“Yun, kamu nggak boleh minum alkohol!” pinta Yeriko.
Yuna menggelengkan kepala. “Aku minum jus, Sayangku,”
sahut Yuna sambil tersenyum menatap Yeriko.
“Bagus.” Yeriko langsung mengecup bibir Yuna dan menarik
tubuh istrinya ke dalam pelukannya.
“Astaga! Kalian ini bikin pengen aja,” celetuk Lutfi. Ia
ikut memeluk Icha yang duduk di sampingnya.
Jheni yang duduk di samping Icha, langsung menatap kesal
dua pasang sahabat yang sengaja bermesraan di depannya. Ia menuang wine ke
dalam sloki dan terus meminumnya.
“Kalian bener-bener nggak punya perasaan,” celetuk Jheni.
Yuna tertawa kecil. “Jhen, karena kami punya perasaan
makanya punya pasangan.”
Jheni tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Kalo gitu, aku yang nggak punya perasaan,” tuturnya lirih.
Lutfi tertawa kecil sambil menemani Jheni minum. “Bukan
kamu yang nggak punya perasaan, tapi dia.”
“Ah, betul, betul. Dia emang nggak punya perasaan!” seru
Jheni yang mulai mabuk.
Lutfi tertawa kecil. Ia menoleh ke arah Chandra yang
duduk di sampingnya. “Kamu tahu orang yang dia maksud siapa?” bisik Lutfi di
telinga Chandra.
Chandra bergeming. Ia tak menjawab pertanyaan Lutfi.
Perasaannya kini semakin tak karuan. Ia tidak mampu mengabaikan Amara, juga
tidak ingin melepaskan Jheni begitu saja.
“Yun, kamu harus temenin aku minum malam ini!” pinta
Jheni sambil menyodorkan gelas berisi wine ke hadapan Yuna.
Yeriko langsung menyambar gelas dari tangan Jheni. “Yuna
nggak minum alkohol. Biar aku yang wakilin dia!”
Jheni tertawa sambil menatap Yeriko. “Kamu memang pria
pemberani dan bertanggung jawab.” Jheni menjatuhkan kepalanya ke atas meja.
“Kapan aku bisa ketemu sama cinta sejatiku?”
Jheni mengangkat kepalanya kembali. “Aku udah berusaha
jadi baik, pengertian dan selalu melayani dia dengan baik. Kenapa dia masih
nggak lihat aku? Setiap pagi buatkan sarapan, nemenin dia cerita, dampingi ke
acara-acara penting. Tapi, aku nggak lebih dari sekedar teman,” ceracau Jheni.
Semua mata langsung tertuju pada Chandra.
“Aargh ...! Kenapa nasibku menyedihkan? Apa lebih baik
pulang ke rumah orang tuaku. Nerima dijodohkan, menikah sama cowok yang nggak
aku cintai dan melahirkan anak. Kayak kamu!” tutur Jheni sambil menunjuk Yuna.
“Asal cowok itu baik dan sayang sama aku, sepertinya aku bisa hidup tenang dan
bahagia.” Jheni terus berbicara dengan dirinya sendiri.
Chandra tidak tahan lagi mendengar semua ucapan yang
keluar dari mulut Jheni. Ia bangkit dan langsung menarik lengan Jheni.
“Kamu siapa?” tanya Jheni sambil memicingkan mata menatap
Chandra.
Chandra tertegun menatap Jheni. “Kamu mabuk, ayo pulang!”
“Aku nggak mabuk!” sahut Jheni. “Kamu bukan
siapa-siapaku, nggak usah urusin aku!”
Chandra tidak memperdulikan ucapan Jheni. Ia menarik
tubuh Jheni dan ingin membawanya keluar dari restoran.
“Aku nggak mau pulang!” seru Jheni. Ia enggan beranjak
dari tempat duduknya.
Amara ikut bangkit begitu melihat Chandra mendekati
Jheni. Namun, Yuna dengan cepat menahan Amara agar tidak mengganggu Chandra dan
Jheni.
“Jhen, aku antar kamu pulang sekarang!” pinta Chandra
sambil memapah Jheni perlahan.
“Nggak perlu. Aku bisa pulang sendiri.” Jheni mendorong
tubuh Chandra. “Kamu ngapain sih masih peduli sama aku? Kamu udah balik sama
Amara. Buat apa ngurusin aku lagi? Urus aja tunangan kamu itu!” sentak Jheni.
Ia berjalan sempoyongan sambil merambat di dinding.
“Aku nggak balikan sama Amara,” tutur Chandra.
Jheni tersenyum sinis menatap Chandra. “Iya, sekarang!
Nggak tahu besok?” sahutnya kesal. “Kalo emang kamu nggak balikan sama dia.
Buat apa kamu bawa dia ke sini, hah!?” Jheni menatap benci ke arah Chandra.
Chandra tak menjawab pertanyaan Jheni.
“Kenapa nggak jawab? Kamu mau ngasih tahu semua orang
kalau tunangan kamu udah kembali? Aku bukan siapa-siapa. Nggak bisa
dibandingkan sama tunangan kamu itu.” Jheni melangkah pergi meninggalkan
Chandra.
“Aargh ...!” teriak Chandra dalam hati sambil memukul
tembok di sampingnya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan pada Jheni tentang
perasaannya saat ini. Ia mengenal Jheni sebagai wanita yang penuh pengertian,
kini dialah yang membuat Jheni menjauh.
“Amara ...!” teriak Harry yang tiba-tiba muncul ke
restoran tersebut.
Semua mata langsung memandang ke arah Harry, termasuk
Jheni yang baru saja ingin menjangkau pintu restoran untuk keluar.
Harry langsung menghampiri Amara dan menyeret tubuh
wanita itu.
“Lepasin, Har!” pintanya sambil merintih kesakitan.
“Kamu ingat nggak kamu ini siapa, hah!? Kamu istri aku.
Masih aja kecentilan jalan sama mantan tunangan kamu itu!” sentak Harry.
“Chandra, tolongin aku!” pinta Amara sambil menangis.
PLAK ...!
Telapak tangan Harry langsung mendarat di pipi Amara.
“Aku ini suami kamu. Kamu sama sekali nggak nganggap aku!?” sentak Harry.
Chandra langsung merebut tubuh Amara dari lengan Harry
begitu melihat Harry melakukan kekerasan fisik terhadap Amara.
“Oh ... kamu masih cinta sama istriku, hah!? Mau lindungi
dia?”
“Aku ngelindungi dia bukan karena cinta. Kamu sudah
keterlaluan sama istri kamu sendiri!” sahut Chandra.
“Kamu nggak usah ikut campur urusan rumah tangga orang
lain. Dia istriku, aku punya hak buat ngatur dia.”
“Aku nggak akan biarin kamu mukul dia!” tegas Chandra.
“Oh ... jadi, kamu emang mau ngambil istriku lagi.
Emangnya nggak ada perempuan lain lagi sampai mau selingkuh sama istri orang?”
Chandra mengepalkan tangan, ia menatap wajah Harry
berapi-api. Dengan cepat, ia melayangkan kepalan tangannya ke wajah Harry
hingga Harry tersungkur ke lantai.
“Bangsat kamu, Chan!” Harry bangkit dan berusaha
menyerang Chandra balik.
Chandra bisa menahan serangan Harry dengan mudah. Ia
kembali memukuli Harry. Mereka berdua bergulat di lantai. “Pergi dari sini!”
sentak Chandra sambil menendang tubuh Harry.
“Awas kamu, Chan! Aku pasti bales ini semua!” tutur Harry
sambil bangkit dan bergegas pergi meninggalkan restoran.
“Coba aja kalo berani!” seru Chandra. Ia langsung menoleh
ke arah Amara yang berdiri tak jauh darinya. “Kamu nggak papa?” tanya Chandra.
Amara mengangguk kecil sambil menundukkan kepala.
Tangannya masih terus memegangi pipinya yang terasa perih setelah mendapat
tamparan keras dari Harry. “Makasih, udah nolongin aku,” tuturnya lirih.
Chandra mengangguk kecil. Ia mengajak Amara kembali duduk
dan memberinya segelas air putih.
Jheni menatap Chandra dari kejauhan. Air matanya jatuh
saat melihat Chandra masih begitu perhatian kepada Amara. Hatinya begitu sakit,
sangat sakit. Setelah sekian lama ia menanti, justru harus berakhir dengan
kepedihan.
Jheni melangkah keluar dari restoran. Ia melepas kedua
anting mutiara yang melekat di telinganya dan membuangnya begitu saja.
“Yer, kita kejar Jheni!” pinta Yuna. Ia langsung berlari
keluar mengejar Jheni. Ia merasa, Chandra benar-benar tidak berguna untuk
sahabatnya.
Lutfi dan Yeriko hanya menoleh ke arah Chandra yang masih
bersama Amara dan melewatkannya begitu saja. Mereka semua tidak setuju dengan
apa yang dilakukan Chandra. Tidak seharusnya Chandra lebih memperdulikan Amara
daripada Jheni yang jelas-jelas hatinya sedang terluka.
Chandra terpaku menatap punggung sahabat-sahabatnya yang
berlalu perlahan. Ia tahu, ia tidak seharusnya membiarkan Jheni tersakiti.
Tapi, ia juga tidak bisa membiarkan Amara dalam keadaan terluka.
Chandra memijat keningnya yang berdenyut. “Kenapa Yeriko
bisa begitu tegas sama Refi, kenapa aku nggak bisa tegas sama Amara?” batinnya
dalam hati. Ia merasa, dirinya begitu buruk karena tak sanggup menyingkirkan
Amara begitu saja.
(( Bersambung ... ))
Chandra ngeselin, kan? Harus dihukum!

0 komentar:
Post a Comment