Delana
mondar-mandir di dalam kamar. Ia terus menggigiti jemarinya sendiri karena
gelisah. Ia tidak tahu bagaimana caranya mengatakan keinginan Ratu.
“Iih
... gimana ngomongnya?” tanya Delana pada dirinya sendiri. Ia kembali duduk
sambil mengacak rambutnya.
“Ratu
gila!” umpatnya. “Tapi, aku udah janji bakal ngomong ke Chilton. Gimana dong?”
tanya Delana pada dirinya sendiri.
Delana
menghela napas. Ia mengumpulkan keberanian sebanyak-banyaknya dan keluar dari kamar.
Awalnya,
Delana melangkah dengan ragu-ragu. Kemudian ia terus memberanikan diri sampai
ia sudah berdiri di depan kamar Chilton.
Tok
... tok ... tok ...!
Delana
mengetuk pintu kamar Chilton perlahan.
Beberapa
menit kemudian, pintu kamar Chilton terbuka.
“Dela?”
Chilton terkejut saat membuka pintu kamar dan mendapati Delana sudah berdiri di
depannya. “Ngapain di sini?” tanya Chilton.
“Aku
mau ngomong sesuatu sama kamu,” jawab Delana.
“Soal Ratu?”
tanya Chilton.
Delana
menganggukkan kepala.
“Lebih
baik kamu pergi sekarang juga!” tutur Chilton dingin.
“Aku
cuma mau nyampaikan pesan dari Ratu,” tutur Delana. Ia tidak akan menyerah
sampai Chilton bisa mendengarkan kalimat yang akan ia sampaikan.
“Ratu
itu pacarku. Kalo dia mau ngomong, nggak perlu lewat kamu,” sahut Chilton ketus.
“Ratu
yang minta aku buat ngomong ke kamu.” Delana masih tidak menyerah.
“Ck.”
Chilton semakin kesal karena Delana tak kunjung pergi dari depan kamarnya.
“Kamu ngerti kata pergi nggak?” tanya Chilton sambil mendorong pundak Delana.
“Aku
nggak bakal pergi sampai kamu mau dengerin aku,” sahut Delana.
Chilton
tersenyum sinis. “Aku heran sama kamu. Kenapa kamu mau aja disuruh-suruh sama
Ratu? Ratu itu pacarku. Aku sering jalan sama dia, jadi kamu nggak perlu
repot-repot ke sini cuma buat nyampein pesan dari dia.”
“Terserah
kamu mau ngomong apa. Aku bakal pergi setelah aku nyampein pesan dari Ratu,”
tutur Delana.
Chilton
menyandarkan pundaknya di bibir pintu. “Ya udah, ngomong aja! Cepet!” pinta
Chilton tanpa menatap wajah Delana.
Delana
menghela napas. Jantungnya berdegup sangat kencang dan seluruh tubuhnya terasa
begitu dingin.
“Cepet!”
sentak Chilton.
Delana
menarik napas dalam-dalam. “Ratu pengen bisa tidur seranjang sama kamu sebelum
kamu berangkat ke luar negeri,” tutur Delana perlahan.
“Apa!?”
Chilton mengerutkan dahinya.
Delana
menulan ludahnya. “Dia pengen bisa tidur sama kamu ...”
“Kamu
gila ya!?” dengus Chilton.
Delana
terperangah mendengar pertanyaan dari Chilton. Ia sudah menduga kalau Chilton
tidak akan menyukainya. “Pacar kamu itu lebih gila lagi!” seru Delana.
Chilton
mengernyitkan dahinya. “Kamu tuh yang gila! Mau aja disuruh-suruh ngomong kayak
gitu sama Ratu,” sahut Chilton. “Oh, apa kamu emang udah sering tidur sama
laki-laki makanya kamu nggak malu ngomong kayak gini sama aku?”
PLAK!
Delana
langsung menampar Chilton begitu mendengar kalimat yang dari mulut cowok itu.
Hatinya begitu tersayat saat laki-laki yang pernah ia cintai begitu dalam
justru merendahkannya serendah-rendahnya.
“Kamu
nggak tahu apa-apa sama sekali soal aku,” tutur Delana dengan mulut bergetar.
Chilton
melirik Delana sambil memegangi pipinya yang terasa pedis karena tamparan dari
Delana. Ini bukan pertama kalinya Delana menampar pipinya. Ia memang tak bisa
mengendalikan diri, selalu berpikir negatif tentang Delana. Sesungguhnya, ia
memang tidak pernah memahami Delana sama sekali.
“Sampai
saat ini aku belum pernah pacaran. Ciuman aja aku nggak pernah. Gimana kamu
bisa ngatain aku sering tidur sama laki-laki!? Apa kamu pikir aku semurah itu?”
tanya Delana dengan mata berkaca-kaca.
Chilton
bergeming. Ia tak berani menatap Delana sedikitpun.
“Aku
di sini karena kamu. Karena permintaan pacar kamu yang sinting itu! Apa kamu
pikir, aku seneng ngelakuin ini semua? Aku suka sama kamu dari pertama kali
kita ketemu. Kamu sendiri yang bilang ke aku kalo aku harus ngebuktiin
keseriusan aku. Aku udah ngelakuin banyak hal buat kamu.” Delana tak mampu lagi
membendung air matanya.
“Selama
enam bulan kita dekat. Tiba-tiba aja kamu nolak aku setelah aku ngerasa jadi
wanita yang paling dicintai di dunia ini,” tutur Delana sambil mengusap air
mata yang membasahi pipinya.
“Apa
kamu pikir itu nggak sakit? Terlebih lagi kamu lebih milih buat jadian sama
cewek lain yang lebih cantik, lebih populer dan lebih segalanya dari aku.” Air
mata Delana terus berderai dan ia tak bisa membendungnya lagi.
“Lihat
kamu jalan sama cewek lain aja aku udah ngerasa sakit hati banget. Apalagi aku
harus tahu kamu bakal tidur sama cewek lain. Itu sakit banget!” tutur Delana
sambil memukul dadanya sendiri.
“Aku
cuma pengen lihat kamu bahagia sekalipun itu sama orang lain. Itu alasannya
kenapa sekarang aku di sini,” tutur Delana sambil menahan emosinya.
“Makasih
buat penghinaan kamu selama ini!” tutur Delana sambil membalikkan tubuhnya. Ia
tak sanggup lagi menahan semua rasa sakit di dalam hatinya.
Chilton
hanya diam. Ia menatap punggung Delana yang mulai melangkah pergi.
“Satu
lagi!” tutur Delana sambil menoleh ke arah Chilton. “Cowok-cowok tampan dan
kaya yang deket sama aku selama ini, mereka semua saudaraku. Bukan cowok-cowok
yang selama ini kamu pikirkan,” tutur Delana sambil melangkahkan kaki
perlahan meninggalkan Chilton.
Delana
menghentikan langkahnya saat melihat mobil Chevrolet kuning yang terparkir di
depan gerbang asrama cewek. Karena kamar Chilton berada di lantai dua, ia bisa
melihat dengan leluasa siapa saja yang keluar masuk asrama puteri.
Delana
menoleh ke arah Chilton yang masih berdiri di pintu kamarnya. “Gerbang asrama
tepat menghadap ke pintu kamar Chilton. Artinya, dia bisa memerhatikan siapa
saja dari sini. Apa Chilton belum pernah lihat cowok yang pakai mobil kuning
itu?” tanya Delana dalam hatinya.
Chilton
langsung membuang pandangannya saat melihat Delana masih menoleh ke arahnya. Ia
mengusap tengkuknya, ia langsung salah tingkah karena ketahuan sedang
memerhatikan Delana. Chilton langsung menarik gagang pintu dan melangkah masuk
ke kamarnya.
“Tunggu!”
teriak Delana. Ia berlari menghampiri Chilton.
Chilton
menaikkan kedua alisnya sambil menoleh ke arah Delana. Ia heran dengan Delana
yang begitu mudahnya berubah atau memang dia hanya pura-pura tegar?
“Ikut
aku!” Delana menarik lengan Chilton dan mengajaknya berdiri di balkon yang tak
jauh dari pintu kamar Chilton.
“Lihat?”
tanya Delana sambil menatap lurus ke depan.
Chilton
tak mengerti maksud Delana. Ia malah menoleh ke arah Delana sambil menaikkan
satu alisnya.
Delana
gemas melihat sikap Chilton. Ia langsung menggenggam wajah Chilton dan
mengarahkan pandangannya pada mobil Chevrolet kuning yang ada di bawah mereka.
Chilton
membelalakkan matanya melihat Ratu keluar dari mobil dan terlihat begitu ceria
berbicara dengan laki-laki yang mengantarnya.
“Udah
lihat?” tanya Delana sambil menatap Chilton.
Chilton
tak menjawab. Matanya terus memerhatikan Ratu yang terlihat begitu akrab dengan
cowok pemilik mobil Chevrolet itu.
“Cowok
itu kelihatan berkelas,” gumam Delana. “Kamu nggak ada apa-apanya di mata
Ratu,” tutur Delana sambil berlalu pergi.
Chilton
bergeming. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Meninggalkan cewek sebaik Delana
untuk cewek seperti Ratu. Hatinya begitu terpukul ketika ia mengetahui kalau
Ratu mempermainkan perasaannya.
Chilton
menyandarkan tubuhnya di dinding. Ia tidak menyangka kalau cewek yang ia pilih
menjadi kekasih justru menghianatinya. Ia malu pada dirinya sendiri. Selama ini
ia sibuk berpikir negatif tentang Delana, hingga ia sendiri tak tahu kalau
kelakuan pacarnya jauh lebih buruk.
“Maafin
aku, Del!” bisiknya sambil membenturkan kepalanya ke dinding. Cinta telah
membutakan mata hatinya. Ia seringkali menuduh Delana sebagai cewek murahan
tanpa ia tahu sama sekali siapa sebenarnya orang-orang yang ada di sekitar
Delana. Hatinya begitu tersayat ketika ia tahu kalau cowok-cowok yang selama
ini dekat dengan Delana adalah saudaranya sendiri.
Chilton
melangkahkan kakinya perlahan memasuki kamar dan langsung terduduk lemas di
atas ranjangnya.
Sementara
itu, Delana melangkahkan kakinya menahan kekesalan. Ia langsung menghampiri
Ratu yang sedang berbincang mesra dengan laki-laki lain.
“Dela?”
sapa Ratu begitu melihat Delana sudah ada di depannya.
Delana
tak menjawab. Ratu terlihat salah tingkah dan berusaha menyembunyikan
kesalahannya dengan senyuman paling manis yang ia miliki.
“Del,
kenalin ini ...”
Belum
sempat Ratu memperkenalkan cowok yang bersamanya. Delana langsung menarik
lengan Ratu.
“Kenapa,
Del?” tanya Ratu heran.
“Ikut
aku!” pinta Delana sambil mengeratkan genggaman tangannya.
“Aku
pergi dulu, ya!” pamit Ratu sambil melambaikan tangan dengan ceria pada cowok
pemilik Chevrolet itu.
Delana
terus menarik lengan Ratu dan membawanya masuk ke dalam halaman asrama cowok.
“Ada
apa sih, Del?” tanya Ratu heran. Ia berusaha melepas genggaman tangan Delana
namun Delana menggenggamnya semakin erat.
Delana
tak menjawab. Ia membawa Ratu menaiki anak tangga ke arah kamar Chilton.
“Lepasin,
Del!” pinta Ratu. “Sakit.”
Delana
tak peduli, ia terus membawa Ratu sampai di depan pintu kamar Chilton yang
masih sedikit terbuka. Delana langsung mendorong pintu kamar Chilton tanpa
mengetuknya.
Chilton
mengangkat wajahnya menatap pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka lebar. Ia
terkejut ketika melihat Delana membawa Ratu masuk ke dalam kamarnya.
Delana
langsung menarik tubuh Ratu dan menghempaskannya ke ranjang Chilton sampai Ratu
tersungkur di sisi Chilton.
“Kasar
banget, sih,” gumam Ratu sambil mengelus pergelangan tangannya yang terasa
sakit.
Chilton
menelan ludah. Ia sama sekali tidak punya keinginan menatap Ratu yang sudah
duduk di sampingnya. Ia merasa sakit hati karena dibohongi oleh wanita yang ia
pilih menjadi kekasihnya.
“Kamu
lihat sendiri, dia jalan sama cowok pemilik chevrolet kuning itu!” tutur Delana
sambil menunjuk wajah Ratu.
“Selama
ini kamu ngata-ngatain aku murahan. Gonta-ganti cowok sana-sini tanpa kamu bisa
buktiin sama sekali cowok-cowok itu punya hubungan apa sama aku. Sekarang kamu
lihat sendiri kalau pacar kamu ini jauh lebih murahan dari aku!” seru Delana.
Chilton
memejamkan matanya menahan kekesalan. “Keluar dari kamarku sekarang!” pintanya
tanpa menatap Delana.
“Chil,
aku kayak gini karena belain kamu biar nggak disakitin sama cewek brengsek
ini!” sahut Delana.
“KELUAR!”
pinta Chilton dengan wajah yang dingin sedingin salju.
“Chil,
kamu malah belain dia? Dia itu udah jelas-jelas ngehianati kamu,” tutur Delana
lirih. Ia menatap wajah Chilton yang masih tertunduk sambil menatap lantai yang
ada di bawah kakinya.
“Kamu
denger nggak aku bilang? KELUAR!” teriak Chilton sambil berdiri menatap wajah
Delana penuh amarah.
Delana
terdiam. Ia menatap lekat wajah Chilton yang hanya berjarak beberapa sentimeter
dari wajahnya. Wajah Chilton terlihat merah padam menahan emosi. Ia sama sekali
tidak menyangka kalau Chilton justru akan mengusirnya. Ia melakukan ini semua
karena tidak ingin Chilton disakiti oleh orang lain.
Bukannya
dihargai, usaha Delana untuk membela Chilton justru mendapat penolakan. Chilton
sama sekali tidak mendengarkan dirinya.
Mata
Delana berkaca-kaca menatap mata Chilton yang memerah. Luka dalam hatinya
menghasilkan bulir-bulir air mata yang jatuh membasahi pipinya.
“Aku
kayak gini karena aku peduli sama kamu. Aku nggak bisa lihat kamu disakiti,”
tutur Delana lirih.
Chilton
menatap mata Delana yang berlinang air mata. Ini bukan pertama kalinya Chilton
membuat Delana menangis. Ia berkali-kali melukai hati Delana dan ia masih
melakukanya hingga saat ini.
“Aku
nyesel pernah kenal sama kamu. Pernah cinta sama kamu itu kesalahan terbesar
dalam hidupku. Aku benci sama diriku sendiri karena aku nggak pernah bisa benci
kamu sekalipun kamu nyakitin aku berkali-kali, sekalipun kamu udah bikin aku
nangis berkali-kali,” tutur Delana dengan derai air mata.
“Sekarang
aku sadar kalo kamu bukan laki-laki yang pantas buat aku. Sekarang ... AKU
BENCI KAMU! Raditya Chilton!” teriak Delana sambil mendorong dada Chilton
hingga cowok itu kembali terduduk di atas ranjangnya. Delana langsung berlari
keluar dari kamar Chilton.
Chilton
tidak menghentikan Delana untuk pergi meninggalkannya. Membuat Delana semakin
yakin kalau ia harus bisa membenci cowok itu. Menghapus semua kenangan manis
yang pernah mereka jalani bersama.
Delana
terus berlari sambil menangis. Ia tak peduli dengan beberapa orang yang
kebetulan berpapasan dengannya dan menatap heran. Delana terus saja berlari
sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Ia berusaha menghapus air matanya
sambil membuka pintu rumahnya. Tapi ia gagal, air matanya justru mengalir
semakin deras.
“Kakak
kenapa?” tanya Bryan heran melihat kakaknya masuk ke dalam rumah sambil
menangis.
Delana
tak menjawab. Ia langsung berlari masuk ke dalam kamar dan menangis
sejadi-jadinya.
Bryan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan ia menaiki anak tangga dan menghampiri
kamar Delana. Bryan menarik gagang pintu kamar Delana. Terkunci.
Bryan
mengetuk pintu kamar Delana perlahan. “Kak ...!” panggilnya.
“Kakak
nggak papa, Dek,” sahut Delana dari dalam kamar. Ia menahan isak tangisnya.
“Beneran?”
tanya Bryan lagi.
“Iya.
Kakak ngantuk, mau tidur!” teriak Delana.
Bryan
menghela napas. Ia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi pada kakaknya dan
tidak tahu harus berbuat apa.
Delana
menyambar remote televisi yang ia letakkan di atas meja meja lampu tidur. Ia
langsung menyalakan televisi dan menambah volume televisinya sangat keras.
Bryan
menggeleng heran ketika terdengar suara televisi dari luar kamar kakaknya. Ia
memilih untuk menuruni tangga dan menelepon seseorang.
“Halo
...!” sapa seseorang di seberang sana.
“Halo,
Kak Belvi lagi di mana?” tanya Bryan.
“Lagi
di perpustakaan, Dek. Ngerjain tugas. Ada apa?” tanya Belvina balik.
“Oh.
Nggak papa. Cuma nanya aja,” jawab Bryan.
“Serius?
Ada apa? Nggak biasanya kamu nelpon cuma nanya doang,” sahut Belvina.
“Mmh
... Kak Dela sama Kakak?” tanya Bryan berbohong. Ia tidak ingin mengganggu
Belvina yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya.
“Nggak.
Mungkin ke asrama kali, Dek. Atau lagi ngajar di Prapatan,” jawab Belvina.
“Nggak kamu telepon dia?”
“Hp-nya
ketinggalan di rumah,” jawab Bryan.
“Oh.
Gimana ya? Ntar Kakak bantu cari, deh.”
“Nggak
usah, Kak. Makasih ya!” ucap Bryan sambil menutup panggilan teleponnya.
Bryan
menjatuhkan tubuhnya di sofa. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia
lakukan untuk menghibur kakaknya.
Delana
terus menangis di dalam kamarnya. Kali ini ia tidak ingin diganggu oleh
siapapun. Ia ingin menata hatinya sendiri. Mengumpulkan kebencian
sebanyak-banyak pada cowok yang telah menyakitinya berkali-kali.
“AKU
BENCI KAMU!” teriak Delana sambil memukul-mukul bantal.
Delana
mengusap air matanya. “Kenapa sih aku harus nangis gara-gara kamu?” tanya
Delana pada dirinya sendiri. Telah banyak air mata yang ia keluarkan untuk
cowok itu. Cowok yang tidak bisa menghargai perasaannya sedikitpun.
Delana
bangkit dan berdiri di depan cermin. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghapus
sisa-sisa air mata yang membasahi wajahnya. Ia tersenyum memberi semangat pada
dirinya sendiri. “Kamu nggak boleh nangis, Del! Nggak boleh nangis cuma karena
cowok brengsek itu. Dia nggak pantas buat kamu. Nggak pantas sama sekali,”
tutur Delana pada bayangan dirinya sendiri.
Ia
menatap layar televisi yang masih menyala. Ada acara kuliner yang begitu
menggoda mata Delana.
Delana
menarik napas dalam-dalam. “Hmm ... daripada aku sibuk nangisin cowok itu.
Lebih baik aku masak aja dan ngajak bubuhannya makan bareng di sini. Kayaknya
lebih seru,” tutur Delana sambil tersenyum.
Tak
ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Delana memilih mengalihkan perhatiannya
pada hal lain yang akan membuatnya lupa pada Chilton dan kisah manis yang
pernah mereka lalui bersama.
Delana
menyambar tas miliknya dan keluar dari kamar.
Bryan
langsung menoleh ke arah tangga begitu mendengar suara langkah kaki. Ia bangkit
dan menatap kakaknya yang sudah terlihat lebih baik.
“Kakak
udah makan?” tanya Bryan.
“Belum,”
jawab Delana.
“Aku
bikinin nasi goreng, mau?” tanya Bryan.
“Nggak
usah, Dek. Biar Kakak aja yang masak. Kamu mau makan apa?” tanya Delana.
“Yakin
mau masak?” tanya Bryan kurang yakin melihat kakaknya yang terlihat masih
kacau.
Delana
mengangguk pasti.
“Kita
makan di luar aja, gimana?” tanya Bryan.
“Kakak
lagi malas keluar,” jawab Delana.
“Terus
mau masak apa? Di dapur nggak ada apa-apa,” tutur Bryan.
“Kakak
ke pasar dulu sebentar,” sahut Delana.
“Biar
aku aja yang ke pasar.” Bryan menawarkan diri.
Delana
mengerutkan dahinya. “Bisa?”
Bryan
menganggukkan kepala. “Catat aja yang mau dibeli!” pinta Bryan.
“Oke,
deh.” Delana melenggang ke arah dapur. Ia mengambil kertas catatan dan pena,
kemudian menulis semua bahan yang akan ia beli ke pasar.
“Nih!”
Delana menyodorkan catatan belanja pada Bryan.
“Oke.
Duitnya?” tanya Bryan sambil menengadahkan tangannya.
Delana
langsung membuka dompet dan memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan pada
Bryan.
“Aku
berangkat dulu ya!” pamit Bryan setelah menerima uang dari kakaknya.
“Hati-hati
ya!” seru Delana.
“Iya.”
Delana
mengedarkan pandangannya ke arah dapur. Sembari menunggu Bryan kembali. Ia
memilih untuk mengupas bawang terlebih dahulu. Menyiapkan bumbu-bumbu yang ia
butuhkan untuk membuat masakannya kali ini.
Air
mata Delana kembali mengalir. Ia mengingat masa-masa di mana dirinya menyiapkan
sarapan setiap hari untuk Chilton. Saat itu, Chilton terlihat sangat bahagia
menikmati hasil masakannya. Memakan semua masakan Delana dengan lahap.
Delana
mengusap air matanya. “Jangan nangis, Del!” ucapnya pada dirinya sendiri.
“Kenangan itu terlalu manis untuk ditangisi. Seharusnya kamu bisa mengingatnya
sambil tersenyum bahagia,” tutur Delana sambil tersenyum.
Banyak
hal yang membuatnya tidak bisa melupakan hari-harinya bersama Chilton. Setiap
sudut rumahnya, setiap sudut kota ini, selalu mengingatkan banyak hal tentang
cowok itu.
Delana
yakin kalau suatu hari ia akan melupakan Chilton. Seperti bagaimana ia
melupakan Aravin dalam hidupnya. Ketika mereka tak lagi saling bertemu, dunia
akan berubah. Delana akan bertemu dengan orang-orang baru, begitu juga dengan
Chilton.
Drrt
... Drrt ... Drrt ...
Ponsel
Delana yang ia letakkan di atas meja tiba-tiba bergetar. Ia langsung menatap
layar ponsel dan membaca nama seseorang yang memanggilnya. Delana langsung
menjawab dan mengaktifkan loudspeeker.
“Halo,
Dhan! Kenapa?” tanya Delana.
“Kamu
di mana?”
“Di
rumah.”
“Aku
ke sana ya!”
“Wah,
iya. Kebetulan aku mau masak banyak. Ajakin Alan sama Anshu juga ya!”
“Alan
aja. Anshu udah berangkat ke Surabaya.”
“Kapan
berangkatnya? Dia nggak ada pamitan sama aku.”
“Kemarin.
Tahu sendiri dia kayak apa.”
“Oh.
Ya udah, aku tunggu di rumah ya!”
“Oke.
On the way ...” sahut Dhanuar, ia langsung mematikan sambungan teleponnya.
Delana
tersenyum. Ia merasa bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang
menyayanginya. Menghabiskan waktu bersama sepupu-sepupunya memang sangat seru
dan bisa mengalihkan perhatiannya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Beberapa
menit kemudian, Bryan sudah kembali dari pasar. Ia membawa dua kantong plastik
besar berisi sayuran dan bahan-bahan yang dipesan oleh Delana.
“Banyak
banget belanjaan Kakak!” seru Bryan sambil meletakkan kantong plastik itu di
dekat Delana.
“Kok
cepet? Udah pinter belanja, nih,” puji Delana sambil menepuk Bryan.
“Aku
nyuruh orang, hehehe,” sahut Bryan sambil meringis.
“Nyuruh
orang? Siapa yang kamu suruh? Untung uangnya nggak dibawa kabur sama orangnya.”
“Bibi,”
jawab Bryan sambil memainkan alisnya.
Delana
langsung menatap wajah Bryan. “Bibi yang bersih-bersih di rumah sini?”
“Iya.
Kebetulan ketemu di pasar.”
“Kamu
ini, ngerepotin orang terus!”
“Bibi
juga nggak keberatan, kok. Dia kasihan lihat aku kebingungan belanja sendiri.”
“Huu
... dasar! Tadi nawarkan diri buat belanja sendiri. Kalo tahu gitu, mending
kakak yang pergi belanja.”
“Udahlah,
kakak masak aja!” tutur Bryan sambil meninggalkan Delana di dapur seorang diri.
“Eh,
bantuin kakak!” pinta Delana.
“Butuh
bantuan?” tanya Bryan sambil membalikkan tubuhnya menatap Delana.
“Iya.
Bantu kupas-kupas sama potong-potong sayurnya biar cepet. Alan sama Dhanu mau
ke sini. Kita makan bersama!” seru Delana ceria.
Bryan
tertawa kecil. “Tunggu aja mereka datang sekalian baru masak. Biar ikut bantuin
masak sekalian.”
Delana
tertawa. “Alan sama Dhanu bantuin masak? Yang ada malah ngacau.”
Bryan
langsung membantu Delana. Mengikuti setiap intruksi Delana dengan baik.
“Tuh,
mereka udah datang!” tutur Bryan saat mendengar suara mobil terparkir di depan
halaman rumahnya.
“Bukain
pintu, gih!” perintah Delana.
Bryan
langsung membersihkan tangannya dan bergegas membukakan pintu untuk kedua kakak
sepupunya.
Akhirnya,
Delana bisa mengalihkan kesedihannya dengan menghabiskan waktu bersama adik dan
sepupunya. Mereka menikmati makan malam bersama penuh canda tawa.
.png)
0 komentar:
Post a Comment