“Vo, buruan balik yuk! Keburu mall tutup, nih.”
“Ayo!”
“Bukannya masih nunggu pesananmu dibungkus?” tanya Hendra.
“Oh iya. Lupa!” Delana menepuk dahinya.
“Tanyain aja ke sana!” pinta Ivona.
“Kalo udah selesai pasti diantar ke sini,” tutur Hendra.
Delana tersenyum. Beberapa menit kemudian, pesanan Delana sudah terbungkus rapi dan siap untuk dibawa pulang.
“Biar aku yang bayar!” pinta Hendra. Ia melangkahkan kaki menuju kasir sembari memberi isyarat pada Delana untuk tidak beranjak dari tempatnya.
“Hari ini lagi banyak rezeki. Ditraktir mulu,” bisik Ivona.
Delana bergeming. Ia menatap tubuh Hendra yang sedang berjalan menghampiri mereka.
“Yuk!” ajak Hendra.
Mereka keluar dari restoran dan langsung menuju ke pusat perbelanjaan.
“Del, kita masih satu kota tapi nggak pernah ketemu. Baru sekarang ketemu dan kamu udah beda banget,” tutur Hendra saat mereka baru keluar dari mobil dan berjalan menyusuri parkiran untuk masuk ke mall.
“Bedanya apa?” tanya Delana.
“Dulu kamu tomboy banget,” jawab Hendra.
Ivona tergelak. Ia membayangkan penampilan Delana saat masa remaja.
“Kayak laki-laki. Lihat nih!” Hendra menunjukkan bekas luka yang ada di dahinya. “Kelakuannya si Dela ini,” lanjutnya.
“Hah!? Serius? Ganas banget kamu, Del,” tutur Ivona sambil tertawa.
“Dia tuh dulu nyebelin banget. Udah kecil, hitam, ngeselin. Dia sering banget gangguin aku. Waktu dia lempar bonekaku ke dalam got, langsung aja aku lempar dia pake batu,” jelas Delana.
Hendra menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum mengingat masa kecilnya bersama Delana. “Tapi, abis itu dia yang nangis-nangis.”
“Hah!? Kok, bisa gitu?” tanya Ivona.
“Tanya aja tuh sama dia.” Hendra menunjuk Delana dengan dagunya.
“Takut aku, Vo. Waktu aku lempar kepalanya pake batu, darahnya keluar banyak banget. Aku takut dia mati,” jelas Delana.
Mereka mulai masuk ke dalam gedung mall. Delana langsung naik ke area penjualan ikan dan daging segar.
“Ngeri juga kamu, Del. Kamu nggak nangis juga?” tanya Ivona pada Hendra.
Hendra menggelengkan kepala sambil menyunggingkan sedikit senyumnya.
“Dianya santai aja sambil ngusapin darah. Aku yang panik. Udah gitu, aku dimarahin habis-habisan sama Ayah.”
“Semua orang bakal marah kalo anaknya nakal!” dengus Ivona.
Delana mencebik ke arah Ivona. Ia berjalan menghampiri rak-rak penjualan ikan.
“Kamu cari ikan apa?” tanya Hendra yang berdiri di samping Delana.
“Ikan kakap,” jawab Delana.
“Ini.” Hendra menunjuk ikan kakap berukuran sedang.
Delana menaikkan bibir bawahnya sambil berpikir. “Maunya yang gede,” sahut Delana.
“Oh. Ini, Del.” Hendra menunjukkan ikan kakap yang ada di dalam box sebelahnya.
Delana tersenyum. Ia memanggil karyawan yang bertugas menjaga stand ikan tersebut. “Saya mau ikan yang ini dua, ya!” pinta Delana.
“Baik, Mbak,” sahut karyawan tersebut dan langsung mempersiapkan pesanan Delana.
“Del, mau ice cream?” tanya Hendra sambil menatap box ice cream yang berada beberapa meter dari tempat mereka berdiri.
“Mmh ... boleh,” jawab Delana.
“Ambilin, Man!” perintah Hendra pada Mandala.
Delana mengerutkan keningnya sambil menatap Hendra. “Kita ke sana sendiri, deh!” pintanya sambil menarik lengan Hendra. “Man, tolong tungguin ikanku, ya! Kalo udah kelar dibungkus, bawain sekalian!” pinta Delana.
“Iya, Mbak Dela.” Mandala menganggukkan kepala.
Delana dan Hendra berjalan beriringan menuju box ice cream.
“Mbak Ivo nggak ikut cari ice cream?” tanya Mandala pada Ivona yang tidak beranjak dari tempatnya.
Ivona menggelengkan kepala. “Ntar juga dibawain sama Dela.”
“Oh. Mbak Dela pengertian banget ya?”
“Banget! Dia mah paling peduli sama temen.”
“Pak Bos juga kelihatan baik dan manis banget kalo sama Mbak Dela. Aslinya, dia sombong dan jahat banget. Baru kali ini aku lihat Bos Hendra ramah banget.”
“Naksir kali sama si Dela,” celetuk Ivona.
“Bisa jadi.” Mandala mengangguk-anggukkan kepala.
“Ini, Mas!” karyawan penjaga stand mengulurkan kantong berisi ikan pada Mandala. “Bayarnya di kasir,” lanjutnya sambil tersenyum ramah.
“Oke. Makasih.” Mandala menerima kantong tersebut dan bergegas menyusul bosnya yang sedang sibuk memilih ice cream bersama Delana.
“Man, mau ice cream juga?” tanya Hendra pada Mandala.
“Nggak, Bos,” jawab Mandala sambil menggelengkan kepala.
“Nggak usah malu-malu! Ambil yang kamu mau!” pinta Hendra.
Delana tersenyum. Ia mengambil satu ice cream Strawberry Selection dan menyodorkannya pada Ivona. “Nih, kesukaan kamu!” ucap Delana sambil tersenyum.
“Thank you so much! Kamu tuh emang temen paling pengertian,” tutur Ivona sambil meraih ice cream pemberian Delana.
Hendra menatap kagum pada sosok Delana. Delana masih saja seperti dulu, ia selalu ingat hal-hal kecil orang terdekatnya. Mulai dari makanan favorite sampai kebiasaan teman-temannya.
“Sifatmu nggak berubah, ya?” bisik Hendra.
Delana mengangkat alisnya menatap Hendra. “Maksudnya?”
Hendra tersenyum ke arah Delana. Ia tak ingin menjelaskan apa pun. Sebab ia tahu kalau Delana yang sekarang masih sama dengan Delana kecil belasan tahun lalu. Delana yang selalu ceria, baik hati dan perhatian walau seringkali menjahili Hendra.
“Pulang, yuk!” ajak Delana.
“Cari ikan aja?” tanya Hendra.
Delana menganggukkan kepala.
“Bahan-bahan yang lain?” tanya Hendra.
“Masih ada stok di rumah.”
“Oh.” Hendra mengangguk-anggukkan kepala. “Ya sudah, ayo pulang!”
Delana tersenyum. Ia berjalan menuju kasir untuk membayar belanjaan miliknya. Tapi, Hendra tetap memaksa membayar semua barang yang mereka beli.
“Makasih, ya!” tutur Delana setelah mereka beranjak pergi dari meja kasir.
“Nggak perlu ngomong terima kasih!” pinta Hendra sambil tertawa kecil. “Dulu waktu kecil, kamu yang sering ngerengek minta dibeliin es krim.”
Delana tersipu mendengar ucapan Hendra. Ia teringat saat Hendra membelikannya banyak es krim. Delana sampai terserang flu keesokan harinya karena terlalu banyak makan es krim.
Masa kecil memang berbeda dengan masa sekarang. Bagaimana bisa ia merengek pada Hendra setelah beberapa tahun tak pernah bertemu apalagi bermain bersama. Sekarang mereka sudah dewasa, cara mereka memandang saja sudah berbeda, apalagi bersikap satu sama lain.
“Del ...!” panggil Hendra pelan saat mereka sudah berada di parking area.
“Ya.”
“Aku boleh minta sesuatu sebelum kita berpisah hari ini?” Hendra mendekatkan wajahnya ke wajah Delana.
Delana membelalakkan matanya dan sedikit mundur. Ia tak menyangka kalau apa yang diberikan oleh Hendra hari ini harus ada imbalannya. Ia menatap Hendra yang tersenyum seperti lelaki hidung belang yang biasa mengajak wanita berbelanja sepuasnya sebelum ia tiduri.
Hendra mengernyitkan dahinya karena Delana terlihat ketakutan dengan sikap Hendra. “Kamu kenapa?” tanya Hendra. Ia meletakkan punggung tangannya di kening Delana. “Waras kan?”
Delana menepis tangan Hendra. “Kamu kira aku cewek apaan!?” dengusnya.
Hendra tertawa kecil. “Emangnya kenapa? Kamu nih mikirnya pasti udah macem-macem ya? Jadi cewek tuh jangan buruk sangka sama temen sendiri!”
Delana mengerutkan hidungnya karena kesal. “Terus? Kamu mau apa?” tanya Delana setengah berteriak.
“Selow ... aku cuma mau minta nomer hp kamu aja, kok.”
Delana menghela napas lega. “Kirain minta sesuatu tuh apaan!?” celetuknya. “Mana hp-mu?” tanya Delana.
Hendra tersenyum ke arah Delana. Ia mengambil ponsel dari sakunya dan memberikannya pada Delana.
Dengan cepat, Delana mencatat nomor ponselnya di ponsel Hendra. Ia menekan tombol panggilan untuk memastikan nomor Hendra tidak akan mengerjainya karena sudah ia simpan terlebih dahulu.
Delana menyerahkan kembali ponsel Hendra.
“Thanks, ya!” ucap Hendra.
Delana menganggukkan kepala sambil tersenyum manis ke arah Hendra. Senyuman yang membuat Hendra tak ingin jauh dari gadis itu.
Mereka akhirnya berpisah dan kembali ke rumah masing-masing.
***
“Dek, Kak Belvi udah datang apa belum?” tanya Delana saat Bryan membukakan pintu rumah.
“Belum.”
“Telepon dulu si Belvi!” pinta Delana pada Ivona.
“Iya, tuan puteri,” sahut Ivona sambil mengeluarkan ponsel dari tasnya.
“Bel, kita udah sampe, buruan ke rumah Delana sekarang!” teriak Ivona lewat telepon begitu panggilannya tersambung.
“Nggak usah teriak-teriak gitu juga kali, kayak orang hutan aja!” celetuk Delana. Ia langsung memberikan kantong plastik berisi udang goreng pada Bryan. “Satunya buat Belvi, ya!” tutur Delana.
“Iya, Kak.” Bryan langsung meraih udang goreng pemberian kakaknya. Ia membawanya ke dapur, mengambil piring dan nasi kemudian duduk di meja makan.
Sementara Bryan makan, Delana menyalakan televisi dan merebahkan tubuhnya ke sofa bersama Ivona sembari menunggu Belvina datang.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara klakson motor dari luar pagar rumah. Delana langsung berlari keluar, membukakan pintu untuk Belvina.
“Kayaknya happy banget hari ini. Ketemu sama siapa aja?” tanya Belvina.
“Iih ... kepo!” dengus Delana.
“Huu ...!” Belvina langsung mengacak rambut Delana. Delana tertawa, ia langsung berlari masuk ke dalam rumah.
“Bel, itu udang gorengnya. Makan bareng sama Bryan sana!” perintah Delana pada Belvina.
Belvina langsung ngeloyor masuk ke dapur. Ia menyapa Bryan yang sedang asyik makan di meja makan sambil bermain ponsel.
“Woi ... makan dulu baru main hape!” tegur Belvina sambil menepuk bahu Bryan.
“Kak Belvi!? Ngagetin aja!”
Belvina meringis ke arah Bryan.
“Jatahku mana, Dek?” tanya Belvina.
“Tuh!” Bryan menunjuk kotak yang ada di depannya.
Belvina langsung meraih kotak tersebut dan membukanya. Ia langsung melahapnya satu persatu.
“Nggak pake nasi, Kak?” tanya Bryan.
Belvina menggelengkan kepala. “Udah malam. Ntar gemuk.”
Bryan mengangguk-anggukkan kepala.
“Del, minggu depan di kampus ada pensi. Kamu ikutan, nggak?” teriak Belvina sambil mendongakkan kepalanya ke arah Delana dan Ivona yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
“Ikutan ngapain?” tanya Delana balik.
“Nyanyi kek, atau nari.”
“Kapan-kapan aku bisa nari? Kalo disuruh masak buat konsumsi baru aku mau,” sahut Delana.
“Wah, boleh juga tuh. Ntar aku bilang sama panitianya,” tutur Belvina. Ia melangkahkan kaki mendekati kedua sahabatnya sambil menenteng kotak udang goreng.
“Bercanda aja, aku!” seru Delana menahan tawa.
“Seriusan juga nggak papa. Lagian, masakan kamu kan enak,” tutur Belvina dengan mulut penuh makanan.
“Makan dulu, Bel!” sela Ivona.
Belvina meringis. Ia buru-buru menelan makanannya. “Kamu setuju nggak kalo Delana yang ambil cateringnya buat konsumsi?” tanya Belvina pada Ivona.
“Nggak!” sahut Ivona.
Belvina mengerutkan keningnya. “Lho? Kenapa?”
“Kalo dia sibuk terima orderan catering, dia nggak bakal ada waktu lagi buat kita. Sekarang aja sudah sibuk sambil ngajar,” tutur Ivona.
“Mmh ....” Belvina memutar bola matanya. “Iya juga ya? Tapi kan kita bisa bantuin dia masak kalo dia buka orderan catering,” tutur Belvina.
“Ribet, Bel!” sahut Delana.
“Eh, buka stand jualan aja di sana. Gimana?” tanya Belvina lagi.
“Kalo itu boleh aja. Tapi, buka stand apa, ya?” tanya Delana sambil mengetuk-ngetuk dagunya.
“Minuman sama cemilan gitu aja.”
“Minuman apaan?” tanya Delana.
“Kopi atau teh gitu?”
“Thai Tea, gimana? Kan lagi nghits tuh,” sahut Ivona.
“Ah, jangan jualan makanan atau minuman yang lagi ngehits! Ntar samaan sama stand lain,” tutur Delana.
“Ya nggak, lah. Kan ntar diatur sama panitianya biar stand-nya nggak sama,” jelas Belvina.
“Emang gitu ya?” tanya Delana.
“Biasanya sih gitu.”
“Tapi, yang tahun kemarin aku lihat ada stand yang sama.”
“Ah, iya!” seru Delana.
“Ya nggak papa, kali. Namanya rejeki kan beda-beda. Biar sama, tapi rasanya pasti beda. Aku yakin banget kalo buatan kamu tuh spesial dan bakal banyak peminatnya,” tutur Belvina.
“Mmh ... enaknya kita bikin minuman apa, dong?” tanya Delana lagi.
“Itu aja. Thai Tea,” jawab Ivona.
Delana mengedikkan bahu. “Yang lain, ah.”
“Apa kalo gitu?” tanya Belvina.
“Nggak tahu juga. Pusing mikirinnya. Mending jadi penonton aja lah,” tutur Delana.
“Ah, kamu mah. Udah nyerah sebelum perang,” celetuk Belvina.
Delana menghela napas. “Aku masih sambil ngajar, Bel. Takutnya malah nggak keurus kalo terlalu banyak kegiatan.”
“Iya. Biar aja lah. Kasihan Delana kalo kecapen,” sahut Ivona.
“Iya, deh.” Belvina akhirnya menyerah merayu Delana untuk membuka stand jualan di kampusnya.
“Aku udah ngantuk, kalian belum mau tidur?” tanya Ivona.
“Tidur, yuk!” ajak Delana sambil bangkit dari tempat duduknya.
Mereka langsung berjalan menaiki anak tangga menuju kamar Delana.
“Dek, Kakak tidur duluan ya!” seru Delana ke arah dapur.
“Iya,” sahut Bryan.
“Jangan lupa matiin lampu!” teriak Delana sambil berlari kecil menaiki tangga.
Mereka akhirnya masuk ke kamar dan terlelap.
***
Hari ini, Delana masuk kampus seperti biasa. Ia melangkahkan kaki sembari melihat-lihat ke arah lapangan. Beberapa orang mulai sibuk mempersiapkan pentas seni untuk acara tahunan kampus.
“Del, apa perlu aku tanyain panitia soal stand?” tanya Belvi yang berjalan di sampingnya.
“Nggak usah, Bel!”
“Kenapa?” tanya Belvina.
“Acaranya bentar lagi. Nggak sempat nyiapin semuanya, Bel.”
“Hmm ... iya, juga sih.”
“Udahlah nggak usah. Lain kali aja,” tutur Delana.
“Iya. Eh, kita lihat daftar yang mau ngisi acara yuk!” ajak Belvina.
“Emangnya udah ada?” tanya Delana.
“Ada tuh di mading!” Belvina menunjuk mading yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Delana tersenyum. Ia dan Belvi berjalan beriringan menuju mading dan membaca satu persatu daftar nama mahasiswa atau komunitas kampus yang akan mengisi acara pentas seni.
Mata Delana tertuju pada sebuah nama yang berada dalam urutan nomor lima belas. Ia dan Belvina saling pandang ketika menemukan nama Raditya Chilton menjadi salah satu pengisi acara seni di kampus.
“Tahun kemarin ada dia nggak?” tanya Delana.
Belvina mengedikkan bahunya. Kita kan di kampus belum genap satu tahun.”
“Oh, iya ya?” Delana mengetuk-ngetuk dagunya.
“Dia bisa main musik?” tanya Belvina.
“Kayaknya sih bisa.”
“Kok, kayaknya?”
“Belum pernah lihat langsung waktu dia main musik. Tapi, aku lihat di rumahnya ada piano sama gitar gitu.”
“Berarti dia bisa main musik kalo ada piano di rumahnya,” tutur Belvina.
“Belum tentu. Bisa aja yang mainin mamanya.”
“Iya juga, sih. Kira-kira dia bakal nampilin apa ya?” tanya Belvina.
“Nggak tahu juga.”
“Ntar kita lihat dia, ya? Dia kan tampil di hari ketiga, jam sepuluh pagi. Catet!” perintah Belvina.
“Kenapa sekarang jadi kamu yang semangat banget mau nontonin dia?”
“Emangnya kamu nggak mau?” tanya Belvina.
Delana bergeming. Ia berpikir kalau pertanyaan Belvina tidak memerlukan jawaban sama sekali.
Belvina menghela napas menatap sahabatnya itu. Ia tak banyak bertanya lagi dan mengajak Delana untuk masuk ke dalam kelas.
Delana sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak konsentrasi selama jam pelajaran berlangsung. Pikirannya tertuju pada Chilton. Entah kenapa, cowok itu selalu menghantui hari-harinya. Ia ingin melupakannya tapi tidak bisa.
Delana mencoba mencari celah di mana ia bisa mengganti posisi Chilton dengan orang lain dalam hatinya. Tapi, tempat Chilton terlalu dalam di hatinya dan ia tak mampu mengganti semua kisah yang pernah ia lewati bersama.
“Del, ke kantin yuk!” ajak Belvina.
Delana hanya menghela napas. Ia terlihat sangat lesu setiap kali Belvina mengajaknya keluar kelas.
“Del, ayolah! Move on, Baby!”
Delana tersenyum, ia bangkit dari kursi dan melangkahkan kaki dengan berat hati. Delana mengikuti langkah Belvina menuju kantin.
“Mau makan apa, Del?” tanya Belvina saat mereka sudah sampai di kantin.
Delana menggelengkan kepala. “Minum aja!” pintanya.
“Minum apa?” tanya Belvina.
“Jus alpukat aja.”
“Oke.” Belvina segera memesan makanan dan minuman yang mereka inginkan. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa menit saja, makanan dan minuman sudah terhidang di meja mereka.
“Del, seriusan nggak mau makan?” tanya Belvina.
“Iya. Lagi males.”
“Eh, lihat tuh si Chilton! Sekarang deketnya sama yang lain.” Terdengar suara salah satu mahasiswi yang duduk tak jauh dari meja Delana.
“Eh ... sst ...! Delana ada di belakangmu,” sahut salah satu temannya.
Cewek yang membicarakan Delana langsung menoleh ke belakang dan disambut senyum oleh Delana. Wajahnya merona malu karena ketahuan sedang membicarakan orang lain.
Pandangan mata Delana tertuju pada Chilton dan Ratu yang sedang berjalan bersama menuju kantin. Mereka terlihat sangat akrab. Ratu tidak sungkan merangkul lengan Chilton. Cowok itu juga sama sekali tidak risih dan merasa nyaman dengan sikap manja Ratu.
Saat memasuki kantin, Chilton langsung menatap Delana yang duduk tak jauh dari pintu masuk. Ia melirik tangan Ratu yang melingkar di lengannya. Ia tahu kalau apa yang terjadi hari ini akan menambah luka di hati Delana. Tapi, ia juga tidak ingin Delana terus-menerus berharap padanya. Sedangkan ia bisa saja menyukai cowok lain yang lebih tampan dan lebih keren darinya.
“Kamu mau makan apa?” tanya Ratu dengan gaya manja.
Mendengar ucapan Ratu, Delana hanya menggeleng kecil. Ia kesal sekali melihat cewek itu bermanja-manja dengan Chilton. Rasanya, ia ingin menyiram Ratu dengan jus alpukat yang ada di tangannya.
“Terserah,” jawab Chilton dingin. Mereka langsung duduk di meja yang ada di belakang Delana.
“Oke. Aku pesenin dulu. Jangan ke mana-mana, ya!” pinta Ratu.
Chilton tersenyum kecil. Ia tidak terlalu senang dengan Ratu. Tapi, kedekatannya kali ini bisa membuat Delana benar-benar melupakannya untuk selamanya.
“Eh, kamu jadi ngisi acara untuk pensi?” tanya Ratu saat ia sudah kembali duduk di samping Chilton.
“Jadi.”
“Mau nampilin apa?” tanya Ratu.
“Musik.”
“Oh ... aku jadi MC di acara pensi nanti. Tapi waktu aku kena jadwal tampil nari, kayaknya MC-nya bukan aku, deh,” tutur Ratu.
Chilton tak menanggapi ucapan Ratu. Ia hanya menatap meja yang ada di depannya sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya.
“Jadwal kamu tampil hari ke berapa?” tanya Ratu.
“Tiga.”
“Kamu kenapa sih kalo ditanya jawabnya singkat-singkat banget?” celetuk Ratu sambil merengut. Ia melirik Chilton yang terlihat sangat dingin di sampingnya.
“Emangnya mau jawab apa lagi?”
“Nggak ada, sih,” jawab Ratu,
Mereka tak lagi banyak bicara jika Ratu tak memulai pembicaraannya.
Delana mendengar semua pembicaraan mereka karena jarak mereka sangat Dekat.
“Del, kayaknya dia sengaja mau bikin kamu cemburu,” bisik Belvina di telinga Delana.
Delana mengangkat kedua alisnya, ia tak mengerti apa maksud Belvina.
Belvina menganggukkan kepala. “Kamu balas, dong!” bisiknya.
“Balas gimana?” tanya Delana berbisik.
Belvina menghela napas. Ia memperbaiki posisi duduknya. “Del, kemarin jalan ke mana aja sampe malam?” tanya Belvina dengan suara yang sengaja dikeraskan agar Chilton bisa mendengar pembicaraan mereka.
Delana memutar bola matanya dan langsung mengerti maksud Belvina. Ia ingin menunjukkan pada Chilton bahwa ia baik-baik saja dan masih banyak laki-laki yang jauh lebih baik darinya. “Ke taman, terus makan,” jawab Delana.
“Cuma ke taman sama makan doang sampe malam?” tanya Belvina.
“Iya. Aku kan jalan bareng Ivo sama temen cowoknya tuh. Harusnya sih jam setengah tujuh udah pulang. Tapi, pas temennya Ivo pulang duluan. Tiba-tiba aku ketemu sama temen kecilku. Dia minta temenin makan sampai selesai,” jelas Delana.
“Oh ... kamu ketemu sama temen kecil kamu? Cewek apa cowok?” tanya Belvina.
“Cowok.”
“Yang mana? Apa kamu pernah cerita sama aku?”
“Pernah. Di rumah ada foto aku bareng dia waktu kecil di dalam album. Yang aku bilang ke kalian kalo aku nimpuk dia pake batu, terus akunya nangis-nangis gara-gara lihat darah banyak banget keluar dari kepalanya,” jelas Delana sambil tertawa mengingat masa-masa kecilnya yang begitu konyol.
“Oh ... iya. Aku paham. Gimana dia sekarang? Ganteng nggak?” tanya Belvina.
“Ganteng banget. Nggak kayak dulu waktu kecil,” tutur Delana sambil tertawa. “Sekarang dia udah jadi bos di perusahaan gitu. Perusahaan ayahnya si kayaknya.”
“Wah ... tajir dong!?” seru Belvina.
Delana tersenyum menanggapi ucapan Belvina.
“Dia itu nggak berubah dari dulu. Selalu ngasih apa aja yang aku mau. Walaupun aku sering banget jahilin dan ngolokin dia. Dia nggak pernah marah sama sekali. Tetap aja suka manjain aku kayak adiknya sendiri.”
“Serius? Emangnya kemarin dikasih apa sama dia?” tanya Belvina.
“Dikasih es krim. Kamu tahu nggak, dulu waktu kecil aku tuh suka ngerengek minta es krim sama dia. Dia beliin aku es krim baanyaaak banget! Besoknya langsung kena flu gara-gara terlalu banyak makan dingin.”
“Itu sih kamunya yang bandel,” celetuk Belvina.
Delana meringis mendengar celetukan sahabatnya itu.
Telinga Chilton tidak tuli. Ia mendengar semua pembicaraan Delana dan sahabatnya. Ia semakin yakin kalau Delana begitu mudah menyukai pria tampan. Delana terdengar sangat bahagia ketika menceritakan cowok yang ia temui. Chilton tahu kalau cowok itu adalah teman kecil Delana. Tapi, bisa saja Delana jatuh cinta pada cowok itu.
Chilton merasa lega karena akhirnya tidak punya hubungan apa-apa dengan Delana. Daripada ia harus sakit hati karena dipermainkan oleh Delana, ia memilih untuk tidak memiliki hubungan apa pun dengan cewek itu.
((Bersambung...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment