Thursday, October 9, 2025

THEN LOVE BAB 35 : HADIAH TERAKHIR UNTUK DELA

 


“Zoy, kamu punya banyak temen artis kan?” tanya Chilton lewat telepon.

“Iya. Kenapa?”

“Carikan tiga orang anak seni yang paling bagus di sini.”

“Buat apa?” tanya Zoya.

“Buat ngisi pensi.”

“Pensi di mana?”

“Di kampus.”

“Maunya yang gimana?” tanya Zoya.

“Nggak enak diomongin lewat telepon. Kamu di mana sekarang?” tanya Chilton.

“Di rumah.”

“Aku ke sana sekarang.”

“Eh, aku mau ke luar,” sahut Zoya.

“Ke mana?” tanya Chilton.

“Ada acara di Novotel.”

“Oke. Aku nyusul ke sana. Ketemu di sana ya!” pinta Chilton.

“Oke.”

Chilton langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia menyambar kunci motor yang ia letakkan di atas meja. Ia mengenakan jaket dan helm, kemudian bergegas pergi menemui Zoya.

Chilton tak sabar menanti Zoya yang masih mengisi acara di aula hotel Novotel. Ia mondar-mandir di depan pintu masuk hotel, gelisah menunggu Zoya menelepon.

“Nunggu siapa, Mas?” tanya Satpam yang memerhatikan gerak-gerik Chilton.

“Eh!? Nunggu temen lagi ngisi acara di dalam.”

“Oh. Mas Zoya?” tanya satpam tersebut.

“Bapak kok tahu?” tanya Chilton.

“Ya tahu, lha wong artis terkenal gitu. Ganteng lagi.”

Chilton hanya tersenyum menanggapinya.

“Masuk aja, Mas!”

“Nggak usah, Pak. Saya tunggu di sini aja. Tunggu dia telepon baru saya masuk,” tutur Chilton. Ia menyadari kalau Zoya tidak mungkin keluar lewat pintu depan.

Drrt ... Drrt ... Drrt ...

Ponsel Chilton bergetar. Ia langsung membuka ponsel dan membaca pesan dari Zoya.

“Tunggu aku di kamar nomor 235. Telepon asistenku, ini nomornya!” pinta Zoya via pesan Whatsapp sembari mengirim nomor asistennya.

Chilton tersenyum. Ia langsung bergegas masuk ke hotel dan mencari kamar nomor 235 seperti yang dimaksud oleh Zoya.

Sesampainya di depan kamar. Chilton langsung menelepon asisten Zoya.

Beberapa menit kemudian, asisten Zoya membukakan pintu kamar dan mempersilakan Chilton masuk.

“Tunggu aja, Mas! Sebentar lagi Mas Zoya selesai, kok.”

Chilton mengangguk dan langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa.

Beberapa menit kemudian, Zoya masuk ke dalam kamar hotel.

“Lama banget!” celetuk Chilton begitu melihat Zoya masuk ke dalam kamarnya.

“Namanya juga ngisi acara. Ada apa sih? Kamu sampe datengin aku kayak gini.” Zoya melempar jaketnya dan berbaring di atas sofa.

“Carikan aku anak-anak seni buat pensi!” pinta Chilton.

“Emangnya kamu mau bikin apa?” tanya Zoya.

“Aku mau ngisi acara, mau nyanyi.”

“Hah!? Seriusan?” Zoya terkejut dengan ucapan Chilton. Ia seringkali mengajak Chilton menyanyi di tempat umum tapi selalu menolak. Bahkan dibayar pun dia tidak mau. Bagaimana bisa sahabatnya itu tiba-tiba ingin menyanyi di acara pentas seni kampusnya?

“Emangnya aku kelihatan main-main?” tanya Chilton serius.

Zoya menahan tawa sambil memerhatikan wajah Chilton. “Ciye ... jerawatan gitu. Mikirin siapa?” goda Zoya yang melihat ada satu jerawat di dahi Chilton.

“Hah!?” Chilton langsung bangkit dan berjalan mencari cermin. Ia mengamati benjolan merah kecil yang tersemat di dahinya. “Sial!” umpatnya.

Zoya tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya itu.

“Kamu lagi deket sama siapa? Cewek yang di kolam renang itu?” tanya Zoya.

Chilton menggelengkan kepala. “Hubunganku sama dia lagi nggak baik.”

“Kenapa?” tanya Zoya.

“Sejak Atma bilang­−”

“Kamu percaya sama omongannya dia?” tanya Zoya.

“Bukan cuma omongannya dia. Aku juga nanya sendiri sama Dela. Dia memang demen cowok ganteng. Bisa aja dia memang lagi mau mainin aku.”

“Suatu hari kamu bakal nyesel udah nyia-nyiain cewek sebaik dia.”

“Maksud kamu?”

“Kemarin sore aku makan bareng dia,” tutur Zoya.

“Nah, kan! Apa aku bilang? Temenku sendiri mau diembat sama dia. Ckckck.” Chilton menggeleng-gelengkan kepala.

“Dengerin dulu!”

“Apa?” tanya Chilton kesal. “Udah jelas-jelas dia tuh kelakuannya kayak gitu kalo di belakang aku. Untung aja belum jadi pacar.”

“Chil, dia nggak seperti yang kamu pikirkan.”

“Kamu kenapa belain dia? Udah kena pelet sama dia?” dengus Chilton.

Zoya menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa kamu jadi sentimen gini? Kamu cemburu?” tanya Zoya sambil tertawa.

Chilton membuang pandangannya dan kembali duduk di sofa.

“Chil, dia itu tulus cinta sama kamu. Apa cuma karena omongan Atma, kamu tiba-tiba ngelupain semua hal yang udah dia kasih ke kamu?”

Chilton bergeming. Ia terbayang bagaimana Delana memperlakukannya begitu istimewa tanpa mengharapkan imbalan. Ia tak memaksakan Chilton harus mencintai Delana, gadis itu tetap saja memberikan perhatian dan kepedulian.

Tiba-tiba Chilton rindu pada sarapan pagi yang seringkali dibawakan Delana. Akhir-akhir ini, ia tak lagi bisa merasakan nikmatnya sarapan pagi bersama gadis itu.

“Udahlah, yang udah lewat nggak usah dibahas! Sekarang bantuin aku ngasih hadiah terakhir buat dia.”

“Hadiah apa?” tanya Zoya.

“Aku mau nyanyi buat dia.”

Zoya tertawa kecil. “Emang bener ya kata orang, cinta itu bisa merubah hidup seseorang. Menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Merubah benci jadi cinta, cinta jadi benci.”

“Ngomong apa sih kamu?”

“Nggak usah pura-pura bego!”

“Carikan anak seni!” seru Chilton.

“Butuh berapa?”

“Tiga aja.”

“Buat apa?”

“Buat ngiringin aku nyanyi.”

“Kalo ada, yang bisa lyrical dance gitu satu pasang.”

“Oh ... jadi, dari tiga orang itu ... dua lyrical dance dan satunya apa? Main musik?” tanya Zoya.

“Iya. Akustik aja.”

“Bukannya kamu bisa main musik sendiri?”

“Males ah!”

“Chil, dia pasti bakal lebih tersentuh kalo dia lihat kamu dan main musik sendiri,” tutur Zoy.

“Seriusan?” tanya Chilton.

Zoya menganggukkan kepala.

“Zoy, aku jadi bingung. Gimana caranya aku nyanyi akustikan terus ada yang nari juga di panggung.”

“Kalo saran aku, nggak usah pake lyrical dance. Cukup pake lagu yang menyentuh aja. Ntar yang nonton fokusnya terbagi antara kamu dan si penari,” tutur Zoya.

Chilton melirik langit-langit kamar. “Iya juga ya? Jadi, bagusnya gimana?”

“Ya udah, akustikan aja!”

“Gila! Aku nggak pede kalo disuruh tampil sendirian di panggung.”

“Jadi?”

“Kamu main keyboard deh! Carikan dua orang lagi yang bisa main gitar sama melodi!”

“Bikin band?”

“Nggak juga. Cuma ngiringin aku nyanyi doang.”

“Kirain, kamu mau bikin band sekalian.”

“Nggak. Cuma buat acara ini aja.”

Zoya mengangguk-anggukkan kepala. “Gampang lah kalo cuma cari gitaris aja. Ntar aku telepon temenku.”

“Sip lah! Di nego-nego harganya ya! Syukur-syukur bisa gratis,” pinta Chilton.

“Maunya yang gratisan mulu!” Zoya menoyor kepala Chilton.

Chilton tergelak. Rasanya, hampir semua orang suka apa pun yang gratis. Bukan karena dia tidak punya uang untuk membayar. Tapi, dia hanya ingin tahu seberapa peduli orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Chilton menghela napas. Tiba-tiba ia teringat pada tawa ceria Delana yang ia lihat setiap pagi. Gadis itu dengan senang hati menyiapkan sarapan untuknya tanpa meminta bayaran atau imbalan apa pun. Bahkan, Chilton membalasnya dengan cara menyakiti Delana. “Del, I’m so sorry!” bisiknya dalam hati.

“Kamu mau nyanyi lagu apa?” tanya Zoya.

“Apa ya? Aku belum kepikiran. Kasih aku rekomendasi lagu yang cocok dong!” pinta Chilton.

“Emang pensinya kapan?”

“Lima hari lagi.”

“Cepet amat? Kenapa baru ngomong sekarang?”

“Masih lama. Masih lima hari lagi.”

“Aku belum cari orang. Bisa aja mereka sibuk kalo dadakan gini.”

“Ya udah, hubungi sekarang!” pinta Chilton.

Zoya merogoh ponselnya. Ia langsung menelepon salah satu teman yang dia ingat bisa bermain gitar dengan sangat baik.

“Gimana?” tanya Chilton saat Zoya mematikan ponselnya.

“Nggak diangkat. Masih sibuk kali dia. Ntar aku telepon lagi. Kamu mau nyanyi lagu apa?” tanya Zoya lagi.

“Apa ya?” tanya Chilton balik.

“Gak jelasnya ai. Kamu yang mau nyanyi, malah tanya aku,” gumam Zoya.

“Terima Kasih Cinta, gimana?”

“Lagunya Afghan?”

“Iya,” jawab Chilton. “Terima kasih cinta, untuk segalanya. Kau berikan lagi, kesempatan itu. Tak akan terulang lagi, semua kesalahanku ... yang pernah menyakitimu ...” Chilton langsung menyanyikan lagu tersebut.

“Liriknya nggak dapet. Emangnya dia ngasih kamu kesempatan?”

Chilton melongo. “Iya ya?” Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Apa dong?”

“Ini aja, lagunya Dadali – Di Saat Aku Pergi,” ucap Zoya menyarankan.

“Yang gimana lagunya ya?” tanya Chilton sambil berusaha mengingat-ingat.

“Mungkin kau bukan cinta sejatiku. Mungkin kau bukan belahan jiwaku. Yang diturunkan Tuhan 'tuk menjadi Pendamping hidupku ...” Zoya menyanyikan bagian reff lagu yang ia maksud.

“Aha ... bagus tuh. Syairnya pas, tuh. Awalnya gimana ya?” tanya Chilton, ia berusaha mengingat-ingat lirik lagu tersebut.

“Biarlah aku pergi. Jangan lagi kau tangisi. Semoga pilihanmu. Yang terbaik untukmu ...” Zoya menyanyikan bagian awal lagu.

“Ah, awalnya nggak pas. Itu cocoknya kalau dia ada cowok lain!” seru Chilton.

“Terus? Kamu mau lagu yang gimana?” tanya Zoya.

“Aku maunya lagu yang bisa mewakili perasaanku buat dia. Aku pengen berterima kasih karena selama ini dia udah cinta sama aku.”

“Oh ... bentar.” Zoya membuka ponselnya. “Cari aja di Youtube!”

“Iya. Carikan lah!” pinta Chilton.

“Kamu sambil nyari juga!” sahut Zoya.

“Ah, satu aja, pake hapemu!” pinta Chilton. Ia menggeser posisi duduknya mendekati Zoya.

“D’masiv, Dengarlah Sayang, gimana?”

“Liriknya gimana?” tanya Chilton.

Zoya langsung menekan tombol play dan mereka bersama-sama mendengarkan lagu tersebut.

“Nggak ah. Ini ada lirik yang bilang kalo aku sedang berbohong. Aku nggak pernah bohong sama dia!” protes Chilton.

“Kamu nggak nyadar kalo selama ini kamu lagi ngebohongin dirimu sendiri?” tanya Zoya.

Chilton menatap kesal ke arah Zoya. “Sok tahu!”

Mereka kembali mencari lagu yang akan dinyanyikan oleh Chilton.

Akhirnya, Chilton menjatuhkan pilihannya pada dua lagu cinta dari sekian banyak lagu yang mereka cari.

“Oke. Dua lagu itu ya!” tegas Chilton.

“Beres!”

“Cari gitaris yang bagus!”

“Siap, Bos!”

Chilton tersenyum senang. Ia merapatkan jaketnya dan bangkit dari sofa.

“Mau ke mana?” tanya Zoya.

“Pulang.”

“Nggak makan dulu?” tanya Zoya.

“Makan di mana?”

“Di restoran sini aja.”

“Traktir ya!”

Zoya tertawa kecil. “Kamu tuh udah banyak duit masih aja suka yang gratisan!” seru Zoya. Ia merangkul Chilton dan keluar dari kamar. Mereka sama-sama menuju restoran untuk makan siang.

***

“Del, hari ini Chilton manggung di pensi. Kamu nggak mau nonton dia?” tanya Belvina.

“Mmh ...”

“Udah, nggak usah kebanyakan mikir! Lihat yuk!” Belvina menarik lengan Delana untuk keluar dari kelas. Ia mengajak Delana berdiri di bawah panggung. Ia terlihat senang bisa melihat Chilton sedang bersiap untuk mengisi acara tersebut di hari ketiga pentas seni yang akan berlangsung selama satu minggu.

“Tumben banget si Chilton mau nyanyi. Seumur-umur baru ini lihat dia naik ke panggung,” celetuk salah satu mahasiswa yang merupakan teman satu tingkat Chilton.

“Emang dia bisa nyanyi beneran?” sahut yang lain.

“Takut ai suaranya jelek. Nggak pernah denger dia nyanyi.”

Sementara para mahasiswa mengkhawatirkan suara Chilton, para mahasiswi justru berteriak kegirangan memanggil nama Chilton dari bawah panggung.

“Emang ya, kalo cowok ganteng itu fansnya banyak,” celetuk salah satu mahasiswa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap para cewek di kampusnya.

 Delana hanya diam mendengar obrolan orang-orang di sekitarnya. Matanya tertuju pada Ratu yang sudah berdiri di panggung sebagai pembawa acara.

“Hai ... temen-temen semua! Apa kabar?” tanya Ratu dengan suara menggelegar.

Terdengar sahutan dari semua penonton yang begitu riuh.

“Hari ini ... di belakang saya udah ada cowok ganteng yang bakal ngasih persembahan lagu buat kalian semua.”

Ratu mengedarkan pandangannya. Ia melihat banyaknya penonton yang antusias melihat penampilan Chilton.

“Baiklah, mari kita saksikan penampilan istimewa dari salah satu mahasiswa kita yang paling ganteng! Raditya Chilton!” teriak Ratu mempersilakan Chilton untuk bersiap. Ratu langsung berjalan ke belakang panggung dan memberikan tempat untuk Chilton dan teman-temannya.

“Halo ... selamat pagi, semua!” sapa Chilton.

“Pagi ...!” sahut semua penonton.

“Aargh ... Chilton! I Love you!” teriak beberapa mahasiswi.

Chilton tersenyum sambil mengedarkan pandangannya. Ia mencari sosok gadis yang telah membuatnya berada di atas panggung hari ini.

Mata Chilton tertuju pada Delana yang terlihat tersenyum ke arahnya. Ia langsung tersenyum sembari menatap gadis yang pernah mengisi hari-harinya.

“Lagu ini aku persembahkan untuk seseorang yang pernah mengisi hati dan hari-hariku. Terima kasih karena pernah ada dalam hidupku.” Chilton menatap Delana sambil tersenyum.

Terdengar suara gitar mulai mengiringi.

>> ....<<

For all the times I felt cheated, I complained

You know how I love to complain

For all the wrongs I repeated, though I was to blame

I still cursed that rain

I didn't have a prayer, didn't have a clue

Then out of the blue

God gave me you to show me what's real

There's more to life with just how I feel

And all that I'm worth is right before my eyes

And all that I live for though I didn't know why

Now I do, 'cause God gave me you

For all the times I wore my self pity like a favorite shirt

All wrapped up in that hurt

For every glass I saw, I saw half empty

Now it overflows like a river through my soul

From every doubt I had, I'm finally free

And I truly believe

God gave me you to show me what's real

There's more to life than just how I feel

And all that I'm worth is right before my eyes

And all that I live for though I didn't know why

Now I do, 'cause God gave me you

In your arms, I’m someone new

With ever tender kiss from you

Oh ... must confess Iive been blessed

God gave me you to show me what's real

There's more to life than just how I feel

And all that I'm worth is right before my eyes

And all that I live for though I didn't know why

Now I do, 'cause God gave me you

God gave me you ...

>> ....<<

Terdengar tepuk tangan riuh saat Chilton mengakhiri lagu milik Bryan White yang berjudul “God Gave Me You”. Semua orang merasa senang mendengar suara Chilton yang sangat merdu. Tak ada yang menyangka kalau ternyata Chilton pandai bernyanyi.

Hanya Delana yang menitikan air mata. Ia mengingat masa-masa indah bersama Chilton. Saat itu adalah hari-hari paling bahagia dalam hidupnya. Ia merasa sangat dicintai tapi kini dijatuhkan. “Kenapa kamu harus nyanyiin lagu itu kalau pada akhirnya kamu tetap pergi,” bisik Delana dalam hati.

Delana mengusap air matanya. Ia membalikkan tubuhnya membelakangi panggung. Ia tak punya kekuatan untuk menatap laki-laki yang ada di atas panggung tersebut. Terlalu banyak hal yang membuatnya bersedih karena kehilangan banyak waktu bersama Chilton.

“Lagi ... lagi ... lagi!” terdengar teriakan dari para penonton.

“Mau lagi?” tanya Chilton sembari menatap tubuh Delana yang perlahan menjauhi panggung.

“Iya!” sahut semua penonton.

“Oke. Aku kasih kalian satu lagu lagi. Lagu ini buat seseorang di sana yang sedang melangkah pergi dari hidupku. Semoga kamu mengerti ...!”

Delana menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah panggung sejenak dan melanjutkan langkahnya. Ia tidak akan bisa berada di sana terus-menerus. Membuat hatinya yang sudah luka semakin terluka.

>> ... <<

Seandainya ... Ku katakan yang sesungguhnya

Tentang perasaanku Padamu Selama ini

Seandainya Ku bisa Memutar kembali

Waktu yang Telah pergi Dariku

Saat kau ada Di sini denganku

Sebenarnya hatiku Selalu mencintaimu

Hanya saja Ku tak pernah Mengatakan Kepadamu

Dalamnya cintaku Menggenggam Tulus hatimu

Namun kini Kau katakan Cinta sudah terlambat

Seharusnya ... Ku tak biarkan

Kau menanti Kata cinta dariku

Yang tersimpan Terlalu lama

Dan seharusnya Ku pahami Isi hatimu

Yang tulus Menyayangi diriku

Sebelum cinta Menjadi miliknya

Sebenarnya Hatiku selalu Mencintaimu

Hanya saja Ku tak pernah Mengatakan Kepadamu

Dalamnya cintaku Menggenggam Tulus hatimu

Namun kini  Kau katakan Cinta sudah terlambat

Cinta sudah terlambat

Ho .. Hohuho ...

Sebenarnya Hatiku selalu Mencintaimu

Hanya saja Ku tak pernah Mengatakan Kepadamu

Dalamnya cintaku Menggenggam Tulus hatimu

Namun kini  Kau katakan Cinta sudah terlambat

Namun kini  Kau katakan Cinta sudah terlambat ...

>> ... <<

Chilton sadar kalau Delana masih terus menghindarinya. Ia memang tak lagi berada di bawah panggung menatapnya. Tapi, ia yakin kalau Delana mendengar suaranya sekalipun ia berada di luar kampus.

Delana membanting pintu toilet kampus. Ia mengunci dirinya di dalam toilet dan menangis sejadi-jadinya. Kali ini, hatinya jauh lebih sakit ketika ia tahu kalau sebenarnya Chilton sudah mencintainya. Ia sendiri tidak tahu kesalahan apa yang telah membuat Chilton pergi darinya.

Delana menghantupkan kepalanya ke dinding toilet beberapa kali. Ia merasa dirinya begitu bodoh hingga kehilangan banyak waktunya bersama cowok yang ia cintai. “Kamu bilang cinta, tapi kenapa kamu pergi?” bisik Delana pada dinding yang bisu. Ia tak bisa menahan air matanya jatuh berderai.

“Del, kamu nggak papa?” tanya Belvina sambil mengetuk pintu toilet.

Delana terkejut. Ia langsung mengusap air matanya. Ia sama sekali tidak menyadari kalau sejak awal ia bersama Belvina. Perasaannya tak karuan hingga tidak menyadari keberadaan Belvina.

“Nggak papa,” jawab Delana dengan suara parau.

“Beneran?” tanya Belvina khawatir karena Delana sudah berada di toilet selama tiga puluh menit hanya untuk menangis.

“Iya. Aku nggak papa.” Delana menyalakan keran dan membasuh wajahnya agar tidak terlihat sembab. Ia menarik napas dalam-dalam dan bersiap keluar dari toilet.

“Udah nangisnya?” goda Belvina saat Delana keluar dari kamar mandi.

Delana merengut mendengar pertanyaan Belvina.

“Nggak usah merengut gitu! Tambah jelek tahu!” dengus Belvina. Ia menarik pundak Delana dan menghadapkan wajahnya ke depan cermin. “Lihat! Mata kamu bengkak gini. Kamu tahu nggak berapa lama ada di dalam toilet?” tanya Belvina.

Delana menggelengkan kepala.

“Tiga puluh dua menit,” tutur Belvina sambil menunjukkan jam yang ada di ponselnya. Walau ia tahu kalau Delana tak akan bisa melihat jam yang ada di ponselnya karena ponsel itu tidak dinyalakan.

“Hah!? Seriusan?” tanya Delana melongo.

“Please, Dela! Move on, dong! Kalo kamu kayak gini terus. Banyak orang yang bakal ketawa bahagia di atas penderitaanmu,” tutur Belvina.

Delana menyandarkan tubuhnya ke dinding. “Kenapa sih nasibku gini banget?” ucapnya lirih.

 “Del, kita bisa mencintai seseorang. Tapi, nggak juga sampai kayak gini. Kata orang, cinta itu nggak harus memiliki.”

“Cinta memang nggak harus memiliki, tapi ingin memiliki,” sahut Delana.

Belvina menghela napas. “Kamu harus ikhlas, Del. Kamu harus bisa berbesar hati menerima ini semua. Kalian masih bisa berteman. Toh, sebelumnya kalian juga berteman kan?”

Delana terdiam. Ucapan Belvina memang benar. Selama ini ia hanya berteman dengan Chilton. Lalu kenapa ia harus merasakan patah hati?

Cinta telah membuatnya jadi bodoh. Delana kehilangan akal sehat karena ia sibuk memikirkan hatinya. Ia masih bisa berteman dengan Chilton. Ia sadar kalau semua kisahnya bersama Chilton sudah berakhir dan harus merelakan semuanya.

“Del ...!” Belvina memanggil nama Delana perlahan karena melihat sahabatnya itu masih terlihat melamun.

“Ya.” Delana mendongakkan kepala menoleh ke arah Belvina.

“Balik yuk!” ajak Belvina.

Delana menarik napas panjang. Ia menegakkan tubuhnya, berdiri di depan cermin sambil menatap bayangannya sendiri. “Apa aku sekacau ini hanya karena satu cowok?” gumamnya.

Belvina menggenggam pundak Delana. “Kamu layak buat dapetin yang lebih baik dari dia,” bisik Belvina. “Cowok yang cuma bisa nyakitin, nggak akan pernah bisa bikin kamu bahagia.”

Delana tersenyum pada bayangannya dan sahabatnya yang ada di belakangnya. “Bel, makasih banget karena kamu selalu ada buat aku di saat aku terpuruk kayak gini.”

Belvina tersenyum. “Iya. Karena sahabat itu lebih penting daripada cowok. Apalagi cowok yang bisanya cuma nyakitin. “

Delana mengelus pipi Belvina sambil tersenyum. “Thank you so much!” Delana mengecup pipi sahabatnya.

“Iih ... kamu nggak berubah jadi lesbong kan?” dengus Belvina sambil mengelus pipi yang dikecup Delana.

“Nggak lah. Aku masih normal!”

“Yah, kali aja jadi lesbong gara-gara ditolak mulu sama cowok,” celetuk Belvina.

“Ngolok!” Delana menjitak kepala Belvina.

“Sakit tahu!” Belvina mengelus kepalanya yang terasa sakit. “Ke kelas yuk! Kelamaan di sini ntar jadi bau toilet,” ajak Belvina.

Delana tertawa. Mereka akhirnya keluar dari toilet dan bergegas kembali ke kelas.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas