“Chan, makasih ya udah tolongin aku!” tutur Amara lirih.
“Umh.” Chandra mengangguk.
“Kenapa kamu masih peduli banget sama aku?”
“Karena aku nggak bisa lihat perempuan disakiti.”
“Kamu masih cinta sama aku kan?” tanya Amara. “Apa kita
nggak bisa memperbaiki hubungan kita kayak dulu lagi?”
“Hubungan kita cuma ada di masa lalu.”
“Nggak mungkin. Aku tahu kamu masih cinta sama aku.
Setiap kali aku salah jalan. Kamu yang selalu menarik aku buat kembali dan
memperbaiki semuanya. Kenapa sekarang kamu malah nggak mau memperbaiki hubungan
kita?”
“Hubungan kita cuma bisa jadi masa lalu.”
“Chan, kita masih bisa memperbaiki semuanya kan?”
Chandra tersenyum kecil. “Semuanya sudah terlambat. Kamu
sudah nikah sama Harry. Aku nggak mungkin ...”
“Aku bisa cerai dari Harry sekarang juga.”
“Nggak perlu. Sekalipun kamu sudah berpisah sama Harry.
Kita tetap nggak bisa kembali kayak dulu lagi.”
“Kenapa? Apa karena sudah ada Jheni di hati kamu?”
Chandra tidak menjawab. “Lebih baik kamu pulang. Aku
panggilkan taksi buat kamu.”
“Nggak bisa, Chan. Kalo aku pulang, Harry bakal nyakitin
aku lagi.”
“Pulanglah ke rumah orang tuamu! Aku rasa dia nggak akan
berani nyakitin kamu di sana.” Chandra melangkah pergi meninggalkan Amara yang
terisak seorang diri.
Chandra melangkahkan kakinya keluar dari restoran. Ia
menghentikan langkahnya saat melihat anting mutiara yang tergeletak di lantai.
Ia memungut anting-anting itu perlahan. Menggenggamnya erat dan bergegas
melangkah menuju parkiran.
Chandra melajukan mobilnya menuju ke rumah Jheni. Ia
langsung berlari keluar dari mobil begitu sampai di depan rumah Jheni.
“Jhen!” panggil Chandra sambil mengetuk pintu rumah
Jheni.
Hening.
“Jheni ...!” panggil Chandra lagi.
Hening.
Sepuluh menit berlalu.
“Jhen, aku tahu kamu di dalam. Aku ke sini buat minta
maaf karena sudah mengabaikan kamu.” Chandra menempelkan keningnya ke pintu.
“Jhen ... maafin aku!”
Hening.
Chandra berbalik dan menyandarkan kepalanya ke pintu.
Tubuhnya merosot ke lantai. Perasaannya tak karuan. Ia tidak mengerti bagaimana
membujuk Jheni.
Selama ini, Jheni yang selalu menghiburnya. Menemaninya
melakukan banyak hal. Ia baru menyadari keberadaan Jheni, saat gadis itu tak
pernah lagi muncul di hadapannya dengan senyuman hangatnya.
Selama satu jam menunggu, Jheni tak kunjung membukakan
pintu untuk Chandra. Chandra melirik arloji di tangannya yang sudah menunjukkan
jam dua belas malam
“Mungkin, dia memang sudah tidur,” gumam Chandra. Ia
meninggalkan rumah Jheni dengan langkah yang begitu berat.
...
Waktu berlalu begitu saja... Jheni lebih banyak
menghabiskan waktunya di dalam rumah.
Yuna yang mulai khawatir dengan Jheni, meluangkan banyak
waktunya datang untuk menghibur sahabatnya tersebut.
“Jhen, Chandra beneran nggak ada datang ke sini atau
nelpon kamu gitu?” tanya Yuna.
Jheni menggelengkan kepala. “Udahlah, Yun. Nggak usah
bahas dia lagi. Mungkin, dia lebih bahagia sama Amara.”
“Hmm ... ya udah. Yakin, kamu nggak papa?”
“Aku nggak papa,” jawab Jheni sambil tersenyum manis. “Oh
ya, gimana program kehamilan kamu? Masih konsumsi obat herbal terus?”
“Udah nggak, Jhen. Kondisi rahimku udah normal. Mudahan,
akhir bulan ini udah isi. Doain ya!”
“Aku pasti doain dong buat kamu.”
Yuna meringis menatap Jheni. “Makasih, Sayangku!”
Jheni mengerutkan hidungnya sambil tersenyum.
“Jalan yuk!” ajak Yuna.
“Ke mana?”
“Ke SCP yuk! Naik roller coaster,” ajak Yuna.
“Mmh ... ide bagus! Ajak Icha juga!” pinta Jheni.
“Oke.” Yuna langsung menelepon Icha untuk pergi
bersamanya.
“Icha bisa?” tanya Jheni.
“Bisa.”
“Kamu nggak ajak Yeriko?”
Yuna menggelengkan kepala. “Kalau aku sama Icha bawa
pasangan. Kasihan kamunya, ntat baper lagi. Pokoknya, hari ini khusus kita
jalan bertiga aja.”
“Kamu udah izin sama suami kamu?”
“Udah, dong.”
“Ya udah, siap-siap yuk!”
Yuna mengangguk. Mereka bergegas pergi ke taman hiburan
dan bertemu dengan Icha di taman hiburan tersebut.
“Yun, katanya mau naik roller coaster?” tanya Jheni
begitu mereka sampai dan Yuna hanya duduk santai.
“Kalian berdua aja!” pinta Yuna.
“Takut?” tanya Jheni.
Yuna menggeleng. “Aku lagi program hamil. Nggak berani
macem-macem. Kalian berdua aja ya!”
“Mmh ... ya udah kalo gitu. Tunggu sini ya!” Icha
langsung menyeret lengan Jheni menaiki wahana roller coaster.
Sementara, Yuna hanya menatap dua sahabatnya dari
kejauhan. Ia terus tersenyum melihat kebahagiaan kedua sahabatnya itu.
Beberapa menit kemudian, Jheni dan Icha sudah kembali
menghampiri Yuna.
“Gimana? Asyik?” tanya Yuna.
“Hmm ... puas!” seru Jheni sambil merentangkan kedua
tangannya.
Icha dan Yuna saling pandang, kemudian menyunggingkan
senyum bersama. Mereka ikut bahagia melihat Jheni yang sudah kembali ceria.
Setidaknya, Jheni bisa melupakan masalah yang sedang dihadapinya.
“Kalian laper nggak?” tanya Yuna. “Cari makan yuk!”
“Ayo!” sahut Icha dan Jheni bersamaan.
Mereka bergegas menuju salah satu kedai makanan.
“Yun, kamu bilang pesta pernikahan kamu bulan Juli.
Sebentar lagi dong?” tanya Jheni dengan mulut penuh makanan.
“Mmh ... Mama Rully belum ngabarin tanggal pastinya.”
“Kamu enak banget sih, mau nikahan tapi nggak ikut repot.
Enak banget punya mamer kayak Tante Rully,” tutur Icha.
Yuna mengerutkan hidungnya sambil tersenyum bahagia.
“Kalian berdua harus dateng di acara nikahan aku loh ya! Awas nggak dateng!
Mulai dari persiapan acara, sampai cuci piring!” pinta Yuna.
“Suami kamu kan orang kaya. Kenapa nyuruh kita cuci
piring?” sahut Jheni.
“Eh, sebagai sahabat, kalian harus menunjukkan ketulusan
kalian di acara penting sahabat kalian sendiri.”
“Nggak gitu juga kali, Yun. Yeriko kan bisa bayar orang.
Kenapa harus kita?”
“Hehehe. Bercanda, Jhen. Kamu sensi banget sekarang.”
Jheni mencebik ke arah Yuna. “Oh ya, aku pengen ke rumah
orang tuaku.”
“Kamu yakin?”
Jheni menganggukkan kepala. “Aku perlu menenangkan diri
dulu, Yun. Lagian, udah lama aku nggak nengokin mereka juga.”
“Mmh ... kapan mau berangkat ke sana?”
“Minggu depan.”
“Balik ke sininya kapan?”
“Belum tahu. Tergantung suasana hati.”
“Kamu yakin mau ninggalin aku sendirian di sini?”
“Kamu udah punya suami. Lagian, kita masih bisa teleponan
setiap malam.”
“Iya, tapi kan ...” Yuna menghentikan ucapannya saat
mendengar ponsel Jheni tiba-tiba berdering.
“Halo ...!” sapa Jheni begitu ia menjawab panggilan
telepon. “Di mana? ... Sekarang? ... Oke.” Jheni langsung mematikan panggilan
teleponnya.
“Siapa, Jhen?” tanya Yuna penasaran.
“Amara.”
“Hah!? Ngapain dia nelepon kamu?”
“Ngajak ketemuan.”
“Di mana?”
“Di bar.” Jheni langsung bangkit dari tempat duduknya.
“Aku ikut kamu!” pinta Yuna. Perasaannya tidak enak. Ia
khawatir kalau Amara akan melakukan sesuatu terhadap Jheni.
“Aku juga ikut!” seru Icha.
Mereka bertiga bergegas pergi menuju tempat yang telah
disepakati.
“Jhen, kamu yakin kalau Amara nggak akan berniat jahat
sama kamu?” tanya Yuna.
Jheni tertawa kecil. “Emangnya aku udah ngapain dia? Dia
nggak punya alasan buat ganggu aku. Toh, si Chandra juga udah balik sama dia.”
“Kamu beneran mau ngelepasin Chandra gitu aja?” tanya
Yuna.
“Mmh ... aku nggak punya alasan buat pertahankan dia
lagi.”
“Oke.
Aku hargai keputusan kamu. Semoga aja, kamu bisa dapetin cowok yang lebih baik
dan menyayangi kamu apa adanya, Jhen.”
Jheni mengangguk sambil tersenyum kecut. Ia sendiri tidak
yakin dengan perasaannya saat ini. Di saat ia merasa Chandra telah memberikan
hati untuknya, di saat itu juga masa lalu Chandra menghantui hubungan mereka.
Ia tidak ingin menjalin hubungan dalam bayang-bayang Amara. Mungkin, pergi jauh
adalah satu-satunya jalan terbaik yang bisa ia pilih.
(( Bersambung ... ))

0 komentar:
Post a Comment