Wednesday, October 15, 2025

THEN LOVE BAB 38 : TAK PERNAH BERUBAH

 


Minggu pagi, mobil Hendra sudah parkir di depan halaman rumah Delana sesuai janjinya.

“Pagi ...!” sapa Hendra sambil memberikan setangkai mawar putih untuk Delana begitu Delana membukakan pintu rumahnya.

“Pagi juga.” Delana mengernyitkan dahinya melihat bunga yang ada di tangan Hendra.

Hendra tersenyum dan menyodorkan bunga itu lebih dekat pada Delana.

“Ini maksudnya apa?” tanya Delana sambil menatap bunga yang masih berada di tangan Hendra.

“Hmm ... kamu nggak suka bunga, ya?” tanya Hendra. Ia kemudian mengangkat kantong plastik yang ia sembunyikan di belakang punggungnya. “Kalo yang ini, gimana?” tanya Hendra sambil menunjukkan kantong plastik berisi beberapa ice cream kesukaan Delana.

Delana tertawa kecil. “Kamu masih ingat aja,” celetuknya.

“Mau nggak?” tanya Hendra karena Delana tak kunjung mengambil semua pemberiannya.

Delana langsung menyambar kantong plastik berisi ice cream dari tangan Hendra. “Ayo, masuk dulu!” ajak Delana.

Hendra tertawa kecil. “Bunganya nggak mau?” tanya Hendra.

“Itu bunga asli atau bukan?” tanya Delana.

“Asli, dong! Masa iya aku beliin kamu bunga palsu.”

Delana tertawa kecil. Ia meraih bunga itu dari tangan Hendra. Delana langsung membuka pita dan plastik yang membungkus bunga tersebut.

“Loh? Kok, dirusakin?” tanya Hendra. Ia merasa kesal karena bunga yang ia berikan langsung dirusak Delana di depan matanya.

Delana tersenyum. Ia menghampiri pot bunga yang ada di teras rumah dan menancapkan bunga tersebut. “Kalau nggak dirusakin, dia bakal layu di tempatnya. Lebih baik di tanam,” tutur Delana.

Hendra tertawa kecil. Ia tak menyangka kalau Delana begitu peduli dengan pemberiannya. Ia berharap mawar itu akan tumbuh subur dan Delana akan selalu mengingatnya setiap kali ia keluar dari rumah.

“Masuk dulu, yuk!” ajak Delana sambil menarik lengan Hendra.

“Kamu sudah mandi apa belum?” tanya Hendra.

“Belum.” Delana meringis.

“Pantesan masih bau!” ejek Hendra.

“Idih ... sorry lah ya! Aku tuh biar nggak mandi seminggu juga tetep harum.” Delana mencebik ke arah Hendra.

“Harum jiggong!” seru Hendra.

“Ngolok! Cium neh kalo nggak percaya!” Delana meyondongkan tubuhnya.

“Sini!” Dengan senang hati Hendra bersiap mencium Delana.

“Enak aja!” Delana mengusap wajah Hendra dengan telapak tangannya.

“Aneh! Kamu yang mancing,” dengus Hendra.

Delana meringis. “Aku mandi dulu, kamu tunggu di sini, ya!”

“Kamu tuh aneh juga. Aku kan udah bilang mau jemput jam sembilan. Kenapa nggak siap-siap dari tadi?”

“Masih masak sama beres-beres rumah. Maklum lah cewek. Lagian, kalo minggu gini pembantu aku libur.”

“Hah!? Bukannya pembantu seharusnya dua puluh empat jam di dalam rumah?”

“Enggak. Aku cuma minta bantu nyuci, gosok sama beres-beres aja. Yang lain masih aku kerjain sendiri. Hitung-hitung, belajar jadi ibu rumah tangga,” ucap Delana sambil mengedipkan mata.

“Bagus!” Hendra mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku naik dulu ya!” pamit Delana sambil bergegas pergi.

Hendra langsung duduk di sofa. Ia mengambil ponsel di sakunya dan memilih menonton video youtube sambil menunggu Delana.

Beberapa menit kemudian, Delana sudah muncul kembali.

“Udah siap?” tanya Hendra.

“Udah,’’ jawab Delana sambil tersenyum.

“Bryan mana? Dari tadi nggak kelihatan.”

“Masih tidur. Ini kan hari Minggu. Dia bangunnya siang.”

“Oh, anak muda memang begitu,” celetuk Hendra.

Delana tersenyum.

“Ayo, berangkat!” ajak Hendra. Ia bangkit dari sofa dan berjalan bersama Delana keluar dari rumah.

Hendra melajukan mobilnya ke arah jalan MT. Haryono.

“Kita mau ke mana?” tanya Delana.

“Udah, ikut aja!” ucap Hendra sambil tersenyum.

Sepuluh menit kemudian, Mobil Hendra memasuki jalan Syarifuddin Yoes.

Delana hanya terdiam sambil menikmati pemandangan kota yang tidak setiap hari ia lalui.

Delana tersentak saat Hendra membelokkan mobilnya memasuki halaman Royal Suite Hotel. “Kita mau ngapain ke sini?” tanya Delana ketakutan. Ia tak menyangka kalau Hendra mengajaknya ke hotel.

Hendra tersenyum menatap Delana. “Menurut kamu, kita mau ngapain?” Hendra menyondongkan tubuhnya ke arah Delana.

“Jangan macem-macem ya!” ancam Delana.

Hendra tertawa kecil. “Asal kamu nurut, aku nggak bakalan macem-macem kok,” tutur Hendra sambil memarkirkan mobilnya.

Delana terdiam. Otaknya sudah terisi semua prasangka buruk tentang Hendra. “Apa bener cowok kayak identik dengan istilah bad boy?” batin Delana dalam hatinya. “Kalo aku ikut sama dia, bisa aja dia ngajak aku masuk ke kamar hotel dan­−” tutur Delana dalam hati sambil bergidik. Ia sama sekali tak punya keinginan untuk keluar dari mobil.

“Ayo, turun!” ajak Hendra sambil menoleh ke arah Delana yang masih bergeming.

Delana tak bereaksi. Ia hanya mematung dan sama sekali tidak menggubris ajakan Hendra.

Hendra menghela napas. “Del ...!” panggil Hendra sambil meraih tangan Delana.

Delana langsung menepiskan tangan Hendra dengan kasar.

Hendra tertawa kecil. Ia tahu kalau Delana sudah berpikir negatif tentang dirinya karena ia mengajak gadis itu ke hotel.

“Del, jangan mikir porno ya! Aku ke sini cuma mau lihat pameran doang,” tutur Hendra sambil menahan tawa.

Delana langsung menoleh ke arah Hendra. “Serius?” tanya Delana.

“Ck, nggak percaya? Tanya sama security di depan!” perintah Hendra.

Delana menghela napas. “Oke. Aku percaya sama kamu. Tapi, kalo sampe masuk dan nggak ada pameran, kamu kuhajar loh!” ancam Delana.

“Iya. Aku mah rela dihajar sama cewek secantik kamu setiap hari,” tutur Hendra sambil tertawa kecil.

Delana tergelak mendengar ucapan Hendra.

“Nah, gitu dong! Ketawa lebih cantik daripada merengut terus.”

Delana tersenyum. Akhirnya mereka sama-sama keluar dari mobil.

Delana melangkahkan kaki memasuki lobi hotel. Ia mengedarkan pandangannya melihat suasana hotel yang bergaya etnik modern. Di beberapa sudut terlihat ukiran-ukiran khas dayak. Dinding-dindingnya juga dihiasi beberapa lukisan asli potret penari dan penduduk suku dayak.

Hendra menarik lengan Delana untuk melihat pameran karya seni dan sastra yang terpajang di koridor, tepat di sebelah Kahayan Cafe & Bar.

Delana menikmati hasil karya yang dipamerkan.

“Hei, Hen! Akhirnya datang juga,” sapa seseorang yang mengenakan jas hitam. Ia langsung merangkul Hendra.

“Iya. Kebetulan lagi nggak sibuk,” sahut Hendra sambil tersenyum.

“Siapa?” tanya teman Hendra sambil melirik Delana yang berdiri di samping Hendra.

“Oh, kenalin. Ini Dela,” jawab Hendra memperkenalkan Delana dengan temannya. “Ini namanya Rian, temen bisnis aku,” bisik Hendra di telinga Delana.

Rian langsung mengulurkan tangan pada Delana. Delana menyambutnya sambil tersenyum.

Teman-teman Hendra yang lain berdatangan satu per satu. Sehingga Hendra sibuk berbincang dengan teman-temannya.

“Aku mau lihat-lihat dulu ya!” bisik Delana di telinga Hendra.

“Sendirian nggak papa?” tanya Hendra.

Delana tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Oke.” Hendra membiarkan Delana melihat-lihat pameran sementara ia sibuk membicarakan pekerjaan dan bisnis bersama dengan teman-temannya.

Delana memerhatikan beberapa lukisan dan karya seni lain satu per satu. Matanya kemudian tertuju pada lorong yang menuju ke taman belakang. Di sana, terlihat beberapa orang sedang berkumpul bercanda gurau sambil menikmati suasana taman belakang hotel yang asri. Di sana juga tersedia photobooth. Pengunjung bisa berfoto ria dengan view taman yang indah dan asri.

“Hai, cantik!” sapa seseorang di belakang Delana.

Delana langsung membalikkan tubuhnya dan menatap tiga cowok yang sudah ada di belakangnya. Cowok-cowok itu terlihat sangat agresif dan Delana tidak nyaman dengan tatapannya.

“Boleh kenalan?” tanya salah satu cowok yang ada di depan Delana.

Delana tidak menjawab. Ia mundur beberapa langkah untuk menghindar dari tiga cowok tersebut.

“Kok diam aja?”

“Bisu ya?”

“Hahaha.”

“Cantik-cantik jangan sombong dong!” ucap salah satu cowok sambil menyolek dagu Delana.

Delana langsung menepis tangan cowok itu dengan kasar. “Jangan lancang ya!”

Cowok itu memerhatikan penampilan Delana dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.

Delana terus melangkah mundur hingga bersandar di dinding. Tiga cowok tersebut terlihat sangat bernafsu menatap Delana.

“Kalian ngapain?” Tiba-tiba Hendra muncul dan langsung mendorong satu cowok yang berusaha mendekati Delana.

Delana langsung bersembunyi di balik punggung Hendra.

“Santai cuy! Kita cuma mau kenalan, kok.”

“Kenalan, nggak usah pegang-pegang!” sentak Hendra.

Ketiga cowok itu saling pandang kemudian tertawa sinis menatap Hendra.

“Kalian cari gara-gara sama aku, hah!?” Hendra langsung menarik kerah baju cowok itu.

“Jangan kelahi, Hen!” Delana menarik lengan Hendra agar melepaskan genggamannya.

Hendra mengikuti perintah Delana dan langsung melepaskan kerah baju cowok itu. Ia merangkul Delana dan bergegas pergi.

“Banci!” maki cowok itu saat Hendra sudah berbalik dan melangkah pergi.

Telinga Hendra panas mendengar ucapan cowok itu. Ia mengeratkan gigi-giginya. Tangannya mengepal kuat, dadanya naik turun secara perlahan dan urat matanya menegang.

Secepat kilat, Hendra berbalik dan langsung menghantam wajah cowok itu dengan kepalan tangannya. Cowok tersebut langsung jatuh tersungkur karena tidak menyangka kalau Hendra akan berbalik dan langsung memukulnya dengan cepat.

“Kamu nggak papa?” tanya kedua temannya saat melihat darah yang mengalir dari hidung dan mulut akibat terkena tinjuan.

Cowok itu terduduk sambil mengusap darah yang keluar dari hidungnya. Ia memandang Hendra penuh kebencian.

“Hen, jangan berantem di sini!” seru Delana sambil melihat ke sekeliling yang mulai rama menyaksikan adegan duel antara Hendra dan tiga cowok tersebut.

Hendra tak lagi menghiraukan ucapan Delana. Ia memasang kuda-kuda saat dua cowok yang masih berdiri tegak itu bersiap menyerangnya.

Hendra berusaha menghindari pukulan dari musuh dan menendang bagian vitalnya. Namun, satu musuhnya lagi justru menendang wajahnya dan ia tak sempat menghindar.

Delana berteriak saat melihat darah mengucur dari pelipis Hendra. Ia menitikan air mata, tak tega melihat wajah Hendra terluka.

“Ada apa ini?” tanya teman-teman Hendra yang tiba-tiba muncul. Di belakangnya juga ada security hotel yang menanyakan hal sama.

“Kalian ngapain di sini?” tanya salah satu teman Hendra pada tiga cowok yang menyerang Hendra.

“Nggak ngapa-ngapain, Bang,” jawab mereka sambil menundukkan kepala.

“Kamu kenapa babak belur kayak gini?” tanya Rian sambil membolak-balik wajah Hendra.

“Kelakuan mereka tuh!” Hendra menunjuk ketiga cowok itu dengan dagunya.

“Kenapa mereka?” tanya Rian. “Kalian nggak tahu siapa Bang Hendra?” tanya Rian pada cowok itu.

Ketiga cowok itu menggelengkan kepala.

“Ini Hendra Sutopo, senior kalian, goblok!” maki Rian.

Ketiga cowok itu terkejut mendengar nama Hendra Sutopo. Senior mereka dalam organisasi dan beberapa komunitas. Siapa yang tak kenal dengan nama Hendra Sutopo. Hampir seluruh kota mulai dari orang tua sampai anak-anak mengenal Hendra Sutopo sebagai anak muda yang berprestasi dalam kejuaraan beladiri nasional. Selain itu, ia juga punya banyak bisnis sehingga namanya semakin dikenal oleh masyarakat.

 “Maafin kami, Bang!” Ketiga cowok itu langsung bersimpuh di depan Hendra.

Hendra bergeming. Ia sama sekali tak ingin memberikan maaf kepada ketiga cowok itu.

“Kalian jangan pernah muncul di depanku lagi!” ucap Hendra sambil mencengkeram kerah salah satu cowok itu dan langsung mendorong tubuhnya hingga terduduk di lantai.

Ketiga cowok itu mengangguk ketakutan. Mereka takut akan mendapat masalah dalam organisasi dan dilarang mengikuti beberapa kegiatan oleh senior-seniornya.

Hendra langsung merangkul Delana keluar dari hotel.

“Hen, aku nggak suka kamu selalu berantem kayak gini,” tutur Delana sambil melangkahkan kaki keluar dari hotel. Mereka berjalan menuju parkiran dan langsung masuk ke mobil.

Hendra tak menghiraukan ucapan Delana. Ia memilih diam karena masih kesal dengan ketiga cowok yang berusaha menggoda Delana di acara pameran tersebut.

Delana membuka dashboard mobil.

“Nyari apa?” tanya Hendra melihat Delana mencari sesuatu di dashboard mobilnya.

“Kamu nggak simpan kotak P3K di dalam mobil?” tanya Delana.

“Di belakang kursi kayaknya,” tutur Hendra.

Delana langsung bangkit dan mencari kotak P3K di belakang kursinya. Ia kembali duduk saat barang yang ia cari sudah ketemu.

Hendra menyalakan mesin mobilnya.

“Bentar!” pinta Delana. “Aku bersihin dulu lukamu,” tutur Delana sambil mengeluarkan kapas dan alkohol dari dalam kotak P3K.

“Jangan pake alkohol! Perih,” pinta Hendra.

“Perihnya sebentar aja. Ntar juga hilang.” Delana menarik wajah Hendra perlahan. “Lagian, berantemnya berani tapi sama alkohol aja takut,” celetuk Delana sambil mengusapkan kapas pada luka yang ada di pelipis Hendra.

Hendra terpaku menatap wajah Delana yang begitu dekat dengannya. Ia berharap Tuhan akan menghentikan waktu sekarang juga agar ia bisa selalu dekat dengan Delana seperti ini. Wajah cantik Delana benar-benar membuat Hendra tak bisa mengalihkan pandangannya. Bukan hanya cantik, Delana juga baik hati dan begitu perhatian. Ia bisa melihat bulir air mata Delana sempat jatuh saat pelipisnya mengucurkan darah segar.

“Aku nggak suka cowok sok jagoan kayak kamu,” tutur Delana pelan sambil memasangkan plester pada luka Hendra.

“Aku bukan sok jagoan. Aku cuma nggak bisa lihat cewek digangguin sama cowok. Apalagi kamu perginya sama aku, jadi aku harus bisa jagain kamu gimanapun caranya,” sahut Hendra.

Delana menghela napas.

“Nggak pake berantem kan bisa. Kenapa harus berantem?”

“Mereka yang mulai duluan.”

“Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalo kamu yang nonjok mereka duluan,” sahut Delana.

“Mereka yang mancing emosi. Siapa yang nggak marah kalo dibilang banci!?” tutur Hendra kesal.

“Kayaknya kamu harus belajar buat ngendaliin emosi kamu, deh,” tutur Delana sambil menatap lekat wajah Hendra.

Hendra terdiam. Ia hanya melongo mendengar ucapan Delana. Ia mengakui kalau dirinya memang sulit sekali mengendalikan emosinya.

“Sekarang kita pulang!” ajak Delana.

Hendra tak banyak bicara. Ia menuruti keinginan Delana dan langsung mengendarai mobilnya menuju ke rumah Delana.

“Makasih ya udah nemenin aku hari ini,” tutur Hendra saat ia sudah sampai di depan rumah Delana.

Delana mengganggukkan kepala. Ia langsung membuka pintu mobil.

“Del ...!” Hendra menahan lengan Delana.

“Kenapa?” tanya Delana sambil menoleh ke arah Hendra.

“Sorry ... udah bikin kamu khawatir!”

Delana tersenyum. “Aku harap kamu bisa berubah,” tutur Delana. Ia langsung keluar dari mobil dan menutup kembali pintu mobil Hendra.

Hendra menghela napas dalam-dalam. Ia merasa perubahan yang terjadi pada Delana. Gadis itu tak lagi ceria sejak mereka keluar dari hotel. Bahkan, Delana tidak mengajaknya masuk ke rumah sama sekali. Biasanya, Delana selalu mengajaknya masuk ke dalam rumah terlebih dahulu untuk mengobrol sejenak.

***

“Del, kemarin jadi jalan bareng cowok kaya itu?” tanya Belvina.

“Jadi,” jawab Delana.

“Terus, terus?” tanya Belvina penasaran.

“Nggak ada terusannya.”

“Yaelah, masa nggak ada terusannya?”

Delana tersenyum kecut menanggapi pertanyaan Belvina.

“Kalian pergi ke mana aja?” tanya Belvina.

“Ke hotel.”

“What!? Kalian berdua ke hotel? Kalian udah ...?”

“Nggak usah mikir ngeres gitu! Cuma diajak lihat-lihat pameran doang,” sahut Delana.

“Wah ... kalo ada kata ‘cuma’, berarti pengen yang lain?” goda Belvina.

“Apaan sih kamu, Bel?” celetuk Delana sambil tersenyum malu. Entah kenapa Belvina berpikir kalau ia dan Hendra telah memiliki hubungan lebih.

“Halah ... ngaku aja! Kamu suka sama dia? Seneng aja sih akhirnya kamu bisa move on dari cowok itu,” tutur Belvina.

“Aku nggak suka sama dia.”

“Hah!? Kenapa? Bukannya kata Ivo, dia itu cowok yang perfect banget ya?”

Delana menggelengkan kepala. “Perfect apanya? Luarnya aja yang kelihatan perfect. Dalemnya nyeremin banget.”

“Nyeremin gimana?”

“Dia tuh emosional dan suka banget berantem. Kayaknya, tuh cowok kesenggol dikit aja udah marah,” jelas Delana.

“Masa sih?”

“Iya. Kemarin dia berantem lagi di hotel. Waktu itu nonton dibioskop juga berantem. Heran, deh. Berantem terus tiap jalan bareng dia.”

“Emangnya berantem gara-gara apa?” tanya Belvina.

“Gara-gara ada cowok yang godain aku.”

“Serius? So sweet ...!”

“So sweet apaan!?” dengus Delana. “Berantem kok so sweet?”

“Ya ampun ... kamu tuh nggak ngeh kah? Dia itu berantem karena jagain kamu, Del. So sweet banget tahu kalo ada cowok yang kayak gitu. Rela terluka demi cewek.”

Delana menghela napas melihat Belvina yang sedang menghayal entah apa.

“Tapi dia emosional banget. Aku takut aja ntar aku yang jadi sasaran kemarahan dia kalo dia temperamental kayak gitu.”

“Hmm ... iya juga sih. Terus gimana dong?” tanya Belvina.

“Gimana apanya?”

“Hubungan kalian berdua.”

“Ya nggak gimana-gimana. Biasa aja.”

“Nggak jadian?” tanya Belvina.

Delana menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sama Chilton yang deketnya berbulan-bulan aja aku nggak jadian. Apalagi sama cowok kayak gitu. Baru juga jalan bareng beberapa kali,” tutur Delana.

“Eh, tuh!” Belvina menyenggol lengan Delana sambil menunjukkan dua sejoli yang sedang berjalan beriringan menuju kantin.

Delana menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Belvina. Ia melihat Chilton dan Ratu sedang berjalan ke arah kantin.

Delana langsung mengalihkan pandangannya dan menyeruput jus alpukat yang sudah ia pesan sejak tadi.

Belvina masih menyikut-nyikut lengan Delana.

“Apa sih, Bel?” tanya Delana.

“Kamu nggak papa?” tanya Belvina sambil menatap Delana.

Delana tersenyum lebar membalas tatapan Belvina.

“Bagus, deh! Jangan mewek ya!”

“Nggak lah.”

“Dah move on?”

Delana tertawa kecil.

“Kamu masak apa hari ini?” tanya Belvina.

“Tadi pagi cuma bikinin nasi goreng buat Bryan. Kenapa?” tanya Delana saat Chilton dan Ratu tepat melintas di sampingnya.

“Yah ... pengen makan masakan kamu aja. Aku tuh suka kangen kalo udah lama nggak makan masakan kamu,” tutur Belvina sambil melirik ke arah Chilton yang menoleh ke arah mereka.

“Huu ... bilang aja mau yang gratisan!” dengus Delana sambil mengusap wajah Belvina dengan telapak tangannya.

Belvina meringis.

“Enaknya masak apa, Bel?”

“Kok, tanya aku? Kamu mau masak apa? Aku mah apa aja dimakan,” jawab Belvina.

“Bener ya, apa aja dimakan? Nanti aku bikinin burger tikus,” tutur Delana.

“Nggak gitu juga, kali,” sahut Belvina.

“Siapa tahu aja doyan,” celetuk Delana sambil menahan tawa.

Belvina bergidik geli. “Halah ... palingan juga kamunya nggak berani pegang tikus,” sahut Belvina sambil tertawa.

Delana tertawa. “Emang. Beraninya pegang kamu aja, Bel.”

“Aku atau dia?” tanya Belvina menggoda.

“Dia siapa?” tanya Delana sambil tersipu malu.

“Yang kemarin jalan sama kamu, lah.” Belvina mengeraskan suaranya saat melihat Chilton dan Ratu duduk di kursi yang ada di belakang Delana, tepat di hadapannya. Ia bisa melihat kalau Chilton sedang memerhatikan punggung Delana, bukannya memerhatikan Ratu yang ada di depannya.

“Sst ... jangan keras-keras ngomongnya!” pinta Delana sambil mengacungkan jari telunjuk di bibirnya.

“Kenapa? Nggak bakal ada yang cemburu juga kan?” Belvina mengedipkan matanya ke arah Delana. Ia juga bisa melihat dengan jelas wajah Chilton yang ada di belakang Delana. Cowok itu terlihat sangat dingin saat bersama Ratu. Berbeda sekali saat ia bersama Delana.

Belvina seringkali memerhatikan Chilton dan Delana saat bersama dan dia bisa merasakan kalau Chilton tidak begitu ceria saat bersama Ratu. Berbeda ketika cowok itu bersama Delana. Hampir setiap menit ia bisa melihat Chilton tersenyum bahkan tertawa.

“Yah, nggak gitu juga. Nggak enak aja diomongin. Aku sama dia cuma temenan aja,” tutur Delana.

Tiba-tiba ponsel Delana berdering. Ia langsung mengambil ponsel yang ia letakkan di saku bajunya.

“Siapa, Del?” tanya Belvina saat melihat Delana menatap layar ponselnya.

“Alan.”

“Alan Satria?” tanya Belvina.

Delana menganggukkan kepala.

“Jawab lah!”

Delana tersenyum dan langsung menggeser tombol telepon berwarna hijau.

“Halo ... kenapa, Lan? Tumben telepon?” tanya Delana.

“....”

“Hah!? Serius?” tanya Delana setengah berteriak. Ia kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri karena suaranya mengundang perhatian siswa lain di kantin kampus.

Belvina tertawa kecil melihat tingkah Delana.

“Aargh ...! Aku kangen banget sama kamu. Kapan balik ke sini?” tanya Delana.

“....”

Belvina tersenyum saat melihat ekspresi wajah tak biasa dari Chilton. Ia bisa melihat kalau Chilton tidak nyaman mendengar Delana menerima telepon dari cowok lain. Belvina tahu kalau Chilton menyukai Delana, tapi entah kenapa Chilton justru menolak sahabatnya itu.

“Seminggu? Bener ya! Awas kalo ngerjain!” ancam Delana pada Alan. “Langsung ke rumah!” pintanya.

“...”

“Manjanya minta jemput. Naik taksi juga bisa.”

“....”

“Iya. Pake motor nggak papa?”

“....”

“Nggak usah ngolok!” dengus Delana sambil mengerucutkan bibirnya.

“....”

“Oke.” Delana langsung mematikan sambungan teleponnya.

“Kenapa si Alan?” tanya Belvina.

“Mau balik ke sini. Minta dijemputin. Aku bilang naik motor aja jemputinnya. Dia malah ngolokin aku karena sampe sekarang aku masih belum mahir bawa mobil sendiri.”

Belvina tertawa.

“Kamu juga kenapa ngetawain aku?”

Belvina tertawa kecil. “Balik ke kelas yuk!”

Delana mengangguk. Mereka langsung bergegas keluar dari kantin dan kembali ke kelas mereka.



((Bersambung...))

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas