Wednesday, October 15, 2025

THEN LOVE BAB 39 : SIBUK DALAM DUNIA MASING-MASING

 


“Kenapa?” tanya Chilton lewat panggilan telepon.

“Bisa ketemu?” tanya Ratu balik.

“Di mana?” tanya Chilton.

“Di taman kampus.”

“Nggak usah. Aku tunggu di kantin aja!”

“Oke.”

Chilton langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia meraih jaket yang ia letakkan di atas ranjang dan bergegas keluar dari kamar asramanya.

“Hai ... Chil, apa kabar?” tanya Attala saat mereka bertemu di teras.

“Baik.”

“Denger-denger udah ganti cewek, ya? Aku kira bakal jadian sama Dela,” tutur Attala.

Chilton tidak menyahut. Ia terus melangkahkan kakinya meninggalkan Attala.

Attala menggeleng-gelengkan kepala. “The Real Chilton is come back,” gumamnya sambil menunjuk punggung Chilton dari kejauhan. Attala sudah lumayan lama mengenal Chilton. Chilton memang cuek dan dingin sebelum ia mengenal Delana. 

Hanya Delana yang bisa mengubah sikap dan sifat Chilton menjadi orang yang ramah. Tapi, ketika terdengar rumor kalau mereka berpisah. Chilton kembali menjadi cowok yang dingin. Attala merasa bicara dengan Chilton seperti bicara dengan manekin.

Chilton langsung duduk di salah satu kursi kantin. Ia menunggu Ratu menemuinya. Dari kejauhan, ia melihat Delana sedang berjalan kaki memasuki gang rumahnya. Di sana, biasanya ia menunggu Delana untuk mengajaknya keluar menikmati jalanan kota Balikpapan.

“Hei, ngelamun!” Ratu langsung menepuk pundak Chilton.

Chilton tertawa kecil menatap Ratu yang sudah duduk di depannya.

“Kamu lihatin apa, sih?” tanya Ratu sambil melihat ke arah gang yang ada di depan kampusnya.

Chilton menggelengkan kepala. “Nggak ngelihatin apa-apa,” jawabnya sambil menahan tawa.

Ratu menatap curiga ke arah Chilton. “Mencurigakan!” dengusnya. “Mana ada orang senyum-senyum sendiri tanpa sebab?”

Chilton tertawa kecil. “Kenapa ngajak ketemu?” tanya Chilton.

“Nggak papa. Kangen aja sama kamu,” jawab Ratu manja.

Chilton setengah tersenyum. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Entah kenapa ia merasakan hal berbeda saat ia bersama Delana. Ia tak bisa melakukannya saat bersama Ratu.

“Eh, katanya kamu ngajar bareng Dela, ya?” tanya Ratu.

Chilton menganggukkan kepala.

“Masih sering ketemu sama dia, dong?” tanya Ratu.

Chilton tersenyum. “Kamu mau minum apa?”

Ratu menghela napas. Ia tahu kalau Chilton sedang berusaha mengalihkan perhatiannya. “Es teh aja,” jawab Ratu.

Chilton langsung memesankan dua gelas es teh pada karyawan kantin.

“Chil, kamu sama Dela itu pernah pacaran?” tanya Ratu.

Chilton menggelengkan kepala. “Nggak.”

“Tapi, kalian kelihatan deket banget. Dan gosip yang beredar, kalian itu pacaran.”

“Itu kan cuma gosip.”

“Jadi, kalian itu nggak pernah pacaran?” tanya Ratu. Wajahnya terlihat sangat bahagia saat mengetahui kalau Chilton dan Delana tidak pernah punya hubungan spesial.

“Cuma temenan,” jawab Chilton.

Ratu tersenyum. Ia merasa kalau ia akan mudah mendapatkan cinta Chilton karena sepertinya ia sudah tidak lagi membuka diri untuk Delana.

“Oh ya, sekarang kalian jarang banget barengan. Ada masalah?” tanya Ratu.

Chilton menggelengkan kepala. “Cewek kayak dia nggak pantes buat aku.”

Ratu terkejut mendengar ucapan Chilton. Mulutnya menganga. Ia tak percaya kalau Chilton akan mengatakan hal seperti itu.

“Yah, emang dia biasa aja sih. Nggak cantik-cantik amat,” tutur Ratu. Ia berusaha membuat Chilton semakin membenci Delana.

Chilton tersenyum kecil. “Aku nggak butuh cewek cantik. Aku butuh cewek yang setia.”

“Hah!? Maksud kamu? Dia bukan tipe cewek setia?” tanya Ratu semakin penasaran.

Chilton mengangkat kedua alis sambil mengedikkan bahunya.

“Gila! Aku pikir dia tuh cewek yang setia banget. Kelihatannya aja polos. Sekalinya, serigala berbulu domba juga,” celetuk Ratu.

Chilton menahan amarah saat Ratu berusaha mengatakan hal buruk tentang Delana. Entah kenapa hatinya menolak untuk berpikir negatif tentang Delana. Jauh di dalam hatinya, Delana adalah perempuan paling baik yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Walau pikirannya selalu dipenuhi hal buruk tentang gadis itu.

“Aku denger-denger, dia udah punya pacar,” tutur Ratu sambil menyeruput es teh yang sudah tersedia di depannya.

Chilton mengangkat kedua alisnya saat mendengar pernyataan Ratu. Apa benar Delana sudah punya pacar? Bukankah mereka baru saja memutuskan untuk berpisah? Dugaannya memang benar. Delana adalah cewek yang suka mempermainkan cowok.

“Aku denger-denger, pacarnya Dela tuh ganteng banget dan tajir abis,” tutur Ratu.

“Masa, sih?” tanya Chilton penasaran. Ia tidak suka bergosip. Tapi, ketika yang dibicarakan adalah Delana, ia langsung tertarik untuk mendengarkannya.

“Iya. Ternyata Dela demen juga sama cowok kaya.” Ratu menggeleng-geleng heran. “Aku pikir dia tuh gak matre. Ternyata, lebih parah dari dugaanku.”

Chilton mengangkat kedua alisnya. Apa benar Delana cewek matre? Selama ia dekat dengan Delana, dialah yang sering mentraktir makanan untuk Chilton.

“Dia emang suka cowok ganteng,” ucap Chilton.

“Kamu nggak cemburu lihat dia jalan sama cowok lain?” tanya Ratu.

“Cemburu kenapa? Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia,” jawab Chilton. Ia memang merasa tidak nyaman ketika tahu bahwa Delana telah memiliki kekasih. Tapi, karena dia telah menolak Delana. Ia pikir tidak masalah kalau Delana berpacaran dengan cowok lain.

Ratu tersenyum penuh kemenangan.

“Minggu ada waktu nggak?” tanya Chilton.

“Mmh ...” Ratu terlihat berpikir sejenak. “Nggak ada. Kenapa?”

“Jalan, yuk!” ajak Chilton.

“Hah!? Kamu serius ngajak aku jalan?” tanya Ratu dengan wajah sumringah.

Chilton menganggukkan kepala.

“Oke.”

Chilton tersenyum kecil. Ia dan Ratu memang berada dalam dunia yang berbeda. Tapi, mungkin saja Ratu bisa mengalihkan dirinya dari Delana. Satu-satunya cewek yang tidak akan pernah pergi dari singgasana hatinya. Meski ia harus melihatnya bersama orang lain. Itu lebih baik daripada ia harus dipermainkan oleh cewek seperti Delana.

***

“Del, kamu udah ngerjain tugas dari dosen?” tanya Belvina saat mereka duduk-duduk di kursi yang ada di koridor.

“Udah. Kenapa, Bel?” tanya Delana.

“Nggak papa, tanya doang.”

“Kirain mau minta bantuin ngerjain tugas juga.”

“Udah selesai juga punyaku.”

“Bantuin kerjain tugas aku dong!” pinta Ivona.

“Hah!? Tugas apaan?” tanya Delana.

“Dia pasti banyak tugasnya karena jarang masuk kuliah,” celetuk Belvina.

Ivona meringis.

“Del, ada cowok di depan gerbang nyariin kamu!” seru salah satu mahasiswa yang tiba-tiba menghampiri Delana.

“Hah!? Siapa?”

“Kayaknya bukan anak sini. Dia bawa banyak anak buah, bawa bunga, bawa hadiah, udah kayak mau lamaran aja,” celetuk mahasiswa tersebut.

“Eh!?” Delana dan dua temannya saling pandang. Ia masih tak bisa menerka-nerka siapa cowok yang dimaksud.

Delana langsung bangkit dan bergegas menuju gerbang kampus diikuti oleh kedua temannya.

Delana menghentikan langkahnya saat melihat cowok yang berdiri di depan pintu gerbang sambil membawa spanduk bertuliskan “I Love You Delana”.

Delana menghela napas. Ia tidak habis pikir kenapa Hendra bisa melakukan ini. Ia menyingkap kerumunan mahasiswa yang sedang menonton kehadiran Hendra dan beberapa temannya yang membawakan bunga, boneka dan beberapa bingkisan untuk Delana.

Delana menghampiri Hendra. “Kamu ngapain di sini?” tanya Delana.

“Nyariin kamu.”

“Ngapain bawa-bawa beginian?” tanya Delana sambil menunjuk beberapa orang yang ada di belakang Hendra.

Hendra tersenyum. “Ini hadiah buat kamu.”

“What!? Hadiah?” tanya Delana terkejut. Ia menoleh ke arah gedung kampus. Hampir semua mahasiswa memerhatikan mereka.

Hendra tersenyum ke arah Delana. “Kenapa? Nggak suka?”

“Ini terlalu berlebihan!” celetuk Delana. “Udah kayak mau lamaran aja!”

“Kalo kamu mau,” sahut Hendra sambil tersenyum ke arah Delana.

“Kamu tuh nggak malu dilihatin banyak orang kayak gini?” tanya Delana.

“Malu kenapa?”

Delana menghela napas. “Lihat aja orang-orang di belakang aku! Mereka semua perhatiin kita.”

Hendra tersenyum menatap kerumunan mahasiswa yang menontonnya. Ia melambaikan tangan ke arah para mahasiswa tersebut.

“Astaga ... malah dadah-dadah!” celetuk Delana sambil menurunkan lengan Hendra.

Hendra tersenyum ke arah Delana. Ia menjatuhkan lututnya ke lantai dan meraih tangan Delana. “Del, aku ke sini pengen ngungkapin sesuatu sama kamu,” tuturnya.

Delana mengangkat kedua alisnya.

“Kamu mau nggak jadi pacarku?” tanya Hendra.

Delana terkejut dengan pertanyaan Hendra. Ia menatap beberapa cowok yang ada di belakang Hendra. Kemudian melepaskan tangannya dari genggaman Hendra.

“Sorry ...! Aku nggak bisa jadi pacar kamu, Hen.”

“Please, Del!” pinta Hendra sambil meraih kaki Delana.

“Aku nggak bisa, Hen. Aku nggak suka sama kamu.”

“Kenapa? Bukannya kita udah kenal dari kecil?” tanya Hendra.

“Kenal dari kecil, bukan berarti kita harus saling jatuh cinta. Aku nggak cinta sama kamu dan kamu juga nggak bisa maksain keinginan kamu.”

Hendra tertunduk. Matanya memerah dan tangannya mengepal kuat. Ia meninju lantai dengan keras sampai punggung tangannya terluka. “Aargh ...!” teriaknya kesal.

Delana mundur satu langkah dari hadapan Hendra. “Aku nggak suka kamu kayak gini,” tutur Delana dengan bibir bergetar. “Kamu terlalu emosional dan aku nggak nyaman ada di dekat kamu,” tutur Delana sambil melangkah mundur.

Hendra mendongakkan kepala menatap Delana. Ia berteriak kesal dalam hati karena Delana telah menolak cintanya.

“Bawa pulang semua itu. Maaf, aku nggak bisa nerima kamu,” tutur Delana sambil menunjuk semua hadiah yang masih di pegang oleh beberapa orang dengan dagunya.

Hendra bangkit. Ia berdiri sambil menatap lesu ke arah Delana. Tiba-tiba ia merasa tidak bersemangat. Ia sempoyongan dan hampir terjatuh. Anak buahnya dengan sigap menangkap dan menjaga bosnya agar tetap berdiri.

“Del, kamu boleh nolak cintaku. Tapi, aku mohon banget kamu terima semua hadiah dari aku!” pinta Hendra.

Delana menatap semua hadiah dari Hendra. Ia merasa tidak nyaman dengan hadiah-hadiah yang dibawakan Hendra. Ia tidak tahu bagaimana cara menerima hadiah sebanyak itu.

“Aku nggak bisa nerima hadiah sebanyak itu.”

“Aku kirim ke rumahmu.”

“Terserah kamu, Hen.” Delana membalikkan tubuhnya dan bergegas meninggalkan Hendra.

Hendra mengejar Delana dan langsung menarik lengannya dengan kuat hingga gadis itu terjerembap di dada Hendra. Hendra langsung memeluk Delana dengan erat. “Izinkan aku meluk kamu sebelum aku pergi,” bisik Hendra di telinga Delana.

Delana terdiam. Ia berusaha melepas pelukan Hendra tapi pelukannya terlalu kuat sehingga ia memilih untuk diam sampai Hendra selesai bicara.

“Hen, kita dilihatin banyak orang!” seru Delana.

“Aku nggak peduli!”

“Aku nggak bisa nerima cinta kamu,” tutur Delana lirih.

Hendra terdiam. Ia mengelus kepala Delana dengan lembut, kemudian melepas pelukannya.

Hendra menggenggam kedua pundak Delana. Ia menatap lekat mata gadis itu. “Tapi, kita masih bisa berteman kayak dulu, kan?” tanya Hendra sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Delana. Ia bisa melihat bayangannya sendiri di dalam manik mata Delana yang begitu indah.

Delana tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Makasih, ya! Aku pulang sekarang!” pamit Hendra. Ia melepaskan pundak Delana dan melangkah mundur perlahan kemudian bergegas pergi meninggalkan Delana.

Delana menghela napas lega saat Hendra akhirnya pergi dari hadapannya. Ia menatap ke seluruh mahasiswa yang menonton adegan dirinya dengan Hendra. Mereka mulai membubarkan diri satu persatu.

“Del, kenapa ditolak?” tanya Ivona.

“Aku nggak suka sama dia.”

“Padahal dia tuh udah so sweet banget!” celetuk Belvina. “Ganteng banget ternyata!”

“Ganteng tapi malu-maluin!” dengus Delana.

“Malu-maluin kenapa? Itu loh sweet banget. Dia nyatain cinta di depan semua orang.”

“Kamu pikir nggak malu ditontonin segitu banyaknya orang?”

“Ngapain malu sih? Itu kan bukan tindakan kriminal. Semua cewek suka digituin. Mereka pasti pada iri kalau kamu beneran nerima dia.”

Delana menghela napas mendengar pembicaraan dua sahabatnya itu.

“Iya. Kata mereka kamu tuh bego banget karena udah nolak cowok seganteng dan setajir dia.”

“Nyatain cinta aja udah kayak lamaran. Bawa hadiahnya banyak banget!”

“Apalagi kalo lamaran? Bisa-bisa seserahannya mobil sama rumah.”

“Kalian ngomongin apaan, sih?” dengus Delana.

“Ngomongin kamu!” sahut Belvina sambil tertawa.

“Udah deh! Nggak usah ngomongin aku terus! Ntar kamu jatuh cinta sama aku,” tutur Delana.

Belvina dan Ivona saling pandang kemudian tertawa bersamaan.

***

Hendra merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia tak menyangka kalau pernyataan cintanya mendapat penolakan dari Delana. Ia belum pernah ditolak sebelumnya dan hal ini benar-benar membuatnya kesal.

“Aargh ...!” teriak Hendra sambil mengacak rambutnya. Ia bangkit dan menatap dirinya di depan cermin.

“Apa aku kurang ganteng?” tanya Hendra pada bayangannya sendiri. Ia mengamati seluruh wajahnya dan ia rasa sudah cukup tampan.

“Apa aku kurang kaya? Kamu kenapa  nolak aku sih, Del?” tanya Hendra pada bayangannya sendiri.

Hendra merasa sangat kesal karena ia ditolak oleh wanita untuk pertama kalinya. Ia menarik dasi yang melingkar di lehernya dan melemparkan ke lantai.

“Bibi ...!” teriak Hendra.

Yang dipanggil langsung datang dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa, Mas?”

“Ada stock whisky atau anggur merah?” tanya Hendra.

“Ada.”

“Bawa ke sini semua!”

“Semuanya Mas?”

“Iya. Kan aku bilang semua!” sentak Hendra.

Pembantu Hendra bergegas pergi dan kembali dengan membawa beberapa botol anggur merah.

Hendra langsung menyambar satu botol anggur yang sudah diletakkan di atas meja. “Makasih, Bi!” ucapnya sambil melambaikan tangan menyuruh pergi.

Hendra sengaja menenggak minuman beralkohol sedikit demi sedikit agar pikirannya lebih tenang. Ia merasa, Delana benar-benar mengacaukan pikirannya.

“Del ... aku cinta sama kamu. Kenapa kamu nolak aku?” Hendra terus meracau seorang diri dalam keadaan mabuk hingga ia tak sadarkan diri.

Keesokan harinya, Hendra sudah berada di depan rumah Delana.

Delana terkejut saat baru pulang dari kampus dan mendapati mobil Hendra sudah terparkir di depan pagar rumahnya.

“Kamu ngapain di sini?” sapa Delana pada Hendra yang berdiri bersandar di samping mobilnya.

“Nunggu kamu pulang.”

“Udah dari tadi?” tanya Delana.

“Lumayan.”

“Ya udah, masuk dulu, yuk!” ajak Delana sambil membuka pintu pagar rumahnya.

Hendra melangkah mengikuti Delana.

“Mobil kamu gak dimasukin ke halaman?” tanya Delana.

“Nggak usah.”

Delana tersenyum. Ia melangkahkan kakinya memasuki rumah.

“Udah makan?” tanya Delana.

“Belum. Aku mau ngajak kamu makan di luar.”

Delana menghentikan langkahnya dan menatap Hendra.

“Makan di sini aja, ya!” pinta Delana.

“Oh, ya? Boleh.”

“Oke. Aku masak dulu!” pamit Delana.

“Aku boleh bantuin kamu masak?” tanya Hendra sambil terus mengikuti langkah Delana.

“Bisa?” tanya Delana sambil tersenyum.

“Bisa kalo cuma bantuin doang.”

Delana tersenyum. “Ayo!” ajaknya.

Akhirnya, Hendra dan Delana menghabiskan banyak waktu di dapur. Memasak sambil bercanda ria.

“Mari makan!” seru Delana saat hidangan sudah tersedia di atas meja makan.

“Kamu memang suka masak sendiri ya?” tanya Hendra.

Delana mengangguk pasti.

“Bryan mana?”

“Masih sekolah.”

“Jam segini belum pulang?”

“Belum. Kalo ada ekskul tambahan di sekolahnya, dia pulangnya sore.”

Hendra mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.

“Mau minum bir?” tanya Delana.

“Ada?” tanya Hendra balik.

“Ada.” Delana tersenyum. Ia membuka lemari dapur dan mengeluarkan dua botol bir. “Ayah suka banget minum bir. Sudah lama kita nggak menghabiskan waktu bersama di meja makan sambil menikmati bir,” tutur Delana sambil terduduk lesu di kursi meja makan.

Hendra tersenyum menatap Delana. “Kangen sama ayah kamu?” tanya Hendra.

Delana menganggukkan kepala.

“Gimana kalo kita pergi bareng-bareng ke sana? Sekalian liburan.”

“Aku kuliah. Bryan sekolah.”

“Sabtu sama minggu aja gimana?”

“Mmh ...” Delana memutar bola matanya.

“Aku yang bayarin semuanya.”

Delana tersenyum. “Makasih. Tapi, aku rasa nggak perlu.”

“Katanya kangen sama ayah kamu?”

“Iya. Tapi, kami sering video call, kok.”

“Yah ... padahal aku pengen banget bisa ketemu ayah kamu.”

Delana tersenyum.

“Ayo, makan!” ajak Delana.

Mereka sama-sama menikmati masakan Delana.

“Del ...!” panggil Hendra

 “Ya.”

“Apa sih yang bikin kamu nggak mau jadi pacar aku?”

Delana mengangkat kedua alisnya. “Kita udah temenan dari kecil. Kayaknya lebih asyik kita tetep temenan kayak gini. Aku nggak suka sifatmu yang temperamen banget.”

“Sorry ... soal itu, aku ...”

Delana tersenyum sambil menatap Hendra. “Kamu harus bisa ngerubah sikap kamu.” Delana meraih tangan Hendra yang masih luka karena kejadian kemarin. “Kamu tahu, kamu bukan hanya bisa melukai dirimu sendiri, tapi juga melukai orang-orang terdekatmu,” tutur Delana sambil menatap luka di punggung tangan Hendra.

“Maaf, kalo selama ini aku udah bikin kamu takut!” tutur Hendra.

Delana tersenyum. Ia melepas tangan Hendra dan berkata, “semoga kamu bisa berubah menjadi laki-laki yang lebih baik lagi. Menjadi kuat tidak harus dengan berkelahi, menjadi hebat tidak harus terlihat tinggi. Ada banyak cinta di sekitarmu kalau kamu bisa lebih bijak dalam menyikapi hidup.”

Mata Hendra berbinar menatap Delana yang begitu bijak menasehatinya. “Del, kamu terlalu baik buat dilupain. Aku nggak akan pernah ngelupain kamu seumur hidupku.”

“Makasih!” tutur Delana sambil tersenyum.

Hendra tertawa kecil. Ia bahagia punya teman kecil seperti Delana. Mungkin, tak banyak wanita yang seperti Delana. Tapi, ia yakin suatu hari nanti akan menemukan cewek yang seperti Delana. Setidaknya, dia tahu bagaimana cara memilih pasangan hidup yang baik. Bukan seperti cewek-cewek yang hanya menemaninya bersenang-senang selama ini.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Delana dan Hendra menoleh ke arah pintu berbarengan.

“Bryan,” bisik Delana. “One ... two ... tree ...” Delana sengaja menghitung dan benar saja Bryan muncul di pintu dapur.

“Masak apa, Kak?” tanya Bryan. Ia langsung duduk di meja makan tanpa melepas seragam dan tasnya terlebih dahulu.

“Masak ini aja.” Delana menunjuk hidangan yang sudah tersedia di atas meja.

“Enak nih!” Bryan langsung bernafsu saat melihat ikan nila bakar dan sambal pencit mangga yang sudah tersedia di atas meja. Ia langsung mengambil piring, ia isi dengan sedikit nasi dan menyomot ikan nila.

“Eh!” Delana menepis tangan Bryan saat ia akan menyomot ikan nila.

“Kenapa, Kak?” tanya Bryan.

“Cuci tangan dulu!”

“Hehehe. Lupa,” sahut Bryan nyengir. Ia bangkit dari tempat duduknya dan langsung berjalan menuju tempat cucian piring untuk mencuci tangannya.

“Kebiasaan, tuh. Kalo mau makan jarang banget cuci tangan,” celetuk Delana.

Hendra tertawa kecil. “Namanya juga laki-laki.”

Bryan hanya tertawa dan kembali duduk di kursinya. Ia langsung makan dengan lahap.

“Doyan makan dia?” tanya Hendra pada Delana.

“Banget!”

“Kok, nggak gemuk ya?” tanya Hendra.

“Banyak kegiatan, Kak,” sahut Bryan dengan mulut penuh makanan. “Aku ikut ekskul basket sama beladiri.”

Delana tersenyum menatap adiknya yang selalu lahap makan apa pun yang dimasak oleh Delana.

“Kenapa ikut ekskul beladiri?” tanya Hendra.

“Biar bisa jagain Kakak,” jawab Bryan.

“Adik yang baik,” puji Hendra.

“Biar bisa kayak Kak Hendra juga,” tutur Bryan.

Hendra mengangkat kedua alisnya.

“Selalu menang kejuaraan nasional.” Bryan tersenyum sambil menatap Hendra.

“Kamu ikut beladiri juga?” tanya Delana pada Hendra. Ia sama sekali tidak tahu kalau Hendra adalah salah satu pemuda yang menjadi juara beladiri tingkat nasional. Dia memang tidak mengikuti berita-berita seperti itu.

Hendra hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Delana.

“Awas kamu kalo kayak Kak Hendra!” ancam Delana.

“Loh? Kenapa? Keren Kak kalo bisa dapet juara,” sahut Bryan.

“Bukan masalah juaranya. Masalahnya, Kak Hendra ini suka berantem di mana aja. Sok jagoan!” celetuk Delana sambil menatap sinis ke arah Hendra.

Hendra sama sekali tidak marah. Ia hanya tertawa kecil mendengar ucapan Delana.

“Emang dia jagoan, Kak!” seru Bryan membela Hendra.

“Kamu belain dia?” Delana mendelik ke arah Bryan.

“Sesama lelaki,” jawab Bryan pelan sambil menyembunyikan wajahnya.

Hendra tertawa kecil. “Ternyata, kamu lebih serem dari aku kalo lagi marah,” celetuk Hendra.

Delana memukul pundak Hendra sambil mengerutkan hidungnya.

“Eh, main pukul? Nggak boleh anarkis!” goda Hendra sambil menunjuk hidung Delana. Ia tertawa melihat wajah Delana yang merengut.

Delana mencebik ke arah Hendra. “Bodo amat!”

“Kak ...!” panggil Bryan.

“Ya.”

“Uang sekolah aku belum dibayar?” tanya Bryan.

“Astaga ...! Kakak lupa!” Delana menepuk dahinya sendiri.

“Pantesan. Tadi siang aku dipanggil sama kelapa sekolah. Katanya, aku belum bayar uang sekolah.”

“Iya. Besok kakak bayarin.”

“Beliin aku sepatu baru, ya!” pinta Bryan.

“Sepatu apa? Sepatu sekolah?” tanya Delana.

“Sepatu basket.”

“Kakak nggak ngerti beli begituan. Kamu pergi sendiri, ntar Kakak kasih uangnya.”

Bryan menganggukkan kepala.

Mereka melanjutkan makan sore bersama.

Hendra langsung berpamitan untuk pulang. Saat keluar dari rumah Delana, ia bertekad akan merubah dirinya yang terkesan menakutkan di mata Delana. Ia harus bisa mengubah rasa takut dan ngeri itu menjadi rasa aman agar orang yang ia cintai tetap nyaman berada di sampingnya. 


((Bersambung...)) 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas