Ratu dan Chilton semakin hari terlihat semakin akrab. Hampir setiap hari mereka terlihat bersama-sama dan begitu mesra. Semua orang di kampus mengira mereka sudah resmi berpacaran.
Pagi-pagi sekali Chilton dan Ratu terlihat jogging bersama. Hampir semua mata memandang mereka.
Chilton menatap wajah Ratu. Ia tersenyum menatap gadis cantik yang ada di depannya itu. Rasanya, tidak terlalu buruk kalau ia harus berpacaran dengan Ratu.
“Chil, besok ada acara, nggak?” tanya Ratu.
“Nggak ada. Kenapa?”
“Temenin aku bisa, nggak?” tanya Ratu.
“Ke mana?”
“Belanja ke mall.”
Chilton menganggukkan kepala.
“Thank you so much!” ucap Ratu sambil bergelayut di pundak Chilton.
Chilton tersenyum sambil mengusap rambut Ratu.
Ia kini mulai membuka hatinya untuk Ratu. Cewek yang beberapa terakhir ini lebih banyak bersamanya.
Keesokan harinya, Chilton memenuhi keinginan Ratu untuk menemaninya berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan.
“Chil, rumah kamu di mana, sih? Kenapa tinggal di Asrama?” tanya Ratu.
“Di luar kota.”
“Oh. Daerah mana?” tanya Ratu sambil memilih pakaian yang akan ia beli.
“Berau,” jawab Chilton ngasal. Ia hanya ingat nama daerah itu karena kebetulan Delana sering menyebut namanya.
“Jauh banget,” celetuk Ratu.
Chilton hanya tersenyum.
“Kamu sendiri dari mana?” tanya Chilton balik.
“Deket aja, dari Penajam.”
Chilton mengangguk-anggukkan kepala. “Kamu mau beli baju yang mana?” tanya Chilton karena Ratu tak kunjung mengambil satupun pakaian yang sudah ia lihat.
“Bentar, masih bingung,” jawab Ratu sambil berkeliling, ia mengedarkan pandangannya mencari pakaian yang sesuai keinginannya.
Chilton terus mengikuti Ratu di belakangnya. Semakin lama ia bosan karena Ratu terlalu lama berkeliling di mall.
“Ini bagus, nggak?” tanya Ratu sambil menunjukkan mini dress berwarna biru pada Chilton.
“Bagus,” jawab Chilton singkat.
“Serius?” tanya Ratu. Ia sendiri masih kurang yakin dengan pilihannya.
Chilton menganggukkan kepala. Ia sendiri tidak begitu tahu soal fashion wanita. Ia melihat semuanya bagus.
Ratu meletakkan kembali dress yang ia pegang dan masih mencari pakaian lain yang lebih bagus.
Chilton menghela napas saat melihat Ratu masih belum juga memilih pakaian.
Ratu terus berkeliling sampai akhirnya ia menemukan satu dress yang sesuai dengan keinginannya.
“Ini aja, deh.” Ratu langsung mengambil dan membawanya ke kasir.
Chilton menaikkan kedua alisnya. “Satu aja?”
“Iya.” Ratu menganggukkan kepala.
Chilton menggeleng heran. Ia menahan kekesalan karena berjam-jam ia menemani Ratu berkeliling mall hanya untuk membeli satu pakaian.
“Biar aku yang bayar!” pinta Chilton saat Ratu bersiap membayar belanjaan di meja kasir.
“Serius?”
“Kapan sih aku bercanda?” tanya Chilton balik. “Berapa, Mbak?” tanya Chilton pada petugas kasir.
“Dua ratus enam puluh lima, Mas.”
Chilton langsung mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan dari dompetnya dan memberikan pada petugas kasir.
“Mmh ... kalau tahu bakal dibayarin, aku beli barang banyak tadi,” gumam Ratu dalam hatinya.
“Cari apa lagi?” tanya Chilton.
“Apa, ya?” Ratu mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir.
“Sekalian aja kalo ada yang mau dicari. Jadi, nggak bolak-balik lagi!”
Ratu tersenyum ke arah Chilton. “Nggak ada, kok. Ini aja.”
“Kamu aneh banget! Berjam-jam di sini cuma beli satu baju,” celetuk Chilton sambil berlalu pergi meninggalkan Ratu lebih dahulu. Ia langsung bergegas menuju parkiran motor.
Ratu mengikuti langkah Chilton sambil berlari. Ia kesulitan mengimbangi langkah cowok itu karena baginya Chilton berjalan terlalu cepat.
“Chil, kamu marah gara-gara kelamaan nemenin aku?” tanya Chilton.
“Nggak marah. Cuma kesel aja!” jawab Chilton sambil memakai helmnya. “Cepetan pake!” pinta Chilton sambil menyodorkan helm pada Ratu.
“Kesel kenapa sih?” tanya Ratu manja.
Chilton menghela napas panjang. “Kamu nggak ngerti gimana rasanya nungguin cewek belanja berjam-jam dan cuma dapet satu baju doang?”
“Cewek emang biasa begitu, kan?”
Chilton menggeleng heran. Ia masih tidak paham dengan jalan pikiran Ratu. Cewek memang ribet dan keinginannya sulit untuk dipahami. “Kenapa nggak beli baju online aja kalo cuma selembar? Kan, nggak perlu capek-capek keliling mall?”
“Kalo aku beli baju online, nggak bisa jalan-jalan dong. Lagian, baju online sering mengecewakan.”
“Itu mall kan punya toko online. Bisa order barang yang sama yang ada di mall itu.”
“Kamu kayaknya paham banget soal belanja online? Kamu sering belanja online?” tanya Ratu.
“Iya. Daripada capek-capek keluar,” jawab Chilton. Ia teringat saat meminta Delana menemaninya membeli pengering rambut untuk mamanya. Delana adalah salah satu cewek yang lebih suka berbelanja online daripada harus berkeliling mall atau pasar. Delana hanya akan pergi ke pasar untuk mencari barang yang sudah pasti akan ia beli.
“Oh iya. Kamu kan dulu deket sama Dela. Dia suka banget belanja online,” tutur Ratu sambil naik motor Chilton.
Chilton langsung menyalakan mesin motornya dan keluar dari parkiran. “Kamu tahu darimana kalo Dela suka belanja online?” tanya Chilton.
“Tahu. Aku kan sekarang sekamar sama dia di asrama.”
Chilton langsung menoleh ke belakang. “Serius?”
“Iya. Emangnya Dela nggak pernah cerita sama kamu?”
Chilton menggelengkan kepala.
“Kalian masih ngajar bareng 'kan?”
“Iya. Tapi jarang ketemu.”
“Kenapa?” tanya Ratu.
“Jam ngajarnya emang nggak ketemu.”
“Bukannya dulu kalian bareng terus?” tanya Ratu.
“Iya. Tapi jadwal ngajar udah diubah. Jadi, jarang banget bisa ketemu sama dia di tempat les.”
“Oh, gitu.” Ratu tersenyum senang. Ia bersyukur karena Chilton tidak punya banyak waktu untuk bertemu dengan Delana lagi. Bisa saja Chilton kembali menyukai gadis itu jika masih sering bersama.
“Kamu mau makan apa?” tanya Chilton.
“Apa, ya?” tanya Ratu balik.
“Beli sate aja, ya!” pinta Chilton.
“Mmh ... boleh.” Ratu mengangguk-anggukkan kepala.
Chilton menarik lengan Ratu ke pinggangnya dan melajukan sepeda motornya.
Ratu langsung memeluk pinggang Chilton dengan erat. Ia tersenyum bahagia karena Chilton semakin hari semakin baik dan bersikap romantis padanya. Ia menyandarkan kepalanya di punggung Chilton.
“Del, aku kangen sama kamu,” bisik Chilton dalam hati kecilnya. Sekalipun ia bersama Ratu. Yang ada dalam hatinya hanyalah Delana. Ia rindu menikmati suasana malam kota Balikpapan bersama gadis itu. Gadis yang telah memberikan banyak warna dalam hidupnya. Walau pada akhirnya ia memilih untuk berpisah. Tapi, ia tidak menyesal pernah mengenal Delana dalam hidupnya.
Chilton berhenti di jalanan dekat asramanya. Di sana, banyak rombong pedagang kaki lima yang berjualan. Begitu juga dengan penjual sate. Tempat ia dan Delana pertama kali sering menghabiskan malam bersama.
Chilton langsung memesan dua porsi sate ayam. Ia menoleh ke arah salah satu pengamen yang bernyanyi di taman sambil bermain gitar. Beberapa bulan lalu, ia menyapa Delana yang sedang asyik mendengarkan lantunan lagu pengamen tersebut.
Chilton mengusap wajahnya. Seluruh kota ini mengingatkan dia pada Delana. Entah kenapa gadis itu benar-benar mengganggu pikirannya. Sudah ditolak tapi masih saja tidak bisa pergi dari hati Chilton. Jika ia terima, Dela akan menyakiti hatinya.
“Kenapa sih senyum-senyum sendiri?” tanya Ratu sambil menoleh ke arah pandangan Chilton.
“Suaranya bagus!” puji Chilton tanpa berkedip menatap pengamen jalanan itu.
“Iya.” Ratu mengambil ponselnya. Ia tidak terlalu tertarik mendengarkan nyanyian pengamen jalanan. Ia lebih memilih berselancar di media sosial untuk mengetahui gosip terbaru.
“Kacang, Kak!” Tiba-tiba seorang anak kecil sudah berdiri di samping Chilton.
Chilton tersadar dari lamunanya dan menatap gadis kecil itu. Gadis kecil yang sama saat ia di tempat ini bersama Delana.
“Nggak, dek! Makasih, ya!” tutur Ratu sambil mengusir anak kecil tersebut.
Anak kecil itu melangkah pergi sambil menunduk sedih.
“Eh, tunggu!” pinta Chilton. Ia bangkit dan menghampiri anak kecil tersebut. “Kakak beli dua puluh ribu, ya!” pinta Chilton. Ia langsung mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dari dompet dan memberikannya pada gadis kecil itu.
Anak kecil tersebut tersenyum bahagia karena akhirnya jualannya laku. “Makasih, Kak!” ucap gadis itu sambil memberikan kacang yang sudah selesai ia bungkus.
Chilton tersenyum. “Jaga diri baik-baik ya! Ini sudah malam. Sebaiknya kamu cepat pulang!” tutur Chilton sambil mengelus ujung kepala gadis itu.
“Iya, Kak. Makasih.” Gadis kecil itu tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Chilton tersenyum dan kembali duduk.
“Buat apa sih beli kacang sebanyak ini? Bikin jerawatan aja ntar!” celetuk Ratu.
Chilton tertawa kecil. “Buat dimakan lah.”
Chilton menatap penjual sate yang sedang menghidangkan seporsi sate untuknya. “Paklek, ini dikasihkan aja ke pelanggan yang makan di sini, ya!” pinta Chilton sambil menyodorkan kantong plastik berisi beberapa bungkus kacang goreng yang ia beli dari anak kecil tersebut.
“Wah, siap Mas!” sahut pedagang sate itu dengan senang hati. “Mbak Dela kok sudah lama nggak kelihatan ya, Mas?” tanya penjual sate tersebut.
“Uhuk ... uhuk!” Chilton yang baru saja menyuap sate ke mulutnya langsung batuk begitu mendengar nama Delana disebut.
“Hati-hati makannya!” Ratu langsung menyodorkan segelas es teh yang ada di meja mereka.
“Maaf, Paklek jadi bikin kamu batuk-batuk. Enakin makannya, ya!” tutur pedagang sate tersebut sambil berlalu pergi melayani pelanggan lainnya.
Chilton mengelap wajahnya dengan tisu. Ia tak menyangka kalau akan mendapat pertanyaan seperti itu. Diam-diam, pedagang sate tersebut memerhatikannya bersama Delana.
“Kamu sering makan di sini sama Dela?” tanya Ratu sambil menatap tajam ke arah Chilton.
“Eh!?” Chilton mengangkat kedua alisnya. Ia hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Ratu.
Ratu menghela napas. Ia merasa tidak nyaman karena Delana terus menerus ada di antara dia dan Chilton walau fisik cewek itu tak terlihat.
“Kamu belum bisa lupain dia?” tanya Ratu.
Chilton tak menjawab. Ia asyik melahap sate yang ada di tangannya.
“Sebenarnya, kalian itu pacaran atau enggak sih?” tanya Ratu menyelidik.
“Nggak.”
“Tapi ... kamu cinta sama dia?”
“Nggak!”
“Tapi ...”
“Udah, deh! Nggak usah bahas dia terus!” Chilton membanting piringnya ke hadapan Ratu.
Ratu terkejut melihat Chilton yang tiba-tiba membanting piring di depannya. “Sorry ... jangan marah dong!” Ratu meraih tangan Chilton.
Chilton menepis tangan Ratu. “Aku nggak suka kamu ngomongin orang lain saat kita lagi berdua. Apalagi kamu ngomongin Dela,” tutur Chilton ketus.
“Iya. Maaf!”
Chilton menatap Ratu dan membiarkan cewek itu menghabiskan makanannya karena ia tak lagi bernafsu untuk menghabiskan makanan miliknya sendiri.
***
Ratu langsung masuk kamar saat Belvi sedang asyik bermain game online. Ia terus tersenyum karena merasa kalau Chilton akan segera menjadi kekasihnya.
“Bel, bagus, nggak?” tanya Ratu sambil menunjukkan baju yang baru saja ia beli.
Belvina langsung mengangkat kepala menatap baju yang ditunjukkan oleh Ratu. “Bagus!”
Ratu tersenyum sambil menempelkan gaun itu di badannya. “Iya, dong. Ini dibeliin sama Chilton,” tutur Ratu sambil tersenyum bangga.
Belvina langsung bangkit dari tempat tidurnya dan menyambar gaun milik Ratu.
“Loh? Kenapa?” tanya Ratu kebingungan.
“Kamu tahu kan kalo Dela masih suka sama Chilton? Kenapa sih kamu malah ngerebut dia dari Dela?” tanya Belvina kesal.
“Siapa yang ngerebut? Orang si Chilton yang mau sama aku.”
“Kepedean amat jadi cewek!” Belvina menarik ujung lengan baju Ratu.
“Pede, dong. Buktinya dia beliin aku baju mahal,” sahut Ratu sambil tersenyum. Ia menarik kembali gaun yang direbut Belvina.
“Mahal apaan? Palingan juga baju harga dua ratus ribuan!?” dengus Belvina.
Ratu terkejut mendengar ucapan Belvina. Ia tidak menyangka kalau baju harga dua ratus ribuan masih termasuk harga murahan untuk Belvina. Padahal, baginya itu harga sudah mahal karena masih banyak harga baju yang lebih murah lagi.
“Kamu ngehina banget sih, Bel? Aku salah apa sih sama kamu?” tanya Ratu.
“Masih nanya salahmu apa? Salahmu udah ngerebut Chilton dari Dela!” seru Belvina.
“Aku nggak ngerebut Chilton. Chilton yang mau sama aku!”
“Bohong!”
“Terserah! Yang jelas aku nggak ngerebut Chilton dari Dela. Orang si Chilton bilang sendiri kalo dia nggak ada hubungan apa-apa sama Dela.”
Belvina mengerutkan hidungnya. Ia mengepalkan tangan dan ingin sekali meninju wajah Ratu, tapi ia tahan. Entah kenapa Ratu terlihat begitu menyebalkan di matanya. Terlebih ia sering pamer, membuat Belvina semakin kesal dengan Ratu.
Ratu sama sekali tidak merasa bersalah. Ia malah tersenyum sinis melihat Belvina menahan emosi. Ia sama sekali tidak takut kalau-kalau cewek tomboy yang ada di hadapannya itu akan menampar atau memukulnya.
Belvina semakin kesal dengan sikap Ratu. Ia memilih untuk keluar dari kamar dan membanting pintu keras-keras.
Penghuni asrama lain yang kebetulan melintas langsung terkejut dan menatap heran ke arah Belvina.
“Apa lihat-lihat!” Belvina mendelik ke arah teman asrama yang memerhatikannya.
Mereka langsung bergegas pergi meninggalkan Belvina sebelum mereka menjadi tumbal kemarahannya.
Belvina langsung keluar dari asrama dan melajukan sepeda motornya menuju rumah Ivona.
Semua orang di rumah Ivona sudah sangat mengenal Belvina. Sehingga ia bisa dengan mudah masuk ke dalam rumah mewah itu.
“Belvi? Tumben malam-malam gini ke sini?”Ivona mengerutkan keningnya saat melihat Belvina sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
“Aku boleh tidur sini?” tanya Belvina.
“Nggak boleh!”
Wajah Belvina langsung merengut.
Ivona meringis ke arah Belvina. “Hehehe ... boleh banget, kok,” lanjut Ivona.
“Makasih ya!” tutur Belvina sambil memeluk Ivona.
Ivona tersenyum. Ia mengajak Belvina masuk ke dalam kamarnya. “Kamu kenapa? Tumben mau nginap di sini? Tiba-tiba pula,” tanya Ivona.
“Aku habis berantem sama Ratu.” Belvina merebahkan dirinya di atas kasur.
“Hah!? Berantem kenapa?”
“Kesel banget aku sama dia. Coba aja kalian berdua tidur di asrama, pasti bakalan kesel juga sama dia. Pengen banget kutabokin tuh anak,” gerutu Belvina kesal.
Ivona menahan tawa. “Kamu tuh kenapa? Tiba-tiba ngomel kayak gitu? Masalahnya apa?” tanya Ivona.
“Si Ratu tuh nggak punya perasaan. Dia ngerebut Chilton dari Dela.”
“What!? Serius?”
“Iya, Vo. Udah gitu, mukanya nggak ada rasa bersalah sama sekali. Rasanya pengen kubejek-bejek tuh mukanya dia biar jelek!”
“Kok, dia bisa kenal Chilton? Gimana ceritanya?” tanya Ivona.
“Astaga ... makanya, kamu tuh rajin masuk kuliah biar nggak ketinggalan gosip!”
“Aku lagi banyak jadwal syuting.”
“Kamu mah enak, syuting terus. Jarang masuk kuliah tapi naik terus,” celetuk Belvina.
“Yang penting kan ngerjain tugas dan ikut ujian,” sahut Ivona sambil tersenyum. “Aku diajarin senior aku kayak gitu. Makanya, aku sibuk banget, Bel. Apalagi kalo deket-deket ujian. Harus bagi waktu buat kuliah dan syuting.”
“Hmm ... jadi kamu kan yang curhat!” seru Belvina kesal. Ia sudah sering mendengar kalimat itu keluar dari mulut Ivona.
Ivona tertawa kecil. “Ya udah, aku dengerin kamu curhat.”
Belvina mencebik ke arah Ivona. Rasanya, ia sudah tak semangat untuk menceritakan kejadian yang baru saja ia alami.
“Kok diam?” tanya Ivona.
“Bingung aku.”
Ivona mengangkat salah satu alisnya. “Kenapa kamu malah pergi ke sini? Kalah berantem sama dia?”
“Enak aja! Nggak mungkin lah aku kalah sama dia. Aku Cuma ngalah aja,” sahut Belvina ketus.
“Hmm ... terus, Dela tahu?” tanya Ivona.
“Ya nggak lah. Aku belum ngasih tahu dia. Lagian, mana tega sih aku ngasih tahu dia, Vo. Yang ada, bikin dia sedih lagi.”
“Kasih tahu aja ke dia. Biar dia sadar kalo Chilton nggak pantes buat dia. Biar dia bisa move on dan cari cowok lain.”
Belvina menimbang-nimbang ucapan Ivona.
“Eh, ngomong-ngomong, yang kamu nyarikan cowok buat dia itu gimana?” tanya Belvina.
“Hmm ... aku kenalin dia ke Zoya, seniorku. Ternyata, dia udah kenal duluan dan Zoya itu temen baiknya Chilton.”
“Mereka satu kelas kan?”
“Siapa?”
“Zoya sama Chilton.”
“Masa sih? Zoya nggak pernah cerita ke aku.”
“Astaga ...! Makanya, rajin masuk kuliah!” dengus Belvina.
“Kok, aku juga nggak pernah lihat dia di kampus?”
“Sama kayak kamu. Sibuk syuting.”
“Iya sih. Jadwal syutingnya dia juga jauh lebih banyak dari aku.”
“Masa Zoya nggak pernah bilang kalo dia satu kampus sama kita?” tanya Belvina.
Ivona menggelengkan kepala.
“Tapi, kayaknya dia tahu kalo kamu adik tingkatnya dia.”
“Kamu tahu darimana?”
“Belvi gitu loh. Kalo gosip seputaran kampus aja mah lewat!” seru Belvi bangga.
“Tapi, dia nggak pernah ngungkit soal kuliah kalo ketemu.”
“Yah, namanya juga cowok. Pasti cuek soal begituan. Mungkin, buat dia nggak terlalu penting.”
“Iya juga sih.”
“Eh, si Hendra yang waktu itu kalian ceritain ke aku, ada ke kampus dan nembak Dela.”
“Hah!? Serius?”
“Suer!” Belvina mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Tapi, ditolak sama Dela.”
“Loh? Kenapa? Bukannya dia udah perfect banget ya? Ganteng, kaya, royal ...”
Belvina mengedikkan bahunya. “Emang Dela nggak cinta kali.”
Ivona menghela napas kecewa. “Gimana caranya carikan cowok buat Dela?”
“Eh, aku baru ingat. Si Alan ada balik ke sini.”
“Alan?” Ivona mengerutkan kening. Ia berusaha mengingat nama orang yang disebut oleh Belvina.
“Alan Satria. Sepupu Dela yang kuliah di Swedia itu.”
“Astaga! Iya, ingat. Si ganteng itu.”
“Sepupu Dela loh ganteng-ganteng semua,” celetuk Belvina.
“Hehe ... iya sih. Tapi, aku belum pernah lihat semuanya secara langsung. Cuma lihat-lihat di foto aja ditunjukin sama Dela.”
“Sama.”
Mereka tertawa bersamaan.
“Eh, tapi pas ulang tahun Dela waktu itu, mereka kan pada datang,” tutur Belvina.
“Tapi aku nggak tahu yang mana-mana. Cuma Alan aja yang aku kenal,” sahut Ivona.
“Iya juga, sih. Lagian, kalo acara pesta gitu banyak banget tamu. Dela juga sibuk, mana sempat kenalin ke kita.”
Ivona tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Eh, si Alan itu bukannya suka sama Dela, ya?” tanya Ivona.
“Iya.”
“Gimana dia kalo ketemu Dela?”
“Mesra banget!”
“Serius?”
“Seisi kampus dibikin ngiri lihat mereka.”
Ivona tertawa kecil. “Alan mah orangnya berani banget.”
“Hmm ... bener! Di kampus aja dengan santainya dia nyium Dela, meluk, dan manggil sayang. Bikin anak-anak cewek pada histeris lihatnya.”
“Histeris kenapa?”
“Alan tuh sekarang ganteng banget. Udah gitu, dia perhatian dan mesra banget sama Dela.”
“Tapi, mereka kan tetep aja saudara.”
“Yang tahu. Kalo yang nggak tahu mereka masih keluarga. Ya, tetep aja pada ngiri lihatnya.”
“Anak-anak bubuhan lain nggak ada komentar lah?” tanya Ivona.
“Pasti ada. Apalagi hari sebelumnya dia baru aja nolak Hendra yang nembaknya di kampus. Asli, si Dela lagi jadi bintang. Buat rebutan cowok-cowok ganteng.”
“Asyik ya?”
“Iya. Tapi, kita tahu lah kalo cintanya Dela cuma buat satu orang aja.”
Ivona menganggukkan kepala. “Setuju!”
Belvina membalas Ivona dengan senyuman.
“Duh, kayaknya seru ya lihat cerita-cerita di kampus. Rasanya, pengen cepet-cepet bisa masuk ke kampus dengan normal.”
“Kamu mah sibuk teros,” celetuk Belvina.
“Aku juga maunya nggak sibuk. Tapi, jadwal syuting masih panjang. Belum lagi syuting iklan dan endorsement.”
“Banyak duitnya.”
“Nggak juga. Cukup aja lah,” sahut Ivona sambil tersenyum.
“Cukup buat beli mobil.”
“Hahaha.” Ivona tergelak mendengar ucapan Belvina.
“Tidur yuk! Aku ngantuk,” ajak Belvina.
“Ayo!” sahut Ivona.
“Besok pagi, temenin aku ke asrama ya!” pinta Belvina.
“Ngapain?” tanya Ivona.
“Aku males berhadapan sama nenek lampir itu sendirian.”
“Astaga! Tinggal pites aja kenapa?”
“Dikira kutu?”
“Ajak Dela juga!” pinta Ivona.
“Jangan lah.”
“Kenapa?”
“Nggak enak kalo Dela tahu aku berantem sama Ratu gara-gara dia. Dela kan nggak enakan gitu orangnya.”
“Hmm ... iya, juga sih.”
“Temenin ya!” pinta Belvina lagi.
“Iya. Tapi, pagi-pagi banget ya! Soalnya jam sembilan aku ada jadwal syuting.”
“Siap. Jam enam aku balik ke asrama.” Belvina menghela napasnya. “Rasanya, aku pengen balik ngekos lagi kalo kayak gini. Tapi, sayang juga duitnya kalo buat bayar kosan. Kan lumayan bisa disimpan buat beli makan atau nambah-nambah bayar kuliah.”
“Ya udah. Sabar aja!” pinta Ivona. “Nggak usah terlalu dipikirin. Lagian, cewek kayak Ratu emang paham kalo ada orang lain yang nggak senang sama dia?”
“Nggak. Mukanya udah tebel banget kayaknya tuh anak. Nggak tahu malu!”
“Udah, ah. Katanya mau tidur?” tanya Ivona.
Belvina meringis. Mereka segera membersihkan wajah, berganti pakaian dan bergegas menuju ruang mimpi.
((Bersambung...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment