Sudah dua hari Delana tidak masuk kuliah. Ia masih saja mengurung dirinya di dalam kamar. Patah hati membuatnya tak semangat melakukan apa pun. Ia memilih menghabiskan waktunya di dalam kamar.
Bryan tidak bisa berbuat apa-apa. Wanita yang sedang patah hati tidak akan mendengarkan ucapan seorang bocah sepertinya.
Bryan meminta Belvina agat terus menghibur kakaknya. Sepulang kuliah, Belvina langsung ke rumah Delana.
“Del, kamu belum mau kuliah?” tanya Belvina saat ia sudah berada di dalam kamar Delana.
“Masih males,” jawab Delana tak bersemangat.
“Udah dua hari nggak masuk kuliah. Apa cintamu sama dia sampe segininya? Masih banyak cowok yang lebih baik dari dia,” tutur Belvina sambil menatap pilu ke arah Delana.
“Bel, andai aja dia nolak aku dari dulu. Aku nggak akan sesakit ini. Setelah setengah tahun kita jalan bareng, main bareng, ngabisin waktu bareng. Dia ngasih aku lampu hijau. Dia ngasih aku banyak harapan. Tapi, tiba-tiba aja dia kayak gini. Aku sudah terlanjur mencintai dia begitu dalam. Dia justru bikin aku hancur.” Delana kembali meneteskan air mata.
Belvina menghela napas dalam-dalam. Jika ia terus menerus membahas Chilton, hanya akan membuat Delana kembali bersedih.
“Udah deh, kita nggak usah bahas cowok kayak gitu. Nggak penting banget!” tutur Belvina.
Delana menyandarkan tubuhnya di dinding. Ia merasa, tak ada hal lain yang ia pikirkan saat ini selain hatinya yang sangat terluka. Ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya melupakan Chilton dalam hidupnya.
“Jalan, yuk!” ajak Belvina.
“Males, ah!” sahut Delana.
“Kalo kamu ngurung terus kayak gini, bakal ingat dia terus. Mending kita ke luar cari hiburan,” tutur Belvina.
“Cari hiburan ke mana?” tanya Delana.
“Ke Transcity gimana? Di sana banyak wahana permainan yang seru. Yah, itung-itung buat menghibur diri.” Belvina memainkan kedua alisnya.
“Mmh ...” Delana berpikir sejenak. “Boleh, deh.”
“Nah, gitu dong!” seru Belvina.
“Aku mandi dulu,” tutur Delana.
“Hah!? Belum mandi jam segini?”
Delana meringis menanggapi pertanyaan Belvina.
Sembari menunggu Delana mandi dan berganti pakaian. Belvina menelepon Ivona yang belum kembali dari liburannya.
“Hai, Bel...! Apa kabar?” tanya Ivona begitu panggilannya tersambung.
“Baik. Kamu ke mana aja? Susah banget dihubungi,” sahut Belvina.
“Masa, sih? Aku aktif terus, kok.”
“Dari kemarin aku telponin kamu, nggak ada yang angkat.”
“Ah, masa sih? Kamu nggak salah nelponnya kah?”
“Ya, nggak lah.”
“Hmm ... iya juga sih. Dari kemarin keluarga aku juga bilang kalo nomorku sulit dihubungi. Padahal aktif terus, kok,” tutur Ivona.
“Minta ganti baru tuh hp-mu!”
“Enak aja! Aku loh baru ganti hp sebulan yang lalu,” sahut Ivona.
Belvina tertawa kecil.
“Kabar Delana gimana?” tanya Ivona.
“Lagi galau dia.”
“Galau kenapa?”
“Ditolak sama Chilton.”
“What!? Seriusan!?” tanya Ivona terkejut. “Gimana ceritanya?”
“Entahlah. Udah dua hari dia nggak masuk kuliah gara-gara itu.”
“Dua hari? Tega banget baru ngasih tahu aku sekarang!” teriak Ivona lewat telepon.
Belvina menjauhkan ponsel dari telinganya begitu mendengar teriakan Ivona.
“Kamu tuh susah dihubungi,” sahut Belvina.
“Alesan! Dm di ig atau chat kan bisa.”
“Nggak asyik ngomongin kayak gini lewat chat,” tutur Belvina.
“Kamu tuh banyak alasan. Bilang aja lupa sama aku!” seru Ivona.
Belvina tertawa kecil. “Aku tuh nggak kepikiran ngabarin kamu. Sibuk ngehibur si Dela. Nangis terus dia gara-gara Chilton. Aku sibuk ngurusin dia aja. Udah gitu, pas ada ujian pula.”
“Jahat kamu, Bel! Tega banget nggak ngabarin aku! Kamu anggap aku ini apa?” ucap Ivona terisak.
“Udah, deh. Nggak usah mendramatisir keadaan kayak gini!” sahut Belvina yang mengetahui akting Ivona. “Daripada kamu ngomel, mending kamu cari cara biar si Dela terhibur dan lupain cowok brengsek itu!”
“Hmm ...”
“Eh, udah dulu! Aku mau ngajak Delana jalan. Mumpung dia lagi mau aku ajak keluar, siapa tahu bisa mengalihkan kesediahan dia,” bisik Belvina ke arah ponselnya. Ia melirik Delana yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Oke,” sahut Ivona.
Belvina langsung mematikan sambungan teleponnya.
“Teleponan sama siapa?” tanya Delana sambil membuka lemari pakaiannya.
“Ivo.”
“Hah!? Kapan dia pulang ke sini?” tanya Delana.
“Nggak tahu. Belum aku tanya.”
“Kenapa dimatiin? Aku belum ngobrol sama dia.”
“Katanya, dia mau nelpon kamu kalo dia udah nggak sibuk,” ucap Belvina berbohong.
“Sibuk liburan terus dia, ya?”
“Yah, mumpung lagi liburan bareng keluarga juga kan? Nggak enak kali sama keluarganya kalo teleponan terus.”
“Kapan ya kita liburan bareng?” tanya Delana.
“Hmm ... mau?” tanya Belvina.
“Pengen, sih. Kayaknya asyik kalo liburan bareng.”
“Nanti, ya! Kalo aku udah punya pacar, baru kita liburan bareng.”
“Kenapa nunggu kamu punya pacar?”
“Asyik aja kalo liburan bareng pacar,” tutur Belvina sambil tertawa kecil.
Delana menatap tajam ke arah Belvina. “Kamu lagi deket sama seseorang?” dengusnya.
“Mana ada!” sahut Belvina.
“Kenapa ngomongnya kayak gitu?”
“Yah, siapa sih yang nggak mau punya pacar, Del. Kamu aja sering jalan bareng Chilton asyik banget sampe lupa sama kita.”
“Nggak usah sebut nama dia lagi!” pinta Delana ketus.
“Serius? Udah benci sama dia?” tanya Belvina menggoda.
“Tau ah! Kamu kalo ngolokin terus, aku ngga jadi jalan, nih!”
“Iya, iya. Nggak ngolok lagi. Asal kamu udah nggak mewek lagi,” tutur Belvina.
“Iih ... mata aku masih bengkak nggak, sih?” Delana menyentuh kelopak matanya yang terasa berat.
“Pakein make-up aja! Nggak terlalu kelihatan, kok.” Belvina menghampiri Delana dan mengamati matanya yang masih terlihat bengkak. “Kamu tuh bodoh banget!” celetuk Belvina.
Delana menghela napasnya. “Ya, aku memang bodoh. Aku udah salah jatuh cinta sama cowok kayak dia.”
“Rugi banget kamu ngabisin air matamu buat dia.”
“Kamu tuh nggak ngerti gimana rasanya jadi aku,” tutur Delana lirih.
“Udah. Jangan sedih terus! Mending kita jalan sekarang!” Belvina meraih tasnya ketika Delana sudah hampir selesai mengenakan riasan di wajahnya.
“Bentar, nah! Aku belum siap.”
“Aku tunggu di bawah,” tutur Belvina sambil bergegas keluar dari kamar Delana.
Delana menghela napas. Ia menatap wajahnya di depan cermin. Ia merasa dirinya begitu konyol karena telah menghabiskan banyak air mata untuk Chilton. Padahal, sudah jelas mereka hanya berteman dan Chilton juga memintanya untuk menjadi teman.
Delana tersenyum menatap dirinya sendiri. “Kamu pasti bisa dapet yang lebih baik dari dia,” ucapnya pada bayangannya sendiri. “Tetap semangat dan keep smile!” Delana mengangkat satu tangan, memberi semangat untuk dirinya sendiri.
Delana meraih tas mungil berwarna cokelat yang ia letakkan di dalam lemari kaca. Ia memasukkan dompet dan ponsel ke dalamnya, kemudian bergegas keluar dari kamar.
Mereka langsung melajukan sepeda motor mereka menuju salah satu pusat perbelanjaan yang ada di kawasan Daun Village.
“Bel, aku mau naik ayunan putar itu dong!” seru Delana begitu mereka sampai ke wahana permainan.
“Kamu aja ya! Aku nggak tahan naik begituan, pusing aku Del,” sahut Belvina.
“Ya udah, aku naik itu ya!” Delana langsung berlari dan menghampiri petugas yang menjaga permainan ayunan putar. Ia mengulurkan kartu pada petugas tersebut untuk membayar tiket permainan dan bersiap menaiki ayunan putar.
Delana memilih ayunan putar karena ia bisa bebas berteriak meluapkan kesedihannya. Setidaknya, perasaannya bisa lebih lega walau sebenarnya ia ketakutan. Tapi ia memberanikan diri untuk merasakan sensasi lain dalam dirinya. Mungkin saja perasaannya bisa lebih baik setelah ini.
Delana berteriak sepuasnya, sesekali ia tertawa menatap Belvina yang sedang duduk sambil menikmati makanan ringan. Delana melambai-lambaikan tangannya ke arah Belvina. Ia merasa, dirinya seolah-olah sedang terbang melayang-layang. Meninggalkan masa kelam di hari-harinya yang telah berlalu.
Belvina menatap sahabatnya yang terlihat ceria menaiki ayunan putar. Ia memilih untuk duduk santai sambil menikmati segelas es capucino. Ia merasa lega karena akhirnya bisa melihat Delana tertawa.
Delan dan Belvina mencoba semua wahana permainan yang ada sampai mereka kelelahan.
“Pulang, yuk! Aku udah capek,” ajak Delana.
Belvina tersenyum ke arah Delana.
“Kamu nggak capek, Bel?” tanya Delana.
Belvina menggelengkan kepala.
“Iya, sih. Kamu mainnya yang ringan-ringan.”
“Kamu sendiri yang pilih mainan ekstrim,” sahut Belvina.
“Hehehe ... Setidaknya, permainan ekstrim bisa bikin perasaanku lebih baik.”
“Iya, deh.” Belvina tersenyum. Ia merangkul Delana, mereka akhirnya pulang ke rumah.
***
Hari ini, Delana masuk kuliah seperti biasa. Ia menghindari beberapa tempat yang bisa membuatnya bertemu dengan Chilton. Ia sama sekali tidak mau menoleh ke arah taman. Tempat ia dan Chilton sering menghabiskan sarapan bersama. Ia tidak ingin mengingat masa-masa itu.
“Aargh ... akhirnya kamu masuk juga!” seru Belvina. Ia langsung memeluk tubuh Delana begitu Delana masuk ke dalam kelas.
Delana tersenyum. Ia tidak banyak bicara. Ia sedikit gelisah karena takut bertemu dengan Chilton di kampus ini.
Delana mengikuti pelajaran seperti biasa, tak ada yang berbeda. Teman-teman sekelasnya juga tidak ada yang curiga dengan hubungannya dan Chilton.
“Del, ngantin yuk!” ajak Belvina saat jam istirahat.
Delana mengedikkan bahunya. “Aku nitip aja ya!”
Belvina menghela napasnya. “Iya, deh. Nitip apa?”
“Orange juice.” Delana menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan ke arah Belvina.
“Sama apa lagi?”
“Itu aja.”
“Oke.” Belvina langsung bergegas pergi meninggalkan Delana. Ia tahu kalau Delana sedang berusaha menghindari Chilton.
Beberapa menit kemudian, salah satu mahasiswa masuk ke dalam kelas dan langsung menghampiri Delana.
“Dipanggil sama rektor!” ucapnya pada Delana.
“Apa?” Delana terkejut. Ia mendesah kesal karena sebenarnya ia tidak ingin keluar dari kelas sama sekali.
“Dipanggil rektor,” jawab mahasiswa itu menegaskan kembali.
Delana menghentakkan kakinya dan bergegas keluar dari ruang kelas. Ia menyusuri koridor menuju ruangan rektor.
Langkah Delana terhenti saat melihat Chilton berada tepat di hadapannya. Walau jaraknya masih lumayan jauh, tapi sudah membuat jantung Delana berdegup tak karuan. Ia langsung membalikkan tubuhnya dan bergegas pergi. Ia masuk ke salah satu ruang kelas agar Chilton cepat berlalu dan ia bisa ke ruang rektor tanpa harus berpapasan dengan Chilton.
Delana menyandarkan tubuhnya di belakang pintu.
“Eh, tolongin dong!” Delana menarik lengan salah satu mahasiswi yang baru saja memasuki kelas.
“Apa?”
“Lihatkan Chilton, dong!” pinta Delana. “Dia udah lewat atau belum?” tanya Delana.
“Chilton?” Mahasiswi itu mengernyitkan dahinya. Hampir seisi kampus mengenal Chilton termasuk dia.
Delana menganggukkan kepala.
“Itu!” Mahasiswi itu menunjuk ke arah belakang Delana dengan dagunya.
Delana langsung menoleh dan mendapati Chilton sudah bersandar di bibir pintu. Delana melongo, ia tak menyangka kalau Chilton menghampirinya dan cowok itu bisa tersenyum ke arahnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Delana merapatkan bibirnya. Ia langsung melangkahkan kakinya keluar dari kelas.
“Del ...!” panggil Chilton sambil menahan lengan Delana.
Delana tidak menyahut. Ia menepis tangan Chilton dan langsung berlari meninggalkannya begitu saja. Perasaannya tak karuan karena harus berhadapan dengan cowok yang beberapa hari lalu telah menolak cintanya. Ia belum siap menjalin hubungan kembali dengan Chilton walau hanya sebatas teman.
Chilton menggelengkan kepala. Ia tahu kalau Delana terluka. Ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menghibur Delana dan membuat cewek itu tetap bersikap baik padanya. Tapi, dia akan berusaha sebisa mungkin membuat Delana tetap ada di sisinya. Sebab, ia kini rindu pada gadis itu. Gadis baik hati yang telah ia lukai hatinya.
***
Delana menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia mengingat kejadian beberapa jam lalu saat ia berusaha menghindari Chilton tapi cowok itu justru menghampirinya. Tidakkah dia tahu bagaimana perasaan Delana saat itu?
Pikiran Delana terus melayang membayangkan saat-saat ia menghabiskan waktu bersama cowok itu.
Delana bangkit dari tempat tidurnya ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Ia langsung merogoh ponsel yang ia simpan di dalam tasnya.
Delana menatap layar ponsel. Ia tersenyum ketika melihat nama ‘Ivona’ yang meneleponnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menjawab panggilan telepon dari Ivona.
“Halo ... Vo! Apa kabar?” tanya Delana.
“Baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?”
“Buruk.”
“Sabar ya!”
“Kamu udah tahu?” tanya Delana.
“Udah. Belvi udah cerita sama aku.”
“Huft, aku kesel banget sama dia. Kenapa dia tuh nggak nolak aku dari dulu? Kenapa coba dia biarin aku berjuang mati-matian buat ngebuktiin kalo aku serius sayang sama dia?” tutur Delana.
“Cowok emang kayak gitu. Giliran kitanya serius, dianya malah main-main.”
Delana menghela napas.
“Eh, aku punya senior yang ganteng banget! Mau aku kenalin sama dia? Kebetulan, dia itu jomlo juga.”
“Nggak sama kamu aja?” tanya Delana lesu.
“Idih. Aku mah udah kayak sodara sama dia. Nggak mungkin lah aku pacaran sama dia.”
“Mungkin aja, kan?”
“Dia bukan tipe aku,” sahut Ivona.
“Wuidih ... gaya!” seru Delana.
Ivona tertawa terbahak-bahak menanggapi ucapan Delana.
“Kamu kapan balik ke sini?” tanya Delana.
“Tahun depan, Del.”
“Lama banget!? Keburu aku lupa sama kamu.”
“Hahaha.” Ivona tergelak. “Besok aku terbang ke Jakarta.”
“Kenapa ke Jakarta? Langsung ke sini bisa kan?” tanya Delana.
“Bisa, sih. Tapi aku mau ke Jakarta dulu nemuin sepupuku. Soalnya dia nitip belikan barang juga.”
“Oh. Kirain kamu masih mau liburan lagi di Jakarta.”
“Hehehe. Sambil menyelam minum air.”
“Dasar!”
“Kamu liburan ke mana aja, Del?” tanya Ivona.
“Udah tahu, kenapa masih ditanya sih?”
“Wuidih ... sentimen amat, Bu!” seru Ivona.
“Kamu nggak tahu rasanya nahan diri buat makan orang?” celetuk Delana kesal.
“Iya, tahu. Sabar ya! Nanti aku balik ke sana dan kita cari cowok lain yang lebih ganteng daripada si Chilton itu,” tutur Ivona.
“Aku maunya sama dia aja, Vo!” rengek Delana.
“Masih banyak yang lebih ganteng dari dia. Tenang aja, stok cowok ganteng masih banyak.”
“Mmh ... tapi, apa ada yang kayak Chilton?”
“Maksudnya? Yang nyakitin kamu gitu?” tanya Ivona lagi.
“Iih ... bukan itu!”
“Terus? Emang kenyataan kan? Dia cuma bisa nyakitin kamu doang.”
“Iya. Tapi dia itu baik, Vo. Udah gitu cakep, perhatian, penyayang dan romantis banget,” tutur Delana.
“Tetep aja nyakitin!” seru Ivona.
“Mungkin karena masih baru-baru aja aku ngerasa sakit hati banget. Lama-lama juga bakalan lupa. Kayak waktu aku sama Aravin.”
“Oh ... iya ya? Kamu kan dulu juga pernah patah hati sebelum jadian,” ucap Ivona tergelak.
Delana mencebik ke arah ponselnya. “Seneng banget kalo lihat temennya susah!” gumam Delana dalam hati.
“Del, orang lain itu patah hatinya setelah jadian. Lah, ini sebelum jadian udah patah hati duluan,” ucap Ivona sambil tertawa geli.
“Nggak usah ngolok terus!” seru Delana kesal.
“Aku nggak ngolok. Itu kenyataan.”
“Awas aja kamu ya! Kamu nanti bakal ngerasain ditolak cowok kayak gimana.”
“Oh ... No! Nggak bakalan terjadi karena aku bukan tipe cewek yang naksir cowok duluan. Yang ada, aku yang tukang nolak cowok,” tutur Ivona.
“Tersinggung banget aku, eh. Secara nggak langsung, kamu ngataian aku sebagai cewek yang suka sama cowok duluan.”
“Hahaha ... emang kenyataannya iya kan?”
Delana mendengus kesal mendengar ucapan Ivona yang terus saja mengejeknya.
“Udah, nggak usah dimasukin hati! Aku bercanda,kok. Nggak ada salahnya cewek naksir cowok duluan. Zaman sekarang mah udah biasa. Katanya, emansipasi wanita,” tutur Ivona.
“Pret, lah!”
“Kok, Pret sih?”
“Tukang kibul!” seru Delana.
“Emangnya pernah aku ngibulin kamu?” tanya Ivona.
“Pernah.”
“Kapan itu?” tanya Ivona lagi.
“Kamu tuh selalu aja nggak ingat sama dosa alias kesalahan kamu sendiri.”
“Kan ada kamu,” tutur Ivona.
“Kok, aku? Apa hubungannya?”
“Kalo aku salah, ada kamu yang benerin.”
“Ngek!”
“Kok, ngek sih? Kamu tuh ngece memang, Del. Aku udah kangen banget pengen nimpukin kepalamu.”
“Cepetan bulik makanya!” pinta Delana dengan logat Banjar.
“Siap, Bos!”
“Jangan lupa oleh-oleh buat aku!”
“Kamu mau apa?” tanya Ivona.
“Apa aja, lah yang penting mahal.”
“Gila! Orang tuh kalo minta gratisan tahu diri dikit,” sahut Ivona.
“Hehehe.”
“Orang lain tuh mintanya sembarang aja yang penting ikhlas. Nah, ini ... mintanya yang penting mahal,” jelas Ivona.
“Biar beda lah sama yang lain.”
“Hmm ... iya, aja deh. Daripada ribut,” ucap Ivona.
“Hehehe. Gitu dong! Siapa tahu aja dibawain oleh-oleh cowok ganteng,” tutur Delana.
“Mau? Nanti aku bawain cowok paling ganteng sedunia. Spesial buat kamu!” seru Ivona.
“Halah ... kamu tuh suka nipu!”
“Nipu gimana?”
“Kamu toh kalo ngomong suka kebalikannya. Kalo kamu bilang cowok itu ganteng, artinya dia nggak ganteng beneran,” jelas Delana.
“Ya ampun ... tega banget sih kamu ngomong kayak gitu, aku ini sahabat kamu sendiri dan kamu nggak percaya sama aku,” ucap Ivona sambil pura-pura terisak.
“Nggak usah mendramatisir keadaan!” ucap Delana. “Kamu kan paling hobi nge-prank orang,” lanjutnya.
Ivona tertawa terbahak-bahak.
“Eh, udah dulu, ya!” pinta Delana ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.
“Oke.” Ivona langsung mematikan sambungan teleponnya.
Delana berjalan perlahan menghampiri pintu kamarnya.
“Ada apa, Dek?” tanya Delana begitu melihat Bryan berdiri di depan pintu kamarnya.
“Kakak udah makan?” tanya Bryan.
“Astaga!” Delana menepuk dahinya. “Iya. Kakak belum masak. Kamu laper ya?” tanya Delana. Ia buru-buru menutup pintu kamar dan bergegas menuruni tangga menuju dapur.
Bryan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kakaknya itu. Ia berjalan santai mengikuti langkah Delana.
“Nggak usah masak, Kak!” pinta Bryan.
“Kenapa? Kamu sudah makan?” tanya Delana menatap Bryan yang sudah berdiri di bibir pintu dapur.
“Belum.”
“Ya udah. Kakak masak dulu!” tutur Delana sambil membuka pintu kulkas. Ia melongo karena tidak ada bahan makanan lain selain telur dan cabai.
Delana menghela napasnya. Patah hati telah membuat harinya kacau. Ia bahkan melupakan keperluan adiknya. Entah apa yang dimakan oleh Bryan selama dua hari lalu. Ia juga tidak memikirkan apakah adiknya punya uang untuk membeli makanan atau tidak.
“Maafin Kakak ya, Dek!” Delana tertunduk lesu. Tidak seharusnya ia mengorbankan adiknya untuk seorang cowok yang telah menyakitinya. Ia hanya membuang-buang waktu memikirkan Chilton yang tidak mencintainya sama sekali.
“Iya, nggak papa.”
“Gara-gara aku, kamu jadi nggak ada yang perhatiin. Dari kemarin kamu makan apa?” tanya Delana.
“Delivery,” jawab Bryan singkat.
“Emang punya duit?”
“Punya, lah.”
“Dari mana? Kakak belum kasih duit jajan.”
“Pinjem sama Kak Belvi.”
“What!?” Delana mendelik ke arah Bryan.
“Bayarin, ya!” Bryan menggoyang-goyangkan alisnya sambil tersenyum ke arah Delana.
Delana menghela napas. Ia tahu, ini memang kesalahannya. Ia lupa memikirkan kebutuhan adiknya sendiri. “Iya, nanti Kakak Biarin!”
“Bayarin, Kak! Bukan Biarin. Lagian, salah Kakak juga nggak kasih uang jajan dan nggak masakin buat aku,” tutur Bryan.
“Iya, Dek. Maafin Kakak, ya!”
Bryan tersenyum kecil. “Iya. Lain kali jangan gitu lagi! Cuma gara-gara cowok aneh itu, Kakak sampe segitunya.”
Delana menghela napas. “Kamu nggak bakal ngerti.”
“Aku emang nggak ngerti, tapi paham.”
“Sama aja, dong?” tanya Delana.
Bryan tertawa kecil. “Kalo sampe dia bikin Kakak nangis lagi. Kuhajar beneran cowok itu. Nggak urus aku biarpun dia lebih tua dari aku,” tuturnya.
“Hush ... nggak boleh kayak gitu!” Delana menempelkan jari telunjuk di bibirnya.
Bryan terdiam. Ia tidak ingin berdebat panjang dengan kakaknya itu. “Kita makan di luar aja yuk!” ajak Bryan.
“Makan di luar? Di mana?” tanya Delana.
“Tempat biasa.”
“Ocean’s?” tanya Delana lesu. Ia tidak begitu semangat mendengar nama tempat itu. Sebab di sana, ada kenangan bersama Chilton yang tidak mungkin bisa ia lupakan.
“Kenapa?” tanya Bryan.
“Di tempat yang lain aja!” pinta Delana.
“Di mana? Biasanya Kakak paling suka di sana.”
“Udah nggak lagi.”
“Kita makan bebek tempat Pak erTe aja yuk!” ajak Bryan.
“Pak eRTe yang di Gunung Sari?” tanya Delana.
Bryan menganggukkan kepala.
“Oke, deh kalo ke sana.”
Bryan menganggukkan kepala.
Mereka bergegas menuju Rumah Makan Pak eRTe yang terletak di kawasan Gunung Sari.
.png)
0 komentar:
Post a Comment