Saturday, October 18, 2025

THEN LOVE BAB 57 : BUKAN SALAH WAKTU

 


Waktu begitu cepat berlalu. Banyak hal yang berubah dalam kehidupan. Seperti halnya yang terjadi pada Mahesa Adelfino. Kini, ia menjadi penerus perusahaan papanya.

Hari ini, Mahesa pergi ke salah satu perusahaan rekanannya untuk membicarakan suatu hal. Kamoga Corporation adalah salah satu perusahaan yang bekerjasama dengan Fino Group dalam berbagai bidang usaha.

“Paman Kamoga ada?” sapa Hesa begitu sampai di meja resepsionis.

“Maaf, Pak. Dengan Bapak siapa?” tanya resepsionis itu dengan ramah. Matanya berbinar melihat cowok muda dan tampan dengan setelan jas rapi.

“Mahesa dari Fino Group,” jawab Hesa sambil tersenyum manis menatap resepsionis yang cantik.

“Oke. Sebentar ya, Pak!” pinta resepsionis itu dan langsung menelepon sekretaris Presdir Kamoga Corporation. Ia memberitahukan soal kedatangan Mahesa lalu kembali menutup teleponnya.

“Bapak Kamoga ada di ruangannya di lantai enam,” tutur resepsionis itu pada Mahesa. “Perlu saya antar?” tanyanya sambil tersenyum manis.

“Nggak perlu. Saya bisa ke sana sendiri,” jawab Mahesa sambil mengedipkan matanya ke arah resepsionis itu.

Mahesa memang terkenal sebagai cowok playboy. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda wanita cantik yang ia temui. Ia langsung bergegas menaiki lift menuju kantor Presdir yang ada di lantai enam.

“Bapak Hesa?” sapa sekretaris yang langsung berdiri dari tempat duduknya ketika Mahesa tiba.

Hesa tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Mari ikut saya!” pinta sekretaris tersebut sambil mengantar Mahesa masuk ke dalam ruangan Kamoga.

“Pagi, Paman Kam!” sapa Hesa sambil merangkul Kamoga.

“Pagi, gimana kabar kamu?” tanya Kamoga sambil menatap hangat anak laki-laki yang ada di hadapannya itu.

“Baik, Paman. Paman apa kabar?”

“Baik juga. Silakan duduk!” pinta Kamoga mempersilakan Mahesa untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya.

Mahesa langsung duduk di sofa, berhadapan dengan Kamoga selaku Presiden Direktur dari Kamoga Corporation.

“Waktu cepat sekali berlalu. Rasanya, baru kemarin Paman lihat kamu bermain di taman. Sekarang, kamu sudah jadi penerus perusahaan papa kamu,” tutur Kamoga.

Mahesa tersenyum kecil menanggapi ucapan Kamoga.

“Paman, aku ke sini mau membicarakan masalah kerja sama kita untuk beberapa site yang ada di Kutai Barat dan Sangatta,” tutur Hesa serius.

“Ah, wajah kamu serius banget. Gimana kalo kita bicarain sambil ngopi?” tutur Kamoga.

“Boleh,” jawab Hesa sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Kamoga mengajak Hesa ke kedai kopi yang tak jauh dari kantornya.

“Paman, aku butuh penambahan unit untuk site Sangatta dan Kubar,” tutur Hesa saat mereka sudah duduk di kedai kopi.

“Butuh berapa unit?” tanya Kamoga.

“Mmh ... tapi kali ini kami tidak akan melakukan transaksi pembelian,” tutur Hesa.

Kamoga mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu?”

“Semuanya pakai sistem sewa,” jelas Hesa singkat.

“Oh ... ya, Paman ngerti. Ada masalah dengan unit kamu di sana?”

“Nggak ada. Hanya saja, sulit untuk melakukan maintenance setiap unit karena mekanik kami tidak begitu bagus. Aku rasa, mekanik Paman lebih banyak berpengalaman.”

Kamoga tertawa kecil. “Itu soal gampang. Jadi, mau sewa unit sekaligus perawatannya ditanggung perusahaan kami?”

Hesa menganggukkan kepala. “Operatornya juga dari Paman,” tuturnya.

“Bukannya kamu sudah punya banyak operator?”

“Iya. Tapi, mereka semua sudah pegang unit dan Site Manager menyarankan untuk bekerjasama dengan kontraktor.”

Kamoga mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Besok aku ke sini lagi bawa kontraknya,” tutur Hesa.

Kamoga mengangguk. “Gimana dengan pembangunan hotel?” tanya Kamoga.

“Eh!?”

“Paman dengar-dengar, Papa kamu sedang memulai bisnis hotel dan tempat hiburan?”

Hesa tersenyum mendengar pertanyaan Kamoga. “Semuanya berjalan dengan baik.”

“Bagus. Paman percaya, kamu bisa menangani semuanya dengan baik.”

“Masih dibantu papa,” sahut Hesa.

Kamoga tertawa kecil. “Paman tidak menyangka kalau bisnis papa kamu juga akan merambah ke bidang perhotelan dan hiburan. Dia memang pekerja keras.”

Hesa tersenyum. “Dia udah menyerahkan perusahaan kontruksi dan mining ke aku. Mungkin, beliau masih ingin menjalankan bisnis tanpa bersaing dengan anaknya sendiri.”

“Hahaha.” Kamoga tertawa mendengar ucapan Hesa.

Mereka sibuk membicarakan beberapa bisnis. Perusahaan Kamoga dan Fino group memiliki banyak kerjasama. Banyak hal yang mereka bicarakan ke depannya untuk kemajuan perusahaan mereka.

Hesa tidak hanya sekedar bertanya. Ia juga belajar banyak hal baru dari Paman Kamoga tentang perusahaan yang baru saja ia tangani.

***

Delana berbaring di atas ranjangnya sambil berselancar di internet. Entah kenapa ia merasa akhir-akhir ini terasa membosankan. Ia ingin pergi ke suatu tempat yang sedang hits di dunia maya. Hampir semua tempat wisata yang ada di sini adalah pantai karena kota Balikpapan berada di pesisir pantai.

Delana langsung terbangun saat membaca sebuah artikel yang menyebutkan destinasi wisata yang sedang hits di wilayah Samboja. Salah satu daerah yang berdampingan dengan kota Balikpapan.

“Batu Dinding? Kayaknya keren,” gumam Delana sambil mencari beberapa referensi di Youtube tentang salah satu lokasi wisata yang sedang hits beberapa hari terakhir.

“Wow! Gila! Ini keren!” seru Delana ketika melihat beberapa vlog yang menunjukkan keberadaan Batu Dinding. Batu Dinding terbentuk alami dari alam dengan ketinggian sekitar 150 meter dan panjang sekitar lima ratus meter.

Delana berpikir ulang. Lebar batu yang dipijak kurang dari lima meter, bahkan ada yang hanya berukuran satu meter saja. Kalau ia tergelincir dan jatuh, pasti hidupnya akan langsung berakhir hari itu juga.

Delana menghela napas. “Itu kan tempat wisata. Pastinya udah ada pemandu dan safety-nya juga. Ngapain sih aku khawatir?” tutur Delana pada dirinya sendiri.

“Tapi, kalo mau ke sana mana bisa pake mobil papa. Mobil papa terlalu rendah buat medan yang sulit dan terjal kayak gitu,” ucap Delana. Ia sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri.

Delana mengetuk-ngetuk dagunya. Ia terus berpikir agar bisa pergi ke Batu Dinding tanpa harus mengorbankan mobilnya sendiri. Ayahnya bisa berhenti mengirimkan uang saku kalau sampai ia membuat mobil pribadi ayahnya rusak.

“Aha ... Paman Kam kan punya mobil Strada. Aku pinjam mobilnya aja,” tutur Delana sambil tersenyum ceria.

Delana mengetik nama kontak Paman Kam dan langsung meneleponnya.

“Halo, cantik!” sapa Kamoga begitu panggilan telepon Delana tersambung.

“Halo, Paman. Paman lagi apa?” tanya Delana.

“Lagi di kantor. Tumben telepon Paman. Ada apa?”

“Hehehe. Ini, Paman ...” Delana meringis. Ia sangat berhati-hati membicarakan keinginannya.

“Ada apa? Ngomong aja, nggak usah sungkan begitu!” pinta Kamoga.

“Mmh ... aku mau pinjam mobil Paman, boleh?” tanya Delana pelan.

“Emang mobil kamu ke mana?”

“Mmh ... ada, sih. Tapi, aku pengen ke Batu Dinding. Kalo pake mobilku, nggak bisa masuk karena jalannya lumayan sulit,” tutur Delana dengan gaya manja.

“Oh ... mau pake mobil Paman yang Strada?”

Delana menganggukkan kepala. “Iya, Paman. Boleh?”

“Boleh. Kapan mau dipake?” tanya Kamoga.

“Besok bisa?” tanya Delana.

“Kamu mau jalan besok? Emangnya nggak kuliah?”

“Kuliah. Aku ke sana abis pulang kuliah.”

“Oh, gitu? Ambil aja di kantor besok ya!” perintah Kamoga.

Delana tersenyum senang. “Oke. Makasih banyak ya, Pamanku tercintah!” tutur Delana dengan gaya alay.

Kamoga tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada aja.”

“Hehehe. Ya udah, dilanjut lagi kerjanya! Maaf mengganggu,” tutur Delana.

“Iya.”

Delana langsung menutup teleponnya. Ia merasa sangat senang karena akhirnya bisa pergi jalan-jalan ke suatu tempat yang belum pernah ia kunjungi.

“Mmh ... kalo ke sana sendirian, aman nggak ya? Aku kan cewek,” tutur Delana. Ia menghela napas dan mulai lesu. Sepertinya ia harus berpikir ulang untuk pergi sendiri mengingat medan yang harus dilalui sangat buruk dan juga berada di tengah hutan.

Delana melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Ia mendengar suara ribut di lantai bawah. Suara itu tak asing lagi di telinga Delana. Ia langsung berlari menuruni anak tangga, menghampiri tiga cowok yang sedang asyik menonton televisi sambil menghambur cemilan di atas meja.

“Kalian udah lama di sini?” tanya Delana.

“Udah,” jawab Dhanuar. “Baru bangun tidur?”

Delana tersenyum sambil menatap Dhanuar. Ia kemudian ikut duduk di sofa sambil menatap televisi yang menyala. Delana menatap ketiga cowok itu satu persatu. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Lalu, apa gunanya televisi menyala? Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ketiga saudaranya itu.

“Lan, kamu tahu Batu Dinding nggak?” tanya Delana pada Alan.

“Batu Dinding?” Alan melirik ke langit-langit sebagai tanda berpikir. “Kayaknya pernah dengar.”

“Yang di kilo empat lima itu, Kak?” tanya Bryan.

“Iya,” jawab Delana sambil menganggukkan kepala.

“Oh ... yang katanya kayak Tembok Raksasa China itu ya?” tanya Dhanuar.

“Iya. Tapi, ini batu, Dan nggak sepanjang Tembok Raksasa China juga,” sahut Delana.

“Ya iya, lah. Tapi keren loh itu. Terbentuk alami jadi dinding gitu. Katanya, mahasiswa Geologi dari Pulau Jawa yang pertama kali nemuin tempat itu buat penelitian dan akhirnya terekspose ke luar,” tutur Dhanuar.

“Yang mana sih?” tanya Alan penasaran.

“Search aja di Youtube! Ntar muncul,” jawab Dhanuar.

Alan langsung membuka aplikasi Youtube dan mencari keyword ‘Batu Dinding’ seperti yang disarankan oleh Dhanuar.

“Mmh ... aku rasa bukan mereka yang pertama kali nemuin. Pasti ada warga sekitar yang udah tahu tempat itu lebih dulu. Tapi, mereka nggak ekspose ke dunia luar. Makanya baru terkenal sekarang,” tutur Delana.

“Iya, juga sih,” tutur Dhanuar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kakak senior aku, dia pecinta alam dan udah pernah ke Batu Dinding jauh sebelum tempat itu terkenal. Katanya, dulu tempat itu cuma bisa dimasukin sama pejalan kaki aja. Motor dan mobil nggak bisa masuk. Tapi, kayaknya sekarang udah bisa masuk ke sana,” tutur Bryan.

“Iya.”

“Kayaknya, di Kalimantan ini masih ada banyak surga tersembunyi di dalamnya. Secara, alamnya tuh masih asri karena belum banyak tersentuh sama manusia,” tutur Dhanuar.

“Iya. Ini keren!” seru Alan sambil melihat video Batu Dinding yang ada di Youtube. “Kayaknya asyik camping di sini.”

“Aku rencananya gitu. Kalian mau ikut?” tanya Delana menatap Dhanuar dan kedua adiknya.

Bryan, Dhanuar dan Alan saling pandang.

“Mau!” jawab Dhanuar dan Alan bersamaan.

“Kapan, Kak?” tanya Bryan.

“Besok gimana?”

“Emang nggak kuliah?”

“Kuliah. Abis pulang kuliah, kita ke sana. Gimana?”

“Mendadak banget, emang Kakak punya tenda buat camping?” tanya Bryan.

“Punya,” jawab Delana sambil tersenyum.

Bryan menatap Dhanuar dan Alan. “Mereka?”

“Kita satu tenda juga nggak papa,” sahut Alan sambil meringis.

“Huu ... maunya! Besok beli tenda, gih!” pinta Delana.

“Beli di mana?” tanya Alan.

“Di toko bangunan!” sahut Delana sambil melotot.

“Serius aku nanya. Aku nggak pernah beli tenda begituan. Mana tahu belinya di mana,” tutur Alan.

“Nanti aku pesenin sama temenku, Kak,” tutur Bryan.

“Temenmu ada yang jual?”

“Kakaknya temenku itu pecinta alam. Dan kayaknya jual alat-alat kayak gitu,” jawab Bryan.

“Oke. Cepet pesenin ya!” pinta Alan.

Bryan menganggukkan kepala.

“Kita bertiga satu tenda aja,” tutur Dhanuar.

“Aku nggak bisa ikut, Kak,” tutur Bryan.

“Loh? Kenapa? Bukannya besoknya hari minggu, libur kan?” tanya Alan.

“Iya. Tapi aku ada ujian karate hari Minggu,” jawab Bryan.

“Oh. Jadi, kamu nggak bisa ikut dong?” tanya Delana memasang wajah kecewa.

“Aku ikut lain kali, Kak. Lagian, aku juga udah pernah ke sana,” tutur Bryan.

“Hah!? Serius!? Kapan kamu perginya? Kenapa Kakak nggak tau?” tanya Delana.

“Ke sana cuma sebentar. Diajak mampir sama guruku waktu kami silaturahmi sama perguruan pencak silat yang ada di Samboja.”

“Oh ... yang waktu itu?” tanya Delana.

Bryan tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Ya udah. Kita bertiga aja ke sana. Gimana?” tanya Delana.

“Boleh,” jawab Alan dan Dhanuar sambil menganggukkan kepala.

“Besok aku ke kantor papa kamu buat pinjam mobil Strada,” tutur Delana menatap Dhanuar.

“Eh!? Pake Porsche aku nggak bisa?” tanyanya iseng.

“Mau pake itu? Kalo hancur, aku nggak nanggung,” sahut Delana.

“Hahaha.” Dhanuar dan Alan tertawa menanggapi ucapan Delana.

“Mau kuantar ke kantor Papa?” tanya Dhanuar.

“Nggak usah. Kalian siapin aja keperluan buat camping!” pinta Delana.

“Apa aja?” tanya Alan.

“Catet! Jangan sampe ada yang ketinggalan!” pinta Delana.

“Nggak ada buku sama pulpen!” protes Alan.

“Catet di hapemu kan bisa,” sahut Delana ketus.

Alan menghela napas. Ia langsung membuka aplikasi note di ponselnya dan bersiap mengetik catatan keperluan yang harus mereka siapkan.

“Yang pertama, tenda,” tutur Delana.

“Hmm ... terus?” tanya Alan sambil mengetik di ponselnya.

“Bantal, selimut, baju ganti.”

“Terus?”

“Panci kecil buat masak. Bawa beras sedikit aja sama mie instan.”

“Nggak bawa kompor?” tanya Alan.

“Nggak usah, ribet. Bikin api aja di sana pake kayu bakar,” sahut Delana.

“Hmm ... apa lagi?” tanya Alan.

“Cemilan yang banyak!” pinta Delana.

“Emang bisa bawa barang sebanyak ini?” tanya Dhanuar.

“Kita bawa mobil. Ngapain bingung sih!?”

“Hmm ... iya, iya.”

“Oh ya, jangan lupa bawa cabai, garam, bawang merah sama bawang putih. Gula, kopi sama teh juga jangan lupa!” tutur Delana.

Alan menghela napas. “Kayaknya yang ini wilayahmu, deh!” tuturnya sambil menatap Delana.

“Eh!?” Delana mengangkat kedua alisnya.

“Keperluan dapur kayak gini kan wilayahmu. Kita siapin yang lain yang kira-kira ribet. Kayak tenda, selimut, handuk dan yang berat-berat. Kalo soal bumbu-bumbu mah urusan kamu. Kita cowok mana ngerti,” cerocos Alan.

“Iih ... iya, nanti aku yang siapin. Tapi, kamu catet aja semuanya dulu. Biar akunya juga nggak lupa. Kamu juga harus ngingetin aku biar nggak ada barang yang ketinggalan pas udah sampe di sana,” sahut Delana.

“Oh gitu? Siap bos!” tutur Alan. “Ada lagi nggak, nih?” tanyanya lagi.

“Bentar. Aku masih mikir. Apa lagi ya, Dek?” tanya Delana pada Bryan.

“Gelas sama piringnya jangan lupa! Ntar makan sama minum pake apa?” sahut Bryan.

Delana tergelak. “Iya. Catet tuh, Lan!” perintah Delana pada Alan.

“Siap, Bu Bos!” sahut Alan.

Delana tersenyum senang karena akhirnya Dhanuar dan Alan bersedia menemaninya pergi ke Batu Dinding. Yah, setidaknya ia tak perlu khawatir karena ia tahu keduanya akan menjaganya dengan baik.

***

Sesuai dengan janjinya, hari ini Hesa datang ke perusahaan Paman Kam untuk melakukan penanda tanganan kontrak kerja baru.

“Pak Kam ada?” tanya Hesa pada petugas resepsionis.

“Sebentar, Pak.” Resepsionis itu langsung menelepon Sekretaris Presdir untuk memberitahukan kedatangan Hesa. Ia langsung mengenali cowok tampan yang datang di hari sebelumnya.

“Maaf, Pak. Bapak diminta untuk menunggu sebentar karena Pak Kam masih ada tamu,” tutur petugas resepsionis.

“Oke,” sahut Hesa sambil menyandarkan tubuhnya ke meja resepsionis.

Resepsionis cantik itu terus menatap Hesa. Ia sampai tak berkedip melihat cowok ganteng dan kaya yang ada di hadapannya.

Hesa tersenyum kecil sambil melirik resepsionis yang ada di sampingnya. Ia langsung memutar tubuhnya menghadap meja resepsionis dan tersenyum manis.

Resepsionis cantik itu terlihat salah tingkah ketika Hesa balas menatapnya. Sebagai seorang cowok playboy, naluri untuk menggoda selalu muncul setiap kali melihat perempuan cantik di dekatnya.

“Hai ...!” sapa Hesa. Ia mulai melancarkan aksinya karena bosan menunggu.

Resepsionis cantik itu hanya tersenyum.

“Udah lama kerja di sini?” tanya Hesa.

“Udah, Pak,” jawab resepsionis itu.

“Kok baru lihat ya?”

“Mmh ... baru dua tahun kerja, Pak.”

“Dua tahun? Lumayan lama juga. Dua tahun jadi resepsionis?” tanya Hesa.

Resepsionis cantik itu menganggukkan kepala.

“Mau sampe kapan jadi resepsionis?” tanya Hesa. “Jadi direktur mau nggak?” bisik Hesa pelan.

“Hah!? Maksudnya?”

“Jadi direktur,” tutur Hesa sambil memainkan alisnya.

“Ah, nggak mungkin, Pak. Saya cuma lulusan SMA,” sahut resepsionis itu sambil tersenyum malu.

“Mungkin aja. Asal kamu mau nikah sama Pak Direktur,” bisik Hesa sambil tersenyum.

“Ah, Bapak ada-ada aja.”

“Kok, panggil Bapak? Emang aku kelihatan kayak bapak-bapak?”

“Eh!? Anu, Pak.”

“Panggil Mas aja!” pinta Hesa.

“Maaf, Pak. Rasanya nggak sopan kalo panggil Bapak dengan sebutan itu.”

Hesa tertawa kecil. “Kalo nggak bisa panggil Mas atau Kak. Panggil sayang aja gimana?” tanya Hesa sambil memainkan alisnya. Ia mengedip centil pada cewek cantik yang ada di depannya.

Ucapan Hesa membuat hati resepsionis cantik itu berbunga-bunga. Tapi, ia sendiri tidak tahu apakah bos tampan ini serius atau hanya iseng menggodanya.

Hesa mengedarkan pandangannya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada beberapa cewek cantik yang ia lihat.

“Paman Kam pinter banget cari karyawan cantik-cantik. Betah aku di sini kalo setiap hari bisa lihat cewek cantik kayak gini,” gumam Hesa.

Resepsionis cantik itu hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Chilton yang mulai menggoda karyawan lain yang ada di dekatnya.

“Mbaknya udah punya pacar?” tanya Hesa pada resepsionis itu lagi.

“Udah, Pak.”

“Ganteng mana sama saya?”

“Apanya?”

“Pacarnya?”

“Mmh ...”

“Jawab jujur!” pinta Hesa.

“Ganteng Pak Hesa, sih,” jawabnya lirih.

“Hahaha. Jelas, dong! Cuma aku cowok yang paling ganteng dan kaya di kota ini,” tutur Hesa dengan bangga. “Kalo aku suka sama kamu. Kamu mau putusin pacar kamu?” tanya Hesa.

“Ah, pertanyaan Bapak aneh!” celetuk resepsionis cantik itu.

“Semua cewek suka cowok ganteng dan kaya, kan? Emangnya saya kurang ganteng? Kurang kaya?” tanya Hesa.

“Udah semua, Pak,” jawab resepsionis itu sambil tersenyum malu.

“Mmh ... ada satu yang kurang dari aku,” tutur Hesa. “Kamu mau tahu nggak itu apa?” tanyanya sambil menatap resepsionis itu.

“Apa, Pak?”

Hesa menghela napas. “Aku kurang pasangan hidup,” tuturnya sambil tersenyum.

Resepsionis cantik itu menahan tawa. “Nggak mungkin laki-laki yang ganteng dan kaya seperti Bapak nggak punya pasangan.”

“Buktinya, sampe sekarang aku masih belum punya istri. Kalo pacar sih banyak. Tapi, nggak ada yang cocok buat dijadiin istri.”

Resepsionis itu mulai risih dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Hesa. Ia sudah bisa merasakan kalau bos muda ini hanya sekedar menggodanya karena jenuh menunggu.

“Kamu mau nggak jalan sama aku? Siapa tahu kita cocok,” ajak Hesa.

“Eh!?”

“Aku minta nomer telepon, dong!” pinta Hesa sambil tersenyum genit.

“Telepon ke nomor kantor saja, Pak!”

“Masa mau ngajak jalan telepon ke nomor kantor? Minta nomor WA kamu dong!” pinta Hesa. Ia tersenyum manis pada resepsionis cantik itu. Ia berharap wanita cantik itu mau memberikan nomor telepon dan bisa diajak berkencan sesekali.

Resepsionis cantik itu tersenyum. Ia menuliskan nomor teleponnya pada secarik kertas dan memberikannya pada Mahesa. “Ini, Pak.”

“Nah, gitu dong cantik!” tutur Hesa gemas. Ia langsung menerima secarik kertas pemberian resepsionis cantik itu dan menyimpannya ke dalam saku jasnya.

Mata Hesa tiba-tiba tertuju pada gadis cantik yang baru saja melewati pintu masuk. Ia merasa gadis itu sangat cantik, menarik dan penampilannya sangat berkelas. Hesa terus menatap gadis yang kini berdiri di depan pintu lift. Tanpa pikir panjang, Hesa langsung melangkahkan kakinya menghampiri gadis itu, ia berdiri tepat di sisi gadis cantik itu.

Gadis itu menoleh ke arah Hesa. Ia tersenyum manis dan berhasil membuat jantung Hesa berdetak begitu kencang. Saat pintu lift terbuka, gadis itu langsung masuk. Hesa ikut masuk ke dalam lift. Hesa terus menatap gadis cantik itu lewat ekor matanya. Tapi, gadis itu terlalu cuek. Membuatnya semakin penasaran.

Beberapa kali Hesa menarik napas dan membenarkan jasnya yang sudah rapi. Ia ingin menyapa gadis itu, tapi entah kenapa bibirnya beku. Tak seperti biasanya saat ia menggoda gadis-gadis cantik.

Hesa sama sekali tak menyangka kalau gadis itu akan menuju ke lantai enam. Sama seperti ruangan Paman Kam. “Kebetulan banget,” bisiknya dalam hati.

Ia terus berjalan mengikuti langkah gadis itu.

“Paman Kam punya bidadari secantik ini di kantornya. Apa aku harus beli saham perusahaan Kamoga supaya bisa ketemu sama cewek cantik ini setiap hari?” tanya Hesa dalam hatinya.

Hesa terus memerhatikan gadis berambut cokelat itu. Ia terlihat sangat sempurna. Badannya tinggi, kulitnya putih berseri dan wajahnya juga sangat cantik.

Gadis yang ia perhatikan juga sangat berkelas. Hesa bisa melihat barang-barang mahal yang menempel di tubuhnya. Ia terbiasa membelikan barang bermerk untuk pacar-pacarnya. Sehingga, ia bisa tahu betul kalau gadis itu memakai barang-barang bermerk. Mulai dari sepatu, tas dan perhiasan yang dikenakan.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas