“Del, mau ke mana?”
tanya Belvina melihat Delana yang sudah bangkit lebih dulu saat jam istirahat.
“Mmh ...” Delana
memutar bola matanya. “Ke toilet. Mau ikut?”
“Ogah! Kirain mau ke
kantin.”
Delana meringis. Ia
langsung bergegas keluar sambil melambaikan tangan ke arah Belvina.
Delana melenggang
dengan ceria menyusuri koridor. Hari ini, ia merasa lebih baik. Mungkin, dengan
menerima kenyataan kalau Chilton selamanya akan menjadi teman baik bisa membuat
hatinya lebih tenang dan bahagia.
Delana menaiki anak
tangga menuju ke kelas Chilton. Tapi, kelas itu sudah kosong dan tak ada siapa
pun di sana. Chilton jarang sekali keluar kelas. Kalau ia sudah datang ke
kelasnya terlebih dahulu, seharusnya masih ada dia di dalam kelas.
Delana menghela napas
kecewa karena tak bisa menemukan Chilton. Mungkin saja cowok itu sedang
berjalan-jalan bersama pacarnya yang cantik. Ia kemudian keluar dari kelas.
Matanya tertuju pada sudut bangunan, di sana ada balkon yang menghadap ke taman
kampus. Ia tersenyum dan melangkahkan kaki perlahan-lahan menuju balkon.
Delana tersenyum sambil
menyandarkan tubuhnya di pagar balkon. Ia menopang dagunya sambil menatap taman
yang ada di depannya. Baru kali ini ia berdiri di sini. Ia bisa melihat semua
orang yang beraktivitas di taman. Bunga-bunga yang bermekaran dengan indah dan
penuh warna. Di sana, Delana biasa duduk di kursi taman menunggu Chilton untuk
sarapan pagi.
Delana merentangkan
tangan sambil memejamkan mata. Ia mengingat masa-masa indah saat menghabiskan
waktunya bersama Chilton.
“Aku rindu waktu itu.
Andai aja kamu nggak nolak aku, pasti sampai sekarang kita masih duduk di sana.
Sarapan bareng, bercanda bareng. Setiap hari aku selalu semangat bangun pagi
cuma pengen bisa nyiapin sarapan buat kamu setiap hari. Tapi ... sekarang aku
udah nggak bisa kayak dulu lagi. Kamu udah jadi pacarnya Ratu. Pasti selalu
disiapin sarapan spesial setiap pagi. Beruntung banget jadi Ratu. Udah cantik,
populer dan punya pacar ganteng, ” tutur Delana sambil tersenyum.
Delana mengedarkan
pandangannya. Matanya melotot saat menangkap sosok bertubuh tinggi yang berdiri
di ujung balkon sambil menatapnya.
“Udah di sini dari
tadi?” tanya Delana.
Chilton tersenyum.
“Menurutmu?”
“Hmm ...” Delana
menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Ngapain ke sini?
Bukannya kelas kamu di bawah?” tanya Chilton.
“Eh ... oh ... eh, aku
ke sini nyari kamu.”
Chilton menaikkan
alisnya. “Oh, ya?” Ia melangkah mendekati Delana.
“Stop!” seru Delana
sambil mengangkat telapak tangannya ke depan dada. Ia mundur dua langkah dan
berkata, “jangan dekat-dekat!”
Chilton menahan melihat
sikap Delana. “Apa kamu sudah pacar? Jadi, jaga jarak sama aku?”
“Eh!? Yang bener, kamu
yang sudah punya pacar,” sahut Delana sambil tersenyum.
Chilton tersenyum
kecil. “Ada apa cari aku?”
“Aku mau kasih sedikit
saran buat hubunganmu,” jawab Delana.
“Saran?”
“Kemarin, terjadi
kegaduhan di asrama karena Ratu ketahuan beli tas palsu.”
“Palsu?” Chilton
mengernyitkan dahinya.
“Dia bilang tas itu
hadiah dari kamu.”
“Hah!?”
Delana tersenyum.
“Emang bener itu tas dari kamu?”
“Aku baru berencana
ngasih.”
Delana menahan tawa.
“Kenapa ketawa?”
“Eh!? Aku nggak
ketawa,” sahut Delana.
Chilton menggigit bibir
bawahnya. “Saranmu?”
“Kamu bisa ngasih dia
hadiah tas bermerk di hari jadian kalian yang ke seratus,” jawab Delana sambil
tersenyum. Ia merogoh ponsel di sakunya. “Aku udah kirim website toko online
untuk tas-tas bermerk. Kamu bisa pilih sendiri buat kasih hadiah ke Ratu,”
tutur Ratu sambil tersenyum. Ia kembali meletakkan ponsel di sakunya.
Chilton menyalakan
ponsel dan membuka pesan dari Delana. “Makasih!”
Delana tersenyum sambil
menganggukkan kepalanya.
Mereka terdiam beberapa
saat.
“Kamu apa kabar?” tanya
Chilton.
“Baik.”
Delana merasa kalau
pertemuannya dengan Chilton kali ini masih terasa canggung. Ia tidak tahu harus
membicarakan apa lagi.
“Mmh ... aku balik ke
kelas dulu, ya!” pamit Delana.
Chilton menganggukkan
kepala.
Delana tersenyum dan
bergegas melangkahkan kaki meninggalkan Chilton.
“Del ...!” panggil
Chilton.
Delana membalikkan
tubuhnya menatap Chilton. “Ya.”
“Makasih, ya!”
Delana tersenyum kecil
dan menganggukkan kepalanya. Ia membalikkan tubuhnya dan bergegas meninggalkan
Chilton.
***
“Kamu dari mana?” tanya
Belvina.
“Eh!?” Delana menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. “Dari ruang dosen.”
“Ngapain? Ada masalah
sama mata kuliah kamu?” tanya Belvina.
“Eh!? Nggak ada.”
“Terus? Ngapain ke
sana?” tanya Belvina.
“Kepo!” dengus Delana.
“Oh, jadi sekarang
mulai main rahasia-rahasiaan ya?” tanya Belvina.
“Apa kamu pikir ada
rahasia antara pertemuan dosen dan murid?” tanya Delana balik.
“Yah, karena aku tahu
kalau ruangan dosen bukan di lantai dua,” jawab Belvina sambil tersenyum.
Delana membelalakkan
matanya. “Kamu tahu darimana aku di lantai dua?” tanya Delana berbisik.
Belvina tersenyum
sambil memainkan jemari tangannya di pipi.
Delana menghela napas.
“Aku ketemu sama Chilton,” tuturnya perlahan sambil melihat keadaan sekitar
untuk memastikan tidak ada murid lain yang akan mendengar pertanyaan mereka.
“Nah, kan?”
“Aku cuma mau ngasih
tahu dia supaya beliin tas mahal buat pacarnya itu. Dia itu kan payah banget!”
tutur Delana.
Belvina tertawa kecil.
“Terus? Dia terima saran dari kamu?”
Delana menganggukkan
kepalanya.
“Mmh ... aku rasa dia
masih mau dengerin kata-katamu,” tutur Belvina.
Delana menggangguk.
“Aku ngerasa berteman lebih baik. Aku senang bisa lihat dia bahagia.”
“Bagus, deh. Berarti
udah nggak ada nangis-nangis lagi ya!”
Delana tersenyum.
“Tenang aja! Masih ada banyak cowok ganteng di dunia ini.”
Belvina tertawa lebar.
“Awas ya kalo masih jomblo aja!”
“Apa bedanya sama
kamu?” dengus Delana.
“Aku jomblo karena
pengen dapetin cowok yang tepat. Cowok yang bener-bener sayang sama aku,” sahut
Belvina.
Delana tersenyum. “Eh,
si Ivo masuk kuliah atau nggak hari ini?”
“Masuk. Tadi di kantin
bareng aku,” jawab Belvina.
Delana langsung bangkit
dari tempat duduknya.
“Mau ke mana?” tanya
Belvina.
“Ada perlu sama dia
sebentar.”
“Aku ikut!”
Delana menghentikan
langkahnya. “Mmh ... nggak jadi.”
“Kenapa?”
“Lima menit lagi dosen
masuk.”
Belvina melihat jam
yang ada di ponselnya. “Iya ya?”
“Nanti aja kalo udah
pulang kuliah!”
Belvina tersenyum
sambil menganggukkan kepalanya.
***
Chilton mondar mandir
di dalam kamar asramanya. Ia masih tidak mengerti bagaimana caranya belanja
online terlebih situs yang diberikan Delana adalah situs internasional. Ia juga
tidak mengerti cara memilih tas yang baik.
Chilton menyalakan
layar ponselnya dan langsung menelepon Zoya.
“Zoy, kamu di mana?”
tanya Chilton.
“Aku lagi di Jakarta.
Kenapa, Chil?” tanya Zoya.
“Oh. Nggak papa. Aku
kira kamu di sini.”
“Ada apa? Cerita aja?”
“Nggak ada apa-apa.
Cuma mau main ke rumahmu aja.”
“Oh. Dua minggu lagi
aku baru balik ke Balikpapan,” tutur Zoya.
“Iya. Good luck!” ucap
Chilton dan langsung mematikan sambungan teleponnya.
Chilton mengetuk-ngetuk
dahinya. “Siapa yang bisa bantu aku ya?” gumamnya.
“Attala nggak mungkin.
Seleranya dia nggak terlalu tinggi.” Chilton mulai berbicara sendiri di dalam
kamarnya.
Chilton terus berpikir.
Ia tidak punya banyak teman dekat. Ia memeriksa kontak yang ada di ponselnya.
Matanya kemudian tertuju pada nama “Hesa Inc” yang ia simpan di kontaknya. Ia
langsung menekan nama kontak tersebut dan meneleponnya.
Beberapa kali
menelepon, tak juga diangkat oleh Hesa. Chilton akhirnya menyerah dan
merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Beberapa menit
kemudian, ponselnya berdering. Chilton langsung menjawab panggilan begitu tahu
kalau yang menelepon adalah Hesa.
“Halo ...!” sapa
Chilton.
“Sorry, masih makan
sama cewekku! Ada apa?” tanya Hesa.
“Aku butuh bantuanmu,”
jawab Chilton.
“Apa itu?”
“Kamu di mana
sekarang?”
“Masih di jalan.”
“Berapa menit lagi
sampe rumah?” tanya Chilton.
“Tiga puluh menit.”
“Oke. Tiga puluh menit
lagi aku sudah ada di depan rumahmu.”
“Oke.”
Chilton langsung
mematikan sambungan teleponnya.
Beberapa menit
kemudian, ia bergegas keluar dari kamar dan melajukan sepeda motornya menuju
rumah Hesa.
Chilton menghentikan
sepeda motornya tepat di depan rumah Hesa saat mobil Hesa memasuki halaman
rumahnya.
Chilton turun dari
motor dan langsung masuk ke pintu gerbang rumah Hesa.
“Hei, gimana kabarnya?”
sapa Chilton saat Hesa turun dari mobil.
“Baik. Kamu gimana?”
tanya Hesa sambil merangkul pundak Chilton.
“Baik juga. Gimana
Auckland?” tanya Chilton balik.
“Menyenangkan!”
“Banyak cewek-cewek
cantik?”
“Cantik dan seksi,”
sahut Hesa sambil tersenyum bahagia.
Chilton balas
tersenyum.
“Ayo masuk!” ajak Hesa
sambil merangkul Chilton.
“Perlu bantuan apa?”
tanya Hesa saat mereka sudah ada di dalam rumah.
“Aku mau tanya, hadiah
yang cocok buat cewek kayak gimana, ya?”
Hesa mengernyitkan
dahinya. “Udah punya pacar?”
Chilton hanya tersenyum
mendengar pertanyaan Hesa.
“Kamu mau ngasih hadiah
apa?”
“Aku udah nanya sama
temen cewek, dia nyaranin kasih tas yang bermerek. Aku udah dikasih webnya sama
dia. Tapi, aku nggak paham gimana cara belanjanya,” jelas Chilton.
“Klik aja link yang dia
kirim!” perintah Hesa.
“Udah, Hes. Tapi aku
masih nggak paham.”
“Nggak paham di bagian
mananya?” tanya Hesa.
“Nggak paham milih sama
bayarnya,” jawab Chilton sambil meringis.
“Aha, kalo soal milih
barang buat cewek, serahin ke aku!” pinta Hesa. “Cewekmu orangnya kayak
gimana?”
“Bentar!” pinta Chilton
sambil menyalakan ponselnya. Ia mencari nama Ratu di media sosial dan
menunjukkan fotonya pada Hesa.
“Cantik,” puji Hesa
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Gimana cara pesannya?”
tanya Chilton.
“Sini!” Hesa menyambar
ponsel Chilton dan langsung membuka situs web online untuk melihat
koleksi-koleksi tas yang ada. “Pilih dulu tas mana yang kamu mau?” tanya Hesa
sambil menyodorkan kembali ponsel Chilton.
“Aargh ...! Nggak paham
aku mana yang disukai cewek atau enggak,” sahut Chilton.
Hesa tertawa kecil.
“Kenapa ketawa?”
“Itu tas bermerek. Tas
yang paling murah sekalipun harganya tiga jutaan.”
“Astaga! Mahal
banget!?”
“Itu yang paling murah.
Kalo mereka jual tas harganya segitu, langsung habis dalam hitungan jam.”
“Serius?”
Hesa menganggukkan
kepala.
Chilton menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
“Yang harga segitu
pasti udah nggak ada. Yang paling mahal berapa?” tanya Chilton.
“Ratusan juta.”
“Serius?”
“Iya.”
“Kenapa cewek suka
banget barang-barang mahal?” gumam Chilton.
“Cewekmu lumayan
berkelas. Lagipula, ngasih satu tas nggak bakal ngabisin duit tabunganmu,
Chil.”
“Ck, emang nggak bakal
ngabisin duitku. Tapi kalo ratusan juta juga mikir,” sahut Chilton sambil
menggosok-gosok dahinya.
“Hei ...! Kamu udah
punya pacar. Kenapa pelit banget sama pacar sendiri?” tanya Hesa sambil
menepuk-nepuk bahu Chilton.
Chilton mendesah kesal.
“Ternyata pacaran ribet banget!” gumamnya.
Hesa tertawa lebar.
“Kamu nggak beneran cinta sama pacar sendiri?”
“Eh!? Cintalah.”
“Kenapa masih mikir?”
“Ah!?”
“Cewek itu suka
dimanja. Suka dikasih hadiah barang-barang mewah. Kalo kamu kasih barang mewah,
dia bakal nempel terus sama kamu kayak besi sama magnet.”
Chilton terdiam. Ia
masih memerhatikan foto-foto tas yang terpajang di website online. Baginya,
semua tas yang ada di sana bagus dan dia tidak bisa memilihkan satu pun untuk
kekasihnya.
Hesa tertawa kecil. Ia
bangkit dan mengambil air minum di dapur untuk Chilton.
“Belum dapet?” tanya
Hesa begitu kembali duduk di samping Chilton.
Chilton menggelengkan
kepalanya. Ia menyodorkan ponselnya ke arah Hesa. “Carikan! Yang harganya
standar aja.”
Hesa tersenyum dan
meraih ponsel Chilton. Ia kemudian mencarikan model tas yang cocok untuk pacar
Chilton yang cantik.
Chilton menyandarkan
kepalanya di punggung sofa. Ia menatap langit-langit rumah yang tinggi dan
memikirkan banyak hal yang harus ia lakukan ketika ia berpacaran dengan Ratu.
“Yang ini gimana?”
tanya Hesa sambil menunjukkan layar ponsel Chilton.
Chilton menatap tas
tersebut dan teringat kalau Delana pernah memakai tas dengan bentuk dan motif
yang sama.
“Yang lain. Aku pernah
lihat temenku pake tas model kayak gini,” tutur Chilton.
Hesa tertawa kecil.
“Temen cewek?”
Chilton menganggukkan
kepalaanya.
“Berkelas juga tuh
temen cewekmu. Lain kali, kenalin sama aku ya!” pinta Hesa sambil memainkan
alisnya.
“Eh!?”
“Tas ini, harganya sembilan
puluh juta. Kalo kamu punya temen pake tas yang kayak gini. Berarti dia anak
orang kaya.”
“Hah!? Sembilan puluh juta?”
tanya Chilton sambil membelalakkan matanya. “Tapi, bisa aja dia pake tas yang
kw. Tas model kayak gitu juga di pasar banyak. Harganya enam puluh ribuan,”
celetuk Chilton.
Hesa menahan tawa
mendengar ucapan Chilton.
“Kenapa ketawa?” dengus
Chilton.
“Kamu punya pacar
berkelas tapi seleramu payah!”
Chilton menahan
kekesalan mendengar ucapan Hesa. “Nggak usah ngolok aku! Cepet carikan tasnya!”
“Mau yang harga
berapa?”
“Kalo ada yang gratis.”
“Di mana ada tas
bermerk gratis? Sinting!”
“Ada.” Chilton menatap
Hesa. Ia tersenyum genit sambil menggoyang-goyangkan alisnya.
Hesa menatap curiga ke
arah Chilton. “Ah, pasti ada maunya kalo kayak gini.”
“Nanti aku kenalin sama
banyak cewek cantik. Gimana?” tawar Chilton.
“Hah, nggak! Kalo soal
cewek cantik, aku lebih jago dari kamu,” tutur Hesa penuh percaya diri.
Chilton menghela
napasnya. “Ya udah, carikan yang nggak lebih dari tiga puluh.”
Hesa kembali mencari di
website online. “Siapa yang rekomendasiin website ini, Chil?” tanya Hesa.
“Temen.”
“Temen cewek?”
“Iya.”
“Kamu punya pacar tapi
deket sama cewek lain? Parah!” tutur Hesa sambil geleng-geleng kepala.
“Nggak usah sok suci!
Pacarmu aja banyak. Sok-sokan nasehatin aku.”
Hesa tergelak mendengar
ucapan Chilton.
“Kenalin sama temen
cewekmu yang tajir ini, ya!” pinta Hesa.
“Nggak!”
“Hah!? Kenapa?”
“Orangnya jelek.”
“Serius?”
“Iya. Kalo dia cantik,
pasti udah kujadiin pacar. Dia itu jelek, hitam, gendut dan mukanya banyak
jerawatnya,” tutur Chilton berbohong.
Wajah Hesa menegang
begitu mendengar ucapan Chilton. Ia kemudian tersadar kalau cewek yang menyukai
tas bermerek pasti punya penampilan yang sangat sempurna dan pandai merawat
dirinya dengan perawatan mahal.
Hesa menatap tajam ke
arah Chilton.
“Kenapa lihatin aku
kayak gitu?”
Hesa mendengus tubuh
Chilton dengan hidungnya. “Aku mencium aroma kebohongan.”
Chilton mengangkat
kedua alisnya. “Kamu nggak percaya sama aku?”
Hesa tertawa lebar.
“Chilton ... Chilton ...! Kamu kira aku bego? Kalo soal cewek mah aku sudah
wisuda berkali-kali.”
“Iya. Gelarnya M.Pd,”
sahut Chilton.
“Apa itu?”
“Master Playboy dunia.”
“Pinter juga kamu, ya?”
tutur Hesa.
“Eh!?”
Hesa tersenyum kecil.
“Kenapa nggak mau kenalin temenmu itu ke aku? Kamu naksir sama dia juga?”
“Nggak.”
“Bohong!”
“Nggak.”
“Kenapa
nggak mau dikenalin ke aku?”
“Dia
nggak terlalu ramah sama cowok.”
“Tapi,
sama kamu deket?”
“Iya.”
“Berarti
bisa juga deket sama aku. Aku pasti bisa bikin dia klepek-klepek.”
“Nggak
usah!”
“Kenapa?”
“Dia
nggak cocok sama kamu.”
“Karena
dia gendut?” tanya Hesa sambil tertawa kecil.
Chilton
menganggukkan kepalanya.
Hesa
menahan tawa. “Chil ...!” Ia menatap Chilton. “Kamu tahu, cewek yang suka
barang-barang mewah kayak gini. Fisiknya nggak akan seperti yang kamu
deskripsikan ke aku. Dia pasti punya uang banyak buat perawatan. Kalau pun aku mengenalnya sebagai cewek yang hitam dan gendut, aku pasti bisa mengubahnya jadi bidadari.”
Chilton
menelan ludahnya. Ia mengambil gelas di atas meja dan meminumnya perlahan.
Hesa
tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Yang ini gimana?” tanya Hesa
sambil menyodorkan ponsel Chilton.
“Berapa
harganya?”
“Dua
puluh satu.”
“Bungkus!”
“Punya
akun Paypal?”
“Eh!?
Apa itu?”
“Hadeh
...” Hesa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kirim linknya ke aku!” pinta Hesa.
Chilton
meringis dan langsung mengirimkan link pada Hesa.
“Kamu
transfer uangnya ke rekeningku!” pinta Hesa.
“Iya.
Berapa hari datangnya?” tanya Chilton.
“Mau
yang cepet atau lama?”
“Cepet.”
“Seminggu.”
Chilton
melihat kalender yang ada di ponselnya. “Pas!”
“Apanya?”
“Seminggu
kan?”
“Iya.”
“Jangan
sampe lebih dari seminggu, ya!” pinta Chilton.
“Pas
hari ulang tahun cewekmu kah?”
Chilton
tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Lebih tepatnya hari ke seratus kita
jadian.”
“Oh.
Selamat, ya!” tutur Hesa.
Chilton
tersenyum.
“Eh,
sudah lama kita nggak ketemu. Gimana kalau malam ini kita ke bar?” ajak Hesa.
“Boleh.”
Chilton menganggukkan kepalanya.
“Kamu
bawa motor, kah?” tanya Hesa.
“Iya.”
“Masukin
motormu! Pake mobilku aja.”
“Sekarang?”
“Tahun
depan!”
Chilton
tertawa kecil. Ia bangkit dan langsung mengikuti perintah Hesa. Ia memasukkan
sepeda motornya dan bergegas menuju bar bersama Hesa.
***
Seminggu
kemudian, tas yang dipesankan oleh Mahesa akhrinya sampai di rumah Chilton.
Chilton
tersenyum menerima paketan tersebut dan langsung mengajak Ratu untuk bertemu Kaizeki
Japanese Restaurant.
“Tumben
banget kamu ngajak aku makan malam di tempat kayak gini,” tutur Ratu ketika ia
dan Chilton sudah duduk di dalam kursi restoran.
Chilton
tersenyum. “Sesekali nggak papa kan?”
Ratu
tersenyum. Ia merasa sangat bahagia karena kekasihnya itu seringkali
memperlakukannya begitu istimewa dan romantis walau sikapnya sedingin salju.
“Mau
makan apa?” tanya Chilton.
Ratu
melihat daftar menu yang ada. “Salmon soup aja.”
“Minumnya?”
“Chocolate
Rush.”
Chilton
tersenyum dan langsung memesan makanan untuknya dan Ratu. Ia mengambil paper
bag yang ia sembunyikan di bawah meja dan memberikannya pada Ratu.
Mata
Ratu berbinar menatap paper bag yang ada di atas meja. “Ini buat aku?”
tanyanya.
Chilton
menganggukkan kepala.
“Mmh
... aku nggak ulang tahun. Kenapa ngasih hadiah?”
“Dela
nyuruh aku buat ngasih hadiah ini ke kamu di hari jadian kita yang ke seratus.”
“Hah!?
Serius? Dia baik banget!” seru Ratu.
Chilton
mengernyitkan dahi mendengar ucapan Ratu.
“Hehehe.”
Ratu meringis menatap Chilton. “Kamu ingat sama hari jadian kita?”
Chilton
menganggukkan kepalanya.
Ratu
bangkit dari tempat duduknya dan langsung memeluk Chilton dari belakang.
“Udah,
jangan berlebihan kayak gini!” pinta Chilton sambil mengelus lengan Ratu.
“Makasih!”
ucap Ratu sambil mengecup pipi Chilton. Ia langsung kembali ke tempat duduk dan
membuka paper bag dengan merk ternama itu.
“Wow
...! Ini tas asli. Harganya 'kan mahal banget!” tutur Ratu sambil menatap
Chilton.
Chilton
hanya tersenyum menanggapi ucapan Ratu.
“Kamu
nggak sayang habisin uangmu buat kasih aku hadiah mahal kayak gini?” tanya
Ratu.
Chilton
menggelengkan kepala.
Ratu
tersenyum sambil menatap Chilton. Ia beruntung karena akhirnya menemukan pria
seperti Chilton yang bisa memanjakan dan memuaskannya dengan barang-barang
mewah.
Beberapa
menit kemudian, makanan yang mereka pesan sudah terhidang di atas meja makan.
Mereka menikmati makan malam dengan penuh bahagia.
“Kamu
ke sini naik taksi?” tanya Chilton saat mereka sudah selesai makan malam.
Ratu
menganggukkan kepala.
“Aku
pesenin taksi kalo gitu.” Chilton merogoh ponselnya dan langsung memesan taksi
untuk Ratu.
“Kamu
nggak mau balik ke asrama?” tanya Ratu.
“Aku
masih ada urusan lain.”
“Oh.
Oke.” Ratu menganggukkan kepala. Mereka segera keluar dari restoran.
Chilton
menemani Ratu sampai taksi yang ia pesan datang.
“Udah
dateng,” tutur Chilton sambil menunjuk taksi yang muncul di depan mereka.
Ratu
tersenyum. “Makasih banyak ya!”
Chilton
menganggukkan kepalanya.
Ratu
mengecup pipi Chilton dan langsung masuk ke dalam taksi. Ia tersenyum sambil
melambaikan tangan ke arah kekasihnya.
“Aargh
...! Nggak nyangka kalo aku bakal dibeliin tas mahal!” seru Ratu saat ia masih
berada di dalam taksi.
“Mmh
... kayaknya dia lumayan berduit,” tuturnya sambil memeluk tas pemberian
Chilton.
“Aku
bakal tunjukin ke kalian kalo aku bisa beli tas mahal dan kalian nggak akan
berani ngehina aku lagi!” bisik Ratu dengan wajah sengit mengingat teman-teman
asrama yang meledeknya beberapa waktu lalu karena ia membeli tas palsu.
Sesampainya
di asrama, Ratu langsung memamerkan tas pemberian dari Chilton dan membuat
seisi asrama merasa iri.
“Ini
beneran hadiah dari Chilton?” tanya salah satu teman asrama Ratu.
“Iya,
dong!”
“Ini
asli?”
“Asli.
Dia pesen langsung dari luar negeri.”
“Wah
... so sweet banget sih punya pacar kayak Chilton!”
Ratu
tersenyum bangga. Ia merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia karena
bisa mendapatkan banyak kesenangan saat berpacaran dengan Chilton. Cowok itu terbiasa
memberikan semua yang ia inginkan.
Belvina
menyambar tas yang ada di tangan Ratu.
“Eh,
hati-hati! Itu tas mahal!” seru Ratu.
Belvina
tersenyum kecil. “Aku rasa ini satu-satunya tas mahal yang kamu punya. Dan kamu
bisa dapetin ini karena morotin Chilton.”
“Sembarangan
kalo ngomong!” teriak Ratu, ia menatap kesal ke arah Belvina.
Belvina
tertawa kecil. “Kamu pikir aku nggak tahu isi otakmu?” Belvina melempar tas
pemberian Chilton ke dada Ratu.
“Astaga!
Kamu nggak hati-hati banget sih!” seru Ratu. Ia mengelus-ngelus tas pemberian
Chilton.
“Asal
kamu tahu. Delana punya ratusan tas kayak gini dan dia nggak pernah pamer sama
sekali. Sombong!” dengus Belvina ke arah Ratu dan langsung meninggalkannya.
Ratu
menatap kesal ke arah Belvina. Ia menghentakkan kaki dan bergegas masuk kamar.
.png)
0 komentar:
Post a Comment