Aku menatap beberapa buku yang ada di hadapanku. “Cuma segini?”
Tidak banyak koleksi buku yang aku miliki. Sebagian besar adalah karyaku bersama penulis-penulis FAM Indonesia. Sisanya adalah buku bacaan yang mampu aku beli.
Tidak banyak. Hanya sekitar 5 buah buku yang aku miliki, di luar karyaku sendiri. Aku tidak memiliki banyak koleksi buku karena keterbatasan ekonomi. Biasanya, aku pinjam dari teman atau dari perpustakaan jika ingin membaca buku. Jadi, aku tidak punya banyak koleksi pribadi.
“Apa iya aku bisa bikin taman baca?” gumamku lagi. Aku masih tidak yakin, juga tidak percaya diri.
Aku tidak punya latar belakang yang baik dalam dunia pendidikan. Juga bukan keturunan seorang pendidik. Orang tuaku hanya petani sawah. Nenek moyangku juga hanya pencari kayu bakar. Kenapa aku harus masuk ke jalan ini? Jalan yang tidak pernah ditempuh oleh keluargaku. Akankah aku bisa menjalankannya tanpa dukungan apapun dan siapa pun?
Aku menghela napas sejenak. Kuraih salah satu buku yang ada di sana dan membukanya. Ada banyak deretan kalimat yang kubaca, tapi tidak mampu menggugah keyakinanku.
Aku menutup buku itu kembali dan duduk termenung selama beberapa saat.
Apa aku harus diskusi lebih dulu dengan keluarga? Tapi apakah mereka akan setuju? Apakah mereka akan menolak? Tapi ... mereka tidak mungkin menolak selama hal yang aku lakukan adalah kebaikan.
Tiba-tiba terngiang kalimat candaan teman-teman ketika masih aktif bekerja di perusahaan.
“Lebih mudah minta maaf daripada minta izin.”
Aku rasa kalimat itu ada benarnya juga. Aku harap tidak akan ada kata “minta maaf” untuk langkah-langkah baik yang aku ambil.
Aku juga sudah dewasa. Bukan lagi remaja umur tujuh belas tahun yang masih bergantung pada orang tua dalam mengambil keputusan. Sudah waktunya aku mengambil keputusan untuk diriku sendiri. Hal sekecil ini tidak mungkin harus melibatkan keluarga, apalagi oranf lain.
“Ya Allah, aku buka taman baca atau nggak?” batinku masih tak karuan. Aku ini bodoh dan miskin, apa tidak akan menjadi bahan tertawaan banyak orang?
“Uhuk ... uhuk ...!”
Aku menoleh ke arah sumber suara yang membuyarkan lamunanku. Perlahan aku melangkahkan kaki ke ruang tamu. Ada kakekku yang sedang duduk bersandar sambil menonton televisi. Televisi itu tidak bersuara. Sebab, bersuara atau tidak akan tetap sama untuk kakek yang indera pendengarannya sudah tidak berfungsi dengan baik.
“Itu, Rin. Kok, kayak mbahmu ini,” ucap kakekku tiba-tiba.
Aku menaikkan salah satu alisku. Entah apa yang ditonton oleh kakekku sehingga ia bereaksi.
“Mbah Lanang nonton apa, Mbah?” tanyaku pada nenek yang juga duduk di sana.
“Nonton sinetron itu. Ada kakek-kakek di pinggir jalan itu didorong sama anaknya sampai jatuh,” jawab nenekku.
“Oh.”
Aku tidak berkata apa pun. Aku sudah terbiasa mendengar keluhan kakekku. Juga cerita-ceritanya di masa lalu.
“Aku ini orang bodoh. Dibodohi sama adik sendiri sampai kehilangan tanah. Aku nggak sengaja membakar lahan orang dan orang itu minta ganti rugi tanah. Aku sudah bilang, dipenjara berapa tahun pun, aku rela. Asal jangan ambil tanahku. Aku punya adik sepupu yang pandai. Dia tidak membelaku, malah membuatku kehilangan tanah, kehilangan semuanya. Sekarang, aku nggak punya apa-apa. Sudah tua. Mau kerja sudah nggak dipakai lagi tenaganya. Setiap hari cuma bisa numpang makan sama Rina. Kasihan Rina. ”
Kakekku terus meracau. Kalimat itu setiap hari aku dengar sampai aku hafal ceritanya.
Ada sebuah penyesalan besar yang sedang mendekap jiwa kakekku. Kejadian kebakaran lahan belasan tahun lalu, membuatnya hidup dalam penyesalan. Ditambah lagi satu sertifikat tanah miliknya ditukar oleh orang lain yang punya kuasa. Sehingga membuatnya menjadi tidak berdaya, tidak memiliki apa-apa untuk masa tuanya dan sisa hidupnya diselimuti rasa penyesalan.
“Huft ... begini nasibnya kalau jadi orang bodoh,” keluh kakekku lagi. “Tidak tahu cara membela diri. Sudah kehilangan semuanya. Sekarang aku nggak bisa apa-apa. Nggak punya apa-apa. Nggak dihargai lagi sama orang. Bahkan tetangga rame-rame hajatan, tidak pernah lagi diundang untuk datang.”
Aku menghela napas mendengar ucapan kakekku. Hidupnya penuh penyesalan karena tidak memiliki banyak ilmu pengetahuan.
Aku melangkahkan kakiku kembali masuk ke kamar. Menatap pemandangan di luar rumah lewat jendela kayu yang telah usang. Rintik hujan menyapaku, seolah mengajakku bercengkerama dalam hati yang bimbang.
Di tempat tidur, puteri kecilku sedang tertidur lelap. Bagaimana nasib dia nanti di masa depan? Jangan sampai anak-anakku hidup dalam penyesalan karena aku tidak bisa memberikan pendidikan yang baik untuk mereka.
Aku tersenyum. Kudekati wajah mungil puteriku dan kugenggam jemarinya yang sangat kecil.
“Nak, kamu berhak untuk punya kehidupan yang lebih baik nantinya. Mama akan lakukan apa aja untuk masa depan kamu. Mama akan terus berjuang keras sampai benar-benar tidak sanggup lagi,” batinku.
Aku tidak akan bisa mengubah nasib hidup keluargaku jika aku hanya berdiam diri saja. Aku harus melakukan sesuatu agar perekonomian keluargaku bisa lebih baik, tidak lagi dipandang hina oleh nasyarakat. Tapi aku tidak tahu harus memulai dari mana.
Membuat taman baca, tidak akan menghasilkan uang karena semuanya adalah kegiatan sosial. Tapi aku bisa bersedekah meski aku tidak kaya. Buku-buku adalah ilmu dan memberikan akses pada ilmu ialah amalan jariyah.
Pepatah dahulu mengatakan, “sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang bermanfaat.”
Bagaimana ilmu bisa bermanfaat jika kita hanya menyimpannya untuk diri sendiri?
Aku rasa, aku bisa bermanfaat jika aku membuka sebuah taman baca. Agar lebih banyak anak tidak mampu yang terselamatkan pendidikannya. Aku tidak ingin apa yang dialami kakekku, dialami juga oleh orang lain, khususnya keluargaku sendiri.
Aku ingin punya sesuatu yang menjadi amalan jariyah sekaligus pengingat seumur hidupku agar aku bisa menjadi insan yang lebih baik di masa depan.
Bismillah ... aku akan persembahkan sebuah taman baca untuk kakek-nenekku, kedua orang tuaku dan anak-anakku kelak. Agar menjadi amalan jariyah bagi keluargaku. Insya Allah, Allah akan bukakan pintu rezeki yang baik untukku. Aku akan berjuang di jalan kebaikan karena Allah dan aku yakin kalau Allah tidak akan membiarkan aku berjuang sendirian. Dia akan selalu mengirimkan malaikat-malaikatnya untukku.
Aku mulai mantap untuk membuka sebuah taman baca. Bukan untuk diriku sendiri, tapi untuk orang lain yang membutuhkan. Meski kondisi ekonomi keluargaku sedang buruk, aku tetap membulatkan tekadku untuk membuat sebuah taman baca.
“Bagusnya aku kasih nama apa, ya?”
Aku mulai berpikir sejenak. Memikirkan nama yang cocok untuk taman bacaku.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku menemukan dua kata. Yakni “Bunga Kertas”.
Kenapa Bunga Kertas?
Bunga adalah sesuatu yang indah dan disukai banyak orang. Aku harap taman bacaku bisa menjadi seperti bunga yang disukai banyak orang dan menebar aroma kebaikan. Kertas melambangkan sebuah gerakan literasi di mana kertas bisa menjadi media untuk menuliskan dan menggambarkan banyak hal yang ada di dunia ini. Tidak hanya menjadi tempat yang disukai, Bunga Kertas juga bisa menjadi tempat yang nyaman untuk berbagi cerita.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku siap untuk membuka sebuah taman bacaan masyarakat dengan nama Taman Bacaan Masyarakat Bunga Kertas.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak punya program khusus karena aku juga tidak tahu apa-apa tentang kegiatan seperti ini. Aku hanya ingin anak-anak desa bisa mendapatkan akses buku dan informasi yang mudah melalui taman bacaan. Karena taman baca bisa mewadahi semua kebutuhan seluruh masyarakat dari anak-anak sampai orang tua tanpa memandang status, usia, dan pekerjaan.
“Besok saja aku launching. Mumpung aku masih menganggur. Bisa aku gunakan untuk mengisi kegiatan di rumah. Aku bisa memulainya dengan mengajak anak-anak mewarnai atau menggambar. Mereka pasti suka. Tapi ... aku harus menyiapkan alat-alat menggambar. Uang dari mana buat beli? Buat makan keluargaku aja aku masih kesusahan.”
Lagi-lagi aku dihadapkan dengan keadaan yang membuatku putus asa.
Tapi entah kenapa, ada hal besar yang mendorongku untuk terus maju meski keadaanku sedang tidak baik-baik saja.
“Ah, sudahlah. Beli alat-alat mewarnai pakai uang seadanya. Nggak usah banyak-banyak, yang penting ada aja dulu. Nanti Allah pasti ganti rezekiku. Toh, aku masih bisa bergerak buat cari rezeki,” gumamku lagi.
Aku semakin mantab untuk membuka sebuah taman bacaan masyarakat dengan segala keterbatasan yang aku miliki. Aku beri nama “Taman Bacaan Masyarakat Bunga Kertas”.
Semoga tempat ini bisa benar-benar bermanfaat untuk keluarga, juga untuk orang-orang di sekitarku.
.png)
0 komentar:
Post a Comment