Tuesday, October 7, 2025

THEN LOVE BAB 29 : SAMA-SAMA PENCEMBURU

 


“Del, saya minta tolong dampingi anak-anak untuk ikut lomba ya! Sekalian untuk penilaian kemampuan mereka,” tutur pemilik tempat kursus begitu Delana masuk ke dalam ruangannya.

“Iya, Bu,” jawab Delana sambil menganggukkan kepala.

“Kamu sama siapa, ya?”

“Sendiri saja bisa, Bu. Cuma dampingi anak-anak saja kan?” tanya Delana balik.

“Iya. Tapi, ada beberapa anak yang belum punya SIM. Jadi, mereka nggak bisa bawa kendaraan sendiri.”

“Jadi?”

“Kamu cari sewaan mobil, ya!” perintah pemilik kursus. “Saya kasih dana operasional,” lanjutnya.

“Cari di mana kalo dadakan kayak gini?” tanya Delana bingung.

“Temen kamu ada yang punya mobil 'kan?”

Chilton maksudnya?” tanya Delana.

“Ah, Ibu mah nggak tahu. Siapa aja, dah!”

“Chilton ada mobilnya, tapi dia jadwalnya ngajar kelas tujuh deh kayaknya bu,” tutur Delana.

“Saya suruh guru lain gantiin dia. Bisa panggil dia ke sini?”

“Bisa, Bu.” Delana bangkit dari tempat duduknya dan bergegas mencari Chilton yang sedang mengajar kursus Bahasa Inggris untuk kelas tujuh.

“Chil ...!” panggil Delana dari pintu kelas.

“Ada apa, Bu Dela?” tanya Chilton formal.

“Dipanggil ke ruangan Bu Bos!” tutur Delana.

“Oke. Sebentar, ya! Saya kasih tugas untuk anak-anak dulu.”

Delana menganggukkan kepala. Ia menunggu Chilton menyelesaikan memberi tugas untuk anak didiknya.

“Ada apa, sih?” tanya Chilton pada Delana begitu ia keluar dari ruang kelasnya.

“Ikut aja!” perintah Delana bergegas melangkahkan kaki ke dalam ruang kerja pemilik tempat kursus tersebut.

“Hei ... silakan duduk!” perintah pemilik kursus begitu melihat Delana dan Chilton masuk.

“Ada apa, Bu?” tanya Chilton tanpa basa-basi.

“Bisa temenin Delana dampingi anak-anak lomba sekarang?”

“Sekarang? Kok, dadakan? Saya masih ada jadwal tiga jam lagi,” jawab Chilton.

“Nanti akan diganti dengan guru lain. Saya butuh kamu untuk mengantar anak-anak. Kamu punya mobil 'kan?”

Chilton menganggukkan kepala. “Punya, Bu. Tapi, saya ke sini bawa motor.”

“Rumah kamu di mana?”

Gunung Dubs.”

“Dekat. Ambil, ya!” perintahnya.

Chilton menganggukkan kepalanya. “Kenapa dadakan sih, Bu?” celetuknya.

“Saya lupa.”

Ah, gila! Lupa!?” batin Chilton dalam hatinya.

“Ya sudah, sekarang kalian bersiap! Sepertinya anak-anak juga sudah bersiap.”

Delana dan Chilton menganggukkan kepala dan bergegas keluar dari ruangan pemilik kursus tersebut.

“Kenapa dadakan banget!” gerutu Chilton.

Delana mengedikkan bahunya.

“Temenin aku, yuk!” ajak Chilton.

“Ngapain?”

“Ambil mobil, lah.”

“Oh. Oke.” Delana mengikuti langkah Chilton menuju parkiran. Di sana, ada motor Chilton yang terparkir rapi bersama dengan kendaraan yang lainnya.

“Kamu ganti motor?” tanya Delana melihat motor yang digunakan Chilton bukan lagi motor Ninja yang biasa ia pakai.

Chilton meringis. “Lagi pengen pake yang ini. Ini motor dari zaman  aku masih SMP. Sampe sekarang tarikannya masih enak banget,” jelas Chilton.

“Oh, Oke.” Delana langsung menaiki motor bebek yang dikendarai Chilton. Mereka bergegas pergi ke rumah Chilton untuk mengambil mobil pribadinya.

“Masuk dulu?” tanya Chilton.

“Ada siapa di dalam?” tanya Delana balik.

“Nggak ada siapa-siapa.”

“Aku tunggu di sini aja!” pinta Delana sambil duduk di kursi teras rumahnya.

“Oke. Tunggu, ya!” Chilton bergegas masuk ke dalam rumah untuk membuka pintu garasi rumah yang terkunci dari dalam.

Beberapa menit kemudian, Chilton sudah mengeluarkan mobilnya dari halaman rumah. Ia segera mengunci kembali garasi dan pintu rumahnya.

“Ayo!” ajak Chilton pada Delana. “Eh, aku tunggu kamu di luar. Minta tolong kunciin pagar rumahku nggak papa 'kan?” tutur Chilton sambil mengulurkan kunci yang ada di tangannya.

Delana tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

Chilton langsung masuk mobil dan mengeluarkan mobilnya dari halaman rumah. Sementara Delana mengikuti di belakangnya. Terlebih dahulu mengunci pintu pagar rumah Chilton dan melangkah mendekati mobil.

Chilton menatap Delana dari kaca spion sambil tersenyum licik. Tiba-tiba di otaknya muncul ide jahil. Ia menginjak pedal gas saat Delana meraih handle pintu mobil.

Delana kesal karena beberapa kali Chilton melakukannya. “Chilton ...!” teriak Delana.

Chilton tertawa terbahak-bahak melihat Delana yang terlihat kesal.

Delana langsung menarik handle pintu dengan cepat dan masuk ke dalam mobil. “Jahil banget, sih!” dengus Delana sambil memukul lengan Chilton.

Chilton masih berusaha menghabiskan sisa tawanya. Ia memegangi perut karena geli. Baru kali ini ia merasakan tertawa lepas karena bisa mengerjai Delana.

“Udah! Jangan ketawa terus! Kasihan anak-anak udah nungguin kita!” pinta Delana.

“Siap, Bu Bos!”

“Bu Bos apaan!?” sahut Delana tersipu malu. Bagi anak muda di daerahnya, panggilan Bu Bos adalah panggilan sayang untuk seorang pasangan. Pipi Delana menghangat ketika Chilton memanggilnya dengan panggilan itu.

Chilton tersenyum kecil menatap Delana, kemudian melajukan mobilnya ke tempat mereka mengajar. Di sana, beberapa murid sudah menunggu kedatangan Chilton dan Delana.

“Kakak lama, ya?” sapa Delana saat turun dari mobil.

“Enggak, kok, Kak,” jawab anak-anak serempak.

“Yang lain udah berangkat?” tanya Delana.

“Sudah, Kak.”

“Ya udah. Ayo cepet masuk!” pinta Delana.

Lima orang muridnya langsung masuk ke dalam mobil satu persatu.

“Udah siap?” tanya Delana pada murid-muridnya.

“Udah, Kak.”

“Berdoa dulu!” pinta Delana. Ia memperbaiki posisi duduknya. Ia menghela napas sambil memejamkan mata, berdoa yang terbaik untuk anak-anak muridnya.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di gedung kesenian. Tempat diadakannya event lomba-lomba untuk murid-murid SMA.

“Kenapa acaranya di Gedung Kesenian, ya? Biasanya di Dome,” tutur Delana saat murid-muridnya mulai turun dari mobil satu persatu.

“Full kali di sana. Banyak juga yang sewa gedung buat acara.”

“Mmh ... iya, juga sih.”

“Fasilitasnya juga bagus ini kali. Ini kan masih terbilang baru gedungnya,” tutur Chilton.

“Bisa jadi.”

“Ada pagelaran seni juga. Mereka ikut lomba apa aja sih?” tanya Chilton begitu semua muridnya sudah ada di luar mobil.

“Ada yang ikut lomba cerdas cermat, ada juga yang ikut kesenian deh kayaknya. Lomba cipta lagu sama lomba ngelukis gitu kayaknya,” jawab Delana. Ia merogoh tasnya untuk melihat catatan yang diberikan oleh pemilik tempat kursus. “Bentar aku cek,” tutur Delana sambil memerhatikan tulisan yang ada di atas kertas.

Chilton tertawa kecil melihat tingkah Delana. “Nggak usah segitunya juga. Tanyain aja mereka satu-satu! Mereka kan udah gede, nggak mungkin harus diatur atau ditemenin masuk,” tutur Chilton.

“Iya, juga sih.”

“Kita lihat dari luar aja. Sambil nikmatin pemandangan.”

“Oke. Turun, yuk!” ajak Delana.

Chilton langsung melepas safety belt dan turun dari mobil.

Delana menghela napas. Ia mengingat beberapa waktu lalu, betapa romantisnya sikap Chilton yang selalu membukakan pintu untuknya. Kali ini, ia memang terlihat ramah tapi tak seromantis beberapa hari yang lalu. Delana rindu saat-saat itu. Saat Chilton memperlakukan dirinya seperti wanita paling spesial dalam hidupnya.

Delana membuka pintu mobil perlahan. Ia menghampiri Chilton yang sudah menunggunya untuk masuk ke dalam gedung.

Delana memerhatikan beberapa orang yang ia lewati. Banyak cowok tampan di acara ini dan dia senang sekali dengan pemandangan seperti ini. Rasanya, matanya bisa lebih jernih ketika melihat banyak cowok tampan di depannya.

“Heh!?” Chilton mengusap wajah Delana yang melongo menatap cowok tampan yang melintas di depan mereka.

Delana gelagapan dan menepis tangan Chilton.

“Kamu suka lihat cowok-cowok ganteng?” dengus Chilton.

“Iya. Aku kan masih normal.”

“Emangnya aku masih kurang ganteng apa?” gumam Chilton lirih.

“Apa?” tanya Delana yang tidak bisa mendengar gumaman Chilton.

“Nggak papa. Kita nunggu anak-anak di mana?” tanya Chilton.

“Di situ aja!” Delana menunjuk salah satu kursi tunggu yang ada di dalam gedung.

“Ayo!” Chilton menarik lengan Delana untuk memasuki gedung.

Delana dan Chilton duduk berdampingan di ruang tunggu. Sementara anak-anak didik mereka mulai sibuk mempersiapkan keperluannya masing-masing.

“Jangan lupa berdoa, semangat!” seru Delana ceria.

Anak-anak menanggapi dengan senang hati. Mereka bersiap memasuki ruangan untuk segera mengikuti perlombaan.

“Kakak nggak ikut masuk?” tanya salah seorang murid.

Delana menggelengkan kepalanya. “Kami tunggu di sini. Kasih kabar baik untuk kami, ya!” pinta Delana.

“Oke, Kak.”

Murid-murid Delana memasuki ruangan satu persatu. Delana mengela napas, ia berdoa dalam hati semoga anak-anak muridnya menjadi juara dalam kompetisi tersebut.

Delana menoleh ke arah cowok tampan yang baru saja keluar dari ruangan. Sepertinya cowok itu bagian dari panitia. Terlihat ia memakai tanda pengenal. Delana terus memerhatikan cowok tampan itu. Rambutnya yang hitam, kulit putih, berbadan tinggi dan bibirnya yang berwarna merah jambu membuat Delana kagum. Ia suka melihat cowok-cowok tampan. Ia tak ingin melewatkan pemandangan menarik di hadapannya itu.

“Del ...!” sentak Chilton.

“Eh ... oh ... eh ... kenapa?” tanya Delana gelagapan.

“Dipanggilin dari tadi malah ngelamun. Kamu suka sama cowok itu?” tanya Chilton.

Delana tersenyum. “Aku sudah bilang, cewek suka sama cowok ganteng itu wajar. Artinya, mataku masih normal.”

“Nggak sampe segitunya juga ngelihatin!” tutur Chilton ketus.

“Kamu kenapa? Sensi amat? Cemburu?” tanya Delana.

Chilton gelagapan dan tidak bisa mengeluarkan suara dari mulutnya. Kalau dia bilang cemburu, Delana pasti akan besar kepala. Ingin bilang tidak cemburu, tapi kenyataannya dia kesal melihat tingkah Delana yang memerhatikan beberapa cowok tampan di sekitarnya. “Apa aku sudah nggak cakep lagi di mata dia?” batin Chilton sambil melirik Delana yang ada di sampingnya.

Chilton berusaha untuk bersikap biasa. “Del, kalau seandainya hari itu yang kamu lihat pertama kali bukan aku, apa kamu bakal sebaik ini juga sama cowok-cowok lain yang ganteng?” tanya Chilton.

Delana bengong mendengar pertanyaan dari Chilton. Ia tidak menyangka kalau Chilton akan bertanya seperti itu.

“Nggak bisa jawab?” tanya Chilton lagi karena Delana masih bergeming.

Delana menatap wajah Chilton serius. “Chil, aku suka kamu bukan cuma karena kamu tampan. Tapi, karena kamu baik dan mau ngasih aku kesempatan buat deket sama kamu. Kamu yang ngasih aku kesempatan buat hadir dalam hari-harimu. Buat ngebuktiin kalo aku serius suka sama kamu.”

“Apa kamu juga bakal lakuin ini ke cowok lain yang lebih tampan? Andai kita tidak pernah mengenal?” tanya Chilton.

Delana bergeming. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Chilton. Ia merasa, pertanyaan Chilton sungguh menyayat hatinya. Bagaimana bisa Chilton berpikir seperti itu setelah sekian lama mereka menghabiskan waktu bersama?

“Nggak usah dijawab! Aku ngerti, kok,” tutur Chilton.

Delana memejamkan mata sambil menghela napas. Ia tidak ingin banyak berdebat dengan Chilton hanya karena masalah kecil seperti ini. Ia lebih memilih untuk diam walau dalam hati ia memaki dirinya sendiri.

“Kamu haus, nggak?” tanya Chilton.

Delana menggelengkan kepala.

“Aku haus. Mau cari minum.” Chilton bangkit dari tempat duduknya.

“Aku bawa minum.” Delana tersenyum sambil menunjukkan botol mineral yang ia ambil dari dalam tasnya.

Chilton duduk kembali dan langsung menyambar botol mineral dari tangan Delana. Ia tersenyum dalam hati. Hal yang paling ia suka dari Delana adalah kemandiriannya. Ia selalu mempersiapkan segala hal sebelum bepergian.

“Mau?” Delana menyodorkan kotak kecil berisi cokelat.

Chilton mengernyitkan dahinya. “Kapan kamu beli cokelat? Bukannya dari tadi kita barengan terus?”

“Aku bawa dari rumah. Ini bikin sendiri,” jawab Delana.

“Bikin sendiri?”

“Iya. Nggak percaya?” tanya Delana balik.

“Percaya,” jawab Chilton sambil menyomot satu cokelat dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Katanya, makan cokelat bisa bikin suasana hati jadi lebih baik,” tutur Delana.

“Emangnya suasana hatiku buruk?” tanya Chilton ketus.

“Kelihatannya begitu,” jawab Delana sambil tersenyum.

Chilton tersenyum kecut membalas senyuman Delana.

Mereka tak saling bicara selama beberapa saat. Sibuk dengan ponselnya masing-masing.

Setengah jam kemudian, murid-murid sudah berhamburan keluar ruangan. Mereka langsung menghampiri Delana dan Chilton.

“Hei ... gimana? Dapet juara nggak?” tanya Delana.

“Aku dapet juara tiga!” seru anak yang mengikuti lomba cerdas cermat matematika.

“Aku juara satu, Kak!” seru anak yang mengikuti lomba berpidato Bahasa Inggris.

“Yang lain?” tanya Delana memerhatikan wajah murid-muridnya satu persatu.

Mereka hanya menundukkan kepala. Tak berani menjawab pertanyaan dari Delana.

Delana menghela napas. Ia mengerti perasaan anak-anak muridnya. “Udah, jangan sedih walau belum jadi juara. Jadikan pengalaman aja ya! Semangat!” seru Delana.

“Kalau yang lomba seni belum diumumin, Kak.”

“Oh, ya? Kapan diumuminnya?” tanya Chilton.

“Katanya sih sebentar lagi. Jurinya masih penilaian.”

“Oh, ya udah. Kita tunggu di sini aja.”

“Iya, Kak.” Murid-murid didik Delana dan Chilton langsung duduk di lantai, tepat di bawah mereka.

“Kenapa duduk di situ?” tanya Delana.

“Kursinya kan nggak cukup, Kak. Lagian enak lesehan kayak gini.”

Delana tersenyum menatap murid-muridnya itu.

“Di sini ada kantinnya nggak, ya?” tanya salah seorang murid. “Aku haus banget!”

Delana memeriksa tasnya dan hanya punya satu botol air mineral. “Ada kantin di bawah. Beli minum, gih! Sekalian buat temen-temen kamu!” pinta Delana sambil memberikan uang pada muridnya.

“Beli berapa, Kak?” tanya Randi.

“Kalian berapa?” tanya Delana balik.

“Dua belas, Kak.”

“Beli dua belas kalo gitu. Sama snack, ya!” pinta Delana.

Randi menganggukkan kepala. Ia bergegas pergi ke kantin mengajak beberapa teman untuk menemaninya.

“Gimana tadi perasaannya di dalam?” tanya Delana.

“Tegang banget, Kak!” sahut mereka.

“Sekarang udah lega, kan?” tanya Delana.

Murid-muridnya menganggukkan kepala.

“Kak ... Kak Dela sama Kak Chilton serasi banget. Cantik sama ganteng. Kenapa nggak pacaran aja sih?” tanya Sarah, salah satu murid SMA Delana.

Delana mengangkat kedua alisnya sambil tertawa kecil. Sementara Chilton bergeming, wajahnya dingin. Sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

“Iya, Kak. Kalo Kak Dela nggak mau sama Kak Chilton, aku mau, kok,” sahut murid cewek yang lain.

Chilton tertawa kecil mendengar celetukan muridnya. Ia menyondongkan badannya menatap murid-murid yang ada di depannya. “Emangnya kamu belum punya pacar?” tanya Chilton.

“Belum, Kak. Kan aku nunggu Kakak.”

“Nunggu apaan!?” sahut Delana sambil melempar sepotong cokelat ke arah murid yang sedang menggoda Chilton.

“Ciyee ... Kak Dela cemburu!” seru mereka serentak.

Wajah Delana merah padam begitu mendengar seruan murid-murid yang ada di depannya. Ia hanya tertawa kecil. Perasaannya makin tak karuan karena terus digoda oleh murid-murid SMA-nya.

“Udah! Jangan olokin Kak Dela terus! Kasihan tuh pipinya udah merah kayak udang rebus,” tutur Chilton.

“Eh!?” Delana menyentuh pipinya yang menghangat. Ia semakin malu. Ia bangkit dari tempat duduknya.

“Mau ke mana, Kak?” tanya Sarah.

“Ke toilet sebentar,” jawab Delana dan langsung bergegas pergi ke toilet. Ia benar-benar gugup. Murid-muridnya memang kerap kali menggoda dan membuatnya salah tingkah.

Delana menatap dirinya di depan cermin. Ia membasahi wajahnya berkali-kali agar lebih rileks.

Sementara itu murid-muridnya cekikikan di depan Chilton begitu Delana pergi ke toilet.

“Emang bener Kakak sama dia cocok?” tanya Chilton.

“Banget!” seru murid-muridnya.

“Kak Dela di mata kalian seperti apa?”

“Cantik.”

“Baik.”

“Ramah.”

“Perhatian dan sayang sama kita-kita!” seru murid-muridnya sambil tertawa ceria.

Chilton tersenyum. Pribadi Delana memang sangat menyenangkan dan membuatnya merasa bahagia. Tapi, Delana juga mudah menyukai cowok lain apalagi cowok-cowok tampan. Bisa saja Delana meninggalkan dirinya ketika ia bertemu dengan cowok lain yang lebih tampan.

“Eh, Kakak boleh tanya lagi, nggak?” tanya Chilton sambil menatap pintu toilet untuk memastikan Delana belum keluar dari toilet.

“Apa, Kak?” sahut murid-murid serentak.

“Menurut kalian, di tempat les ada nggak cowok-cowok yang ganteng selain Kakak?” tanya Chilton.

“Emangnya Kak Chilton ganteng?” sahut Sarah sambil tertawa.

“Emang nggak ganteng, ya?” tanya Chilton sambil mengernyitkan dahinya.

“Ganteng banget, Kak!” sahut murid-murid serempak sambil tertawa.

Chilton menghela napas. “Ngomong sama kalian emang nggak bisa serius,” celetuknya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Eh, si Randi datang!” seru Sarah sambil merapikan rambutnya. Beberapa murid juga terlihat memperbaiki posisi duduknya.

Chilton mengernyitkan dahi begitu melihat reaksi cewek-cewek remaja saat Randi menghampiri mereka. Ia baru menyadari kalau salah satu murid lesnya memang sangat tampan. Entah kenapa, cowok-cowok tampan yang ada di sekelilingnya menjadi ancaman bagi Chilton. Ia merasa Delana akan mempermainkan perasaannya.

“Kak Dela mana?” tanya Randi.

“Lagi ke toilet.”

“Oh.” Randi langsung membagi-bagikan minuman yang ia beli.

“Kak, ini untuk Kak Dela.” Randi menyodorkan botol minuman ke arah Chilton.

“Dela udah bawa minum sendiri,” jawab Chilton. Tapi ia tetap menerima pemberian dari Randi.

“Itu minuman kesukaan Kak Dela,” tutur Randi.

Chilton mengernyitkan dahinya. Bagaimana bisa muridnya tahu minuman favorite Delana. Ia yang selama ini dekat dengan Delana, tidak tahu sama sekali kalau Delana suka dengan minuman yang sedang ia pegang.

“Kak Dela sering nyuruh kita beliin itu,” jelas Randi. Ia bisa memahami ekspresi wajah Chilton.

“Oh,” jawab Chilton. Ia memperbaiki posisi duduknya. Ia melirik Delana yang berjalan mendekat ke arah mereka.

Beberapa menit kemudian pengumuman yang mereka tunggu pun tiba. Mereka tegang menanti pengumuman.

Delana terus berdoa, ia berharap murid-muridnya bisa menjadi juara di bidangnya masing-masing. Karena, hasil karya mereka juga akan membawa nama baik untuk tempat kursusnya. Kebanggaan tersendiri untuknya ketika bisa mendampingi murid-murid berprestasi.

Satu muridnya berteriak saat namanya disebut sebagai salah satu juara. Delana ikut bereaksi dan langsung memeluk murid cewek yang menjadi juara cipta lagu.

Semuanya merasa senang karena bisa mendapatkan banyak juara dari perwakilan lembaga kursus tempat mereka belajar.

“Yang belum juara, tetap semangat ya! Kalian masih muda, perjalanan masih panjang!” seru Delana.

“Iya, Kak,” sahut mereka tetap ceria. Delana memang bisa memberikan keceriaan untuk murid-muridnya. Ia tidak ingin murid-muridnya yang tidak mendapat juara bersedih.

“Karena kita banyak dapet juara, semuanya Kakak traktir makan!” seru Delana.

“Hore ...!” seru murid-murid sambil meloncat kegirangan.

“Mau makan apa?” tanya Delana.

“Terserah Kakak. Kita mah ikut yang nraktir aja,” jawab Sarah.

“Mmh ... enaknya di mana, ya?” tanya Delana sambil menatap Chilton.

“Makan mie ayam aja, Kak! Kayaknya enak deh dingin-dingin gini makan yang anget-anget,” tutur salah seorang murid.

Delana menatap langit senja. Hari mulai gelap dan cuaca memang terasa sangat dingin.

“Oke, kita ke warung mie ayam!” ajak Delana.

“Warung mie ayam yang mana, Kak?” tanya murid yang membawa motor sendiri.

“Iya, ya? Enaknya di mana, ya?”

“Yang deket tempat les kita aja.”

“Yang selajur pulang lah,” sahut lainnya.

Mie Ayam Lik Min gimana?” tanya Delana.

“Boleh. Di sana enak, kok.”

“Oke. Kita cus ke sana!” seru Delana.

Mereka langsung bergegas menuju parkiran. Murid Delana masuk ke mobil satu persatu. Sementara murid yang membawa motor sendiri sudah mengenakan helm dan bersiap keluar dari parkiran Gedung Kesenian.

“Hati-Hati ... jangan ugal-ugalan bawa motor!” seru Delana.

Murid-muridnya mengacungkan jempol ke arah Delana dan bergegas pergi lebih dahulu.

Delana membuka pintu mobil, masuk dan duduk di kursi paling depan, tepat di samping pengemudi yang sudah bersiap sejak tadi.

“Perhatian banget sama murid-murid ganteng,” celetuk Chilton.

Delana langsung menoleh ke wajah Chilton yang tetap fokus mengeluarkan mobilnya dari parkiran. Ia merasa tidak nyaman dengan celetukan Chilton. Entah kenapa, Chilton semakin membuatnya merasa bersalah hanya karena dia menyukai cowok-cowok tampan. Bukankah itu hal yang normal untuk seorang wanita? Hanya suka saja melihat pemandangan indah, bukan berarti ingin mendapatkannya.

Murid-murid Delana yang duduk di kursi belakang saling pandang. Mereka bisa merasakan perubahan yang terjadi pada Chilton.

“Kak Chilton kenapa?” bisik Sarah di telinga murid lainnya.

Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. “Kayaknya cemburu gara-gara Kak Dela banyak disukai cowok ganteng,” balasnya berbisik sambil cekikikan.

“Salah sendiri nggak mau cepet-cepet nembak. Kalo Kak Dela diambil orang duluan, baru tau rasa dia,” sahut yang lainnya sambil berbisik.

“Kalian kenapa bisik-bisik?” tanya Delana.

“Hehehe ... nggak papa, Kak. Kita seneng aja banyak dapet juara dan ditraktir Kak Dela juga,” tutur Sarah sambil tersenyum senang.

“Iya. Makasih ya, Kak!” seru murid yang lainnya serempak.

Delana tersenyum. “Iya.”

Mereka segera bergegas ke warung mie ayam yang mereka maksud. Beberapa murid yang menggunakan sepeda motor sudah sampai terlebih dahulu. Karena rombongan mereka lumayan banyak, mereka membuat suasana warung menjadi riuh dengan celetukan dan candaan mereka.

Delana tersenyum menatap murid-muridnya. Ia merasa bahagia melihat keceriaan mereka. Ia teringat pada masa-masa remaja, masa yang begitu indah dan sulit untuk dilupakan begitu saja. Ada keceriaan, persahabatan, cinta dan kasih sayang di masa-masa yang tidak akan pernah terulang kembali dalam hidupnya.

 

 ((Bersambung ...))



 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas