Saturday, October 18, 2025

THEN LOVE BAB 52 : HATI YANG PATAH

 


Delana mondar-mandir di dalam kamar. Ia terus menggigiti jemarinya sendiri karena gelisah. Ia tidak tahu bagaimana caranya mengatakan keinginan Ratu.

“Iih ... gimana ngomongnya?” tanya Delana pada dirinya sendiri. Ia kembali duduk sambil mengacak rambutnya.

“Ratu gila!” umpatnya. “Tapi, aku udah janji bakal ngomong ke Chilton. Gimana dong?” tanya Delana pada dirinya sendiri.

Delana menghela napas. Ia mengumpulkan keberanian sebanyak-banyaknya dan keluar dari kamar.

Awalnya, Delana melangkah dengan ragu-ragu. Kemudian ia terus memberanikan diri sampai ia sudah berdiri di depan kamar Chilton.

Tok ... tok ... tok ...!

Delana mengetuk pintu kamar Chilton perlahan.

Beberapa menit kemudian, pintu kamar Chilton terbuka.

“Dela?” Chilton terkejut saat membuka pintu kamar dan mendapati Delana sudah berdiri di depannya. “Ngapain di sini?” tanya Chilton.

“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” jawab Delana.

“Soal Ratu?” tanya Chilton.

Delana menganggukkan kepala.

“Lebih baik kamu pergi sekarang juga!” tutur Chilton dingin.

“Aku cuma mau nyampaikan pesan dari Ratu,” tutur Delana. Ia tidak akan menyerah sampai Chilton bisa mendengarkan kalimat yang akan ia sampaikan.

“Ratu itu pacarku. Kalo dia mau ngomong, nggak perlu lewat kamu,” sahut Chilton ketus.

“Ratu yang minta aku buat ngomong ke kamu.” Delana masih tidak menyerah.

“Ck.” Chilton semakin kesal karena Delana tak kunjung pergi dari depan kamarnya. “Kamu ngerti kata pergi nggak?” tanya Chilton sambil mendorong pundak Delana.

“Aku nggak bakal pergi sampai kamu mau dengerin aku,” sahut Delana.

Chilton tersenyum sinis. “Aku heran sama kamu. Kenapa kamu mau aja disuruh-suruh sama Ratu? Ratu itu pacarku. Aku sering jalan sama dia, jadi kamu nggak perlu repot-repot ke sini cuma buat nyampein pesan dari dia.”

“Terserah kamu mau ngomong apa. Aku bakal pergi setelah aku nyampein pesan dari Ratu,” tutur Delana.

Chilton menyandarkan pundaknya di bibir pintu. “Ya udah, ngomong aja! Cepet!” pinta Chilton tanpa menatap wajah Delana.

Delana menghela napas. Jantungnya berdegup sangat kencang dan seluruh tubuhnya terasa begitu dingin.

“Cepet!” sentak Chilton.

Delana menarik napas dalam-dalam. “Ratu pengen bisa tidur seranjang sama kamu sebelum kamu berangkat ke luar negeri,” tutur Delana perlahan.

“Apa!?” Chilton mengerutkan dahinya.

Delana menulan ludahnya. “Dia pengen bisa tidur sama kamu ...”

“Kamu gila ya!?” dengus Chilton.

Delana terperangah mendengar pertanyaan dari Chilton. Ia sudah menduga kalau Chilton tidak akan menyukainya. “Pacar kamu itu lebih gila lagi!” seru Delana.

Chilton mengernyitkan dahinya. “Kamu tuh yang gila! Mau aja disuruh-suruh ngomong kayak gitu sama Ratu,” sahut Chilton. “Oh, apa kamu emang udah sering tidur sama laki-laki makanya kamu nggak malu ngomong kayak gini sama aku?”

PLAK!

Delana langsung menampar Chilton begitu mendengar kalimat yang dari mulut cowok itu. Hatinya begitu tersayat saat laki-laki yang pernah ia cintai begitu dalam justru merendahkannya serendah-rendahnya.

“Kamu nggak tahu apa-apa sama sekali soal aku,” tutur Delana dengan mulut bergetar.

Chilton melirik Delana sambil memegangi pipinya yang terasa pedis karena tamparan dari Delana. Ini bukan pertama kalinya Delana menampar pipinya. Ia memang tak bisa mengendalikan diri, selalu berpikir negatif tentang Delana. Sesungguhnya, ia memang tidak pernah memahami Delana sama sekali.

