tumbuh dan besar di lingkungan keluarga yang tidak cinta buku dan tidak membiasakan anak-anaknya membaca buku. Jadi, aku juga memiliki akses bahan bacaan yang minim. Terlebih, aku tinggal di pelosik desa yang jauh dari perkotaan dan memiliki akses informasi terbatas.
Rasa penasaranku tiba-tiba menjalar sampai ke ulu hati. Aku terus mendekati Ibu Roelyta untuk belajar. Aku selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke taman bacanya. Di sana, aku semakin terkagum-kagum dengan apa yang telah beliau lakukan.
“Bu, di Samboja itu nggak ada toko buku, nggak ada perpustakaan umum juga. Susah banget dapetin buku kalau di sana. Kalau mau bikin taman baca kayak Ibu gini, gimana caranya?” tanyaku sembari menemani Ibu Roelyta menyeduh kopi di dapurnya.
“Gampang aja. Yang penting kamu punya buku dan nama taman baca yang mau kamu buat,” jawab Ibu Roelyta.
“Cuma itu?” Keningku sedikit berkerut mendengar jawaban Ibu Roelyta. Aku masih tidak yakin, apakah bisa sesederhana itu?
Ibu Roelyta mengangguk yakin sambil tersenyum. “Mendirikan taman baca itu panggilan hati. Nggak ada uangnya. Kamu harus banyak keluar uang untuk memulainya. Kamu yakin, mau bikin taman baca juga?”
Aku terdiam sejenak, kemudian mengangguk yakin. “Aku pengen anak-anak yang suka baca buku tapi nggak punya uang, bisa tetap baca buku. Aku nggak mau mereka kayak aku, Bu. Pengen baca buku aja sulit. Harga buku mahal-mahal,” jawabku.
Ibu Roelyta tersenyum. “Kalau gitu, buka aja! Ibu akan mendukung kamu sepenuhnya. Kalau butuh apa-apa, ngomong sama Ibu!”
Aku mengangguk dan merengkuh tubuh Ibu Roelyta. “Terima kasih banyak, Bu!”
Ibu Roelyta tersenyum sambil mengelus lembut lenganku. “Ibu mau mengingatkan satu hal kalau kamu mau bikin taman baca. Kamu harus kuat! Akan ada banyak orang yang nggak suka sama kamu. Akan ada banyak orang yang nantinya minta bagian dari kamu, padahal mereka nggak ada sama sekali saat kamu berjuang.”
“Maksudnya, Bu?”
“Nanti kamu akan mengerti sendiri seiring berjalannya waktu. Yang penting kamu harus kuat, harus bisa melindungi dirimu sendiri dan taman baca yang kamu dirikan!” ucap Ibu Roelyta lagi.
Aku tersenyum sambil menyandarkan kepalaku ke pundak Ibu Roelyta. “Ya Allah, jika Kau sentuh hatiku agar melakukan sesuatu untuk orang banyak, maka aku tahu Engkau begitu dekat. Maka, permudahlah setiap langkahku. Semua kebaikan yang aku lakukan, kupersembahkan hanya untuk Engkau, Ya Allah...”



Baca Part selanjutnya di sini >>> Aku dan Taman Bacaku Part.2

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas