Thursday, May 22, 2025

Perfect Hero Bab 232 - Keputusan Jheni || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Chan, makasih ya udah tolongin aku!” tutur Amara lirih.

“Umh.” Chandra mengangguk.

“Kenapa kamu masih peduli banget sama aku?”

“Karena aku nggak bisa lihat perempuan disakiti.”

“Kamu masih cinta sama aku kan?” tanya Amara. “Apa kita nggak bisa memperbaiki hubungan kita kayak dulu lagi?”

“Hubungan kita cuma ada di masa lalu.”

“Nggak mungkin. Aku tahu kamu masih cinta sama aku. Setiap kali aku salah jalan. Kamu yang selalu menarik aku buat kembali dan memperbaiki semuanya. Kenapa sekarang kamu malah nggak mau memperbaiki hubungan kita?”

“Hubungan kita cuma bisa jadi masa lalu.”

“Chan, kita masih bisa memperbaiki semuanya kan?”

Chandra tersenyum kecil. “Semuanya sudah terlambat. Kamu sudah nikah sama Harry. Aku nggak mungkin ...”

“Aku bisa cerai dari Harry sekarang juga.”

“Nggak perlu. Sekalipun kamu sudah berpisah sama Harry. Kita tetap nggak bisa kembali kayak dulu lagi.”

“Kenapa? Apa karena sudah ada Jheni di hati kamu?”

Chandra tidak menjawab. “Lebih baik kamu pulang. Aku panggilkan taksi buat kamu.”

“Nggak bisa, Chan. Kalo aku pulang, Harry bakal nyakitin aku lagi.”

“Pulanglah ke rumah orang tuamu! Aku rasa dia nggak akan berani nyakitin kamu di sana.” Chandra melangkah pergi meninggalkan Amara yang terisak seorang diri.

Chandra melangkahkan kakinya keluar dari restoran. Ia menghentikan langkahnya saat melihat anting mutiara yang tergeletak di lantai. Ia memungut anting-anting itu perlahan. Menggenggamnya erat dan bergegas melangkah menuju parkiran.

Chandra melajukan mobilnya menuju ke rumah Jheni. Ia langsung berlari keluar dari mobil begitu sampai di depan rumah Jheni.

“Jhen!” panggil Chandra sambil mengetuk pintu rumah Jheni.

Hening.

“Jheni ...!” panggil Chandra lagi.

Hening.

Sepuluh menit berlalu.

“Jhen, aku tahu kamu di dalam. Aku ke sini buat minta maaf karena sudah mengabaikan kamu.” Chandra menempelkan keningnya ke pintu. “Jhen ... maafin aku!”

Hening.

Chandra berbalik dan menyandarkan kepalanya ke pintu. Tubuhnya merosot ke lantai. Perasaannya tak karuan. Ia tidak mengerti bagaimana membujuk Jheni.

Selama ini, Jheni yang selalu menghiburnya. Menemaninya melakukan banyak hal. Ia baru menyadari keberadaan Jheni, saat gadis itu tak pernah lagi muncul di hadapannya dengan senyuman hangatnya.

Selama satu jam menunggu, Jheni tak kunjung membukakan pintu untuk Chandra. Chandra melirik arloji di tangannya yang sudah menunjukkan jam dua belas malam

“Mungkin, dia memang sudah tidur,” gumam Chandra. Ia meninggalkan rumah Jheni dengan langkah yang begitu berat.

 

 ...

 

Waktu berlalu begitu saja... Jheni lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.

Yuna yang mulai khawatir dengan Jheni, meluangkan banyak waktunya datang untuk menghibur sahabatnya tersebut.

“Jhen, Chandra beneran nggak ada datang ke sini atau nelpon kamu gitu?” tanya Yuna.

Jheni menggelengkan kepala. “Udahlah, Yun. Nggak usah bahas dia lagi. Mungkin, dia lebih bahagia sama Amara.”

“Hmm ... ya udah. Yakin, kamu nggak papa?”

“Aku nggak papa,” jawab Jheni sambil tersenyum manis. “Oh ya, gimana program kehamilan kamu? Masih konsumsi obat herbal terus?”

“Udah nggak, Jhen. Kondisi rahimku udah normal. Mudahan, akhir bulan ini udah isi. Doain ya!”

“Aku pasti doain dong buat kamu.”

Yuna meringis menatap Jheni. “Makasih, Sayangku!”

Jheni mengerutkan hidungnya sambil tersenyum.

“Jalan yuk!” ajak Yuna.

“Ke mana?”

“Ke SCP yuk! Naik roller coaster,” ajak Yuna.

“Mmh ... ide bagus! Ajak Icha juga!” pinta Jheni.

“Oke.” Yuna langsung menelepon Icha untuk pergi bersamanya.

“Icha bisa?” tanya Jheni.

“Bisa.”

“Kamu nggak ajak Yeriko?”

Yuna menggelengkan kepala. “Kalau aku sama Icha bawa pasangan. Kasihan kamunya, ntat baper lagi. Pokoknya, hari ini khusus kita jalan bertiga aja.”

“Kamu udah izin sama suami kamu?”

“Udah, dong.”

“Ya udah, siap-siap yuk!”

Yuna mengangguk. Mereka bergegas pergi ke taman hiburan dan bertemu dengan Icha di taman hiburan tersebut.

“Yun, katanya mau naik roller coaster?” tanya Jheni begitu mereka sampai dan Yuna hanya duduk santai.

“Kalian berdua aja!” pinta Yuna.

“Takut?” tanya Jheni.

Yuna menggeleng. “Aku lagi program hamil. Nggak berani macem-macem. Kalian berdua aja ya!”

“Mmh ... ya udah kalo gitu. Tunggu sini ya!” Icha langsung menyeret lengan Jheni menaiki wahana roller coaster.

Sementara, Yuna hanya menatap dua sahabatnya dari kejauhan. Ia terus tersenyum melihat kebahagiaan kedua sahabatnya itu.

Beberapa menit kemudian, Jheni dan Icha sudah kembali menghampiri Yuna.

“Gimana? Asyik?” tanya Yuna.

“Hmm ... puas!” seru Jheni sambil merentangkan kedua tangannya.

Icha dan Yuna saling pandang, kemudian menyunggingkan senyum bersama. Mereka ikut bahagia melihat Jheni yang sudah kembali ceria. Setidaknya, Jheni bisa melupakan masalah yang sedang dihadapinya.

“Kalian laper nggak?” tanya Yuna. “Cari makan yuk!”

“Ayo!” sahut Icha dan Jheni bersamaan.

Mereka bergegas menuju salah satu kedai makanan.

“Yun, kamu bilang pesta pernikahan kamu bulan Juli. Sebentar lagi dong?” tanya Jheni dengan mulut penuh makanan.

“Mmh ... Mama Rully belum ngabarin tanggal pastinya.”

“Kamu enak banget sih, mau nikahan tapi nggak ikut repot. Enak banget punya mamer kayak Tante Rully,” tutur Icha.

Yuna mengerutkan hidungnya sambil tersenyum bahagia. “Kalian berdua harus dateng di acara nikahan aku loh ya! Awas nggak dateng! Mulai dari persiapan acara, sampai cuci piring!” pinta Yuna.

“Suami kamu kan orang kaya. Kenapa nyuruh kita cuci piring?” sahut Jheni.

“Eh, sebagai sahabat, kalian harus menunjukkan ketulusan kalian di acara penting sahabat kalian sendiri.”

“Nggak gitu juga kali, Yun. Yeriko kan bisa bayar orang. Kenapa harus kita?”

“Hehehe. Bercanda, Jhen. Kamu sensi banget sekarang.”

Jheni mencebik ke arah Yuna. “Oh ya, aku pengen ke rumah orang tuaku.”

“Kamu yakin?”

Jheni menganggukkan kepala. “Aku perlu menenangkan diri dulu, Yun. Lagian, udah lama aku nggak nengokin mereka juga.”

“Mmh ... kapan mau berangkat ke sana?”

“Minggu depan.”

“Balik ke sininya kapan?”

“Belum tahu. Tergantung suasana hati.”

“Kamu yakin mau ninggalin aku sendirian di sini?”

“Kamu udah punya suami. Lagian, kita masih bisa teleponan setiap malam.”

“Iya, tapi kan ...” Yuna menghentikan ucapannya saat mendengar ponsel Jheni tiba-tiba berdering.

“Halo ...!” sapa Jheni begitu ia menjawab panggilan telepon. “Di mana? ... Sekarang? ... Oke.” Jheni langsung mematikan panggilan teleponnya.

“Siapa, Jhen?” tanya Yuna penasaran.

“Amara.”

“Hah!? Ngapain dia nelepon kamu?”

“Ngajak ketemuan.”

“Di mana?”

“Di bar.” Jheni langsung bangkit dari tempat duduknya.

“Aku ikut kamu!” pinta Yuna. Perasaannya tidak enak. Ia khawatir kalau Amara akan melakukan sesuatu terhadap Jheni.

“Aku juga ikut!” seru Icha.

Mereka bertiga bergegas pergi menuju tempat yang telah disepakati.

“Jhen, kamu yakin kalau Amara nggak akan berniat jahat sama kamu?” tanya Yuna.

Jheni tertawa kecil. “Emangnya aku udah ngapain dia? Dia nggak punya alasan buat ganggu aku. Toh, si Chandra juga udah balik sama dia.”

“Kamu beneran mau ngelepasin Chandra gitu aja?” tanya Yuna.

“Mmh ... aku nggak punya alasan buat pertahankan dia lagi.”

“Oke. Aku hargai keputusan kamu. Semoga aja, kamu bisa dapetin cowok yang lebih baik dan menyayangi kamu apa adanya, Jhen.”

Jheni mengangguk sambil tersenyum kecut. Ia sendiri tidak yakin dengan perasaannya saat ini. Di saat ia merasa Chandra telah memberikan hati untuknya, di saat itu juga masa lalu Chandra menghantui hubungan mereka. Ia tidak ingin menjalin hubungan dalam bayang-bayang Amara. Mungkin, pergi jauh adalah satu-satunya jalan terbaik yang bisa ia pilih.

 

(( Bersambung ... ))

 

 

Perfect Hero Bab 231 - Bimbang || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yun, kamu nggak boleh minum alkohol!” pinta Yeriko.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku minum jus, Sayangku,” sahut Yuna sambil tersenyum menatap Yeriko.

 

“Bagus.” Yeriko langsung mengecup bibir Yuna dan menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya.

 

“Astaga! Kalian ini bikin pengen aja,” celetuk Lutfi. Ia ikut memeluk Icha yang duduk di sampingnya.

 

Jheni yang duduk di samping Icha, langsung menatap kesal dua pasang sahabat yang sengaja bermesraan di depannya. Ia menuang wine ke dalam sloki dan terus meminumnya.

 

“Kalian bener-bener nggak punya perasaan,” celetuk Jheni.

 

Yuna tertawa kecil. “Jhen, karena kami punya perasaan makanya punya pasangan.”

 

Jheni tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Kalo gitu, aku yang nggak punya perasaan,” tuturnya lirih.

 

Lutfi tertawa kecil sambil menemani Jheni minum. “Bukan kamu yang nggak punya perasaan, tapi dia.”

 

“Ah, betul, betul. Dia emang nggak punya perasaan!” seru Jheni yang mulai mabuk.

 

Lutfi tertawa kecil. Ia menoleh ke arah Chandra yang duduk di sampingnya. “Kamu tahu orang yang dia maksud siapa?” bisik Lutfi di telinga Chandra.

 

Chandra bergeming. Ia tak menjawab pertanyaan Lutfi. Perasaannya kini semakin tak karuan. Ia tidak mampu mengabaikan Amara, juga tidak ingin melepaskan Jheni begitu saja.

 

“Yun, kamu harus temenin aku minum malam ini!” pinta Jheni sambil menyodorkan gelas berisi wine ke hadapan Yuna.

 

Yeriko langsung menyambar gelas dari tangan Jheni. “Yuna nggak minum alkohol. Biar aku yang wakilin dia!”

 

Jheni tertawa sambil menatap Yeriko. “Kamu memang pria pemberani dan bertanggung jawab.” Jheni menjatuhkan kepalanya ke atas meja. “Kapan aku bisa ketemu sama cinta sejatiku?”

 

Jheni mengangkat kepalanya kembali. “Aku udah berusaha jadi baik, pengertian dan selalu melayani dia dengan baik. Kenapa dia masih nggak lihat aku? Setiap pagi buatkan sarapan, nemenin dia cerita, dampingi ke acara-acara penting. Tapi, aku nggak lebih dari sekedar teman,” ceracau Jheni.

 

Semua mata langsung tertuju pada Chandra.

 

“Aargh ...! Kenapa nasibku menyedihkan? Apa lebih baik pulang ke rumah orang tuaku. Nerima dijodohkan, menikah sama cowok yang nggak aku cintai dan melahirkan anak. Kayak kamu!” tutur Jheni sambil menunjuk Yuna. “Asal cowok itu baik dan sayang sama aku, sepertinya aku bisa hidup tenang dan bahagia.” Jheni terus berbicara dengan dirinya sendiri.

 

Chandra tidak tahan lagi mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut Jheni. Ia bangkit dan langsung menarik lengan Jheni.

 

“Kamu siapa?” tanya Jheni sambil memicingkan mata menatap Chandra.

 

Chandra tertegun menatap Jheni. “Kamu mabuk, ayo pulang!”

 

“Aku nggak mabuk!” sahut Jheni. “Kamu bukan siapa-siapaku, nggak usah urusin aku!”

 

Chandra tidak memperdulikan ucapan Jheni. Ia menarik tubuh Jheni dan ingin membawanya keluar dari restoran.

 

“Aku nggak mau pulang!” seru Jheni. Ia enggan beranjak dari tempat duduknya.

 

Amara ikut bangkit begitu melihat Chandra mendekati Jheni. Namun, Yuna dengan cepat menahan Amara agar tidak mengganggu Chandra dan Jheni.

 

“Jhen, aku antar kamu pulang sekarang!” pinta Chandra sambil memapah Jheni perlahan.

 

“Nggak perlu. Aku bisa pulang sendiri.” Jheni mendorong tubuh Chandra. “Kamu ngapain sih masih peduli sama aku? Kamu udah balik sama Amara. Buat apa ngurusin aku lagi? Urus aja tunangan kamu itu!” sentak Jheni. Ia berjalan sempoyongan sambil merambat di dinding.

 

“Aku nggak balikan sama Amara,” tutur Chandra.

 

Jheni tersenyum sinis menatap Chandra. “Iya, sekarang! Nggak tahu besok?” sahutnya kesal. “Kalo emang kamu nggak balikan sama dia. Buat apa kamu bawa dia ke sini, hah!?” Jheni menatap benci ke arah Chandra.

 

Chandra tak menjawab pertanyaan Jheni.

 

“Kenapa nggak jawab? Kamu mau ngasih tahu semua orang kalau tunangan kamu udah kembali? Aku bukan siapa-siapa. Nggak bisa dibandingkan sama tunangan kamu itu.” Jheni melangkah pergi meninggalkan Chandra.

 

“Aargh ...!” teriak Chandra dalam hati sambil memukul tembok di sampingnya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan pada Jheni tentang perasaannya saat ini. Ia mengenal Jheni sebagai wanita yang penuh pengertian, kini dialah yang membuat Jheni menjauh.

 

“Amara ...!” teriak Harry yang tiba-tiba muncul ke restoran tersebut.

 

Semua mata langsung memandang ke arah Harry, termasuk Jheni yang baru saja ingin menjangkau pintu restoran untuk keluar.

 

Harry langsung menghampiri Amara dan menyeret tubuh wanita itu.

 

“Lepasin, Har!” pintanya sambil merintih kesakitan.

 

“Kamu ingat nggak kamu ini siapa, hah!? Kamu istri aku. Masih aja kecentilan jalan sama mantan tunangan kamu itu!” sentak Harry.

 

“Chandra, tolongin aku!” pinta Amara sambil menangis.

 

 

 

PLAK ...!

 

Telapak tangan Harry langsung mendarat di pipi Amara. “Aku ini suami kamu. Kamu sama sekali nggak nganggap aku!?” sentak Harry.

 

Chandra langsung merebut tubuh Amara dari lengan Harry begitu melihat Harry melakukan kekerasan fisik terhadap Amara.

 

“Oh ... kamu masih cinta sama istriku, hah!? Mau lindungi dia?”

 

“Aku ngelindungi dia bukan karena cinta. Kamu sudah keterlaluan sama istri kamu sendiri!” sahut Chandra.

 

“Kamu nggak usah ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Dia istriku, aku punya hak buat ngatur dia.”

 

“Aku nggak akan biarin kamu mukul dia!” tegas Chandra.

 

“Oh ... jadi, kamu emang mau ngambil istriku lagi. Emangnya nggak ada perempuan lain lagi sampai mau selingkuh sama istri orang?”

 

Chandra mengepalkan tangan, ia menatap wajah Harry berapi-api. Dengan cepat, ia melayangkan kepalan tangannya ke wajah Harry hingga Harry tersungkur ke lantai.

 

“Bangsat kamu, Chan!” Harry bangkit dan berusaha menyerang Chandra balik.

 

Chandra bisa menahan serangan Harry dengan mudah. Ia kembali memukuli Harry. Mereka berdua bergulat di lantai. “Pergi dari sini!” sentak Chandra sambil menendang tubuh Harry.

 

“Awas kamu, Chan! Aku pasti bales ini semua!” tutur Harry sambil bangkit dan bergegas pergi meninggalkan restoran.

 

“Coba aja kalo berani!” seru Chandra. Ia langsung menoleh ke arah Amara yang berdiri tak jauh darinya. “Kamu nggak papa?” tanya Chandra.

 

Amara mengangguk kecil sambil menundukkan kepala. Tangannya masih terus memegangi pipinya yang terasa perih setelah mendapat tamparan keras dari Harry. “Makasih, udah nolongin aku,” tuturnya lirih.

 

Chandra mengangguk kecil. Ia mengajak Amara kembali duduk dan memberinya segelas air putih.

 

Jheni menatap Chandra dari kejauhan. Air matanya jatuh saat melihat Chandra masih begitu perhatian kepada Amara. Hatinya begitu sakit, sangat sakit. Setelah sekian lama ia menanti, justru harus berakhir dengan kepedihan.

 

Jheni melangkah keluar dari restoran. Ia melepas kedua anting mutiara yang melekat di telinganya dan membuangnya begitu saja.

 

“Yer, kita kejar Jheni!” pinta Yuna. Ia langsung berlari keluar mengejar Jheni. Ia merasa, Chandra benar-benar tidak berguna untuk sahabatnya.

 

Lutfi dan Yeriko hanya menoleh ke arah Chandra yang masih bersama Amara dan melewatkannya begitu saja. Mereka semua tidak setuju dengan apa yang dilakukan Chandra. Tidak seharusnya Chandra lebih memperdulikan Amara daripada Jheni yang jelas-jelas hatinya sedang terluka.

 

Chandra terpaku menatap punggung sahabat-sahabatnya yang berlalu perlahan. Ia tahu, ia tidak seharusnya membiarkan Jheni tersakiti. Tapi, ia juga tidak bisa membiarkan Amara dalam keadaan terluka.

 

Chandra memijat keningnya yang berdenyut. “Kenapa Yeriko bisa begitu tegas sama Refi, kenapa aku nggak bisa tegas sama Amara?” batinnya dalam hati. Ia merasa, dirinya begitu buruk karena tak sanggup menyingkirkan Amara begitu saja.

 

(( Bersambung ... ))

 

Chandra ngeselin, kan? Harus dihukum!

 

 

 


SUKSES BUTUH TEKANAN

 


Pernahkah kamu berada di satu titik di mana kamu merasa hidup ini sangat berat dan tertekan?

Terkadang, kita merasakan tekanan yang sangat besar dalam kehidupan ini, terutama dalam dunia pekerjaan.

Pernah di satu waktu, aku merasakan tekanan yang berat dalam dunia kerja, juga dalam lingkungan sosial.

Selama bertahun-tahun aku menjalani banyak tekanan, tapi aku masih bisa terus berjalan hingga detik ini.

Ternyata, kita tidak bisa menghindari tekanan hidup, semua orang yang masih hidup akan merasakannya. Entah itu tekanan pekerjaan, tekanan dalam finansial maupun tekanan sosial.

Tidak bisa dipungkiri jika kita sebagai manusia kerap mengeluhkan tekanan hidup yang kita terima. Bahkan kita menyalahkan takdir yang Tuhan berikan kepada kita. 

Tapi semakin banyak mengeluh, tekanan itu terasa semakin besar. Padahal sebenarnya tekanan itu tetap sama. Yang membuatnya menjadi ringan atau berat adalah diri kita sendiri dan bagaimana cara kita menerimanya. 

Dalam menyikapi tekanan hidup yang besar, aku juga sering mengeluh, sering menyalahkan keadaan, sering merasa orang-orang di sekelilingku sangat jahat dan membuat hidupku semakin menderita. 


Di satu waktu, aku duduk di depan mesin jahitku karena aku memiliki hobi menjahit. Ada hal besar yang tidak aku sadari, padahal aku sudah menghadapinya bertahun-tahun. 

Ketika membuat pakaian, kita menginginkan semuanya berjalan dengan baik dan hasilnya rapi. Ada satu hal yang perlu kita ketahui ketika kita menjahit pakaian. Supaya mesin jahit dapat bekerja dengan baik dan rapi, maka pakaian yang akan dijahit harud ditekan dengan sepatu mesin jahit. Jika tidak ditekan, tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan bisa menghasilkan sebuah pakaian. 

Begitu banyak tekanan hidup yang aku jalani, membuatku tersadar ketika aku melihat sepatu mesin jahitku sendiri. Kenapa aku bilang ini bisa membuatku tersadar? Karena saat ini aku masih berjalan meski mendapatkan tekanan dari berbagai arah. 

Sungguh, hidupku kini bisa dianalogikan seperti cara kerja mesin jahit. Harus ditekan dahulu baru berjalan dan mendapatkan hasil yang baik. 

Aku yang sudah nyaman dengan kehidupanku sebagai seorang penulis, terkadang tidak ingin melakukan hal lain lagi selain hanya menulis buku. Tapi kemudian, keadaan memaksaku untuk melakukan lebih banyak hal. Termasuk bagaimana bertanggung jawab pada apa yang telah aku ciptakan dari keisengan-keisenganku selama ini. 

Keisengan yang kubuat melahirkan sebuah tanggung jawab besar yang terkadang membuatku muak. Ingin kutinggalkan, tetapi beban moral menjadi sangat berat untuk kupertanggungjawabkan. 

Pada akhirnya, aku harus terus berjalan meski perlahan dan berada dalam kondisi tertekan. Ada kalanya aku merasa dunia ini sangat kejam, terutama bagi mulut-mulut yang tidak menyukai keberadaanku. Rasanya ditekan dan disingkirkan dengan berbagai cara, tidak akan pernah aku lupakan. 

Tekanan yang dahulunya adalah beban hidup, kini jadi semangat hidup. Aku mulai menyukai sebuah tekanan yang membuatku terus bergerak. Hingga di satu titik, aku menganggap aku sukses menyelesaikan goals yang aku ciptakan sendiri. Meski bagi orang lain itu hal biasa, bagiku sangat istimewa karena bisa menjalaninya bersama tekanan yang aku terima. 

Aku sangat bersyukur dengan apa yang aku miliki saat ini. Karena aku tidak pernah memilikinya di masa lampau. Rumah yang nyaman dan kehidupan yang mapan meski jauh dari kemewahan. 

Aku tidak akan bisa berada di titik ini jika aku tidak berani berjalan di bawah tekanan. Tekanan yang aku terima dari banyak orang, ternyata menjadi cambuk untuk mempercepat langkahku. Sebab, jika aku tidak merasa disakiti, dikecewakan dan dikhianati, maka aku tidak akan berada di titik ini. 

Sungguh, tekanan hidup benar-benar bermanfaat bagiku. Tanpa adanya tekanan, aku tidak akan berjalan ke arah yang lebih baik. Berkat tekanan yang aku terima, aku bisa upgrading skil. Berkat tekanan sosial (dikucilkan) dari lingkungan terdekat, aku jadi bisa melangkah ke tempat yang lebih jauh. 

Hari ini aku sudah berada di titik bersyukur ketika ada orang yang mencaci-maki atau bercerita buruk tentangku. Karena itu adalah jalan rezeki yang sedang dibangunkan orang lain untukku. Dan aku sangat menikmatinya, meski bagi orang lain adalah beban. 

Kalau dibilang sukses, aku masih jauh dari kata sukses. Aku hanya sudah lebih baik dari segelintir orang dan aku bersyukur memiliki apa yang saat ini aku miliki. 

Tidak ada kesuksesan yang bisa diraih tanpa tekanan. Orang-orang yang tidak mampu berada di bawah tekanan, biasanya akan berjalan mengambang atau stagnan di situ-situ saja. Sebab, tidak ada keinginan untuk menyelesaikan tantangan hidup yang lebih besar lagi. 

Hingga saat ini aku masih belum percaya jika semua yang kumiliki saat ini karena aku terus-menerus mendapatkan tekanan. Tekananku jauh lebih besar dari orang lain, itulah sebabnya reward yang aku dapatkan juga lebih besar dari yang lain. (Jika kamu tahu jalan hidupku yang sesungguhnya, mungkin kamu akan menitikan air mata di setiap babnya)

Tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain terus berjalan meski banyak tekanan yang harus kita terima. Hidup dengan banyak tekanan memang sakit, tapi lebih sakit lagi jika kita hidup tertekan dan tidak berjalan sama sekali. 

Jika saat ini kamu sedang berada dalam tekanan hidup yang berat dan menemukan tulisan ini, percayalah jika Allah sedang merencanakan sesuatu yang indah untukmu. Jadi, jangan menyerah! 

Nikmati tekanan itu dengan ikhlas dan panenlah kemudahan hidup di kemudian hari. Ingat, rencana Tuhan selalu lebih indah dari rencana manusia. Tuhan yang akan memberikan reward untuk setiap gerakan tulusmu... 



Much Love, 



Rin Muna






Wednesday, May 21, 2025

Perfect Hero Bab 230 - Happy Time || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Jhen, bagus nggak?” tanya Yuna sambil menunjuk gaun yang ia pegang.

“Bagus,” jawab Jheni sambil tersenyum.

“Serius?”

“Iya. Tapi ... aku ngak suka renda di bagian pundak itu. Nggak cocok sama kamu.”

“Huh, bilang aja nggak bagus!” celetuk Yuna sambil meletakkan kembali gaun tersebut ke gantungannya.

“Cha, kamu mau cari baju yang gimana?” tanya Jheni karena ia sudah mendapatkan baju pilihannya.

“Mmh ... aku mau cari Long Cardigan, tapi ...”

“Tapi apa?”

“Modelnya nggak ada yang sreg,” jawab Icha.

“Halah, modelnya atau harganya?”

“Dua-duanya,” jawab Icha.

“Tenang aja! Ada bos besar di sana!” sahut Yuna sambil menunjuk Yeriko dan Lutfi yang ikut menemani mereka berbelanja.

“Mmh ... iya juga, sih.”

“Ya udah, ngapain bingung sih?” sahut Jheni.

“Aah, udah. Nggak usah mikirin soal uang!” pinta Yuna. “Kalau kalian nggak enak pakai uang Yeriko, aku punya kartu sendiri. Aku rasa, kalian nggak akan sungkan habisin uangku kan?”

“Nah, kalo kayak gini, kita mah nggak sungkan belanjanya,” tutur Icha.

“Hahaha.” Yuna tertawa lebar. “Padahal kartu kreditku duit Yeriko juga,” tuturnya dalam hati. Ia hanya tidak ingin dua sahabatnya merasa sungkan karena harus menggunakan uang suaminya untuk berbelanja.

“Cari apa lagi?” tanya Yeriko begitu Yuna selesai membayar belanjaannya.

“Mmh ... cari makan. Laper.”

“Ayo!” Yeriko merangkul pinggang Yuna dan mengajaknya menuju salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan tersebut.

“Kamu udah pakai kartu yang aku kasih?” bisik Yeriko di telinga Yuna sambil masuk ke restoran.

Yuna mengangguk. “Soalnya, mereka sungkan kalau kamu yang harus keluar uang. Padahal uang yang aku pakai, uang kamu juga.”

“Nggak papa. Bagus. Kalo gitu, hari ini kamu yang traktir. Gimana?”

“Pakai kartu yang kamu kasih?”

“Nggak mau. Pakai uang hasil kerja kamu sendiri.”

Yuna tersenyum menatap Yeriko. “Emangnya beda?”

“Beda.”

“Bedanya di mana?”

“Mmh ... uang yang didapatkan dari hasil kerja sendiri, pasti rasanya beda. Lebih tulus dan bakal aku ingat terus.”

“Oke.” Yuna tersenyum dengan mata berbinar.

Yeriko tersenyum. Mereka menuju ke salah satu meja makan dan memesan banyak makanan.

“Minum ini!” pinta Yeriko sambil menyodorkan jus alpukat ke hadapan Yuna.

“Yun, kenapa sih kamu nggak bikin akun instagram atau facebook gitu?” tanya Icha.

“Buat apa?”

“Buat aku kepoin,” sahutnya sambil tertawa kecil.

“Males sama orang-orang yang kepo kayak kamu.”

“Yah, kali aja Lutfi mau pinang kamu buat promoin villa-nya kalau kamu jadi selebgram, Yun.”

Yuna tertawa kecil, ia langsung menatap Lutfi yang duduk di hadapannya. “Emangnya, aku ada potensi jadi selebgram?”

“Mmh ...” Lutfi mengelus-ngelus dagunya. “Ada sih, tapi ...” Ia melirik Yeriko yang duduk di sebelah Yuna.

“Tapi apa?”

“Aku nggak akan pakai Kakak Ipar buat jadi endorser villa-ku.”

“Kenapa?”

“Karena sudah bersuami dan aku nggak berani ngajak Kakak Ipar liburan keliling villa-ku.”

“Kamu endorse aja dua-duanya,” sahut Jheni.

“Maksudnya?”

“Kamu kan usaha villa. Selama ini kamu selalu pakai model cantik buat promo villa kamu. Kamu nggak tertarik buat pakai sepasang suami istri yang ganteng dan cantik ini buat promosiin villa kamu? Bukannya lebih menarik kalau villa kamu itu dipromosiin sama sepasang suami istri yang suka mesra-mesraan di depan umum ini?”

“Mmh ... ide kamu bagus juga, Jhen. Kenapa aku nggak kepikiran ya?”

“Punya budget berapa?” tanya Yeriko dingin.

“Astaga! Sama adek sendiri nanyain budget. Harusnya, Kakak Ipar bantu aku tanpa aku harus bayar sepeserpun.”

“Jangan harap kamu bisa manfaatin istriku!” sahut Yeriko.

“Hmm ... baru rencana aja udah ditanggepin kayak gini. Kalo sampe aku beneran pakai Kakak Ipar jadi modelku, bisa habis digorok sama dia!”

Yuna tertawa kecil mendengar ucapan Lutfi.

“Aku kira, nggak ada orang yang kamu takuti di dunia ini,” tutur Icha sambil menatap Lutfi.

“Ada. Tiga orang yang aku takuti di dunia ini. Mama, Yeriko sama kamu!” sahut Lutfi kesal.

“Hahaha.”

Semua tenggelam dalam canda tawa.

Jheni tiba-tiba menghentikan tawanya saat melihat Chandra menghampiri meja mereka. “Dari mana dia tahu kalau kita ada di sini?” batinnya dalam hati.

Yuna dan yang lainnya menyadari perubahan ekspresi wajah Jheni. Mereka langsung menoleh ke arah Chandra yang baru saja datang.

Suasana menjadi canggung karena di belakang Chandra ada Amara yang datang bersamanya.

Yuna menyenggol lengan Yeriko. Ia juga menendang kaki Lutfi. Semuanya tidak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi Chandra yang datang bersama mantan tunangannya itu.

“Hai ...!” sapa Chandra sambil tersenyum.

“Oh ... sini, Chan! Duduk!” pinta Lutfi dengan ramah. Walau bagaimanapun, Chandra tetaplah sahabatnya. Ia tidak mungkin mengusir Chandra dari tempat itu walau semua orang yang ada di meja tidak menyukai Amara.

Chandra tersenyum. Ia melirik ke arah Jheni sejenak dan duduk di sebelah Lutfi. Amara juga ikut bergabung di meja tanpa rasa canggung walau semua orang tidak menyambutnya dengan baik.

“Yun, masker wajah yang kamu ke aku, belinya di mana?” tanya Jheni.

“Online.”

“Kamu masih suka belanja online?”

Yuna mengangguk. “Zaman sekarang, bukannya lebih enak belanja online. Nggak perlu capek-capek keluar rumah, barangnya udah dateng sendiri.”

“Huh, gaya Lu!” sahut Jheni sambil memonyongkan bibirnya ke arah Yuna. “Tetap aja masih suka muter-muter di mall tiap minggu.”

“Refreshing, Jhen. Seminggu sekali juga belum tentu. Bosen tahu kalau setiap hari mainnya cuma rumah sama kantor doang. Hahaha.”

“Mmh ... iya juga, sih. Apalagi sekarang kamu udah jadi asisten direktur. Pasti, kerjaan kamu padet dan bikin pusing banget kan?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia bersama Icha dan Jheni terus berbincang tanpa menghiraukan kehadiran Amara.

 

Lutfi dan Yeriko juga mengajak Chandra membicarakan soal bisnis akhir-akhir ini.

 

Chandra sesekali menoleh ke arah Jheni yang sedang berbincang dengan Yuna dan Icha. Ia melihat Jheni baik-baik saja. Seharusnya, tidak akan mempengaruhi hubungan mereka. Hanya saja, kehadiran Amara membuat semuanya jadi canggung. Pertemuannya dengan Amara yang tidak disengaja, membuat hubungannya dengan Jheni semakin renggang.

 

Jheni melirik ke arah Chandra sesekali. Sungguh, dalam hati ia merasa sangat kesal karena Chandra sama sekali tidak menghampirinya untuk meminta maaf atau memberikan penjelasan.

 

Oke, fix. Kamu lebih milih Amara daripada aku,” batin Jheni.

 

“Oh ya, besok aku ambil barang-barangku yang ada di rumah kamu,” tutur Yuna sambil menatap Jheni.

 

“Hah!? Aku cuma bercanda, Yun. Kamu baper banget?” Jheni mengernyitkan dahi.

 

“Mmh ... nggak baper. Biasa aja. Lagian, aku boleh bawa ke rumah sama suamiku.”

 

“Serius? Kamu udah berubah pikiran, Yer?” tanya Jheni sambil menatap Yeriko.

 

“Aku nggak pernah ngelarang dia bawa barang apa pun ke rumah. Dia aja yang punya pemikiran sendiri,” sahut Yeriko.

 

“Hahaha. Kamu, Yun ... masih o’on aja!” Jheni menoyor kepala Yuna.

 

Yuna memonyongkan bibirnya.

 

“Dia kalo di kantor, ngurusin kerjaan pinter dan cekatan. Tapi kalo soal kayak gini, kenapa nggak pinter?” tanya Icha.

 

“Hahaha. Curiga otaknya ditinggal di kantor?” sahut Jheni.

 

“Kalian kalo ngolok aku seneng banget ya!?” dengus Yuna.

 

“Kamu juga sama, pengolokan!” sahut Jheni.

 

“Hahaha.”

 

Mereka bertiga terus bercanda dan tertawa bersama. Merasa seperti tak ada orang lain selain mereka bertiga. Sementara, Yeriko dan dua sahabatnya berbincang serius soal pekerjaan.

 


((Bersambung....))

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas