Gosip tentang berakhirnya hubungan Ratu dan Chilton langsung beredar di kampus dengan cepat.
“Kamu beneran putus sama Chilton?” tanya salah satu teman Ratu yang melihat Ratu duduk di kursi depan kelasnya sambil terisak.
Ratu menganggukkan kepala.
“Kok, bisa putus?”
“Delana bilang ke Chilton kalo aku selingkuh sama cowok lain. Padahal, aku nggak pernah selingkuh sama sekali,” tutur Ratu sambil terisak.
“Serius? Dela jahat banget sih?”
“Iya. Dia kelihatannya baik sama kamu. Tapi tega ngerusak hubungan kalian.”
“Mungkin, dia masih nggak rela kalo Chilton itu cintanya sama kamu.”
“Iya, dulu kan mereka pernah deket banget.”
“Sayangnya, Chilton nggak beneran suka sama dia.”
“Bisa jadi, karena itu dia mau balas dendam dan ngerusak hubungan kalian.”
Ratu terus terisak. Dalam hati, ia tersenyum senang karena hampir semua orang menyalahkan Delana. Ia berhasil membuat semua orang percaya dengannya.
“Eh, itu si Dela!” bisik salah satu mahasiswi yang sedang mengerumini Ratu.
Salah satu mahasiswi langsung menghampiri Delana. “Eh, perusak hubungan orang!” tuturnya sambil mendorong pundak Delana.
“Eh, apa-apaan sih kamu!?” Belvina langsung menyambar mahasiswi yang mendorong Delana.
“Nggak usah belain temen fake kamu ini!” sahut mahasiswi tersebut dengan ketus. “Pura-pura baik, sekalinya berani nusuk dari belakang,” lanjutnya.
“Eh, kalian kalo nggak tahu apa-apa nggak usah banyak omong!” seru Belvina.
“Kami semua udah tahu. Lihat! Ratu sampe nangis-nangis kayak gitu gara-gara kelakuan temen kamu yang sok baik itu!”
Belvina mengepalkan tangannya. Ia hampir saja menampar wajah mahasiswi itu kalau Delana tidak segera mencegahnya.
“Udah, Bel! Nggak usah dilayani!” pinta Delana sambil menarik Belvina pergi dari kerumunan mahasiswa yang terus menerus menyalahkan Delana soal putusnya hubungan Chilton dan Ratu.
“Kamu kenapa diam aja, sih!?” Belvina kesal dan langsung menepis tangan Delana. “Udah jelas-jelas dia yang ngerebut Chilton dari kamu. Kenapa sekarang malah nyalahin kamu kalo mereka putus?”
“Udahlah. Nggak usah dibahas. Aku juga nggak tahu kalo mereka putus,” tutur Delana.
“Hah!? Kamu nggak tahu mereka putus? Tapi kamu diem aja disalah-salahin sama mereka? Emangnya putusnya mereka ada hubungannya sama kamu?” Belvina mencecar banyak pertanyaan pada Delana.
Delana menghela napas. “Nanti aku ceritain. Nggak di sini,” tuturnya.
“Oke, pulang kuliah kamu langsung ke kamarku!” pinta Belvina.
“Ntar ada si Ratu,” sahut Delana.
“Kenapa? Bagus kan kalo ada dia sekalian? Biar dia nggak nyalah-nyalahin kamu terus!”
“Aku males berantem,” tutur Delana.
“Eh, kalo udah kayak gini, mending berantem sekalian!” Belvina melotot sambil berkacak pinggang di hadapan Delana.
Delana malah tertawa kecil melihat sikap Belvina.
“Kenapa malah ketawa!?” dengus Belvina.
“Kamu kayak emak-emak,” celetuk Delana.
“Del, aku nggak lagi bercanda!” seru Belvina.
“Iya, iya.” Delana tersenyum sambil menarik lengan Belvina masuk ke dalam kelasnya.
Sepulang kuliah, Delana dan Belvina langsung masuk ke dalam kamar. Kebetulan, Ratu belum datang dan mereka bisa bercerita banyak.
“Sekarang, cerita ke aku! Sebenarnya ada apa?” tanya Belvina.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Delana sambil menahan senyum.
“Bohong! Kamu mulai main rahasia-rahasiaan sama aku!?” dengus Belvina.
Delana tertawa kecil. “Cuma salah paham aja.”
“Salah paham tapi bikin heboh seisi kampus?”
“Aku tuh nggak tahu kalo mereka putus. Waktu itu, Chilton langsung ngusir aku dari kamarnya dan aku nggak tahu apa yang terjadi sama mereka.”
“Kamar? Kamu ke kamar Chilton?”
Delana menganggukkan kepalanya.
“Gimana ceritanya kamu bisa masuk ke kamarnya dia?”
“Ratu yang nyuruh aku buat nemuin dia. Karena ada hal penting yang mau dia sampaikan ke Chilton sebelum Chilton berangkat ke luar negeri,” jawab Delana. “Aku sempat berantem sama Chilton waktu itu. Pas aku mau balik, aku lihat Ratu diantar sama cowok yang pakai mobil Chevrolet kuning itu. Ya udah, aku suruh aja si Chilton lihat sekalian.”
“Terus?”
“Aku bawa Ratu masuk ke kamar Chilton dan ngomongin semua kelakuan Ratu di belakang Chilton. Tapi, Chilton malah ngusir aku. Abis itu, aku nggak tahu lagi yang terjadi sama mereka.”
“Gila ya si Ratu. Jelas-jelas dia yang salah. Malah dia nyalahin kamu.”
“Udahlah biar aja. Suatu saat nanti, kebenaran bakal terungkap dengan sendirinya.”
“Del, jadi orang terlalu baik sama bodoh itu nggak ada bedanya,” celetuk Belvina.
Tiba-tiba, pintu kamar Belvina terbuka dan terlihat Ratu masuk ke dalam kamar.
“Hai ...!” sapa Ratu sambil tersenyum. “Kalian di sini?”
Belvina melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap sinis ke arah Ratu. Ratu pura-pura tidak tahu dan tidak menghiraukan Belvina sama sekali. Ratu langsung berbaring santai di atas ranjangnya.
Belvina tidak tahan melihat sikap Ratu, ia langsung menghampiri Ratu dan menarik tubuhnya bangkit dari ranjang.
“Apaan sih, Bel?” sentak Ratu sambil menepiskan tangan Belvina.
“Eh, cewek munafik! Serigala berbulu domba! Sok-sok manis di depan semua orang!” Belvina langsung mendorong pundak Ratu.
“Bel, jangan berantem!” Delana menengahi Belvina dan Ratu.
“Kamu nggak usah terlalu baik sama dia, Del!” sentak Belvina. “Dia ini kalo dibaikin malah ngelunjak!”
Ratu menatap sinis ke arah Belvina.
“Kamu sengaja kan manfaatin kebaikan Delana buat nyiptain image bidadari kamu itu!?” Belvina berteriak di depan wajah Ratu. “Kamu pikir aku nggak tahu otak licik kamu itu, hah!?”
Ratu tidak menanggapi sama sekali ucapan Belvina. Ia malah asyik memainkan kukunya, pura-pura tidak mendengarkan ucapan Belvina.
“Kamu punya satu tas branded aja udah dibawa dan dipamerkan terus di kampus setiap hari. Tasnya kena sentuh orang lain dikit aja udah teriak-teriak ‘ini tas mahal!’ ke semua orang. Orang kalo nggak kaya beneran tuh begitu, barangnya takut lecet karena nggak mampu beli lagi,” tutur Belvina.
Ratu langsung menoleh dan melotot ke arah Belvina.
“Apa? Mau marah?” tutur Belvina dengan wajah ketus. “Emang bener kan?”
“Lihat si Dela! Dia punya banyak tas yang harganya puluhan bahkan ratusan juta. Tapi, dia nggak pernah bawa ke kampus apalagi dipamer-pamerin ke anak-anak lainnya. Dia itu baru beneran orang kaya, nggak pamer kayak kamu yang cuma sok kaya!” Belvina mendelik ke arah Ratu.
Ratu memutar bola matanya dan langsung membalikkan tubuh.
Belvina semakin emosi melihat tingkah Ratu yang sangat menyebalkan. Ia sudah mengomel dan memaki panjang lebar kali panjang kali luas tapi tidak dianggap sama sekali oleh Ratu. Karena kesal, ia langsung menarik rambut Ratu.
“Sakit, Bel!” teriak Ratu sambil menahan rambutnya. Karena Belvina tak segera melepaskan rambutnya, terjadi pergulatan di antara mereka.
Delana terkejut karena dua teman sekamarnya bergulat di atas ranjang. Ia tidak tahu harus bagaimana memisahkan keduanya. Berteriak saja tidak akan didengarkan oleh keduanya. Delana berusaha memisahkan dengan tangannya tapi ia malah terssungkur.
Delana menatap pintu kamar mandi dan langsung berlari masuk. Ia mengisi ember air, lalu membawanya keluar.
BYURR!!!
Ratu dan Belvina terdiam saat tubuhnya tiba-tiba basah kuyup. “DELA!” teriak mereka bersamaan.
Delana meringis melihat kedua temannya basah kuyup. Tempat tidur Ratu juga ikut basah kuyup.
“Del, ranjang aku basah! Aku tidur di mana?” teriak Ratu.
“Bodo amat! Tidur aja di lantai!” sahut Belvina sambil turun dari ranjang Ratu.
“Iih ... kalian berdua itu emang nyebelin banget ya!” umpat Ratu sambil memukul ranjangnya sendiri.
Belvina menjulurkan lidahnya ke arah Ratu. Ia langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Ratu menatap kesal ke arah Delana yang membuat tubuh dan kasurnya basah kuyup.
Delana meringis menatap Ratu. Perlahan-lahan tangannya meraih tas yang ia letakkan di atas ranjang Belvina. “Bel, aku pulang dulu!” teriak Delana sambil berlari keluar dari kamar.
Demi apa pun, Delana tidak suka berkelahi. Ia lebih memilih pergi daripada membuat masalah baru dengan kemarahan Ratu padanya. Melihat Ratu berkelahi dengan Belvina saja rasanya sudah muak, apalagi ia juga harus berkelahi dengan perempuan gila itu. Tidak ada gunanya sama sekali!
***
Delana melangkahkan kaki sambil mengayun-ayunkan tasnya. Ia merasa harinya mulai kacau. Ia bertengkar hebat dengan Chilton, membuatnya putus dengan Ratu. Seisi sekolah membicarakan hal buruk tentang Delana. Kini, ia harus melihat dua teman sekamarnya berkelahi karenanya.
Delana menghela napas. Ia merasa harinya semakin kacau setelah mengenal Chilton dalam hidupnya. Ia benar-benar harus membuang jauh-jauh cowok itu dari kehidupannya dan memulai hidupnya yang baru.
Delana merogoh tas dan mengambil ponsel di dalamnya. Ia mencari nama kontak seseorang yang bisa menemaninya melewati masa-masa sulitnya. Tapi, ia mengurungkan niatnya dan memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. Membuat orang lain terbebani karena masalahnya.
Delana menghentikan taksi yang kebetulan melintas.
Taksi itu berhenti, supir taksi membuka kaca mobil. “Mau ke mana, Mbak?” tanya supir itu.
Delana langsung menarik gagang pintu mobil dan masuk ke dalam taksi. “Jalan aja, Pak!” perintah Delana. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi.
Taksi itu terus melaju tanpa tahu arah. Supir taksi beberapa kali bertanya pada Delana dan gadis itu menjawab dengan hal yang sama. Tapi, tak pernah ada ujung dari perjalanan mereka.
“Mbak, ke kanan atau kiri?” tanya supir itu saat tiba di persimpangan jalan yang keempat.
“Kanan,” jawab Delana tanpa melihat ke arah persimpangan jalan tersebut.
“Mbak, kita sudah lewat jalan ini dua kali,” tutur supir tersebut sambil melihat angka di layar cargo yang semakin membengkak. Ia khawatir kalau penumpangnya tak akan sanggup membayar biaya yang semakin banyak.
“Jalan aja, Pak!” pinta Delana.
Supir taksi itu menggelengkan kepala dan terus melajukan mobilnya. Hari mulai gelap dan Delana masih tidak tahu harus pergi ke mana.
“Mbak, mau turun di mana?” tanya supir taksi itu.
Delana tak menjawab.
“Kargonya udah lima ratus ribu lebih, Mbak.”
Delana menghela napas. “Apa aku kelihatan kayak orang nggak mampu?” tanyanya dalam hati.
“Berhenti di sini aja, Pak!” pinta Delana.
Supir taksi itu langsung menepikan mobilnya.
Delana mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan memberikannya pada supir itu. “Ambil aja kembaliannya, Pak!”
Supir itu menghitung uang dari Delana. “Nggak ada kembaliannya, Mbak. Ini uangnya kurang,” sahut supir taksi itu.
“Hehehe.” Delana meringis. “Kurang berapa?” tanya Delana.
“Kurang tujuh puluh ribu,” jawab supir taksi tersebut.
Delana kembali merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan. “Ambil aja kembaliannya!” Delana menyodorkan uang tersebut pada supir.
Supir tersebut menerimanya dengan senang hati.
Delana langsung keluar dari mobil. Ia mengedarkan pandangannya mencoba mengenali tempat yang ia datangi saat ini. Tempat ini terasa asing bagi Delana. Sepertinya ia belum pernah menginjakkan kaki ke tempat ini.
Delana memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia melangkahkan kakinya perlahan menyusuri jalanan kota yang ramai. Ia baru menyadari kalau ia sudah berada di depan sebuah gedung berlantai enam yang merupakan kantor perusahaan milik pamannya.
Hari sudah malam, tidak ada aktivitas di dalam gedung tersebut. Semua lampu ruangan tidak ada yang menyala satupun. Hanya lampu halaman dan pos jaga yang masih menyala.
“Mbak Dela kok di sini malam-malam?” tanya satpam yang kebetulan mengenali Delana.
Delana meringis. “Lagi jalan-jalan aja, Pak. Cari angin,” jawab Delana dan langsung bergegas pergi.
“Hati-hati, Mbak! Ini sudah malam,” seru satpam tersebut.
“Iya,” sahut Delana sambil melambaikan tangannya.
Delana melangkahkan kaki dan masuk ke salah satu kafe yang tak jauh dari perusahaan pamannya.
“Mau pesan apa, Mbak?” Seorang pelayan menghampiri begitu Delana duduk di salah satu kursi kafe.
“Americano satu,” jawab Delana.
“Ada lagi?” tanya pelayan tersebut.
Delana menggelengkan kepalanya.
Pelayan kafe langsung beranjak meninggalkan Delana.
“Tunggu!” seru Delana. Ia melambaikan tangan memanggil pelayan tersebut kembali mendekatinya.
Pelayan itu langsung menghampiri Delana kembali.
“Kalian punya bir?” bisik Delana sambil tersenyum.
Pelayan itu menganggukkan kepala.
“Bawakan aku bir!”
“Berapa?”
“Lima.”
“Mmh ...” pelayan itu terlihat khawatir menatap Delana.
“Kenapa?” tanya Delana.
“Mbaknya sendirian ke sini?”
“Iya.”
“Minum bir terlalu banyak bisa mabuk. Kami khawatir ...”
“Cepet kasih ke mejaku! NGGAK USAH BANYAK OMONG!” Delana menggebrak meja.
Pelayan itu langsung menganggukkan kepala dan bergegas menyiapkan pesanan Delana.
Delana menghabiskan waktunya untuk menikmati bir sampai ia mabuk. Ia terus menceracau tak jelas. Membuat beberapa pelayan dan pemilik kafe mulai khawatir karena hari semakin larut dan mereka ingin menutup kafe.
“Mbak ...!” panggil salah satu pelayan sambil menggoyang-goyangkan pundak Delana. Ia sudah tergeletak tak di atas meja dan tidak sadarkan diri.
“Gimana, nih?” bisik karyawan yang lain.
“Dia ke sini naik apa?”
“Nggak bawa kendaraan. Mungkin naik taksi.”
“Terus gimana dia pulangnya?”
“Iya. Kita udah mau tutup. Nggak mungkin ngebiarin dia tidur di sini.”
“Coba cek handphone-nya!”pinta salah satu karyawan sambil menunjuk ponsel Delana yang tergeletak di atas meja.
“Buat apa?”
“Bodo jangan dipelihara! Telpon saudara atau temennya suruh jemput dia ke sini!”
“Aha, bener banget!” sahut karyawan lainnya dan langsung menyambar ponsel Delana.
Karyawan itu mencoba menelepon nomor yang tertera pada panggilan terakhir namun tak mendapat jawaban. Ia terus mencoba nomor lain sampai ada sesseorang yang mengangkat teleponnya.
“Halo ...!” sapa seseorang di seberang sana.
Karyawan lain terlihat sangat bahagia karena akhirnya ada yang menjawab telepon mereka.
“Halo, apakah Anda kenal dengan pemilik nomor telepon ini?”
“Ya.”
“Tolong jemput Mbak ini, karena dia mabuk parah dan nggak sadar.”
“Di mana?”
“Di Lotus.”
“Oke. Saya ke sana sekarang.”
Beberapa menit kemudian, seorang laki-laki menerobos masuk dan langsung menghampiri Delana.
“Hei, kamu pergi sendirian dan mabuk? Ngerepotin banget!” umpat Chilton sambil merangkul Delana keluar dari kafe.
“Mmh ... aku udah ngelewati banyak hari buruk. Aku membuat banyak masalah, membuat teman-temanku berkelahi dan aku juga harus berkelahi dengan cowok yang aku cintai.” Delana menceracau.
“Dia bakal pergi jauh. Aku sedang berusaha membencinya dan ingin melupakan secepatnya. Kamu tahu ... aku begitu bodoh karena sudah jatuh cinta sama cowok aneh itu!”
Chilton tak menghiraukan ucapan Delana. Ia langsung menggendong dan memasukkan tubuh Delana ke dalam mobilnya.
“Kenapa kamu mabuk di luar malam-malam gini? Kalo ketemu sama orang jahat gimana?” celetuk Chilton. Ia memakaikan safety belt ke pinggang Delana. Memakai safety belt untuknya sendiri dan langsung menyalakan mesin mobilnya.
Sesampainya di depan rumah Delana, ia langsung mencari kunci rumah Delana di dalam tas yang Delana bawa.
Chilton langsung menggendong Delana masuk ke dalam rumah. Delana mabuk berat, sehingga ia sama sekali tidak mengenali Chilton. Chilton menidurkan Delana di dalam kamarnya. Perlahan Chilton melepas sepatu Delana dan menyelimutinya. Ia menatap wajah Delana yang tertidur pulas.
Chilton tersenyum kecil menatap wajah polos Delana. “Del, mungkin ini hari terakhir aku bisa lihat wajah kamu. Jaga diri kamu baik-baik!”
Chilton mengecup kening Delana untuk terakhir kali dan bergegas keluar dari rumah Delana.
Chilton merebahkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Ia masih tidak mengerti kenapa Delana melakukan hal bodoh di luar sana. Gadis itu benar-benar merepotkan. Membangunkannya tengah malam hanya untuk membawanya pulang karena dia mabuk berat.
Chilton bangkit dan duduk di ranjangnya. Pikirannya masih dipenuhi semua hal tentang Delana. Ia masih tidak mengerti kenapa gadis itu begitu mengganggu pikirannya. Setiap kali bertemu dengan Delana. Ia tidak bisa menahan diri untuk terus memikirkannya.
Chilton melangkahkan kakinya. Ia menurunkan koper dari atas lemari. Ia tidak bisa tidur dan memilih mengemasi barang yang akan ia bawa ke luar negeri.
“Aargh ...!” Chilton mengacak-ngacak rambutnya dan terduduk di lantai. Ia kesal karena sulit sekali menepis Delana dari pikirannya.
“Aku harus cepet-cepet pergi supaya aku nggak ketemu lagi.”
***
“Del, semalam kamu ada nelponin aku kenapa? Aku udah tidur,” tanya Belvina saat ia sudah bersama Delana di kampus.
“Eh!?”
“Malah plonga-plongo! Semalam nelpon ada apa?”
Delana mencoba mengingat sesuatu, tapi tak ada satu hal pun yang ia ingat semalam. Yang ia ingat, ia minum di kafe dan tiba-tiba sudah ada di dalam kamarnya saat bangun pagi. Delana mencoba memijat kepalanya agar ingatannya kembali.
“Kata Ivo, kamu juga nelpon dia semalam.”
Delana mengerutkan dahinya.
“Kamu nggak ingat apa-apa? Emang semalam kamu di mana?”
“Di kafe,” jawab Delana.
“Hah!? Ngapain?”
“Yang aku ingat cuma minum.”
“Minum apaan?”
“Minum bir.”
“Terus?”
Delana menggelengkan kepala. “Tiba-tiba aku sudah di kamar dan sudah pagi.”
“Ckckck.” Belvina menggelengkan kepala. “Jadi, kamu nggak tahu siapa yang ngantar kamu pulang?”
Delana menggelengkan kepala. “Mungkin supir taksi,” tuturnya.
“Hah!? Kamu santai banget bilang itu supir taksi. Bisa aja kan orang lain? Kalo itu supir taksi ngeraba-raba badan kamu, terus diciumin, terus ...” Belvina menakut-nakuti Delana.
“Hah!?” Delana langsung menyilangkan lengan di dadanya.
“Hayo ... diantar pulang sama siapa?”
“Aku nggak ingat!” seru Delana.
“Sama supir genit?” tanya Belvina sambil mengedipkan matanya.
“Nggak mungkin.”
“Why?”
Delana langsung merogoh ponsel di sakunya. “Kalo semalam ada yang nelpon kamu pake hapeku. Artinya, orang yang jemput aku juga pasti nerima telepon dari hpku. Karyawan kafe cukup kreatif buat mulangin aku dengan aman,” tutur Delana sambil memeriksa panggilan keluar pada ponselnya.
Delana terperangah ketika melihat panggilan keluar selama beberapa detik di ponselnya.
“Kenapa. Del?” tanya Belvina begitu melihat ekspresi wajah Delana.
“Lihat!” teriak Delana sambil menunjukkan layar ponselnya.
Belvina menahan tawa melihat nama yang tertera di layar ponsel Delana.
“Kok malah ngetawain sih!?” dengus Delana. “Haduh ...! Kiamat udah deket!” teriak Delana. Ia bangkit dan uring-uringan di depan meja belajarnya.
Belvina terus menahan tawa melihat Delana yang begitu gelisah.
“Kok bisa sih dia yang nganterin aku?”
Belvina tidak bisa mengatakan apa pun selain tertawa melihat sahabatnya itu.
“Kenapa harus dia? Dari sekian banyak kontak yang ada di hape-ku. Kenapa harus dia yang angkat dan jemput aku?” teriak Delana kesal.
“Masih untung dia yang antar kamu pulang. Dia nggak bakal macem-macemin kamu. Daripada kamu dibiarin tidur di jalanan.”
Delana mengerutkan hidungnya. Menatap kesal ke arah Belvina yang terus tertawa. Ia menghela napas dan duduk kembali di kursinya. Delana menjatuhkan kepalanya di atas meja.
“Kenapa dia masih peduli sama aku? Kenapa nggak dibiarin aku mati di jalanan?” Delana menceracau sambil memukul-mukul meja belajarnya.
“Del, kamu jangan kayak gini lagi, dong!” pinta Belvina sambil memeluk tubuh Delana.
“Aku mau lupain dia, Bel. Kalo masih kayak gini, yang ada aku gagal move on terus!” ucap Delana. Ia tak bisa membendung air matanya untuk jatuh.
“Del, kamu pasti bisa move on, kok. Sebentar lagi dia bakal pergi ke luar negeri. Seiring berjalannya waktu, kamu pasti bisa dapetin cowok yang lebih baik dari dia,” bisik Belvina sambil mengelus pundak Delana.
Delana membenamkan wajahnya dalam-dalam. Ia tak bisa menahan kesedihannya karena akhitnya harus berpisah dengan Chilton untuk selamanya. Ia tidak tahu bagaimana cara mengobati rindu pada cowok itu. Ia tak akan punya kesempatan untuk melihatnya lagi.
“Udah, Del! Jangan nangis! Ntar aku juga ikut nangis nih,” celetuk Belvina.
“Nangis aja!” sahut Delana.
Belvina menghela napas. “Ada dosen datang,” tutur Belvina.
Delana langsung bangkit dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. Ia menoleh ke arah pintu kelas dan tidak ada dosen yang datang. Delana langsung menoleh ke arah Belvina yang menahan tawa.
“Kamu ngerjain aku!?” dengus Delana.
“Hahaha.”
Delana memukul bahu Belvina.
“Jangan cemberut terus! Jelek tau!” tutur Belvina sambil menyubit kedua pipi Delana.
“Sakit, Bel!”
“Makanya senyum!”
Delana tersenyum lebar sambil menatap wajah sahabatnya.
“Nah, gitu dong! Ini baru Delana!”
“Emangnya yang tadi bukan?”
“Bukan.”
“Siapa emangnya?”
“Hantu galau.”
Delana tertawa kecil. “Kamu tega ngatain aku hantu?”
Belvina tertawa kecil.
“Hmm ... aku baru berencana beliin kamu dompet keluaran terbaru. Kayaknya, harus aku batalin.”
Belvina langsung memeluk lengan Delana. “Ah, kamu kan hantu galau yang cantik,” puji Belvina.
Delana mencebik. “Kalo ada maunya aja sok manis.”
Belvina meringis.
Delana tersenyum menatap sahabatnya itu. Walau bagaimanapun, Belvina adalah salah satu orang yang selalu ada di sisinya saat ia sedang terluka.
((Bersambung...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment