Delana merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menatap langit-langit kamar yang kosong. Di sana, tergambar bayangannya bersama Chilton beberapa waktu lalu. Saat mereka masih berteman dengan baik. Menikmati pagi dan melalui malam bersama.
Delana menghela napas. Sudah seharusnya ia bisa menerima kenyataan bahwa dirinya dan Chilton memang tidak berjodoh.
Delana bangkit, ia melangkahkan kakinya perlahan menuruni anak tangga dan langsung masuk ke dapur untuk mencari minuman dingin.
Delana membuka pintu kulkas dan meraih botol berisi sirup nanas yang ia buat sendiri.
“Kak, tumben masih di rumah?” Suara Bryan mengagetkan Delana.
“Astaga ...! Kamu ngagetin aja!” seru Delana yang melihat Bryan sudah ada di belakangnya.
“Kakak ngelamun? Masa nggak lihat aku udah di dapur duluan?” tanya Bryan.
“Ah, kamu ini,” gumam Delana.
Bryan tersenyum. “Kakak nggak ngajar? Tumben jam segini masih di rumah?” tanya Bryan.
“Hah!? Emangnya ini hari apa?”
“Hari Senin,” jawab Bryan singkat.
Delana langsung menepuk jidatnya. “Astaga ...! Lupa!” Ia langsung menutup kulkas menggunakan kakinya dan beranjak pergi menuju kamar.
Bryan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kakaknya itu.
Delana menggerutu sambil mempersiapkan dirinya pergi ke tempat kursus. Memikirkan Chilton telah menguras waktu dan pikirannya. Hingga ia mengorbankan waktu-waktu penting bersama anak-anak muridnya.
Delana berlari keluar dari kamarnya. Jam mengajar seharusnya sudah dimulai. Tapi, Delana justru masih santai di rumah. Sedangkan untuk bisa sampai ke tempat mengajar, ia harus menempuh waktu sekitar tiga puluh menit.
Delana mengendarai sepeda motor terburu-buru. Ia terus menyalip kendaraan yang ada di depannya agar bisa cepat sampai ke tempat les.
Sesampainya di halaman gedung, tempat ia mengajar. Delana langsung memarkirkan motornya dengan terburu-buru. Ia tidak menurunkan standar motornya dengan baik sehingga motor tersebut ambruk.
“Kenapa, Mbak?” Security yang sedang berjaga langsung berlari menghampiri Delana.
“Rebah, Pak. Tolong, ya! Saya terlambat!” seru Delana sambil berlari masuk ke dalam gedung.
Security yang berjaga menggeleng-geleng heran melihat kelakuan Delana yang meninggalkan motornya begitu saja.
Delana langsung masuk ke kelas yang menjadi jadwal ia mengajar. Belum sampai masuk kelas, Delana terkejut karena sudah ada Chilton yang sedang menggantikannya mengajar siswa sekolah dasar.
“Kak Dela!” seru murid-murid Delana begitu melihat Delana berdiri di depan pintu.
Delana tersenyum. Ia melambaikan tangan sambil melangkahkan kakinya perlahan memasuki kelas. Ia terlihat malu-malu karena ada Chilton yang sudah ada di depan kelas.
“Kenapa terlambat?” tanya Chilton.
“Eh!?” Delana malah bengong mendengar pertanyaan Chilton.
“Kenapa terlambat?” Chilton mengulangi pertanyaannya lagi.
“Ada urusan.”
“Ngapain?”
“Kepo!” dengus Delana.
Chilton tersenyum kecil. “ Ya udah, aku balik ke kelas aku lagi.”
“Oke. Makasih, ya!”
Chilton menganggukkan kepala dan berlalu pergi meninggalkan Delana bersama murid-murid didikannya.
Jam kursus untuk murid sekolah dasar akhirnya usai. Di sela waktu menunggu jam kursus untuk murid sekolah menengah, Delana keluar dari gedung dan menghampiri tukang bakso yang sedang mangkal di depan halaman gedung.
“Paklek, baksonya satu, ya! Nggak usah pake saos!” pinta Delana. Ia menarik kursi plastik yang telah disediakan dan duduk di sana.
“Lek, bakso ya! Kayak biasa,” tutur Chilton yang tiba-tiba muncul. Ia langsung duduk di samping Delana.
Delana terdiam. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ingin menyapa, tapi ia masih ragu.
“Kuliah kamu gimana?” tanya Chilton.
“Baik,” jawab Delana sambil tersenyum.
Chilton mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kamu sendiri gimana?” tanya Delana.
“Apanya?”
“Kabarnya,” sahut Delana tanpa menoleh ke arah Chilton.
“Baik,” jawab Chilton sambil tersenyum.
Delana menarik napas dalam-dalam. Ia masih merasa canggung dengan keberadaan Chilton di sampingngnya. Ia mencoba menata hatinya agar terlihat baik-baik saja.
“Eh, kabar si Attala gimana?” tanya Delana. “Masih nge-game?”
“Kayaknya sih gitu. Dia masih sering ngajak aku main game,” jawab Chilton sambil meraih mangkuk bakso yang disodorkan oleh tukang bakso. Ia juga memberikan mangkuk bakso pada Delana.
“Makasih, Paklek!” ucap Delana.
“Maksih, Lek!” tutur Chilton sambil mengangkat sedikit mangkuknya.
Tukang bakso tersebut langsung menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Kamu masih mau diajak nge-game lagi sama dia?” tanya Delana melanjutkan pembiacaraan.
“Nggak lah. Ketemu sama cooser kayak Chillo lagi, geli aku,” ucap Chilton sambil bergidik.
Delana tergelak melihat ekspresi wajah Chilton.
Chilton tersenyum kecil menatap wajah ceria Delana. Wajah yang tak lagi ia lihat beberapa hari terakhir semenjak ia menolak gadis itu. “Aku nggak suka sama kamu, tapi hariku nggak biasa kalo nggak ada kamu,” bisik Chilton dalam hatinya.
Delana menghentikan tawanya. Ia sadar kalau ia bisa tetap berteman baik dengan Chilton tanpa harus berharap cowok itu akan mencintainya.
“Mama kamu apa kabar?” tanya Delana menatap Chilton sambil tersenyum.
Chilton langsung menatap Delana begitu mendengar mamanya disebut. Ia tak pernah mengajak cewek lain masuk ke dalam rumahnya, kecuali Delana. Mamanya selalu ingat dengan Delana. Ia bahkan tidak tahu harus menjawab apa ketika mamanya tahu kalau hubungannya dan Delana sudah berakhir, bahkan sebelum mereka berpacaran.
Chilton tersenyum dan mengalihkan pandangannya pada mangkuk bakso yang ada di tangannya. “Sesekali dia nanyain kamu,” tuturnya.
“Oh, ya? Nanyain apa?” tanya Delana penasaran.
“Nanyain kabar kamu.”
“Aku baik,” jawab Delana sambil tersenyum bahagia. Entah kenapa ia merasa sangat bahagia ketika tahu kalau mamanya Chilton memberikan sedikit perhatian untuknya. Andai saja ia bisa punya mama seperti Mama Astria.
Chilton hanya tersenyum melirik Delana yang duduk di sampingnya.
“Kabar Zoya gimana?” tanya Delana.
Chilton menaikkan kedua alisnya begitu mendengar nama sahabatnya itu disebut. Entah kenapa ia merasa kesal setiap kali Delana menanyakan kabar cowok tampan seperti sahabatnya itu.
“Kenapa?” tanya Delana yang menyadari ekspresi kesal di wajah Chilton.
“Kamu emang suka cowok ganteng, ya?”
“Aku normal kali,” jawab Delana sambil tertawa. “Masih suka sama cowok, bukan sama cewek.”
Chilton tersenyum kecil. Ia tak ingin menjawab pertanyaan Delana tentang sahabatnya itu.
“Kamu cemburu?” goda Delana.
“Hah!? Cemburu!? Nggak lah!” sergah Chilton.
“Kali aja cemburu sama sahabat sendiri,” celetuk Delana.
Chilton hanya tersenyum kecil menanggapinya.
“Kamu anggap aku teman baik, aku juga anggap dia teman baik kayak kamu,” tutur Delana.
“Bisa aja kamu jatuh cinta sama dia. Hati orang bisa berubah kapan aja,” sahut Chilton.
“Hmm ... iya juga, sih. Tapi kayaknya nggak mungkin deh kalo aku jatuh cinta sama cowok kayak dia. Kelewat ganteng. Aku bisa sakit hati terus setiap hari karena dia direbutin banyak cewek,” tutur Delana.
Chilton menoleh ke arah Delana. Bukankah dirinya juga jadi rebutan banyak cewek di kampus. Tapi, Delana tetap sabar dan setia menemani hari-harinya. Apa Delana juga sakit hati saat ia jalan bersama cewek lain? Tiba-tiba saja pertanyaan itu hadir dalam benak Chilton.
Ternyata, Chilton menyakiti Delana bukan pada malam ia menolak perasaan Delana, tapi sejak ia mengenal gadis itu.
Chilton memejamkan mata. Ia tak ingin terus menerus dihantui rasa bersalah karena kebaikan yang telah Delana berikan untuknya.
“Eh, ngomong-ngomong, kabar kamu sama Ratu gimana? Aku denger-denger kalian lagi deket banget ya?” tanya Delana.
Chilton hanya tersenyum menanggapi ucapan Delana.
“Syukur deh, akhirnya kamu bisa nemuin cewek yang tepat buat kamu,” tutur Delana sambil tersenyum walau dalam hatinya ia merasa sakit.
“Aku nggak terlalu cocok sama dia. Dunia kita beda banget,” tutur Chilton.
“Oh ya? Masa, sih? Kalian kelihatan serasi banget,” tutur Delana sambil menunjukkan senyum bahagia.
Chilton menaikkan kedua alisnya. Ia sama sekali tidak merasa cocok dengan Ratu. Tapi, bisa saja dia memilih Ratu ketimbang harus berpacaran dengan Delana yang mudah sekali menyukai pria tampan.
“Kalo aku jadian sama dia, menurut kamu gimana?” tanya Chilton sambil tersenyum.
Delana tersenyum. “Cocok. Ratu anaknya cantik banget, kamu juga ganteng banget. Kalian serasi,” tutur Delana. Ia mencoba tegar dan menerima kalau Chilton dan dirinya hanya bisa menjadi sebatas teman.
“Kamu sendiri, udah dapet cowok baru?” tanya Chilton.
“Eh!? Apaan, sih? Aku nggak nyari cowok, kok.”
“Bukannya kamu suka sama cowok ganteng?”
Delana menganggukkan kepala. “Suka bukan berarti cinta,” tutur Delana sambil bangkit dari tempat duduknya. Ia menghampiri rombong julan dan memberikan mangkuk bakso yang sudah kosong pada tukang bakso.
“Berapa Paklek?” tanya Delana.
“Sepuluh ribu, Mbak.”
“Dua. Sama punya dia sekalian,” tutur Delana sambil menunjuk Chilton dengan dagunya.
“Oh. Dua puluh ribu semuanya, Mbak.”
Delana merogoh uang yang ia simpan di sakunya. Ia mengambil dua lembar uang sepuluh ribuan dan memberikannya pada tukang bakso tersebut.
“Aku duluan, ya!” pamit Delana, ia langsung bergegas masuk ke dalam gedung tempat ia mengajar.
Chilton menganggukkan kepala. Ia ikut bangkit dan menghampiri tukang bakso yang berada beberapa meter darinya. “Berapa, Paklek?” tanya Chilton.
“Sudah dibayar sama mbak yang tadi,” jawab tukang bakso tersebut sambil mengambil mangkuk dari tangan Chilton.
“Hah!?” Chilton langsung menoleh ke arah Delana yang masih berjalan memasuki gedung. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Kebiasaannya memang tidak hilang. Ia lebih sering ditraktir Delana daripada mentraktir cewek itu.
***
Sore mulai berganti malam. Murid-murid sekolah dasar hanya kursus di jam sore. Malam hari akan diisi oleh murid-murid sekolah menengah. Delana dan Chilton masih saja mengambil jam malam karena permintaan murid-murid mereka.
Delana memasuki kelas. Sejak hari ini, ia memutuskan akan tetap berteman dengan Chilton seperti dulu. Tak ingin berubah sedikitpun. Agar dia tahu bahwa Delana tulus memberikan apa yang ia miliki untuk Chilton. Sekalipun Chilton telah menolak dirinya.
“Sore, Bu Guru Cantik! Ngelamun aja,” sapa Randi yang baru saja memasuki kelas.
“Heh!? Kamu ngagetin Kakak aja!” Delana tersentak saat Randi sudah ada di depannya.
“Ngelamunin siapa, Kak?” tanya Randi. Ia menyandarkan telapak tangannya di meja Delana. Murid-murid yang lain belum datang dan dia berani sekali menggoda Delana.
“Kepo aja, deh!” dengus Delana.
“Kayaknya aku tahu, deh.” Randi tersenyum sambil mengerdipkan matanya.
“Tahu apa anak kecil?”
“Aku nggak tahu apa-apa sih, Kak. Tapi, aku bisa ngerti kalo Kakak lagi mikirin guru yang ngajar di kelas sebelah kan?”
Delana mendelik ke arah Randi. Ia langsung mengetuk kepala Randi menggunakan spidol. “Sok tahu!” celetuk Delana.
“Aduh, sakit!” Randi mengusap-ngusap kepalanya yang terasa sedikit nyeri.
“Duduk!” perintah Delana sambil melotot.
Randi cengengesan. “Bu Guru Cantik kok galak banget? Aku makin suka, deh!” goda Randi.
Delana langsung mengangkat tas dan bersiap melemparkannya ke arah Randi.
“Ampun ... Kak!” teriaknya sambil melompat menjauhi Delana.
“Kalo udah nggak sama Kak Chilton, aku mau kok jadi penggantinya dia!” seru Randi.
Delana tersentak mendengar ucapan Randi. Bagaimana bisa muridnya bisa tahu perihal hubungannya dengan Chilton? Selama ini, ia dan Chilton memang terlihat sangat dekat. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama dan tidak heran jika orang-orang di sekeliling mereka juga mengetahui hal itu.
Randi hanya cengengsan dan langsung duduk di kursinya. Beberapa murid sudah mulai berdatangan dan mereka bercanda ria sebelum akhirnya Delana memulai jam pelajaran.
Dua jam kemudian, Delana akhirnya bisa keluar dari kelas. Ia langsung bergegas menuju parkiran untuk mengambil sepeda motornya.
“Duh, motorku kok nggak enak ya?” gumam Delana ketika mengeluarkan sepeda motornya dari parkiran.
Delana turun dari motor dan langsung memerhatikan tubuh motornya.
“Astaga ...!” seru Delana saat mendapati ban belakang motonya bocor.
“Kenapa?” tanya Chilton yang tak jauh dari Delana.
“Ban motor aku kok bocor, ya?” tanyanya pada diri sendiri.
Chilton langsung menghampiri sepeda motor Delana dan memerhatikan bannya.
“Masih ada bengkel buka nggak ya jam segini?” tanya Delana.
Chilton melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. “Kalo udah jam sembilan kayak gini, biasanya udah pada tutup semua. Di sini jarang banget bengkel yang buka dua puluh empat jam.”
Delana menghela napas lesu. “Ya udah, lah. Aku pesen ojol aja,” Delana merogoh ponsel dari dalam tasnya.
“Ikut aku aja!” pinta Chilton.
“Eh!? Nggak usah. Rumah kamu deket di sini aja, sedangkan rumahku jauh banget.”
“Aku mau balik ke asrama, kok.”
“Mmh ...” Delana menimbang-nimbang saran dari Chilton. Ia ingin sekali bisa pulang bersama Chilton seperti dulu. Tapi, ia takut berharap lagi pada cowok itu. Ia takut kalau perasaannya akan semakin buruk jika menerima tawaran dari Chilton.
“Kenapa, Kak?” tanya Randi yang tiba-tiba muncul. Ia langsung menghampiri motornya yang terparkir di sebelah motor Delana.
“Motor Kakak bannya bocor,” tutur Delana.
“Hah!?” Randi langsung mengamati ban motor Delana. “Wah, parah ini mah,” tuturnya sambil memencet ban motor. “Jadi, gimana Kak? Kayaknya jam segini bengkel udah pada tutup.”
“Nggak papa. Kakak pesan ojek online aja,” tutur Delana sambil menunjukkan ponsel yang sudah ada di tangannya.
Chilton hanya memerhatikan pembicaraan mereka berdua.
“Udah pesen?” tanya Randi.
“Belum. Baru mau pesen.”
“Nggak usah pesen, Kak!” pinta Randi.
“Hah!? Kenapa?” tanya Delana.
“Aku antar sampe rumah.”
“Emangnya rumah kamu di mana?” tanya Delana.
“Kakak nggak perlu tahu di mana rumahku. Yang penting aku antar Kakak sampe rumah,” tutur Randi. Ia membuka jok motor dan mengambil beberapa peralatan yang ia simpan di dalamnya.
“Mau ngapain?” tanya Delana melihat Randi yang duduk di belakang motor Delana.
“Lepas bannya. Biar aku tambal di rumah,” jawab Randi sambil memutar kunci Y untuk membuka ban sepeda motor. Ia merasa terlalu keras hingga menekannya menggunakan kaki.
“Kelihatan, Ren?” tanya Delana. Ia memerhatikan penerangan di parkiran yang tidak begitu baik.
“Kelihatan, Kak,” jawab Randi. Ia serius melepas baut satu per satu.
“Chil, kamu diam aja. Bantuin dia dong! Kasihan,” tutur Delana sambil menatap Chilton.
“Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri, kok,” sahut Randi.
“Kamu biasa bongkar motor, ya?” tanya Chilton.
“Iya, Kak. Bapakku punya bengkel. Jadi, aku sering bantu-bantu di sana.”
“Oh. Baguslah! Aman kalo gitu,” tutur Chilton. “Aku balik duluan, ya!” pamitnya. Ia malas berlama-lama melihat Randi yang bertingkah layaknya hero untuk Delana.
“Iya, Kak. Hati-hati ya!” seru Randi.
Delana hanya tersenyum menatap dua cowok yang bersamanya. Ia tak ingin banyak menatap Chilton dan lebih fokus memerhatikan Randi.
Delana ikut berjongkok di sebelah Randi sambil menatap cowok remaja yang ada di depannya itu.
Chilton melirik Delana dan Randi sambil memakai helm dan menaiki sepeda motornya. Ia langsung menyalakan sepeda motor dan mengopel keras-keras, membuat Delana dan Randi sama-sama menoleh ke arahnya. Ia kesal karena Delana memberikan perhatian pada banyak cowok tampan. Randi memang anak muridnya, tapi ia sudah kelas tiga SMA dan bisa merasakan jatuh cinta.
Chilton langsung melajukan motornya keluar dari parkiran. Sementara Delana dan Randi menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Chilton.
“Kenapa tuh orang? Kesurupan kali,” celetuk Delana.
“Bukan kesurupan, Kak. Cemburu,” sahut Randi.
“Huu ... sok tahu!” Delana menoyor kepala Randi.
“Loh? Tahu dong. Aku tuh sudah gede, Kak. Udah bisa pacaran. Jadi, tahu aja cowok kalo cemburu kayak begitu modelnya.”
“Cemburu apaan? Kak Dela sama dia cuma temenan,” sahut Delana.
“Temenan apa Demenan?” tanya Randi.
“Ah, kamu bisa aja!” Delana mendorong sedikit pundak Randi. “Lanjutin, gih! Biar cepet kelar, ini udah malam.”
“Siap, Kak!” sahut Randi. “Ini udah kelar, kok.” Randi bangkit dan langsung menarik ban motor Delana.
“Ayo, kita pulang!” ajak Randi.
Delana tersenyum. Ia langsung memakai helm sementara Randi meletakkan ban motor Delana di bagian depan motornya.
“Besok sore aku bawain ke sini bannya. Kak Dela naik ojek dulu sementara nggak papa, kan?”
“Nggak papa. Santai aja! Ada Bryan, kok.”
“Hah!? Siapa Bryan? Pacar Kak Dela?”
“Bukan. Adiknya Kakak.”
“Owh ... kirain pacar Kak Dela,” celetuk Randi sambil tersenyum. Ia memakai helm dan langsung menyalakan mesin motornya.
Delana akhirnya pulang ke rumah diantar oleh Randi.
***
Delana masuk kampus seperti biasa. Tak ada yang istimewa hari ini. Ia menatap kursi taman, tempat ia dan Chilton biasa menghabiskan sarapan pagi bersama.
“Woi ... ngelamun!” teriak Belvina sambil menepuk bahu Delana.
“Setan! Jantungku mau copot,” maki Delana sambil mengelus-elus dadanya.
Belvina tergelak. “Ngapain sih lihatin ke sana terus?” tanya Belvina. “Ntar gagal move on lagi! Ke kelas yuk!” ajak Belvina sambil menarik lengan Delana.
Delana tersenyum. Ia mengikuti langkah sahabatnya menyusuri koridor menuju kelasnya.
Mata Delana tertuju pada Chilton dan Ratu yang sedang berjalan bersama sambil bergandengan tangan. Ia dan Chilton sudah banyak menghabiskan waktu bersama. Tapi, ia tak pernah bergandengan tangan di tempat umum seperti ini terlebih di area kampus.
Delana menghela napas panjang. Pada akhirnya ia tahu kalau Chilton memang lebih suka wanita yang cantik. Tak sepertinya yang terlihat sangat sederhana sekali.
“Del, udah ah! Nggak udah dilihatin terus!” pinta Belvina yang menyadari pandangan mata Delana tertuju pada Chilton dan Ratu.
Delana tersenyum. “Hidup ini konyol banget ya?” ucapnya. “Setengah tahun aku deket sama dia tapi nggak pernah bisa bikin Chilton jatuh cinta sama aku. Ratu yang baru hitungan minggu kenal sama Chilton udah bisa sedekat itu.”
“Udah, deh. Nggak usah bahas dia lagi!” pinta Belvina. “Ntar kamu mewek lagi.” Belvina menarik Delana agar cepat-cepat masuk ke dalam kelas.
Delana tersenyum. “Nggak, kok. Aku udah ikhlas banget kalo dia lebih bahagia sama orang lain,” tutur Delana.
“Hmm ...!” Belvina terlihat makin kesal karena Delana masih terus membahas soal Chilton.
“Bel ...!” panggil Delana saat mereka sudah masuk ke dalam kelas.
“Apa?” tanya Belvina.
“Kemarin aku ketemu dan ngobrol bareng Chilton.”
“Oh ya? Terus?”
“Dia bilang, dia nggak cocok sama Ratu. Tapi, hari ini aku lihat dia malah lengket banget sama cewek itu,” tutur Delana.
“Hadeh, omongan laki-laki mah nggak bisa dipercaya!” sahut Belvina.
“Iya, sih.” Delana langsung duduk di kursinya.
Belvina juga langsung duduk di samping Delana.
“Dia masih tinggal di kamar kamu, kan?” tanya Delana.
“Ratu?” tanya Belvina memastikan.
“Iya. Masa Chilton,” sahut Delana.
Belvina menahan tawa. “Iya. Kenapa emangnya?”
“Nggak papa. Dia nggak pernah cerita sama kamu soal Chilton?” tanya Delana.
Belvina menggelengkan kepala. “Nggak pernah. Lagian, dia juga jarang banget ada di kamar. Kalo malam selalu jalan entah ke mana. Siang dia sibuk sama kuliah dan kegiatannya. Aku yang sekamar aja jarang ketemu.”
Delana tertawa kecil. “Aku pikir dia sering cerita-cerita soal Chilton.”
“Kamu masih mau kepoin cowok itu mulu,” tutur Belvina kesal.
“Aku cuma pengen tahu aja sikap Chilton ke dia itu kayak gimana? Apa sama kayak waktu sama aku atau enggak?” tanya Delana.
“Hmm ... kalo soal itu aku kurang paham juga.”
Delana tersenyum. “Udah, nggak usah ikut mikir. Ntar kamu setress!” celetuk Delana.
Belvina meringis.
Beberapa menit kemudian, dosen pengajar masuk ke kelas dan langsung memberikan materi seperti biasa.
Setelah mata kuliah usai, semua mahasiswa berhamburan keluar dari kelas dan pulang ke rumah masing-masing.
“Del, aku ke rumah kamu, ya!” pinta Belvina.
“Ayo, lah! Ivo mana ya?” tanya Delana sambil celingukan.
“Iya. Dari tadi nggak kelihatan,” sahut Belvina. Mereka jarang sekali bertemu dengan Ivona di kampus karena mereka berbeda kelas.
“Banyak tugas kali dia. Kebanyakan libur soalnya,” tutur Delana sambil tertawa.
“Bisa jadi,” sahut Belvina sambil cekikikan.
“Telepon deh!” pinta Delana.
“Kamu aja yang telepon! Aku nggak ada pulsa,” sahut Belvina.
“Huu ... dasar!” Delana langsung mengambil ponselnya dan menelepon Ivona.
“Di mana Vo?” tanya Delana begitu Ivona mengangkat panggilan teleponnya.
“Masih di kelas aku. Banyak tugas. Kenapa?” tanya Ivona.
“Gitu sih. Kebanyakan liburnya jadi tugasnya numpuk,” tutur Delana.
“Iya nah. Kenapa nelepon?” tanya Ivona.
“Belvi mau ke rumah aku. Mau ikutan nggak?” tanya Delana.
“Mau. Nyusul aja ya! Aku selesaikan tugasku dulu. Tinggal dikit lagi, kok.”
“Oke siap! Ditunggu!” Delana langsung mematikan ponselnya. Ia dan Belvina berjalan beriringan menuju rumahnya sambil bercerita banyak.
((Bersambung...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment