“Del, gimana?” tanya Ivona.
“Gimana apanya?” tanya Delana balik sambil menyesapi jarinya setelah menghabiskan satu porsi kepiting saus dandito.
“Itu si Zoya. Ganteng banget kan?” tanya Ivona.
Delana menganggukkan kepala. Tapi, ia tidak tertarik karena Zoya adalah teman baik Raditya Chilton, cowok yang selama ini ia cintai.
“Kamu nggak tertarik sama dia?” tanya Ivona yang menyadari Delana tidak merespon sesuai keinginannya.
“Dia itu sahabatnya Chilton. Kamu gila nyuruh aku deketin dia? Emangnya aku cewek murahan!” dengus Delana.
Ivona terkekeh. “Ya udah. Kita cari cowok lain.”
Delana menghela napas. “Kenapa sih nasibku gini banget?” tanyanya lesu. Ia melirik ke arah pelayan yang sedang membereskan meja makannya.
Di ujung meja, ada seorang pria yang diam-diam memerhatikan Delana.
“Man, kamu samperin cewek yang ada di meja sana!” Pria itu menunjuk meja makan tempat Delana dan Ivona duduk.
“Cantik banget. Siapa, Bos?” tanya cowok pemilik nama Riko Mandala itu.
“Nggak usah banyak nanya! Kenalan dan minta nomor hp-nya!” sentak pria yang tidak lain adalah bos dari Mandala.
“Iya, Pak Bos.” Mandala langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan perlahan menghampiri Ivona yang sedang menikmati jus buah naga pesanannya.
“Hai ...!” sapa Mandala langsung duduk di samping Ivona tanpa permisi terlebih dahulu.
Delana melongo melihat cowok asing yang tiba-tiba sudah duduk di sebelah Ivona.
Ivona hanya tersenyum kecut menatap cowok yang ada di sampingnya.
“Boleh kenalan?” tanya Mandala.
Ivona memerhatikan cowok tersebut. Cowok yang ada di hadapannya lumayan tampan walau tidak begitu menarik baginya.
Ivona hanya tersenyum. Ia sama sekali tidak berniat untuk meladeni cowok tersebut.
“Mandala. Riko Mandala.” Cowok itu mengulurkan tangan ke arah Ivona.
Awalnya, Ivona tak ingin menyambut uluran tangan Mandala. Tapi, karena ia ingin cowok itu segera pergi. Maka ia membalas uluran tangan Mandala dan menyebutkan namanya.
“Kalian cantik banget tapi pergi makan sendirian. Nggak punya pacar ya?” tanya Mandala.
Delana dan Ivona tak menjawab.
“Kalo kamu namanya siapa?” tanya Mandala sambil menatap Delana.
“Dela.”
“Oh. Dela?”
Delana tersenyum.
“Boleh minta nomer hp kalian?” tanya Mandala.
Delana dan Ivona saling pandang. Cowok yang ada di hadapan mereka cukup berani untuk meminta nomor ponsel mereka.
“Bisa pergi dari sini sekarang?” tanya Ivona sambil tersenyum manis.
“Nomor hp dulu!”
“Pergi!” Ivona melotot ke arah Mandala. Ia lebih terlihat ingin memakan hidup-hidup cowok yang ada di hadapannya itu.
Mandala tak banyak bertanya lagi. Ternyata cewek cantik yang ia dekati lebih galak daripada bosnya.
Mandala bergegas pergi. Ia menghampiri bosnya yang duduk di meja pelanggan.
Delana mengerjapkan matanya saat melihat pria yang bersama Mandala.
“Vo ...!” Delana menggoyangkan lengan Ivona tanpa mengalihkan pandangannya dari pria tersebut.
“Kenapa, Del?” tanya Ivona heran. Ivona menatap Mandala dan Delana bergantian.
“Kayaknya aku kenal deh cowok yang sama Mandala itu,” tutur Delana.
“Oh ya?” Ivona ikut mengamati wajah pria itu. Tapi ia tidak mengenalnya sama sekali. “Dari cara berpakaiannya, dia pasti bos di perusahaan besar.”
“Masa sih?” tanya Delana sambil menyikut Ivona. Delana tersenyum menatap pria yang bersama Mandala. Pria itu membalas tatapan Delana dan membuat Delana salah tingkah karena ketahuan sedang memerhatikan pria itu.
“Eh, dia senyum ke sini. Jangan-jangan emang temen kamu, Del.”
“Kayaknya sih. Mirip sama Hendra Sutopo. Temen kecilku.”
“Tanyain aja si Mandalanya. Bener nggak nama orang itu Hendra Sutopo?” tutur Ivona.
“Gimana cara nanyainnya?” tanya Delana.
“Samperin aja!” pinta Ivona.
Delana melongo menatap Ivona. “Kamu sadar nggak sih kalo kamu baru aja ngusir dia dari sini?”
Ivona nyengir menanggapi ucapan Delana.
Sementara di bangku yang berbeda. Mandala melaporkan pada bosnya kalau ia tidak berhasil mendapatkan nomor ponsel dua cewek cantik yang diinginkan bosnya tersebut.
“Dapet?” tanya Hendra pada Mandala yang merupakan supir pribadinya.
“Nggak, Bos,” jawab Mandala lirih.
“Goblok!” maki Hendra.
“Ma ... maaf, Bos.” Mandala menundukkan kepala.
“Cuma minta nomor hp aja kamu nggak bisa?” sentak Hendra. Ia menoleh ke arah Delana yang juga menatapnya. Ia tidak pernah lupa dengan wajah gadis itu. Sekalipun mereka lama tidak saling bertemu. Tapi, Hendra kerap kali mengikuti keseharian Delana lewat media sosial.
Mandala tidak menjawab. Ia memilih diam daripada membuat bosnya semakin marah.
Hendra langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan perlahan menghampiri meja Delana.
“Del, cowok itu ke sini,” bisik Ivona.
Delana melirik ke arah cowok itu. Benar ucapan Ivona, cowok itu berjalan perlahan menghampiri mereka.
“Hai ...!” sapa Hendra dan langsung duduk di samping Delana.
Delana mengernyitkan dahinya menatap cowok itu.
“Masih ingat sama aku?” tanya Hendra.
“Hendra ya?” tanya Delana saat melihat bekas luka yang ada di dahi cowok itu.
Hendra tersenyum manis ke arah Delana. “Aku pikir kamu sudah lupa sama aku.”
“Nggak, lah. Aku ingat banget.”
“Oh ya?” Hendra menaikkan dua alisnya sambil tersenyum ke arah Delana.
“Kamu apa kabar?” tanya Delana.
“Baik. Kamu sendiri?” tanya Hendra balik.
“Baik juga.”
“Ehem ...!” Ivona berdehem karena merasa kehadirannya tak dianggap oleh dua orang yang duduk di depannya.
“Oh ya. Kenalin ini temenku. Namanya Ivona.” Delana memperkenalkan Ivona pada Hendra.
Hendra mengulurkan tangannya ke arah Ivona yang duduk di hadapannya. “Hendra Sutopo,” ucapnya sambil tersenyum.
Ivona balas tersenyum. Ia menyambut uluran tangan Hendra sambil menyebutkan nama lengkapnya. “Ivona Kanaya.”
“Kalian udah makan?” tanya Hendra melihat meja Delana masih bersih.
“Udah. Kita baru aja kelar makan. Mau balik nih,” jawab Delana.
“Yah ... padahal aku mau traktir kalian makan,” tutur Hendra kecewa.
“Udah kenyang banget, Hen.” Delana memegangi perutnya yang terasa begah.
“Aku malah kelaperan,” celetuk Hendra.
“Makan lah!” perintah Delana.
“Temenin ya! Jangan pulang dulu!” pinta Hendra.
Delana mengernyitkan dahinya. Ia menoleh ke arah Ivona untuk meminta pendapat dari sahabatnya itu. Ivona menaikkan kedua alisnya sebagai tanda tidak tahu.
Delana menghela napasnya. “Dibayar berapa buat nungguin kamu?” goda Delana.
“Kamu maunya berapa?” Hendra menyondongkan tubuhnya ke arah Delana.
Delana terkejut. Jantungnya berdegup kencang karena sikap Hendra. Ia tidak menyangka kalau Hendra menanggapi ucapannya dengan serius.
“Bercanda!” Delana mendorong wajah Hendra dengan telapak tangannya.
“Serius juga nggak papa.” Hendra tersenyum. Ia menoleh ke arah meja tempat pertama ia duduk. Mandala masih bergeming di tempatnya.
“Man, Mandala!” panggil Hendra setengah berteriak.
Mandala langsung menoleh begitu namanya dipanggil.
“Sini!” Hendra melambaikan tangan memanggil Mandala untuk menghampirinya.
Mandala langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri di samping Hendra. “Ada apa, Pak Bos?” tanyanya.
“Ayo makan! Duduk!” perintah Hendra sambil menunjuk kursi kosong di sebelah Ivona dengan dagunya.
Mandala bergeming. Ia melirik ke arah Ivona. Ia masih mengingat kejadian beberapa menit lalu saat Ivona mengusirnya.
Delana tertawa kecil menatap Mandala.
“Kenapa sih?” tanya Hendra bingung.
Delana merangkul kepala Hendra. “Tadi dia diusir sama Ivona. Kayaknya masih trauma duduk deket Ivo,” bisik Delana. Ia langsung melepas rangkulannya sambil menahan tawa.
“Serius?” tanya Hendra sambil menahan tawa. Ia mengalihkan pandangannya pada Mandala yang masih berdiri di dekatnya. “Kenapa masih berdiri? Duduk!” sentak Hendra pada Mandala.
Mandala menarik kursi menjauh dari Ivona dan duduk perlahan-lahan.
Ivona menahan tawa. Ia juga ingat beberapa menit yang lalu ia ingin sekali menelan hidup-hidup cowok yang sekarang duduk di sampingnya.
“Kenapa, Mandala? Masih takut sama Ivo?” goda Delana.
“Ah, Mbak Dela bisa aja,” ucap Mandala tersipu.
“Kok, panggil Mbak sih?” protes Delana. “Panggil Dela aja!” pinta Delana.
Mandala tersenyum sambil menatap Hendra yang ada di depannya. Ia tak berani memanggil teman bosnya dengan nama seperti memanggil temannya sendiri.
Delana menatap Mandala dan Hendra bergantian. “Kenapa sih, Hen?” tanyanya heran. “Dia kayak takut gitu sama kamu.”
Hendra hanya tersenyum kecil menanggapinya. Ia memperbaiki posisi duduknya sambil merapatkan kembali jasnya yang terasa longgar.
“Nggak boleh kayak gitu sama temen!” Delana menepuk lengan Hendra.
Hendra melotot ke arah Delana. “Emang dia kelihatan kayak temenku?”
“Eh!? Kenapa jalan bareng?” tanya Delana balik.
“Saya supirnya Pak Hendra, Mbak.” Mandala menengahi. Ia mengangguk sopan ke arah Delana.
“Oh. Supirnya?” tanya Ivona.
Mandala tersenyum ke arah Ivona.
“Aku juga supirnya Dela,” tutur Ivona sambil tertawa kecil.
Delana mengernyitkan dahi mendengar ucapan Ivona. “Aamiin ...!” seru Delana sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.
“Heh!? Kok, diaminin sih!?” protes Ivona sambil menendang kaki Delana.
“Kamu sendiri yang bilang, kok.”
“Amit-amit iih! Jauhkan bala!” Ivona mengetuk-ngetuk kepala dan meja bergantian.
“Makanya, kalo ngomong jangan sembarangan!” celetuk Delana.
Ivona meringis ke arah Delana.
Mandala tersenyum. Ia menyadari kalau Ivona hanya bercanda. Tidak mungkin cewek secantik Ivona menjadi supir pribadi.
“Kamu mau makan apa?” tanya Hendra pada Mandala.
“Terserah aja, Bos.”
“Ya udah.” Hendra langsung memanggil pelayan dan memesan makanan yang dia inginkan.
“Kamu masih kuliah?” tanya Hendra pada Delana.
“Masih. Kamu sendiri?”
“Aku nerusin perusahaan Papa. Sambil kuliah juga sih. Tapi, lebih banyak di tempat kerja timbang di kampus.”
“Enak ya?”
“Enaknya apa?”
“Udah jadi bos.”
“Nggak enak, ah.”
“Masa sih?”
“Iya.”
“Nggak enaknya apa?” tanya Delana.
“Meeting terus di kantor. Aku sampe pusing banget,” jawab Hendra.
Delana tertawa kecil. “Orang penting mah gitu.”
“Kalian cuma berdua aja di sini?” tanya Hendra.
“Kelihatannya?” tanya Delana balik.
Hendra tertawa kecil. Ia tahu telah menanyakan hal yang seharusnya tidak perlu ditanyakan.
“Ndra, lama banget ya kita nggak ketemu,” tutur Delana. “Kamu masih tinggal di kota ini?” tanya Delana.
“Masih. Kadang ngurus kerjaan ke luar juga.”
“Oh.”
“Eh, mukamu kok nggak asing ya? Apa kita pernah ketemu sebelumnya?” tanya Hendra pada Ivona.
Ivona langsung menoleh ke arah Hendra. “Nggak pernah,” jawab Ivona.
Hendra memerhatikan wajah Ivona. Ia merasa pernah melihat gadis cantik yang ada di depannya itu.
“Oh ... mungkin aku sering lihat di ig Dela kali ya?” gumamnya.
“Hah!? Kamu sering lihat ig aku?” tanya Delana terkejut. Rasanya, ia sama sekali tidak pernah berkomunikasi lewat media sosial dengan Hendra. Selain itu, akun instagram miliknya hanya bisa dilihat oleh pengikutnya saja.
Hendra tertawa kecil. “Aku udah lama banget follow kamu, tapi nggak pernah difollback.”
Delana meringis. “Aku nggak tahu akunmu yang mana. Dm dong biar aku follback!” pinta Delana.
“Nggak usah lah. Ntar kamu naksir sama aku,” canda Hendra sambil tersenyum.
“Apaan sih!?” Delana menyikut lengan Hendra.
Makanan pesanan Hendra pun datang. Ia juga memesankan dua gelas jus mangga untuk Delana dan Ivona tanpa konfirmasi pada keduanya terlebih dahulu.
“Ini buat kita?” tanya Delana melihat gelas jus yang sudah ada di hadapannya.
“Iya. Minumlah!” perintah Hendra.
Delana tersenyum kecil. “Kita kan nggak pesan minum.”
“Nggak papa. Masa aku makan, kalian cuma nontonin aja? Anggap aja bonus karena udah mau nemenin aku.”
“Kamunya juga manja banget, makan aja minta ditemenin,” celetuk Delana.
“Ck, bukan manja. Kita udah lama nggak ketemu. Jadi, wajar kan kalo aku kangen sama temen kecilku yang satu ini,” ucap Hendra gemas sambil mengusap ujung kepala Delana.
Delana mencebik ke arah Hendra.
Hendra tertawa kecil. Ia mulai menikmati hidangan yang telah tersedia sambil mengajak Delana bercerita.
“Eh, kabar adik kamu gimana?” tanya Hendra.
“Bryan?” tanya Delana memastikan.
“Iya. Emangnya adik kamu udah nambah kah?” tanya Hendra lagi.
“Nggak lah. Adik aku dari dulu cuma dia.”
“Ya, kali aja bos lakimu nikah lagi dan punya anak.”
Delana menggelengkan kepala.
“Kelas berapa dia sekarang?” tanya Hendra.
“Kelas dua.”
“SMA atau SMK?”
“SMA.”
“SMA di mana?”
“SMA Satu.”
“Pinter dong dia?” tanya Hendra.
“Lumayan,” jawab Delana sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Lama banget nggak lihat dia. Pasti ganteng banget. Kakaknya aja cantik,” ucap Hendra sambil tersenyum ke arah Delana.
“Ah, kamu bisa aja,” sahut Delana tersipu.
“Rumah kamu masih yang dulu?” tanya Hendra lagi.
Delana menggelengkan kepala. “Udah lama pindah.”
“Pindah ke mana?” tanya Hendra.
“Deket sama kampus.”
“Oh, pantesan.”
“Kenapa?” tanya Delana.
“Hari itu aku ada cari rumah kamu. Tapi tempatnya udah berubah. Jadi gedung hotel.”
“Oh ya? Kapan itu?”
“Dah lupa pastinya kapan. Kayaknya setahun belakangan ini deh.”
Delana tertawa kecil. “Ya iya lah. Aku pindah rumah juga pas kelas enam SD. Udah lama banget.”
Hendra mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. “Kalo ada waktu, aku main ke rumah kamu ya!”
“Boleh.”
“Aku pengen lihat si ganteng. Ayah kamu sendiri gimana kabarnya? Sehat kan?” tanya Hendra.
“Sehat. Sekarang dia masih di Berau.”
“Ngapain di sana?” tanya Hendra.
“Ngurusin kerjaan.”
“Oh. Kirain plesiran.”
“Plesiran mah bentar aja. Udah hampir lima bulan belum pulang ke sini.”
“Jadi, kamu berdua aja sama Bryan?” tanya Hendra.
Delana menganggukkan kepala. “Mau sama siapa lagi? Kadang-kadang aku tinggal di asrama kalo lagi sepi. Kadang juga dia sama temen yang lain nginap di rumah.” Delana menunjuk Ivona dengan dagunya.
“Rumahmu deket sama kampus? Kenapa tinggal di asrama?” tanya Hendra bingung.
“Biar ada temen aja. Kalo di rumah kan sering kesepian. Cuma berdua aja sama Bryan. Dia juga sibuk banget kegiatannya di sekolah banyak. Jadi, aku sering di asrama. Tapi, kalo malam di rumah sih. Kasihan Bryan sendirian di rumah.”
“Oh, jadi siang aja kamu di asrama?” tanya Hendra.
Delana manggut-manggut. “Tadinya, aku sering ke kosan Belvi waktu dia masih ngekos. Pas udah dapet asrama. Yah, sekalian aja aku ikut tinggal satu asrama sama dia. Di asrama kan rame tuh.”
“Sama Ivo juga?” tanya Hendra.
Delana menganggukkan kepala. “Tapi, Ivo mah jarang banget ke asrama. Seminggu sekali pun belum tentu.”
Hendra tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Nggak paham aku sama kalian berdua. Buat apa ambil asrama kalo tinggal di asramanya aja jarang? Mending kasih ke mahasiswa lain yang lebih membutuhkan.”
“Yah, selagi ada kamar yang kosong. Why Not?” sahut Delana.
“Eh, aku baru ingat!” seru Delana. Ia menatap Ivona yang duduk di depannya. “Di kamar asrama kita ada anak baru. Kamu udah diceritain sama Belvi atau belum?” tanya Delana.
“Belum,” jawab Ivona.
“Si Ratu satu kamar sama Belvi.”
Ivona yang sedang menyeruput jus mangga langsung tersedak begitu mendengar nama Ratu.
“Ratu? Yang suka jadi MC itu?” Ivona membelalakkan matanya.
Delana mengangguk sambil tersenyum.
“Belvi kok mau?” tanya Ivona.
“Mau aja. Daripada berdebat sama pengawas asrama dan dia yang diusir?”
“Hmm ... dia deket sama penjaga asramanya ya?”
“Terus, tidurnya gimana? Jangan bilang di ranjangku karena aku nggak pernah ke sana!?” dengus Ivona.
“Nggak. Di ranjang yang biasa buat nyimpan barang-barang Belvi itu.”
“Kok, Belvi nggak cerita ke aku ya?”
“Lupa kali dia.”
“Hmm ... bisa jadi.”
Hendra dan Mandala asyik menikmati makan malam sambil mendengar dua wanita cantik yang bersamanya itu bercerita.
“Man, tambah!” perintah Hendra saat melihat makanan Mandala sudah hampir habis.
“Udah kenyang, Bos.” Mandala melirik sejenak ke arah bosnya. Ia merasa ada yang berbeda. Tak biasanya bosnya memperlakukannya begitu baik.
Delana tersenyum menatap Hendra. Di mata Delana, Hendra adalah sosok cowok baik yang sifat dan sikapnya tidak berubah sejak mereka masih kecil. Hendra sangat perhatian dengan Delana dan teman-teman di sekelilingnya.
Tiba-tiba ponsel Delana berdering. Ia mencari ponselnya di dalam tas dan langsung mengecek nama kontak yang meneleponnya, Bryan.
“Halo ... kenapa, Dek?” tanya Delana pada Bryan.
“Kakak di mana?” tanya Bryan lewat sambungan telepon.
“Lagi makan di Dandito.”
“Aku nggak diajak makan?” tutur Bryan.
“Hehehe. Mau apa? Kakak bungkusin.”
“Mau udang goreng.”
“Idih. Itu di rumah kan udah Kakak gorengin udang.”
“Habis, Kak.”
“Pasti kamu cemilin ya?”
“Hehehe.”
“Ya udah. Kakak bungkusin. Pesen apa lagi?”
“Nggak ada. Itu aja!”
“Nasi masih ada?” tanya Delana.
“Masih.”
“Oke. Kakak beliin udang goreng aja. Beneran nggak ada lagi?” tanya Delana.
“Iya. Itu aja.”
“Besok mau dimasakin apa?” tanya Delana.
“Mmh ... aku mau kepala ikan yang dikuahin itu.”
“Oh, pindang kepala ikan?” tanya Delana.
“Iya.”
“Ya udah. Ntar Kakak mampir ke supermarket dulu cari ikan.”
“Iya. Jangan malam-malam pulangnya!”
“Kenapa?” tanya Delana.
“Kan bawain udang goreng buat aku. Ntar aku udah ketiduran duluan baru Kakak pulang,” jelas Bryan.
Delana terkekeh. “Iya, adikku sayang yang paling ganteng sedunia,” ucapnya gemas. “Ini lagi apa?”
“Belajar.”
“Sip, deh. Rajin belajar ya!”
“Iya, Kak. Udah dulu ya!” Bryan langsung mematikan panggilan teleponnya.
“Adik kamu?” tanya Hendra begitu Delana selesai menerima telepon.
Delana menganggukkan kepala. Ia mengedarkan pandangannya mencari pelayan restoran. “Mbak!” Delana melambaikan tangan memanggil pelayan.
Pelayan restoran langsung menghampiri Delana. “Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” tanya pelayan tersebut.
“Saya pesen udang goreng tepung dua porsi. Dibungkus ya!” pinta Delana.
“Iya, Mbak,” jawab pelayan tersebut dan langsung bergegas pergi meninggalkan Delana.
“Kok, dua? Satunya buat siapa?” tanya Ivona.
“Buat Belvi,” jawab Delana santai.
Ivona tersenyum. Delana memang tidak pernah lupa dengan sahabatnya. Ia sudah menganggap Belvi seperti saudaranya sendiri.
“Aku telepon Belvi dulu!” Delana kembali meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja. Dengan cepat ia memencet menu panggil pada nomor kontak Belvina.
“Halo, Bel. Kamu di mana?’ tanya Delana begitu panggilannya tersambung.
“Di asrama,” jawab Belvina.
“Mau udang goreng?” tanya Delana.
“Mau lah kalo gratis.”
“Oke. Nanti kamu tidur di rumah aku aja ya!” pinta Delana.
“Hah!?”
“Aku tunggu di rumah. Udah aku beliin udang goreng tepung loh.”
“Sekarang?” tanya Belvina.
“Nanti kalo aku udah pulang. Mau sekarang juga nggak papa. Tapi cuma ada Bryan di rumah.”
“Tunggu kamu balik aja.”
“Sip deh.”
“Ini kamu masih di mana?” tanya Belvina.
“Masih di Dandito.”
“Wuih ... enaknya!? Sama Ivo?” tanya Belvina.
“Iya, sama Ivo,” jawab Delana.
Ivona langsung menyambar ponsel Delana. “Bel, kamu tidur di rumah Dela ya! Aku juga mau tidur di rumah dia.”
“Siap! Jam berapa kalian pulang?” tanya Belvina.
“Ini udah mau pulang, kok. Nunggu pesanan selesai dibungkus. Tapi, Dela masih mau mampir supermarket dulu katanya.”
“Wah ... bakal lama kalo tujuannya ke supermarket.”
“Nggak lah. Dia cuma mau cari ikan, kok.”
“Kalo Dela sih sebentar aja belanja. Yang bikin lama itu kan kamu, Vo,” celetuk Belvina.
“Kok, aku sih?”
“Halah ... udah hafal mati. Pasti mampir-mampir dulu. Cari baju lah, sepatu lah ...”
“Enggak, Bel. Aku nunggu di mobil aja ntar biar nggak silap mata. Hahaha.”
“Serius? Ndak gatel tuh kaki nunggu di parkiran mall?”
Ivona menghela napas. “Kita lihat aja nanti.”
Delana tertawa kecil mendengar ucapan Ivona.
“Nih!” Ivona menyodorkan ponsel Delana.
“Udah?” tanya Delana.
“Udah,” jawab Ivona.
Delana menatap layar ponsel. Panggilan Belvina masih aktif. Ia menempelkan ponsel ke telinganya. “Udah dulu, Bel. Ntar aku telepon lagi kalo udah sampe di rumah.”
“Siap!”
Delana langsung memutuskan sambungan teleponnya.
“Habis ini masih mau ke mall?” tanya Hendra.
Delana menganggukkan kepala.
“Aku temenin ya!” pinta Hendra.
“Eh!? Emangnya kamu nggak sibuk?” tanya Delana sambil menatap Hendra yang masih memakai jas kerjanya.
“Nggak. Ini kan sudah malam. Sibuk apaan?” tanya Hendra balik.
Delana tersenyum. “Ya udah. Ikut aja!”
Hendra tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Delana. “Aku masih kangen sama kamu,” bisiknya.
Delana terdiam. “Ah, kamu bisa aja.”
“Kita kan udah lama nggak ketemu,” tutur Hendra.
Delana hanya tersenyum menanggapi ucapan Hendra. Mereka memang sudah lama tak bertemu. Wajar saja kalau Hendra merindukannya sebagai teman kecil yang dulu sering bermain bersama.
Hendra menatap wajah Delana. “Ternyata aslinya lebih cantik,” bisik Hendra dalam hati sebab ia sering melihat Delana hanya lewat foto.
((Bersambung...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment