Tuesday, October 6, 2020

Penulis Sampah dan Tulisan-Tulisan Sampahnya


 

 


 

Hari ini aku dibuat kecewa, bahkan lebih kecewa dan sakit hati karena seorang penulis senior mengatakan aku adalah penulis sampah hanya karena aku memilih menaruh tulisan-tulisanku dalam bentuk digital, bukan melalui buku cetak lagi.

Aku bahkan baru tahu kalau ada kasta senior-junior di dunia literasi yang jaraknya begitu jauh. Bahasaku yang teramat santai di media sosial, dianggap tidak sopan dan tidak menghormati penulis senior. Kenapa? Karena aku sudah mengikuti semua postingannya selama berhari-hari yang terus-menerus menyerang penulis platform dalam dalih diskusi. Kemudian, aku dianggap membela platform tempatku bernaung karena aku adalah salah satu Ambassador di platform tersebut.

Penulis senior itu mengatakan kalau beliau tidak hanya membahas satu platform saja. Namun, dari sebutan “Ambassador” saja, semua penulis platform sudah tahu kalau hanya ada satu platfom menulis yang memiliki Ambassador.

Banyak tulisan di sana yang memancing emosiku sebagai penulis sampah. Sebagai penulis senior, mereka tidak segan mengatakan saya penulis sampah, karya-karya sampah, saya bodoh karena terlalu menggebu-gebu membela platform. Sebenarnya, yang membuat saya terpancing bukanlah masalah platform-nya. Tapi ada kata “Ambassador” di sana yang akhirnya membuat jari ini gatal untuk berkomentar. Yang pada akhirnya, kami sebagai penulis platform dijuluki sebagai penulis sampah yang hanya menulis tentang esek-esek. Tidak ada faedah dan manfaatnya sama sekali.

 

Dulu, saya pernah ada dalam posisi yang sama. Menganggap penulis yang menuliskan konten 21+ adalah orang yang seharusnya disingkirkan. Tapi, lama-kelamaan ... saya masuk ke dalamnya karena saya mendapatkan pesan yang ingin disampaikan oleh seorang penulis. Ada orang yang dianggap kotor di masyarakat, dikucilkan, dihina ... kemudian dia menjadi sosok yang berbeda.

 

Aku bukan tidak menghormati senior. Aku sangat menghormati mereka. Bahkan, banyak tulisan-tulisan mereka yang aku baca. Tulisan-tulisan berkualitas yang aku gunakan sebagai role-model dan belajar. Membacanya, memahami maknanya dan mengaguminya. Tapi, kekagumanku itu seketika sirna, berubah menjadi kekecewaan yang mendalam bahkan sakit hati yang entah sampai kapan bersarang dalam diriku. Membuatku merasa, bahwa dunia literasi itu sangat kejam. Mereka akan menganggap orang yang masih berproses adalah sampah. Sampah yang seharusnya dilenyapkan dari muka bumi ini.

 

Aku tahu ... tidak semua penulis di platform memiliki kualitas yang baik. Banyak mereka yang sedang belajar, berusaha mencintai baca-tulis dan semangatnya patut untuk diapresiasi. Seburuk apa pun tulisannya, orang itu pasti sedang berusaha. Seperti beberapa tahun lalu saat aku bertemu seorang penulis difable. Dia begitu bersemangat menulis, tulisan yang masih berproses itu ... kini ia menjadi penulis yang kualitas tulisannya sudah meningkat. Ketika membaca tulisannya yang berantakan, aku menangis. Bukan karena tulisannya yang tidak berkualitas, tapi karena kegigihan dan semangatnya untuk belajar padahal dia seorang tuna netra. Aku tidak tahu bagaimana proses dia menulis di sana, menggunakan braile dalam bentuk digital atau bagaimana. Aku tak pernah menanyakan itu karena takut melukai perasaannya.

Dari kejadian kecil itu ... aku belajar menghargai tulisan orang lain seburuk apa pun. Mungkin, mereka sedang belajar. Mungkin ... mereka sedang berusaha di belakang sana untuk melahirkan tulisan yang lebih baik lagi.

Aku pikir, kasta senior-junior dalam dunia literasi tak separah ini. Dan sasaran empuknya adalah penulis platform karena tulisan-tulisan mereka (yang masih berproses) dapat diakses oleh siapa saja dan dari mana saja.

Kalau dalam kasta kehidupan, penulis platfom digital sepertiku dianggap sampah. Mungkin setara dengan pengemis, pemulung dan preman-preman di jalanan yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Tidak ada manfaatnya dan tidak menghasilkan manfaat sama sekali. Kami dianggap semak belukar, pohon yang berduri dan bergetah yang seharusnya dibasmi.

Jujur, aku menangis membaca tulisan-tulisan itu ... merasa bagaimana kehadiranku sebagai penulis era digital yang dianggap sampah dan bodoh. Karena kebodohanku, aku tidak bisa menghasilkan tulisan lain selain tulisan sampah. Tapi, aku masih bisa menggunakan hatiku untuk memungut sampah-sampah yang berceceran walau dengan air mata.

Kini, aku tak bisa menyebut diriku sebagai penulis yang dulu begitu bangga nama itu tersemat dalam diriku. Aku tidak bisa menghasilkan tulisan yang berkualitas, hanya sampah-sampah yang berserakan di mana-mana. Sebutlah saja aku ini tukang sampah atau pemulung kata-kata. Karena kata-kata yang aku dapat dari memulung adalah sampah, maka jadilah aku sempurna sebagai pemungut sampah saja. Aku kini menyadari kalau aku tak layak disebut penulis, sama halnya dengan aku yang tak layak disebut manusia dalam kehidupan bermanusia.

Aku menulis ini bukan karena aku membela platform yang menaungiku dan telah memberikan begitu banyak hal berharga untukku. Aku menulis ini sebagai seorang manusia biasa yang sedang belajar. Gelar “Ambassador” yang tersemat di namaku juga bukan semata-mata aku yang menginginkannya. Ini semua aku lakukan karena aku ingin membalas kebaikan platform, orang-orang di dalamnya yang mau menerimaku yang masih berproses.

Aku ini cuma gelandangan, yang berjalan ke sana ke mari tak tentu arah. Berkelana tanpa tahu ke mana tujuanku. Saat aku bertemu dengan platform yang memberikan aku pakaian, memberiku makan dan memberikan ilmu untukku. Alangkah tak tahu dirinya aku jika tak mengabdi pada sosok yang telah menganggapku seperti anaknya sendiri.

Aku hanya ingin merangkul para penulis baru, mereka yang pernah jadi gelandangan sepertiku. Yang beli satu bungkus nasi dimakan orang sepuluh. Yang hanya bisa beli satu gelas teh hangat untuk dinikmati beramai-ramai. Bahkan tak jarang minum air hujan hanya untuk bertahan hidup.

Kini, aku mulai ragu dengan diriku sendiri yang dulunya disebut penulis. Sebutan “Penulis Sampah” itu terus terngiang di kepalaku. Mungkin, seumur hidupku aku hanya bisa menghasilkan sampah yang berserakan. Tidak memberikan manfaat sama sekali. Atau, sebagai tumbuhan liar yang seharusnya dibasmi oleh orang-orang Yang Mulia itu.

Tiba-tiba aku menangis pada mawar-mawar yang berduri, pada kaktus-kaktus yang berduri, apakah mereka bisa memilih terlahir tidak berduri? Agar bisa dianggap layak untuk hidup?

Tiba-tiba aku menangis pada pohon nangka yang bergetah, pohon pepaya yang bergetah, apakah mereka bisa memilih terlahir tanpa getah? Agar bisa dianggap layak untuk ada?

Tiba-tiba aku menangis pada semak-semak yang tumbuh liar, pada puteri malu yang entah untuk apa diciptakan. Dia merayap di tanah, berduri, menjadi semak yang tak akan dianggap layak untuk hidup.

Aku memang penulis sampah, karya-karyaku adalah sampah. Sampah-sampah yang akan terus menggunung, memenuhi jalanan, memenuhi selokan, memenuhi sungai, memenuhi lautan, memenuhi tempat-tempat yang bau dan kotor.

Aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi penulis bermanfaat. Aku tidak tahu bagaimana cara menghasilkan tulisan yang bermanfaat. Maka biarlah aku menjadi penulis sampah yang akan menghasilkan sampah-sampah setinggi gunung Semeru.

 

Terima kasih untuk pelajaran berharga dari para senior yang telah mengatai aku sebagai penulis ‘sampah’ dan ‘bodoh’.

Dari dua kata itu aku belajar banyak hal. Belajar bagaimana menghargai mereka yang terlahir dari jalanan, menghargai mereka yang tinggal di kolong jembatan. Sebab ... mereka tak bisa memiliki pilihan lain untuk berdiri sejajar dengan orang-orang Yang Mulia itu.

 

Terima kasih telah berkenan membaca tulisan sampahku ini.

 

My Quote :

"Jika suatu hari namamu terbang setinggi langit. Ingatlah, bahwa kakimu selalu berpijak di bumi."

 

 

Salam Manis,

 

Vella Nine a.k.a Rin Muna

 

 _____________________________________________________________

©Copyright.

Dilarang copy paste, screenshoot atau membagikan postingan ini tanpa mencantumkan nama penulis.

8 comments:

  1. Aku suka quotenya, manusia emang gak ada yang sempurna,tapi gak ada salahnya kalau kita usaha, 'kan, Mbak? Semangat!😊

    ReplyDelete
  2. Aku juga ikut tertampar dan merasa tidak layak. Jujur, semangat belajarku yang membara sudah surut beberapa hari ini 😭😭😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama, Mbak ... aku auto menghindari medsos dulu untuk baikin mood

      Delete
  3. Memang kadang seperti itu. Di saat kita sedang berproses, ada saja pihak lain yang ingin menjatuhkan kita. Aku yang "serumah" sama kakak di NovelMe turut prihatin dengan ini. Tetap semangat ya Kak Vella Nine.Sukses terus untuk menulisnya, Kakak Keren :*

    ReplyDelete
  4. Bahkan penulis terkenal saja masih terus berproses, riset dan belajar sebelum menulis. Mari kita jadikan ini sebagai pemacu semangat kita untuk terus belajar, belajar dan belajar untuk menjadi lebih baik. Semangat terus, Kak Rin.

    ReplyDelete

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas