Thursday, May 22, 2025

Perfect Hero Bab 231 - Bimbang || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yun, kamu nggak boleh minum alkohol!” pinta Yeriko.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku minum jus, Sayangku,” sahut Yuna sambil tersenyum menatap Yeriko.

 

“Bagus.” Yeriko langsung mengecup bibir Yuna dan menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya.

 

“Astaga! Kalian ini bikin pengen aja,” celetuk Lutfi. Ia ikut memeluk Icha yang duduk di sampingnya.

 

Jheni yang duduk di samping Icha, langsung menatap kesal dua pasang sahabat yang sengaja bermesraan di depannya. Ia menuang wine ke dalam sloki dan terus meminumnya.

 

“Kalian bener-bener nggak punya perasaan,” celetuk Jheni.

 

Yuna tertawa kecil. “Jhen, karena kami punya perasaan makanya punya pasangan.”

 

Jheni tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Kalo gitu, aku yang nggak punya perasaan,” tuturnya lirih.

 

Lutfi tertawa kecil sambil menemani Jheni minum. “Bukan kamu yang nggak punya perasaan, tapi dia.”

 

“Ah, betul, betul. Dia emang nggak punya perasaan!” seru Jheni yang mulai mabuk.

 

Lutfi tertawa kecil. Ia menoleh ke arah Chandra yang duduk di sampingnya. “Kamu tahu orang yang dia maksud siapa?” bisik Lutfi di telinga Chandra.

 

Chandra bergeming. Ia tak menjawab pertanyaan Lutfi. Perasaannya kini semakin tak karuan. Ia tidak mampu mengabaikan Amara, juga tidak ingin melepaskan Jheni begitu saja.

 

“Yun, kamu harus temenin aku minum malam ini!” pinta Jheni sambil menyodorkan gelas berisi wine ke hadapan Yuna.

 

Yeriko langsung menyambar gelas dari tangan Jheni. “Yuna nggak minum alkohol. Biar aku yang wakilin dia!”

 

Jheni tertawa sambil menatap Yeriko. “Kamu memang pria pemberani dan bertanggung jawab.” Jheni menjatuhkan kepalanya ke atas meja. “Kapan aku bisa ketemu sama cinta sejatiku?”

 

Jheni mengangkat kepalanya kembali. “Aku udah berusaha jadi baik, pengertian dan selalu melayani dia dengan baik. Kenapa dia masih nggak lihat aku? Setiap pagi buatkan sarapan, nemenin dia cerita, dampingi ke acara-acara penting. Tapi, aku nggak lebih dari sekedar teman,” ceracau Jheni.

 

Semua mata langsung tertuju pada Chandra.

 

“Aargh ...! Kenapa nasibku menyedihkan? Apa lebih baik pulang ke rumah orang tuaku. Nerima dijodohkan, menikah sama cowok yang nggak aku cintai dan melahirkan anak. Kayak kamu!” tutur Jheni sambil menunjuk Yuna. “Asal cowok itu baik dan sayang sama aku, sepertinya aku bisa hidup tenang dan bahagia.” Jheni terus berbicara dengan dirinya sendiri.

 

Chandra tidak tahan lagi mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut Jheni. Ia bangkit dan langsung menarik lengan Jheni.

 

“Kamu siapa?” tanya Jheni sambil memicingkan mata menatap Chandra.

 

Chandra tertegun menatap Jheni. “Kamu mabuk, ayo pulang!”

 

“Aku nggak mabuk!” sahut Jheni. “Kamu bukan siapa-siapaku, nggak usah urusin aku!”

 

Chandra tidak memperdulikan ucapan Jheni. Ia menarik tubuh Jheni dan ingin membawanya keluar dari restoran.

 

“Aku nggak mau pulang!” seru Jheni. Ia enggan beranjak dari tempat duduknya.

 

Amara ikut bangkit begitu melihat Chandra mendekati Jheni. Namun, Yuna dengan cepat menahan Amara agar tidak mengganggu Chandra dan Jheni.

 

“Jhen, aku antar kamu pulang sekarang!” pinta Chandra sambil memapah Jheni perlahan.

 

“Nggak perlu. Aku bisa pulang sendiri.” Jheni mendorong tubuh Chandra. “Kamu ngapain sih masih peduli sama aku? Kamu udah balik sama Amara. Buat apa ngurusin aku lagi? Urus aja tunangan kamu itu!” sentak Jheni. Ia berjalan sempoyongan sambil merambat di dinding.

 

“Aku nggak balikan sama Amara,” tutur Chandra.

 

Jheni tersenyum sinis menatap Chandra. “Iya, sekarang! Nggak tahu besok?” sahutnya kesal. “Kalo emang kamu nggak balikan sama dia. Buat apa kamu bawa dia ke sini, hah!?” Jheni menatap benci ke arah Chandra.

 

Chandra tak menjawab pertanyaan Jheni.

 

“Kenapa nggak jawab? Kamu mau ngasih tahu semua orang kalau tunangan kamu udah kembali? Aku bukan siapa-siapa. Nggak bisa dibandingkan sama tunangan kamu itu.” Jheni melangkah pergi meninggalkan Chandra.

 

“Aargh ...!” teriak Chandra dalam hati sambil memukul tembok di sampingnya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan pada Jheni tentang perasaannya saat ini. Ia mengenal Jheni sebagai wanita yang penuh pengertian, kini dialah yang membuat Jheni menjauh.

 

“Amara ...!” teriak Harry yang tiba-tiba muncul ke restoran tersebut.

 

Semua mata langsung memandang ke arah Harry, termasuk Jheni yang baru saja ingin menjangkau pintu restoran untuk keluar.

 

Harry langsung menghampiri Amara dan menyeret tubuh wanita itu.

 

“Lepasin, Har!” pintanya sambil merintih kesakitan.

 

“Kamu ingat nggak kamu ini siapa, hah!? Kamu istri aku. Masih aja kecentilan jalan sama mantan tunangan kamu itu!” sentak Harry.

 

“Chandra, tolongin aku!” pinta Amara sambil menangis.

 

 

 

PLAK ...!

 

Telapak tangan Harry langsung mendarat di pipi Amara. “Aku ini suami kamu. Kamu sama sekali nggak nganggap aku!?” sentak Harry.

 

Chandra langsung merebut tubuh Amara dari lengan Harry begitu melihat Harry melakukan kekerasan fisik terhadap Amara.

 

“Oh ... kamu masih cinta sama istriku, hah!? Mau lindungi dia?”

 

“Aku ngelindungi dia bukan karena cinta. Kamu sudah keterlaluan sama istri kamu sendiri!” sahut Chandra.

 

“Kamu nggak usah ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Dia istriku, aku punya hak buat ngatur dia.”

 

“Aku nggak akan biarin kamu mukul dia!” tegas Chandra.

 

“Oh ... jadi, kamu emang mau ngambil istriku lagi. Emangnya nggak ada perempuan lain lagi sampai mau selingkuh sama istri orang?”

 

Chandra mengepalkan tangan, ia menatap wajah Harry berapi-api. Dengan cepat, ia melayangkan kepalan tangannya ke wajah Harry hingga Harry tersungkur ke lantai.

 

“Bangsat kamu, Chan!” Harry bangkit dan berusaha menyerang Chandra balik.

 

Chandra bisa menahan serangan Harry dengan mudah. Ia kembali memukuli Harry. Mereka berdua bergulat di lantai. “Pergi dari sini!” sentak Chandra sambil menendang tubuh Harry.

 

“Awas kamu, Chan! Aku pasti bales ini semua!” tutur Harry sambil bangkit dan bergegas pergi meninggalkan restoran.

 

“Coba aja kalo berani!” seru Chandra. Ia langsung menoleh ke arah Amara yang berdiri tak jauh darinya. “Kamu nggak papa?” tanya Chandra.

 

Amara mengangguk kecil sambil menundukkan kepala. Tangannya masih terus memegangi pipinya yang terasa perih setelah mendapat tamparan keras dari Harry. “Makasih, udah nolongin aku,” tuturnya lirih.

 

Chandra mengangguk kecil. Ia mengajak Amara kembali duduk dan memberinya segelas air putih.

 

Jheni menatap Chandra dari kejauhan. Air matanya jatuh saat melihat Chandra masih begitu perhatian kepada Amara. Hatinya begitu sakit, sangat sakit. Setelah sekian lama ia menanti, justru harus berakhir dengan kepedihan.

 

Jheni melangkah keluar dari restoran. Ia melepas kedua anting mutiara yang melekat di telinganya dan membuangnya begitu saja.

 

“Yer, kita kejar Jheni!” pinta Yuna. Ia langsung berlari keluar mengejar Jheni. Ia merasa, Chandra benar-benar tidak berguna untuk sahabatnya.

 

Lutfi dan Yeriko hanya menoleh ke arah Chandra yang masih bersama Amara dan melewatkannya begitu saja. Mereka semua tidak setuju dengan apa yang dilakukan Chandra. Tidak seharusnya Chandra lebih memperdulikan Amara daripada Jheni yang jelas-jelas hatinya sedang terluka.

 

Chandra terpaku menatap punggung sahabat-sahabatnya yang berlalu perlahan. Ia tahu, ia tidak seharusnya membiarkan Jheni tersakiti. Tapi, ia juga tidak bisa membiarkan Amara dalam keadaan terluka.

 

Chandra memijat keningnya yang berdenyut. “Kenapa Yeriko bisa begitu tegas sama Refi, kenapa aku nggak bisa tegas sama Amara?” batinnya dalam hati. Ia merasa, dirinya begitu buruk karena tak sanggup menyingkirkan Amara begitu saja.

 

(( Bersambung ... ))

 

Chandra ngeselin, kan? Harus dihukum!

 

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas