Friday, October 10, 2025

THEN LOVE BAB 37 : KEHADIRAN PRIA BARU

 


“Masak apa, Kak?” tanya Bryan saat melihat kakaknya sedang sibuk di dapur.

“Bikin cookies buat cemilan,” jawab Delana.

Tiba-tiba, ponsel Delana berdering. Bryan langsung mengintip nama penelepon yang tertera di layar ponsel Delana.

“Kak, Hendra Sutopo ini Kak Hendra yang dulu sering main sama kita waktu kecil?” tanya Bryan.

“Kamu masih ingat sama dia?” tanya Delana, ia membersihkan tangannya dan langsung meraih ponsel.

“Masih.”

Delana tersenyum. Ia langsung menjawab panggilan telepon dari Hendra. “Halo ...!” sapa Delana.

“Halo ... Gimana kabarnya?” tanya Hendra.

“Baik.”

“Lagi di mana sekarang?” tanya Hendra.

“Di rumah aja,” jawab Delana. “Kamu sendiri lagi di mana?”

“Lagi di kantor,” jawab Hendra. “Oh ya, aku boleh main ke rumah kamu?”

“Boleh. Kapan?” tanya Delana balik.

“Sekarang.”

“Loh? Bukannya kamu masih di kantor?” tanya Delana.

“Iya. Lagi nggak ada kerjaan. Pengen ke luar,” jawab Hendra.

“Oh, ke rumah aja! Pintu rumahku selalu terbuka lebar buat kamu.”

“Share lokasi,ya!” pinta Hendra.

“Siap!”

“Oke. Aku ke sana sekarang. Bye!” Hendra langsung mematikan panggilan teleponnya.

“Kak Hendra mau ke sini?” tanya Bryan.

Delana menganggukkan kepala.

Bryan tersenyum menatap Delana.

“Kenapa senyum-senyum?” dengus Delana.

“Nggak papa. Kalo Kak Hendra ke sini, biasanya bawain banyak makanan sama mainan.”

“Itu kan dulu waktu kalian masih kecil. Sekarang, nggak mungkin dia kayak gitu.”

“Yah, siapa tahu aja dia nggak berubah.”

Delana tertawa kecil. “Kamu aja sekarang udah berubah. Masa dia nggak berubah.”

Bryan meringis mendengar ucapan Delana.

Delana tersenyum. Ia mengirimkan lokasi pada Hendra dan melanjutkan kegiatannya membuat adonan kue.

Beberapa menit kemudian,terdengar suara klakson mobil saat Delana baru saja memasukkan  kue yang sudah dicetak ke dalam microwave.

Belum sampai Delana melepas apron dari badannya, ponselnya tiba-tiba berdering.

“Kak Hendra, Kak,” tutur Bryan sambil melongok ke arah layar ponsel Delana yang tergeletak di atas meja.

Delana buru-buru membersihkan tangan dan langsung menyambar ponselnya.

“Aku sudah di depan,” tutur Hendra begitu Delana mengangkat teleponnya.

“Oke. Wait!” pinta Delana sambil berjalan keluar dari rumahnya.

Hendra langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia menatap pagar rumah Delana. Ia bisa melihat dari balik tralis kalau gadis itu keluar dari pintu rumah mengenakan apron.

Hendra tersenyum saat melihat Delana membukakan pintu pagar rumahnya. Gadis itu terlihat sangat cantik tanpa riasan, rambutnya yang diikat asal-asalan sehingga beberapa helainya menutupi wajah. Delana masih mengenakan apron dan itu membuat Hendra membayangkan dirinya pulang bekerja, disambut oleh seorang istri.

Delana tersenyum. Ia menganggukkan kepala dan mempersilakan Hendra untuk memasukkan mobilnya ke halaman rumah. Delana langsung menutup kembali pagar rumahnya begitu mobil Hendra sudah masuk.

Hendra langsung keluar dari mobil dengan membawa beberapa kantong paper bag. Ia langsung memberikan kantong-kantong tersebut pada Delana.

“Apaan, nih?” tanya Delana sambil menahan senyum.

“Buka aja!” sahut Hendra sambil tersenyum.

Delana tertawa kecil. “Masuk dulu, yuk!” ajaknya.

Hendra menganggukkan kepala dan mengikuti langkah Delana. Hendra terkejut saat melihat cowok tampan yang membukakan pintu untuk mereka. Cowok itu sangat mirip dengan Delana.

“Kamu? Bryan?” tanya Hendra.

“Iya, Kak.” Bryan menganggukkan kepala.

“Tsah! Gila! Udah gede aja,” tutur Hendra sambil merangkul Bryan.

Bryan tersenyum sambil menahan sakit karena Hendra menepuk bahunya lumayan keras.

“Duduk, yuk!” ajak Delana yang melihat ekspresi wajah adiknya.

Hendra langsung melepaskan rangkulannya. Ia berjalan mendekati sofa dan duduk dengan santai.

“Dek, temenin Kak Hendra dulu, ya!” pinta Delana. “Ini, oleh-oleh dari Kak Hendra.” Delana menyodorkan paper bag ke arah Bryan.

“Ini serius buat Bryan?” tanya Bryan dengan wajah sumringah.

Delana menganggukkan kepala.

“Aku ke dapur dulu, ya! Belum kelar masak, nih,” pamit Delana pada Hendra.

Hendra menganggukkan kepala. “Lagi masak apa emangnya?”

“Bikin kue kering aja, sih,” jawab Delana sambil tersenyum. “Ntar kamu cobain! Aku ke belakang dulu, ya! Takut gosong,” tutur Delana sambil bergegas pergi.

Hendra tersenyum menatap kepergian Delana. Ia tak berkedip sama sekali sampai tubuh Delana benar-benar menghilang dari pandangannya.

“Kak Hendra sekarang tinggalnya di mana? Lama banget nggak pernah ketemu,” tutur Bryan.

“Eh!?” Hendra mengalihkan wajahnya ke hadapan Bryan. Tapi, matanya masih saja melirih ke arah pintu dapur. “Lulus SD, Kakak sekolah di Jakarta sampai sekarang,” jawab Hendra.

“Loh? Jadi, Kak Hendra baru aja balik dari Jakarta?” tanya Bryan.

“Enggak. Udah dua bulan Kakak ngurus perusahaan yang di sini.”

“Oh, kuliahnya Kakak?” tanya Bryan.

“Cuti.”

“Emangnya kuliah bisa cuti, ya?” tanya Bryan polos.

“Bisa, dong.”

Bryan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Beberapa menit kemudian, Delana keluar membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat dan cookies yang baru saja ia buat.

“Silakan diminum!” Delana mempersilakan sambil tersenyum. Ia meletakkan nampan di atas meja dan langsung duduk di sofa.

“Ini kue buatan kamu?” tanya Hendra menatap Delana yang tak lagi mengenakan apron.

Delana menganggukkan kepala. “Cobain!” pintanya.

Hendra mengambil satu cookies dan langsung menggigitnya. “Hmm ... enak banget!” pujinya.

“Nggak perez, kan?” dengus Delana.

Hendra tergelak sejenak. “Nggak, lah. Seriusan ini enak banget. Masih enak ini daripada cookies yang dijual di toko-toko itu.”

“Ah, kamu mah berlebihan.”

“Nggak percaya? Buka aja tuh!” Hendra menunjuk salah satu paper bag dengan dagunya. “Suruh aja Bryan cobain! Enakan mana?” tutur Hendra.

“Kakak bawain kue?” tanya Bryan langsung memeriksa isi paper bag tersebut. Ia mengambil satu kotak kue yang ada di dalamnya.

Hendra menganggukkan kepala.

Bryan langsung membuka kotak tersebut dan melihat cookies yang ada di dalamnya. “Sama,” ucapnya sambil membandingkan dengan cookies buatan Delana.

Delana dan Hendra tertawa kecil melihat tingkah Bryan.

“Enak mana? Cobain!” perintah Hendra.

Bryan mengambil satu cookies dari toko dan mencobanya. Ia juga melakukan hal yang sama pada cookies buatan kakaknya.

“Gimana?” tanya Hendra.

“Enak,” jawab Bryan dengan mulut penuh makanan.

Delana tertawa kecil melihat dua cowok yang terlihat membicarakan hal serius di depannya.

“Enakan mana?” tanya Hendra sambil menepuk lengan Bryan.

“Sama aja enaknya,” jawab Bryan.

“Ah, kamu ini!” celetuk Hendra. Ia membisikkan sesuatu pada Bryan. Bryan mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

“Ngomongin apa, bisik-bisik?” dengus Delana.

“Urusan cowok. Cewek mah nggak boleh tahu,” sahut Hendra.

Delana mengerutkan hidungnya. Ia merasa kalau Hendra dan Bryan sedang membicarakan tentang dirinya.

“Jeleknya mukamu kalo kayak gitu.” Hendra mengusap wajah Delana.

“Apaan sih!?” Delana langsung menepis lengan Hendra.

Mereka terdiam selama beberapa saat karena asyik menikmati kue buatan Delana.

“Del, nonton film, yuk!” ajak Hendra.

“Nonton film apaan?” tanya Delana.

“Apa aja, deh.”

“Aku ikut, Kak,” sahut Bryan.

“Ayo!” ajak Hendra.

“Nggak usah!” sergah Delana.

“Loh? Kenapa? Kak Hendra aja ngebolehin,” celetuk Bryan.

“Ini udah sore banget. Jadwal film jam segini itu dibatasin buat anak SMA,” tutur Bryan.

“Ah, masa sih? Kan nggak ada juga yang tahu kalo aku masih SMA,” sahut Bryan.

“Tahu, dong. Sebelum masuk pasti dimintain KTP!” seru Delana.

“Serius, Kak?” tanya Bryan sambil menggaruk kepala karena ia belum punya KTP.

“Iya. Kalo nggak percaya tanya Kak Hendra tuh!” ucap Delana sambil menunjuk Hendra dengan dagunya.

Bryan menoleh ke arah Hendra. “Beneran, Kak?” tanya Bryan.

Hendra menatap Delana yang menggeleng-gelengkan kepala sambil melambaikan tangan di depan dadanya. “Iya, kalo masih pelajar nggak boleh nonton film malam,” jawab Hendra sambil tersenyum. Ia melirik Delana yang menarik napas lega.

“Tapi, waktu itu aku nonton film sama temen-temen aku bisa aja.”

“Siang atau malam?” tanya Delana.

“Siang.”

“Kalo siang boleh. Banyak film buat anak SMA,” tutur Delana.

Bryan menghela napas. “Ya udah. Aku nonton tv aja,” celetuknya.

“Gitu baru anak pinter!” puji Delana sambil menyubit kedua pipi Bryan.

“Aku mandi dan ganti baju dulu ya!” seru Delana sambil berlalu pergi meninggalkan Hendra dan Bryan di ruang tamu.

Hendra menganggukkan kepala. Ia menunggu Delana di ruang tamu sambil bercengkerama bersama Bryan.

Beberapa menit kemudian, Delana turun dari kamarnya. Hendra hampir tak berkedip melihat penampilan Delana yang jauh lebih fresh dan lebih cantik dari sebelumnya.

Delana mengenakan mini dress berwarna merah dengan high heels berwarna hitam. Rambutnya dibiarkan terurai dengan beberapa helai yang ia jepit ke belakang dengan jepitan pita berwarna merah keemasan.

“Kakak kamu cantik banget,” gumam Hendra sambil menyolek lengan Bryan.

“Iya, lah. Kakak siapa dulu?” ucap Bryan bangga.

Hendra bangkit dari tempat duduk dan langsung menghampiri Delana.

Penampilan Delana kali ini memang sangat feminim. Hanya saja, ia tidak bisa mengenakan make-up seperti Ratu atau Ivona. Ia hanya memoleskan bedak dan lipstik tipis di bibirnya.

“Udah siap?” tanya Hendra.

Delana menganggukkan kepala.

“Yuk!” Hendra mengulurkan tangannya. Delana tersenyum dan menyambut uluran tangan Hendra. Tanpa pikir panjang, Hendra langsung menggenggam telapak tangan Delana dan bergegas pergi.

“Kami berangkat dulu ya!” pamit Hendra pada Bryan.

“Iya, Kak. Hati-hati ya! Jangan lupa bawain oleh-oleh!” seru Bryan.

“Mau dibeliin apa?” tanya Delana.

“Sate kambing ya!” pinta Bryan.

“Iya,” sahut Delana. Ia dan Hendra segera berangkat ke salah satu pusat perbelanjaan untuk menonton film.

Sesampainya di bioskop. Mereka memilih salah satu film romance yang akan diputar tiga puluh menit lagi.

“Yakin nonton ini?” tanya Hendra.

“Iya. Mau yang mana lagi? Nggak mungkin kan ambil film yang putarnya malam banget.”

Hendra tersenyum menatap Delana. Setelah memilih kursi, ia memesan minuman dan camilan untuk mereka bawa sambil menonton film.

Delana mengedarkan pandangannya. Ia teringat beberapa waktu lalu saat ia dan Chilton menonton film bersama. Delana tertawa kecil teringat saat Chilton dikerubungi banyak cewek.

Hendra tersenyum saat melihat Delana tertawa sendiri. Ia merasa kalau Delana menyukainya. Penuh percaya diri, Hendra menggenggam telapak tangan Delana dan mengajaknya masuk ke ruang tunggu.

“Kamu pernah nonton film sebelumnya?” tanya Hendra.

“Pernah,” jawab Delana.

“Sama siapa?”

“Temen.”

“Sama pacar?” tanya Hendra.

“Nggak pernah pacaran,” sahut Delana.

“Hah!?” Hendra menahan tawa. “Cewek zaman sekarang nggak pernah pacaran? Aku nggak percaya!”

“Aku juga nggak minta kamu buat percaya,” sahut Delana datar.

Hendra terdiam. Ia menatap lekat mata Delana yang tetap menatap ke depan dan tak mau menatapnya. Delana tidak mungkin berbohong. Ia terlihat serius saat mengatakan kalau ia belum pernah pacaran.

Hendra tersenyum, akhirnya ia menemukan wanita yang selama ini ia cari. Wanita baik hati yang bisa menemaninya menjalani sisa hidup. Ia yakin, Delana pasti jatuh cinta kepadanya. Ia akan melakukan apa saja untuk wanita di sampingnya itu.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah masuk ke dalam ruang theater.

Pemutaran film dimulai.

“Halo ... gimana kabarnya?” Tiba-tiba cowok di belakang Delana menelepon dengan suara keras.

“Baik, Baik. Aku lagi banyak kesibukan ...” Cowok di belakang Delana terus saja mengoceh lewat telepon.

Delana menoleh ke belakang. Ia melihat cowok itu, bukannya mengecilkan suaranya, cowok itu justru berbicara semakin keras.

“Mas, jangan keras-keras dong ngomongnya! Ganggu yang lain lagi nonton,” tegur Delana.

Cowok itu tak menghiraukan perkataan Delana. Ia tetap saja menelepon dengan suara keras. Bukan hanya Delana yang terganggu, tapi juga penonton lainnya.

Saat Delana mencoba fokus menonton film, cowok di belakangnya justru menendang kursi belakang Delana.

Delana menghela napas. Ia mencoba menahan emosi. Sementara Hendra yang ada di sampingnya sudah merasa kesal dengan cowok yang ada di belakangnya.

Hendra mengepalkan tangan dan merapatkan gigi-giginya, ia ingin bangkit untuk menegur cowok tersebut. Tapi, Delana menahan lengannya agar tetap duduk.

Cowok di belakang Delana menendang kursi Delana lagi. Delana semakin kesal dengan kelakuan cowok yang ada di belakangnya itu. Ia merasa tidak nyaman dan menonton film tidak lagi menyenangkan.

Hendra yang mengetahui Delana diganggu oleh cowok di belakangnya, langsung bangkit. Ia langsung meraih kerah baju cowok tersebut dan mengangkatnya dari atas kursi. “Berani-beraninya kamu gangguin dia!” sentak Hendra.

Cowok itu sama sekali tidak merasa bersalah, ia justru tersenyum sinis sambil menatap Hendra.

Semua mata penonton tertuju pada Hendra. Ini membuat Delana tidak nyaman. “Hen, udah Hen! Turunin dia!” pinta Delana.

“Dia ini udah gangguin kamu, Del. Belum pernah ngerasain dicium sama tanganku!” ucap Hendra geram. Ia mengepalkan tangan dan bersiap meninju wajah cowok itu.

“Jangan, Hen!” seru Delana sambil menahan lengan Hendra. “Turunin dia, please!” bisik Delana sambil memeluk tubuh Hendra agar cowok itu bisa lebih tenang. Ia tak peduli dengan semua mata yang menatap ke arahnya.

Hendra menghela napas dan melepaskan cowok itu dari tangannya. “Awas aja kalo berani ganggu dia lagi!” ancam Hendra. Ia mengelus pundak Delana yang masih memeluknya.

Delana melepas pelukannya. “Pulang yuk!” ajak Delana.

“Hah!? Filmnya baru dimulai,” tutur Hendra.

Delana menggelengkan kepala. “Aku udah nggak mood mau nonton film.”

“Oke, lah.” Hendra mengikuti keinginan Delana dan segera keluar dari ruang theater film.

“Aku nggak suka lihat kamu sok jagoan kayak gitu,” tutur Delana saat mereka sudah keluar dari bioskop.

“Aku nggak bisa lihat kamu diganggu sama orang lain,” sahut Hendra.

“Iya. Tapi nggak usah emosi kayak gitu juga. Malu dilihatin banyak orang.”

“Aku lebih malu lagi kalau nggak bisa jagain kamu!”

Delana menghela napas. Ia melihat Hendra mudah emosi setiap menghadapi masalah.

Hendra memang sangat emosional. Terlebih ia adalah bos perusahaan yang sangat sombong dan suka memperlakukan karyawan semena-mena. Baginya, berkelahi bukanlah hal yang aneh.

“Apa pun alasannya, aku tetep nggak suka!” ucap Delana sambil berlalu pergi meninggalkan Hendra.

“Loh? Del, tunggu!” Hendra mempercepat langkahnya agar bisa mengimbangi langkah Delana. “Iya, aku janji nggak bakal gitu lagi,” tutur Hendra. Ia berusaha meredam emosinya untuk Delana.

Delana hanya tersenyum kecil.

“Sekarang kita mau ke mana?” tanya Hendra.

“Pulang,” jawab Delana singkat.

“Kok, pulang? Makan dulu, yuk! Aku laper.”

“Aku nggak laper,” sahut Delana.

Hendra menghela napas. Ia merasa kalau telah membuat Delana tidak nyaman. Tapi, ia berpikir bahwa laki-laki harus bisa melindungi wanita yang sedang bersamanya.

Daripada membuat mood Delana semakin buruk, ia lebih memilih menuruti keinginan Delana untuk pulang ke rumah.

“Del, ayah kamu ke mana, ya? Aku lama banget di rumah kamu tapi nggak ada ketemu beliau,” tanya Hendra saat mereka berada di perjalanan pulang.

“Kerja di Berau.”

“Berau?” Hendra mengangkat alisnya. “Jauh juga, ya?”

Delana menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Jarang pulang jadinya?”

Delana mengangguk. “Udah lima bulan belum pulang.”

“Kerja apa ayahmu?” tanya Hendra.

“Ngurusin bisnisnya di sana.”

“Bisnis apa?”

“Mau buka cabang perusahaan di sana. Masih yang dulu,” jawab Delana.

Hendra mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. “Kapan-kapan aku main ke Berau, deh. Kangen juga, lama nggak ketemu Oom Harun,” tutur Hendra.

Delana tersenyum menatap Hendra. Untuk cowok sekaya Hendra, Balikpapan-Berau serasa Balikpapan-Samboja. Dekat.

Mobil Hendra berhenti tepat di depan rumah Delana.

“Besok ada waktu nggak?” tanya Hendra.

“Mmh ... besok kuliah. Kenapa?” tanya Delana balik.

“Pulang kuliah jam berapa?” tanya Hendra.

“Jam tiga. Tapi, langsung lanjut ngajar sampe malam.”

Hendra mengangkat kedua alisnya. Ia terlihat berpikir. “Kalo minggu ngapain?” tanya Hendra.

“Minggu free, jalan-jalan sama temen-temen kalo mereka ngajakin,” jawab Delana.

“Oke. Kalo gitu, minggu pagi jam sembilan aku jemput kamu ya!”

“Hah!? Mau ke mana?” tanya Delana.

“Ada, deh.” Hendra mengedipkan matanya.

Delana tertawa kecil. “Awas ya kalo macem-macem!” ancam Delana.

“Nggak, lah. Mana berani sih aku macem-macemin cewek secantik kamu.”

Delana tersipu mendengar ucapan Hendra. “Aku masuk dulu ya!” pamit Delana sambil membuka pintu mobil. “Mau masuk dulu?” tanya Delana menawarkan.

Hendra menggelengkan kepala. “Udah malem, kamu istirahat aja!”

Delana tersenyum dan langsung keluar dari mobil Hendra. Hendra melambaikan tangannya ke arah Delana dan bergegas pergi.

***

“Vo, si Hendra yang waktu itu kita ketemu di Dandito, semalam ngajak aku nonton film,” tutur Delana saat ia dan Ivona berkumpul di kamar Belvina.

Delana tidak peduli dengan Ratu yang sedang asyik berbaring sambil mengenakan earphone. Ia pikir, Ratu tak akan mendengarkan pembicaraan mereka.

“Oh ya? Temen kecil kamu itu?” tanya Ivona.

Delana menganggukkan kepala.

“Yang mana sih?” tanya Belvina ikut bergabung dalam obrolan.

“Yang kita ceritain waktu itu. Waktu aku beliin kamu udang goreng.”

“Oh ... yang malam itu? Aku belum pernah lihat orangnya.”

Delana dan Ivona tertawa.

“Iya juga ya? Kamu ada fotonya dia nggak?” tanya Ivona pada Delana. “Biar Belvi lihat,” lanjutnya.

Delana menggelengkan kepalanya.

“Di akun sosmednya dia? Instagram atau facebook gitu?” tanya Ivona.

Delana menggelengkan kepala. “Katanya sih dia follow aku di instagram. Tapi, aku nggak tahu nama akunnya dia yang mana. Followers aku kan banyak. Masa iya mau aku periksain satu-satu?” celetuk Delana.

“Nggak papa kali. Biar aku tahu orangnya yang mana,” sahut Belvina.

“Waktu itu aku udah coba nyari. Tapi, nggak tahu akunnya yang mana. Bisa aja kan dia nggak pake nama asli.”

“Hmm ... iya, juga sih.”

“Terus, kamu nonton film apa sama dia?” tanya Belvina penasaran.

“Nggak jadi nontonnya,” jawab Delana.

“Hah!? Kenapa?” tanya Belvina.

“Orang yang di belakang aku tuh ribut banget. Dia nendang-nendang kursiku dan bikin Hendra emosi,” tutur Delana.

“Emosi gimana?” tanya Ivona.

“Dia tuh ternyata emosional banget. Itu cowok mau dihajar sama dia. Ya ampun ... malunya pang aku dilihatin banyak orang.”

Ivona dan Belvina tertawa mendengar ucapan Delana. Sementara, Ratu sengaja menguping pembicaraan mereka dengan berpura-pura mendengarkan musik menggunakan earphone sambil bersenandung.

“Kamu naksir sama dia?” tanya Belvina.

Delana menggelengkan kepala. “Belum.”

“Berarti mau dong?” goda Belvina.

“Nggak tahu ya ...” sahut Delana sambil tersipu malu.

“Dia itu ganteng banget, tahu!” tutur Ivona pada Belvina. “Udah gitu kaya banget. Masih muda udah jadi bos di perusahaan. Kurang apa coba? Si Chilton mah lewat!” seru Ivona.

“Sst ... jangan keras-keras ngomongnya!” bisik Delana sambil mengacungkan jari telunjuk di bibirnya.

Ivona menutup mulutnya sambil melirik Ratu yang berbaring di tempat tidurnya. “Sorry!” ucapnya pelan.

“Biar kayak gitu, Dela tetep tergila-gila sama Chilton,” sahut Belvina sambil cekikikan.

Delana langsung memukul bahu Belvina. “Ish ... nggak ada cowok yang kayak Chilton,” tutur Delana perlahan.

“Bukan nggak ada, belum nemuin aja,” sahut Ivona.

“Iya. Ntar kalo udah ketemu sama cowok yang lebih ganteng, lebih kaya, lebih segala-galanya dari Chilton, kamu bakalan lupa sama cowok itu,” tutur Belvina.

Delana menghela napas. “Semoga aja aku bisa secepatnya lupain dia,” tutur Delana lirih.

“Aamiin ...!” ucap Ivona dan Belvina bersamaan.

Delana mencebik ke arah dua sahabatnya. Dalam hati, ia masih tak rela jika harus kehilangan Chilton untuk selamanya.

Belvina tertawa kecil melihat wajah Delana. “Kayaknya dia belum ikhlas ngelepasin Chilton,” bisik Belvina di telinga Ivona.

“Nggak usah bisik-bisik! Aku dengar!” sahut Delana.

Ivona tergelak. “Eh, nanti aku cariin cowok yang lebih baik dari Chilton. Si Hendra itu kan udah keren. Coba aja alihkan perhatian kamu ke dia. Siapa tahu aja dia bisa bikin kamu move on dan ngelupain Chilton,” tutur Ivona pelan.

“Iya. Aku coba!” sahut Delana.

“Nah, gitu dong!” seru Ivona.

“Iya. Aku nggak tahan lihat kamu murung terus gara-gara cowok itu. Pantes aja si Bryan sering banget ngadu ke aku,” tutur Belvina.

“Hah!? Ngadu apaan?” tanya Delana.

“Sejak hari itu, kamu sering murung dan kayaknya adik kamu itu ikut mikirin, deh. Kalo enggak, buat apa dia ngeluh sama aku?” tutur Belvina.

Delana menghela napas panjang. “Iya. Aku terlalu sibuk mikirin dia yang nggak pernah mikirin aku. Sampe-sampe aku ngorbanin adik aku sendiri.”

“Yah, untungnya si Bryan udah gede dan udah ngerti. Coba kalo masih kecil, pasti dia udah marah-marah kalo nggak kamu masakin.”

Delana mendongakkan kepala menatap Belvina. “Eh, si Bryan pernah pinjam uang ke kamu buat beli makan waktu aku nggak keluar kamar sama sekali itu ya?” tanya Delana. “Dia pinjam berapa? Aku belum gantiin.” Delana langsung meraih tas dan mengambil dompetnya.

“Nggak usah diganti. Cuma sedikit aja, kok.”

“Serius?” tanya Delana.

Belvina menganggukkan kepala.

“Thank you so much!” Delana menyubit kedua pipi Belvina.

“Sakit woy!” seru Belvina sambil mengusap pipinya yang memerah.

Delana dan Ivona tergelak melihat wajah Belvina.


((Bersambung...))

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas