Chilton baru turun dari kamar saat mamanya sudah selesai menyiapkan sarapan pagi.
“Pagi, Ma!” sapa Chilton sambil mengucek-ngucek matanya. Ia langsung duduk di kursi meja makan.
“Eh, belum mandi udah mau sarapan aja,” celetuk Astria.
“Mmh ... aku lagi nggak kuliah, buat apa mandi. Laper!” tuturnya sambil memegangi perutnya.
“Mandi dulu baru makan!”
“Aku mau makan, terus tidur lagi.”
“Apa? Mau tidur lagi? Emangnya nggak ada yang bisa kamu kerjain?”
Chilton menggelengkan kepala.
“Berkas yang kamu perlukan buat berangkat ke Auckland udah lengkap?” tanya Astria.
“Udah.” Chilton langsung menyendok nasi dan mengambil beberapa lauk yang disiapkan oleh mamanya.
“Nggak mau jalan-jalan ke luar?”
Chilton menggelengkan kepala. Ia langsung menyuap nasi ke mulutnya.
“Sayang, kamu mau lanjut sekolah ke luar negeri. Kenapa kelihatan nggak bahagia? Masih ada yang memberatkanmu?” tanya Astria.
Chilton menggelengkan kepala, ia mempercepat makannya agar terhindar dari pertanyaan mamanya yang selalu bercabang dan berbunga.
Astria menghela napas. “Oom Erlan ngelamar Mama lagi. Menurut kamu, apakah Mama harus menerimanya atau nggak?”
Chilton mematung begitu mendengar nama Erlan. “Dia masih belum nyerah?” tanya Chilton.
“Ini lamaran yang ke sepuluh,” tutur Astria sambil menatap lekat wajah Chilton.
Chilton tertawa kecil. “Dia gigih banget.”
Astria menganggukkan kepalanya. “Setiap tahun dia selalu ngelamar Mama. Ini tahun ke sepuluh. Dia sama sekali nggak berubah dan masih terus membuktikan keseriusannya.”
Chilton menatap mamanya. Ia tahu, begitu banyak penderitaan yang telah dialami mamanya bahkan sejak ia belum lahir. Menjalani semuanya seorang diri. Jika bukan karena dirinya, Astria sudah menikah sejak sepuluh tahun lalu. Chilton selalu menolak jika Astria mengatakan ada seseorang yang melamarnya.
Ini tahun ke sepuluh Erlan menyatakan perasaannya kembali pada Astria. Chilton sendiri tahu bagaimana Erlan begitu menyayangi mamanya juga dirinya. Apakah selamanya ia akan terus menghalangi kebahagiaan mamanya?
Chilton tersenyum menatap mamanya. Sebentar lagi ia akan berangkat ke luar negeri. Astria butuh seseorang yang bisa menjaga dan membahagiakannya. Tak ada pria lain yang biasa ia percaya selain Erlan. Kegigihan cinta Erlan, membuat Chilton sadar kalau mamanya butuh seseorang di sampingnya.
“Terima aja, Ma!” pinta Chilton.
“Apa? Kamu serius?” tanya Astria.
“Oom Erlan baik, kaya dan sangat mencintai Mama. Kalau tidak, dia pasti sudah mencari wanita lain saat lamaran pertama kali ditolak sama Mama,” tutur Chilton sambil tersenyum.
“Kamu ...?”
“Aku bakal kuliah di luar negeri dalam waktu dekat. Aku nggak bisa jagain Mama. Mama butuh seseorang yang bisa menjaga Mama dan mencintai Mama.”
Astria tersenyum menatap puteranya. Ia bangkit dan langsung memeluk Chilton dengan penuh cinta. “Makasih ya, Sayang!” tutur Astria dengan berlinang air mata.
Chilton melepas pelukan mamanya. Ia menatap wajah Astria. “Kenapa nangis? Mama nggak bahagia?”
Astria tersenyum. “Ini air mata bahagia,” tuturnya sambil mengusap tetes air mata yang jatuh di pipinya.
“Beneran?”
Astria mengangguk. Ia menggenggam kedua tangan Chilton. “Kamu satu-satunya harta yang Mama punya. Kamu satu-satunya sumber kebahagiaan Mama. Kamu yang bikin Mama kuat sampai sekarang,” tutur Astria sambil terisak. “Mama harap, kamu ...”
Chilton langsung memeluk erat tubuh mamanya. Ia tak kan pernah sanggup melihat mamanya menangis sekalipun itu air mata bahagia. Hatinya begitu sakit melihat mata perempuan yang paling ia cintai seumur hidupnya itu basah.
“Aku sayang Mama,” bisik Chilton.
Astria menganggukkan kepala. Ia mengelus pundak anaknya yang kini jauh lebih besar dari sepuluh tahun lalu.
Chilton melepas pelukannya dan tersenyum menatap mamanya. “Kalo gitu, kapan kita makan malam bareng untuk membicarakan pernikahan Mama?” tanya Chilton.
Astria tertawa kecil. “Apa harus buru-buru?”
“Menikahlah sebelum aku berangkat ke Auckland!” pinta Chilton.
Astria terdiam. Ia sadar kalau anaknya kini sudah dewasa dan akan memilih jalan hidupnya sendiri. Tinggal jauh darinya agar bisa mencapai kesuksesannya. “Mama akan segera kabari Oom Erlan.”
Chilton tersenyum. Ia bisa melihat kebahagiaan yang tersirat dari wajah Mamanya. Andai ia lakukan ini sejak sepuluh tahun lalu, mungkin Mamanya sudah hidup bahagia tanpa harus bekerja keras setiap hari. Saat itu, Chilton masih remaja dan tidak bisa menerima orang lain masuk ke dalam kehidupan keluarganya.
***
Chilton menatap dirinya di depan cermin sambil tersenyum. Malam ini, ia dan mamanya akan pergi ke salah satu restoran untuk makan malam bersama Erlan dan puteranya.
“Udah siap?” tanya Astria yang tiba-tiba sudah masuk ke kamar Chilton.
“Udah, Ma,” jawab Chilton sambil menoleh ke arah mamanya.
Astria tersenyum menatap puteranya.
“Mama cantik banget,” puji Chilton melihat mamanya mengenakan gaun berwarna biru aqua.
“Nggak usah ngegombal! Mama sudah tua,” sahut Astria.
Chilton tertawa kecil. Ia langsung merangkul mamanya dan keluar dari kamar. Chilton bergegas melajukan mobilnya menuju Garden Restaurant BlueSky Balikpapan.
“Apa mereka sudah sampai?” tanya Chilton saat memarkirkan mobilnya.
“Mama rasa sudah. Erlan bukan tipe laki-laki yang membuat Mama menunggu,” jawab Astria. Ia membuka pintu mobil dan langsung keluar.
Chilton menggandeng mamanya masuk ke dalam restoran. Mereka mengedarkan pandangannya mencari sosok Erlan dan puteranya.
“Itu mereka!” Astria menunjuk dua pria yang sudah duduk bersama di salah satu meja yang berada di sudut ruangan.
Chilton tersenyum, mereka melangkahkan kaki menghampiri meja Erlan.
“Udah lama, Oom?” sapa Chilton sambil mengulurkan tangannya.
Erlan langsung bangkit dan menyambut uluran tangan Chilton. “Belum. Kami juga baru sampai,” jawab Erlan.
“Halo ... calon Mamaku!” sapa Hesa sambil merangkul Astria dengan ceria.
Astria tersipu mendengar ucapan Hesa.
“Calon adikku!” Hesa merangkul Chilton dan menepuk-nepuk pundaknya.
Erlan tersenyum senang karena puteranya menyambut baik calon keluarga barunya. “Nggak usah sungkan! Sebentar lagi kita akan menjadi keluarga. Mari duduk!” pinta Erlan mempersilakan Astria dan Chilton untuk duduk.
Astria dan Chilton menganggukkan kepala dan langsung duduk. Tak lama kemudian, hidangan spesial sudah tersaji di hadapan mereka. Erlan sudah memesan semua menu spesial yang ada di restoran ini.
“Chilton, terima kasih karena akhirnya kamu sudah mau menerima kami dalam kehidupan kamu,” tutur Erlan sambil menatap Chilton.
Chilton menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Kamu jahat banget, Chil! Bikin Papaku nunggu sampai sepuluh tahun,” tutur Hesa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Erlan langsung menyikut lengan Hesa. “Ah, dia cuma bercanda. Jangan dimasukin ke hati!”
Chilton tertawa kecil. Ia sudah terbiasa dengan candaan Mahesa. “Oom, kenapa Oom Erlan pilih Mama? Bukannya masih banyak wanita di kota ini yang lebih cantik dan lebih muda?”
Astria menendang kaki Chilton. Ia tak menyangka kalau anaknya akan bertanya seperti itu pada calon papanya.
Erlan tersenyum mendengar pertanyaan Chilton. “Karena Mama kamu itu berbeda. Dia wanita yang kuat, lembut, penyayang dan ... selalu mengagumkan,” tutur Erlan sambil menatap wajah Astria.
Astria terseipu mendengar ucapan dari Erlan.
“Ehem! Bukannya kita ke sini untuk membicarakan soal pernikahan? Jadi, kapan kalian menikah?” tanya Hesa.
Erlan dan Astria saling pandang. Mereka sendiri belum bisa menentukan hari pernikahan yang akan mereka laksanakan.
“Kalau bisa, sebelum aku berangkat ke Auckland,” sahut Chilton.
“Kamu jadi berangkat ke Auckland?” tanya Hesa.
Chilton menganggukkan kepala.
“Kapan?” tanya Hesa lagi.
“Dua minggu lagi.”
“Ah, terlalu cepat!” keluh Hesa. “Dua minggu itu waktu yang terlalu singkat. Banyak yang harus dipersiapkan untuk sebuah acara pernikahan. Menyiapkan undangan, katering, gedung dan lain-lain. Belum lagi foto pre-wedding ...” Hesa menghentikan ucapannya karena ketiga pasang mata itu tiba-tiba menatapnya tajam. “Ada apa?” tanyanya heran.
“Kami bukan anak muda lagi. Nggak perlu bikin pesta mewah. Cukup acara keluarga saja,” tutur Astria.
Erlan mengangguk. “Bener. Cukup acara keluarga saja.”
Chilton tersenyum ke arah Hesa. “Denger? Acaranya mau besok pun bisa,” ucapnya sambil menatap Hesa.
“Yah ... terserah kalianlah,” tutur Hesa. “Tapi, bukannya semua wanita memimpikan pernikahan yang mewah. Yang nggak akan terlupakan seumur hidupnya?” tanya Hesa. “Papa pengusaha kaya. Apa kata dunia kalau cuma bikin pesta keluarga? Semua relasi bisnis Papa pasti bakal protes ketika mereka nggak diundang ke acara pernikahan Papa.”
“Hesa!” sentak Erlan. “Kami sudah memikirkan sebelumnya dan kami tetap melaksanakan pernikahan yang akan dihadiri keluarga saja. Nggak ada pesta besar!”
“Ya, ya, ya,” sahut Hesa sambil memutar bola matanya.
Mereka kembali melanjutkan menikmati makan malam bersama.
“Jadi, kapan kalian akan melangsungkan pernikahannya?” tanya Chilton.
“Minggu depan, gimana?” jawab Erlan.
“Hah!? Minggu depan? Nggak terlalu cepat?” sahut Hesa.
“Papa rasa, satu minggu cukup untuk mempersiapkan semuanya.”
“Oke.” Hesa mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus. Setidaknya aku masih bisa menghadiri pernikahan kalian sebelum aku berangkat,” tutur Chilton.
“Oh ya, ngomong-ngomong soal sekolah kamu di Auckland, kamu bisa tinggal di rumah kami yang ada di sana, rumah yang dulu ditinggali Mahesa. Nggak perlu menyewa tempat tinggal lagi,” tutur Erlan.
“Siap, Oom!” sahut Chilton sambil menganggukkan kepala.
“Sepertinya kamu harus belajar manggil saya dengan kata lain selain Oom,” tutur Erlan.
“Kamu juga, dia akan jadi Mama kamu dan harus panggil dia dengan sebutan Mama!” pinta Erlan pada Hesa.
Hesa tersenyum dan menganggukkan kepala. “Aku nggak pernah keberatan punya mama seperti Mama Astria,” ucapnya.
“Hesa memang cowok yang selalu bersikap baik dan manis,” tutur Astria.
“Sama seperti papanya, kan?” sahut Erlan sambil tersenyum.
“Hahaha.” Semuanya tertawa.
“Tapi, dia bener-bener playboy,” tutur Erlan sambil menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu dia nurun siapa. Padahal, papanya laki-laki yang sangat setia.”
“Ah, itu karena aku jauh lebih tampan dari Papa. Wajar aja kalau banyak cewek yang mau sama aku,” sahut Hesa.
“Lihat! Dia terlalu percaya diri!” tutur Erlan sambil tertawa kecil.
Astria tertawa. “Chilton, kamu harus belajar banyak sama Hesa. Gimana caranya biar cepet dapet pacar.”
“Eh!?” Chilton mengernyitkan dahinya.
“Bukannya dia sudah punya pacar?” tanya Hesa sambil menunjuk Chilton dengan dagunya.
“Oh ya? Kamu nggak pernah cerita kalau kamu sudah punya pacar,” sahut Astria.
“Nggak perlu cerita. Kami sudah putus.”
Mahesa tergelak. “Kalo gitu, kamu harus cepet-cepet cari gantinya. Di Auckland banyak banget cewek cantik. Aku rasa, tampangmu nggak terlalu buruk buat dapetin sepuluh cewek sekaligus.”
“Hmm ... aku ke sana mau belajar. Bukan cari cewek,” sahut Chilton.
“Sambil menyelam minum air. Belajar sambil bercinta. Biar semangat belajarnya!” tutur Hesa sambil memainkan alisnya.
Chilton hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan Hesa.
Mereka menikmati makan malam sambil bercanda. Suasana makan malam yang begitu hangat karena mereka memang telah saling mengenal dalam jangka waktu yang lama.
***
Chilton dan Mahesa sama-sama bersemangat mempersiapkan pernikahan kedua orang tuanya.
“Chil, bunga dekorasinya yang asli, ya!” pinta Hesa.
“Susah, Hes. Di sini rata-rata pakai bunga artifisial.”
“Halah, kamu tuh males usaha. Ada yang bisa dekorasi bunga asli. Biar ruangannya tetep wangi alami dan romantis,” tutur Hesa.
“Kamu aja yang nyari kalo gitu!”
“Okelah. Biar aku yang nyari.”
“Hehehe. Kamu kan paling pintar soal nyari bunga,” sahut Chilton. “Live music biar aku yang nyari.”
“Jangan musik dangdut, ya!”
“Kenapa?”
“Nggak romantis.”
“Iya. Nanti aku carikan band rock.”
“Hahaha.” Hesa tergelak.
Sebentar lagi mereka akan menjadi keluarga. Mahesa terlihat bersemangat sekali karena ia tidak akan kesepian lagi. Ia akan memiliki seorang adik yang sudah dewasa. Mereka terlihat semakin akrab.
Tiba saatnya hari pernikahan ...
Chilton dan Hesa berdiri berdampingan. Mereka terlihat sangat tampan dan serasi dengan setelan jas berwarna biru langit.
Acara pernikahan berlangsung begitu sakral karena dilaksanakan di tempat tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dan sahabat dekat.
“Chil, apa pernikahan orang yang sudah tua juga bakal berbulan madu?” bisik Hesa di telinga Chilton.
Chilton tidak menggubris pertanyaan iseng Hesa. Ia tetap terlihat cool sambil merapatkan jasnya.
Hesa tersenyum kecil. Ia kini mempunyai seorang adik laki-laki yang begitu dingin. Untungnya wajah Chilton cukup tampan dan sebanding berdiri di sisinya.
Astria dan Erlan kini resmi menjadi suami istri. Semua keluarga mengucapkan selamat dan berbahagia. Acara diakhiri dengan makan bersama.
“Kalian punya dua anak yang sangat tampan,” ujar salah satu sahabat Erlan sambil menunjuk Chilton dan Hesa yang duduk berdampingan.
“Iya, mereka mirip. Seperti saudara kandung sungguhan,” sahut yang lainnya.
Astria dan Erlan saling pandang, kemudian tersenyum. Di mata mereka, Chilton dan Hesa jelas jauh berbeda. Tapi, semua orang yang hadir mengatakan kalau mereka mirip. Mungkin saja Tuhan memang menakdirkan mereka untuk berjodoh.
Chilton dan Hesa hanya tersenyum menanggapi pembicaraan keluarga dan sahabat dekat kedua orang tuanya soal kemiripan mereka.
***
Setelah resmi menjadi keluarga, Astria kini tinggal bersama di rumah Erlan. Mahesa sangat senang karena akan ada seorang ibu di dalam rumahnya. Posisi Astria tidak akan bisa menggantikan mendiang ibunya, tapi ia tidak menutup hati untuk kehadiran ibu baru dalam kehidupannya. Apalagi jika ibu itu adalah Astria. Wanita yang sudah lama ia kenal bersama ayahnya.
Hanya saja, ia sedikit kecewa karena Chilton bersikeras tidak mau tinggal di rumah keluarga Mahesa.
“Kenapa nggak mau pindah ke sini?” tanya Erlan saat mereka menikmati makan malam bersama di rumah Erlan.
“Sebentar lagi aku bakal berangkat ke luar negeri. Aku nggak akan pindah, merepotkan,” sahut Chilton.
Erlan menghela napas. “Baiklah kalau memang itu keputusan kamu dan tidak ingin mengubahnya lagi. Sekarang, rumah ini juga rumah kamu. Kamu boleh datang kapan saja.”
“Iya, Oom,” sahut Chilton.
“Apa aku masih orang lain buat kamu?” tanya Erlan.
Chilton menggelengkan kepala.
“Kalau begitu, panggil dia ‘Papa’!” pinta Astria.
Chilton menganggukkan kepala.
“Ma, aku rasa dia masih terlalu kaku,” sahut Hesa.
Astria tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jangan anggap kami orang lain! Sekarang kita menjadi keluarga. Kamu juga sudah menjadi anakku,” tutur Erlan sambil menatap Chilton.
“Iya, Pa,” sahut Chilton pelan sambil menganggukkan kepala.
Erlan tersenyum senang karena Chilton mau menerimanya sebagai ayahnya. Walau dia bukan ayah biologis dari Chilton, tapi ia menyayangi Chilton seperti ia menyayangi Mahesa.
“Kamu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Menjadi anak dari Erlan Anggoro Adelfino, adik dari Mahesa Adelfino. Kamu akan masuk ke dalam perusahaan Fino Group. Kamu tahu artinya apa?” tanya Erlan.
Chilton mengangkat kedua alisnya. Ia tidak mengerti maksud dari ucapan papanya itu.
Erlan menghela napasnya. “Kamu harus segera mengganti namamu dengan nama keluarga kami!” pinta Erlan.
“Eh!? Ganti nama?”
Erlan menganggukkan kepala.
“Aku baru aja selesai daftar kuliah. Aku harus ngurus pergantian namaku lagi?”
“Nanti bakal diurus sama Sekretaris Perusahaan,” tutur Erlan.
Chilton menganggukkan kepala. Masuk dalam keluarga baru yang kaya raya, pastinya banyak aturan baru yang harus ia ikuti. Termasuk mengganti nama keluarganya. Mungkin dengan ini, ia bisa memulai kehidupan barunya. Meninggalkan semua kenangan masa lalunya.
“Kira-kira nama apa yang bagus?” tanya Hesa.
“Kamu maunya apa?” tanya Erlan pada Chilton.
“Terserah Papa, aja.”
“Bejo! Bagus tuh kalo namanya Bejo!” seru Hesa sambil tertawa.
“Jangan bercanda! Nanti diurus sama Sekretaris Papa untuk proses pergantian nama kamu. Kamu bisa diskusi sama dia,” jelas Erlan.
Chilton menganggukkan kepala.
Erlan tersenyum. “Dia penurut sekali,” bisik Erlan di telinga Astria.
Astria ikut tersenyum menanggapi ucapan suaminya.
“Gimana, kalau kamu nginap di sini untuk malam ini?” tanya Erlan pada Chilton.
“Eh!? Nggak perlu, Pa. Masih banyak hal yang harus aku kerjain di rumah,” jawab Chilton.
“Dia lebih senang menyendiri,” tutur Astria.
“Aku aja yang nginap di sana, boleh nggak?” tanya Hesa.
“Boleh,” jawab Chilton.
“Adik yang baik,” tutur Hesa sambil merangkul Chilton.
“Tapi jangan tidur di kamarku!”
“Hah!?” Hesa melongo mendengar ucapan Chilton.
“Tidur di kamar Mama aja,” sahut Astria. Ia menatap Chilton dengan wajah masam karena tidak ingin berbagi dengan saudaranya.
“Aha, boleh juga,” tutur Hesa. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Chilton. “Aku boleh bawa cewek?” bisiknya.
“Nggak!” jawab Chilton tanpa pikir panjang.
Mahesa tertawa kecil. “Ayolah bersikap dewasa!”
“Kalo kamu tetap maksa, aku nggak ijinin kamu masuk ke rumah. Nggak ada tempat lain apa?” teriak Chilton.
“Kalian kenapa?” tanya Astria dan Erlan bersamaan.
“Oh ... eh, ini, Pa. Si Chilton ngajak fitnes bareng. Tapi, dia nggak mau tempat yang aku rekomendasiin,” tutur Hesa. Ia mengedipkan mata ke arah Chilton sambil menepuk-nepuk pundaknya.
Chilton mendengus kesal. Mahesa memang playboy, ia akan meniduri wanita mana saja yang ia sukai.
“Sudah-sudah. Selesaikan makannya!” perintah Erlan.
Mereka melanjutkan makan malam bersama.
“Aku pulang dulu, Ma!” pamit Chilton setelah selesai makan malam.
“Iya, hati-hati!” ucap Astria sambil tersenyum.
“Aku ikut!” seru Hesa.
“Ayo!”
Mahesa langsung mengikuti langkah Chilton keluar dari rumahnya.
“Aku rasa memang harus pergi karena mereka butuh waktu untuk berduaan. Maklum pengantin baru,” tutur Hesa sambil masuk ke dalam mobil Chilton.
Chilton tidak menanggapi ucapan Hesa. Ia langsung masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin dan melajukan mobilnya untuk pulang ke rumah.
“Ini seriusan aku nggak boleh bawa cewek?” tanya Hesa.
“Kamu mau aku turunin di sini!?” sentak Chilton.
“Ah, kamu nih sudah jadi adikku. Kenapa lebih galak dari kakaknya,” celetuk Hesa.
“Kayak nggak ada tempat lain aja. Ngapain coba main begituan di rumahku?” tanya Chilton kesal.
“Hehehe. Emangnya kamu belum pernah bercinta di rumah sendiri?”
Chilton bergeming. Berbicara dengan playboy memang tidak akan membahas hal lain selain cewek. Chilton sama sekali tidak tertarik untuk membahasnya.
“Jangan-jangan, kamu belum tidur sama pacar kamu sendiri?” tanya Hesa.
Chilton tak menjawab.
“Ah, ayolah bersikap dewasa!” pinta Hesa. “Kita udah dewasa. Kamu nggak pengen ngerasain nikmatnya bercinta? Aku bisa bawa panggil cewek sekaligus ke rumah malam ini juga. Gimana?” tanya Hesa sambil memainkan alisnya.
Chilton langsung menepikan mobilnya. “Mau turun di sini?”
Hesa tertawa kecil. “Kamu terlalu serius. Aku cuma bercanda. Ayo jalan lagi!” pinta Hesa sambil cengengesan.
Chilton langsung menginjak gas dan kembali melajukan mobilnya.
“Kenapa kamu putus sama pacar kamu?” tanya Hesa.
“Dia selingkuh.”
“Apa? Cowok sekeren kamu diselingkuhin? Ckckck.” Hesa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Chilton tak menghiraukan. Ia tetap fokus menyetir. Sesampainya di rumah, Chilton langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Ia tidak ingin kakaknya mengganggunya terlebih hanya membahas soal wanita.
***
Hari terus berganti. Chilton bersiap untuk berangkat ke Auckland dengan nama barunya sebagai keluarga bangsawan.
Alonzia Adelfino, ia memandang namanya yang tertera dalam tiket pesawat keberangkatan ke Auckland. Ia masih harus transit di Jakarta dan Melbourne terlebih dahulu sebelum sampai ke Auckland. Ia harus menghabiskan waktu setidaknya dua puluh lima jam di dalam pesawat. Untungnya, ia kini menjadi bagian keluarga kaya sehingga bisa memilih kelas bisnis. Ia bisa beristirahat dengan nyaman di dalam pesawat.
Beberapa kali, Al melirik jam tangannya sambil menunggu di ruang tunggu pintu penerbangan. Ia memandang jauh ke luar, menatap langit yang terlihat cerah. Andai hubungannya dengan Delana masih baik, gadis itu pasti akan melepas kepergiannya dengan penuh kehangatan.
Saat pesawat mulai tinggal landas, Alonzia terus menatap keluar jendela. “Hidup ini tak seperti cerita dalam novel atau film,” gumamnya. Ia berharap, bisa melihat Delana melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahnya. Seperti cerita yang ada dalam film-film romantis.
Al merapatkan jaketnya dan menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia akan memulai kehidupan baru. Ia sendiri masih tidak yakin apakah ia bisa melupakan gadis itu. Al tersenyum kecil sambil menatap syal berwarna merah yang melingkar di lehernya. Ia tidak bisa benar-benar melupakan gadis itu sepenuhnya. Ia akan tetap membawanya ke manapun ia pergi.
Tanpa ia sadari, air mata jatuh ke pipinya. Ia akan terus merindukan kota ini. Bukan, bukan kotanya yang membuatnya rindu. Tapi penghuni kota yang kini menjadi penghuni hatinya. Sekalipun ia tak pernah menjalin hubungan cinta, tapi semua kisah antara mereka terlalu manis untuk dilupakan.
Al begitu menyesal. Ia baru tersadar kalau cinta Delana begitu tulus setelah berkali-kali ia menyakiti dan gadis itu kini memilih untuk membencinya.
((Bersambung...)).png)
0 komentar:
Post a Comment