“Sampai saat ini aku belum pernah pacaran. Ciuman aja aku nggak pernah. Gimana kamu bisa ngatain aku sering tidur sama laki-laki!? Apa kamu pikir aku semurah itu?” tanya Delana dengan mata berkaca-kaca.

Chilton bergeming. Ia tak berani menatap Delana sedikitpun.

“Aku di sini karena kamu. Karena permintaan pacar kamu yang sinting itu! Apa kamu pikir, aku seneng ngelakuin ini semua? Aku suka sama kamu dari pertama kali kita ketemu. Kamu sendiri yang bilang ke aku kalo aku harus ngebuktiin keseriusan aku. Aku udah ngelakuin banyak hal buat kamu.” Delana tak mampu lagi membendung air matanya.

“Selama enam bulan kita dekat. Tiba-tiba aja kamu nolak aku setelah aku ngerasa jadi wanita yang paling dicintai di dunia ini,” tutur Delana sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya.

“Apa kamu pikir itu nggak sakit? Terlebih lagi kamu lebih milih buat jadian sama cewek lain yang lebih cantik, lebih populer dan lebih segalanya dari aku.” Air mata Delana terus berderai dan ia tak bisa membendungnya lagi.

“Lihat kamu jalan sama cewek lain aja aku udah ngerasa sakit hati banget. Apalagi aku harus tahu kamu bakal tidur sama cewek lain. Itu sakit banget!” tutur Delana sambil memukul dadanya sendiri.

“Aku cuma pengen lihat kamu bahagia sekalipun itu sama orang lain. Itu alasannya kenapa sekarang aku di sini,” tutur Delana sambil menahan emosinya.

“Makasih buat penghinaan kamu selama ini!” tutur Delana sambil membalikkan tubuhnya. Ia tak sanggup lagi menahan semua rasa sakit di dalam hatinya.

Chilton hanya diam. Ia menatap punggung Delana yang mulai melangkah pergi.

“Satu lagi!” tutur Delana sambil menoleh ke arah Chilton. “Cowok-cowok tampan dan kaya yang deket sama aku selama ini, mereka semua saudaraku. Bukan cowok-cowok yang selama ini kamu pikirkan,” tutur Delana sambil melangkahkan kaki perlahan meninggalkan Chilton.

Delana menghentikan langkahnya saat melihat mobil Chevrolet kuning yang terparkir di depan gerbang asrama cewek. Karena kamar Chilton berada di lantai dua, ia bisa melihat dengan leluasa siapa saja yang keluar masuk asrama puteri.

Delana menoleh ke arah Chilton yang masih berdiri di pintu kamarnya. “Gerbang asrama tepat menghadap ke pintu kamar Chilton. Artinya, dia bisa memerhatikan siapa saja dari sini. Apa Chilton belum pernah lihat cowok yang pakai mobil kuning itu?” tanya Delana dalam hatinya.

Chilton langsung membuang pandangannya saat melihat Delana masih menoleh ke arahnya. Ia mengusap tengkuknya, ia langsung salah tingkah karena ketahuan sedang memerhatikan Delana. Chilton langsung menarik gagang pintu dan melangkah masuk ke kamarnya.

“Tunggu!” teriak Delana. Ia berlari menghampiri Chilton.

Chilton menaikkan kedua alisnya sambil menoleh ke arah Delana. Ia heran dengan Delana yang begitu mudahnya berubah atau memang dia hanya pura-pura tegar?

“Ikut aku!” Delana menarik lengan Chilton dan mengajaknya berdiri di balkon yang tak jauh dari pintu kamar Chilton.

“Lihat?” tanya Delana sambil menatap lurus ke depan.

Chilton tak mengerti maksud Delana. Ia malah menoleh ke arah Delana sambil menaikkan satu alisnya.

Delana gemas melihat sikap Chilton. Ia langsung menggenggam wajah Chilton dan mengarahkan pandangannya pada mobil Chevrolet kuning yang ada di bawah mereka.

Chilton membelalakkan matanya melihat Ratu keluar dari mobil dan terlihat begitu ceria berbicara dengan laki-laki yang mengantarnya.

“Udah lihat?” tanya Delana sambil menatap Chilton.

Chilton tak menjawab. Matanya terus memerhatikan Ratu yang terlihat begitu akrab dengan cowok pemilik mobil Chevrolet itu.

“Cowok itu kelihatan berkelas,” gumam Delana. “Kamu nggak ada apa-apanya di mata Ratu,” tutur Delana sambil berlalu pergi.

Chilton bergeming. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Meninggalkan cewek sebaik Delana untuk cewek seperti Ratu. Hatinya begitu terpukul ketika ia mengetahui kalau Ratu mempermainkan perasaannya.

Chilton menyandarkan tubuhnya di dinding. Ia tidak menyangka kalau cewek yang ia pilih menjadi kekasih justru menghianatinya. Ia malu pada dirinya sendiri. Selama ini ia sibuk berpikir negatif tentang Delana, hingga ia sendiri tak tahu kalau kelakuan pacarnya jauh lebih buruk.

“Maafin aku, Del!” bisiknya sambil membenturkan kepalanya ke dinding. Cinta telah membutakan mata hatinya. Ia seringkali menuduh Delana sebagai cewek murahan tanpa ia tahu sama sekali siapa sebenarnya orang-orang yang ada di sekitar Delana. Hatinya begitu tersayat ketika ia tahu kalau cowok-cowok yang selama ini dekat dengan Delana adalah saudaranya sendiri.

Chilton melangkahkan kakinya perlahan memasuki kamar dan langsung terduduk lemas di atas ranjangnya.

Sementara itu, Delana melangkahkan kakinya menahan kekesalan. Ia langsung menghampiri Ratu yang sedang berbincang mesra dengan laki-laki lain.

“Dela?” sapa Ratu begitu melihat Delana sudah ada di depannya.

Delana tak menjawab. Ratu terlihat salah tingkah dan berusaha menyembunyikan kesalahannya dengan senyuman paling manis yang ia miliki.

“Del, kenalin ini ...”

Belum sempat Ratu memperkenalkan cowok yang bersamanya. Delana langsung menarik lengan Ratu.

“Kenapa, Del?” tanya Ratu heran.

“Ikut aku!” pinta Delana sambil mengeratkan genggaman tangannya.

“Aku pergi dulu, ya!” pamit Ratu sambil melambaikan tangan dengan ceria pada cowok pemilik Chevrolet itu.

Delana terus menarik lengan Ratu dan membawanya masuk ke dalam halaman asrama cowok.

“Ada apa sih, Del?” tanya Ratu heran. Ia berusaha melepas genggaman tangan Delana namun Delana menggenggamnya semakin erat.

Delana tak menjawab. Ia membawa Ratu menaiki anak tangga ke arah kamar Chilton.

“Lepasin, Del!” pinta Ratu. “Sakit.”

Delana tak peduli, ia terus membawa Ratu sampai di depan pintu kamar Chilton yang masih sedikit terbuka. Delana langsung mendorong pintu kamar Chilton tanpa mengetuknya.

Chilton mengangkat wajahnya menatap pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka lebar. Ia terkejut ketika melihat Delana membawa Ratu masuk ke dalam kamarnya.

Delana langsung menarik tubuh Ratu dan menghempaskannya ke ranjang Chilton sampai Ratu tersungkur di sisi Chilton.

“Kasar banget, sih,” gumam Ratu sambil mengelus pergelangan tangannya yang terasa sakit.

Chilton menelan ludah. Ia sama sekali tidak punya keinginan menatap Ratu yang sudah duduk di sampingnya. Ia merasa sakit hati karena dibohongi oleh wanita yang ia pilih menjadi kekasihnya.

“Kamu lihat sendiri, dia jalan sama cowok pemilik chevrolet kuning itu!” tutur Delana sambil menunjuk wajah Ratu.

“Selama ini kamu ngata-ngatain aku murahan. Gonta-ganti cowok sana-sini tanpa kamu bisa buktiin sama sekali cowok-cowok itu punya hubungan apa sama aku. Sekarang kamu lihat sendiri kalau pacar kamu ini jauh lebih murahan dari aku!” seru Delana.

Chilton memejamkan matanya menahan kekesalan. “Keluar dari kamarku sekarang!” pintanya tanpa menatap Delana.

“Chil, aku kayak gini karena belain kamu biar nggak disakitin sama cewek brengsek ini!” sahut Delana.

“KELUAR!” pinta Chilton dengan wajah yang dingin sedingin salju.

“Chil, kamu malah belain dia? Dia itu udah jelas-jelas ngehianati kamu,” tutur Delana lirih. Ia menatap wajah Chilton yang masih tertunduk sambil menatap lantai yang ada di bawah kakinya.

“Kamu denger nggak aku bilang? KELUAR!” teriak Chilton sambil berdiri menatap wajah Delana penuh amarah.

Delana terdiam. Ia menatap lekat wajah Chilton yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya. Wajah Chilton terlihat merah padam menahan emosi. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Chilton justru akan mengusirnya. Ia melakukan ini semua karena tidak ingin Chilton disakiti oleh orang lain.

Bukannya dihargai, usaha Delana untuk membela Chilton justru mendapat penolakan. Chilton sama sekali tidak mendengarkan dirinya.

Mata Delana berkaca-kaca menatap mata Chilton yang memerah. Luka dalam hatinya menghasilkan bulir-bulir air mata yang jatuh membasahi pipinya.

“Aku kayak gini karena aku peduli sama kamu. Aku nggak bisa lihat kamu disakiti,” tutur Delana lirih.

Chilton menatap mata Delana yang berlinang air mata. Ini bukan pertama kalinya Chilton membuat Delana menangis. Ia berkali-kali melukai hati Delana dan ia masih melakukanya hingga saat ini.

“Aku nyesel pernah kenal sama kamu. Pernah cinta sama kamu itu kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku benci sama diriku sendiri karena aku nggak pernah bisa benci kamu sekalipun kamu nyakitin aku berkali-kali, sekalipun kamu udah bikin aku nangis berkali-kali,” tutur Delana dengan derai air mata.

“Sekarang aku sadar kalo kamu bukan laki-laki yang pantas buat aku. Sekarang ... AKU BENCI KAMU! Raditya Chilton!” teriak Delana sambil mendorong dada Chilton hingga cowok itu kembali terduduk di atas ranjangnya. Delana langsung berlari keluar dari kamar Chilton.

Chilton tidak menghentikan Delana untuk pergi meninggalkannya. Membuat Delana semakin yakin kalau ia harus bisa membenci cowok itu. Menghapus semua kenangan manis yang pernah mereka jalani bersama.

Delana terus berlari sambil menangis. Ia tak peduli dengan beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengannya dan menatap heran. Delana terus saja berlari sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Ia berusaha menghapus air matanya sambil membuka pintu rumahnya. Tapi ia gagal, air matanya justru mengalir semakin deras.

“Kakak kenapa?” tanya Bryan heran melihat kakaknya masuk ke dalam rumah sambil menangis.

Delana tak menjawab. Ia langsung berlari masuk ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya.

Bryan menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan ia menaiki anak tangga dan menghampiri kamar Delana. Bryan menarik gagang pintu kamar Delana. Terkunci.

Bryan mengetuk pintu kamar Delana perlahan. “Kak ...!” panggilnya.

“Kakak nggak papa, Dek,” sahut Delana dari dalam kamar. Ia menahan isak tangisnya.

“Beneran?” tanya Bryan lagi.

“Iya. Kakak ngantuk, mau tidur!” teriak Delana.

Bryan menghela napas. Ia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi pada kakaknya dan tidak tahu harus berbuat apa.

Delana menyambar remote televisi yang ia letakkan di atas meja meja lampu tidur. Ia langsung menyalakan televisi dan menambah volume televisinya sangat keras.

Bryan menggeleng heran ketika terdengar suara televisi dari luar kamar kakaknya. Ia memilih untuk menuruni tangga dan menelepon seseorang.

“Halo ...!” sapa seseorang di seberang sana.

“Halo, Kak Belvi lagi di mana?” tanya Bryan.

“Lagi di perpustakaan, Dek. Ngerjain tugas. Ada apa?” tanya Belvina balik.

“Oh. Nggak papa. Cuma nanya aja,” jawab Bryan.

“Serius? Ada apa? Nggak biasanya kamu nelpon cuma nanya doang,” sahut Belvina.

“Mmh ... Kak Dela sama Kakak?” tanya Bryan berbohong. Ia tidak ingin mengganggu Belvina yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya.

“Nggak. Mungkin ke asrama kali, Dek. Atau lagi ngajar di Prapatan,” jawab Belvina. “Nggak kamu telepon dia?”

“Hp-nya ketinggalan di rumah,” jawab Bryan.

“Oh. Gimana ya? Ntar Kakak bantu cari, deh.”

“Nggak usah, Kak. Makasih ya!” ucap Bryan sambil menutup panggilan teleponnya.

Bryan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghibur kakaknya.

Delana terus menangis di dalam kamarnya. Kali ini ia tidak ingin diganggu oleh siapapun. Ia ingin menata hatinya sendiri. Mengumpulkan kebencian sebanyak-banyak pada cowok yang telah menyakitinya berkali-kali.

“AKU BENCI KAMU!” teriak Delana sambil memukul-mukul bantal.

Delana mengusap air matanya. “Kenapa sih aku harus nangis gara-gara kamu?” tanya Delana pada dirinya sendiri. Telah banyak air mata yang ia keluarkan untuk cowok itu. Cowok yang tidak bisa menghargai perasaannya sedikitpun.

Delana bangkit dan berdiri di depan cermin. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi wajahnya. Ia tersenyum memberi semangat pada dirinya sendiri. “Kamu nggak boleh nangis, Del! Nggak boleh nangis cuma karena cowok brengsek itu. Dia nggak pantas buat kamu. Nggak pantas sama sekali,” tutur Delana pada bayangan dirinya sendiri.

Ia menatap layar televisi yang masih menyala. Ada acara kuliner yang begitu menggoda mata Delana.

Delana menarik napas dalam-dalam. “Hmm ... daripada aku sibuk nangisin cowok itu. Lebih baik aku masak aja dan ngajak bubuhannya makan bareng di sini. Kayaknya lebih seru,” tutur Delana sambil tersenyum.

Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Delana memilih mengalihkan perhatiannya pada hal lain yang akan membuatnya lupa pada Chilton dan kisah manis yang pernah mereka lalui bersama.

Delana menyambar tas miliknya dan keluar dari kamar.

Bryan langsung menoleh ke arah tangga begitu mendengar suara langkah kaki. Ia bangkit dan menatap kakaknya yang sudah terlihat lebih baik.

“Kakak udah makan?” tanya Bryan.

“Belum,” jawab Delana.

“Aku bikinin nasi goreng, mau?” tanya Bryan.

“Nggak usah, Dek. Biar Kakak aja yang masak. Kamu mau makan apa?” tanya Delana.

“Yakin mau masak?” tanya Bryan kurang yakin melihat kakaknya yang terlihat masih kacau.

Delana mengangguk pasti.

“Kita makan di luar aja, gimana?” tanya Bryan.

“Kakak lagi malas keluar,” jawab Delana.

“Terus mau masak apa? Di dapur nggak ada apa-apa,” tutur Bryan.

“Kakak ke pasar dulu sebentar,” sahut Delana.

“Biar aku aja yang ke pasar.” Bryan menawarkan diri.

Delana mengerutkan dahinya. “Bisa?”

Bryan menganggukkan kepala. “Catat aja yang mau dibeli!” pinta Bryan.

“Oke, deh.” Delana melenggang ke arah dapur. Ia mengambil kertas catatan dan pena, kemudian menulis semua bahan yang akan ia beli ke pasar.

“Nih!” Delana menyodorkan catatan belanja pada Bryan.

“Oke. Duitnya?” tanya Bryan sambil menengadahkan tangannya.

Delana langsung membuka dompet dan memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan pada Bryan.

“Aku berangkat dulu ya!” pamit Bryan setelah menerima uang dari kakaknya.

“Hati-hati ya!” seru Delana.

“Iya.”

Delana mengedarkan pandangannya ke arah dapur. Sembari menunggu Bryan kembali. Ia memilih untuk mengupas bawang terlebih dahulu. Menyiapkan bumbu-bumbu yang ia butuhkan untuk membuat masakannya kali ini.

Air mata Delana kembali mengalir. Ia mengingat masa-masa di mana dirinya menyiapkan sarapan setiap hari untuk Chilton. Saat itu, Chilton terlihat sangat bahagia menikmati hasil masakannya. Memakan semua masakan Delana dengan lahap.

Delana mengusap air matanya. “Jangan nangis, Del!” ucapnya pada dirinya sendiri. “Kenangan itu terlalu manis untuk ditangisi. Seharusnya kamu bisa mengingatnya sambil tersenyum bahagia,” tutur Delana sambil tersenyum.

Banyak hal yang membuatnya tidak bisa melupakan hari-harinya bersama Chilton. Setiap sudut rumahnya, setiap sudut kota ini, selalu mengingatkan banyak hal tentang cowok itu.

Delana yakin kalau suatu hari ia akan melupakan Chilton. Seperti bagaimana ia melupakan Aravin dalam hidupnya. Ketika mereka tak lagi saling bertemu, dunia akan berubah. Delana akan bertemu dengan orang-orang baru, begitu juga dengan Chilton.

Drrt ... Drrt ... Drrt ...

Ponsel Delana yang ia letakkan di atas meja tiba-tiba bergetar. Ia langsung menatap layar ponsel dan membaca nama seseorang yang memanggilnya. Delana langsung menjawab dan mengaktifkan loudspeeker.

“Halo, Dhan! Kenapa?” tanya Delana.

“Kamu di mana?”

“Di rumah.”

“Aku ke sana ya!”

“Wah, iya. Kebetulan aku mau masak banyak. Ajakin Alan sama Anshu juga ya!”

“Alan aja. Anshu udah berangkat ke Surabaya.”

“Kapan berangkatnya? Dia nggak ada pamitan sama aku.”

“Kemarin. Tahu sendiri dia kayak apa.”

“Oh. Ya udah, aku tunggu di rumah ya!”

“Oke. On the way ...” sahut Dhanuar, ia langsung mematikan sambungan teleponnya.

Delana tersenyum. Ia merasa bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang menyayanginya. Menghabiskan waktu bersama sepupu-sepupunya memang sangat seru dan bisa mengalihkan perhatiannya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

Beberapa menit kemudian, Bryan sudah kembali dari pasar. Ia membawa dua kantong plastik besar berisi sayuran dan bahan-bahan yang dipesan oleh Delana.

“Banyak banget belanjaan Kakak!” seru Bryan sambil meletakkan kantong plastik itu di dekat Delana.

“Kok cepet? Udah pinter belanja, nih,” puji Delana sambil menepuk Bryan.

“Aku nyuruh orang, hehehe,” sahut Bryan sambil meringis.

“Nyuruh orang? Siapa yang kamu suruh? Untung uangnya nggak dibawa kabur sama orangnya.”

“Bibi,” jawab Bryan sambil memainkan alisnya.

Delana langsung menatap wajah Bryan. “Bibi yang bersih-bersih di rumah sini?”

“Iya. Kebetulan ketemu di pasar.”

“Kamu ini, ngerepotin orang terus!”

“Bibi juga nggak keberatan, kok. Dia kasihan lihat aku kebingungan belanja sendiri.”

“Huu ... dasar! Tadi nawarkan diri buat belanja sendiri. Kalo tahu gitu, mending kakak yang pergi belanja.”

“Udahlah, kakak masak aja!” tutur Bryan sambil meninggalkan Delana di dapur seorang diri.

“Eh, bantuin kakak!” pinta Delana.

“Butuh bantuan?” tanya Bryan sambil membalikkan tubuhnya menatap Delana.

“Iya. Bantu kupas-kupas sama potong-potong sayurnya biar cepet. Alan sama Dhanu mau ke sini. Kita makan bersama!” seru Delana ceria.

Bryan tertawa kecil. “Tunggu aja mereka datang sekalian baru masak. Biar ikut bantuin masak sekalian.”

Delana tertawa. “Alan sama Dhanu bantuin masak? Yang ada malah ngacau.”

Bryan langsung membantu Delana. Mengikuti setiap intruksi Delana dengan baik.

“Tuh, mereka udah datang!” tutur Bryan saat mendengar suara mobil terparkir di depan halaman rumahnya.

“Bukain pintu, gih!” perintah Delana.

Bryan langsung membersihkan tangannya dan bergegas membukakan pintu untuk kedua kakak sepupunya.

Akhirnya, Delana bisa mengalihkan kesedihannya dengan menghabiskan waktu bersama adik dan sepupunya. Mereka menikmati makan malam bersama penuh canda tawa.

 

 ((Bersambung...))

 

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas