“Del, saya minta tolong
dampingi anak-anak untuk ikut lomba ya! Sekalian untuk penilaian kemampuan
mereka,” tutur pemilik tempat kursus begitu Delana masuk ke dalam ruangannya.
“Iya, Bu,” jawab Delana
sambil menganggukkan kepala.
“Kamu sama siapa, ya?”
“Sendiri saja bisa, Bu.
Cuma dampingi anak-anak saja kan?” tanya Delana balik.
“Iya. Tapi, ada
beberapa anak yang belum punya SIM. Jadi, mereka nggak bisa bawa kendaraan
sendiri.”
“Jadi?”
“Kamu cari sewaan mobil, ya!” perintah pemilik kursus. “Saya kasih dana operasional,” lanjutnya.
“Cari di mana kalo
dadakan kayak gini?” tanya Delana bingung.
“Temen kamu ada yang
punya mobil 'kan?”
“Chilton maksudnya?”
tanya Delana.
“Ah, Ibu mah nggak
tahu. Siapa aja, dah!”
“Chilton ada mobilnya,
tapi dia jadwalnya ngajar kelas tujuh deh kayaknya bu,” tutur Delana.
“Saya suruh guru lain
gantiin dia. Bisa panggil dia ke sini?”
“Bisa, Bu.” Delana
bangkit dari tempat duduknya dan bergegas mencari Chilton yang sedang mengajar
kursus Bahasa Inggris untuk kelas tujuh.
“Chil ...!” panggil
Delana dari pintu kelas.
“Ada apa, Bu Dela?”
tanya Chilton formal.
“Dipanggil ke ruangan
Bu Bos!” tutur Delana.
“Oke. Sebentar, ya! Saya
kasih tugas untuk anak-anak dulu.”
Delana menganggukkan
kepala. Ia menunggu Chilton menyelesaikan memberi tugas untuk anak didiknya.
“Ada apa, sih?” tanya
Chilton pada Delana begitu ia keluar dari ruang kelasnya.
“Ikut aja!” perintah
Delana bergegas melangkahkan kaki ke dalam ruang kerja pemilik tempat kursus
tersebut.
“Hei ... silakan
duduk!” perintah pemilik kursus begitu melihat Delana dan Chilton masuk.
“Ada apa, Bu?” tanya
Chilton tanpa basa-basi.
“Bisa temenin Delana
dampingi anak-anak lomba sekarang?”
“Sekarang? Kok,
dadakan? Saya masih ada jadwal tiga jam lagi,” jawab Chilton.
“Nanti akan diganti
dengan guru lain. Saya butuh kamu untuk mengantar anak-anak. Kamu punya mobil 'kan?”
Chilton menganggukkan
kepala. “Punya, Bu. Tapi, saya ke sini bawa motor.”
“Rumah kamu di mana?”
“Gunung Dubs.”
“Dekat. Ambil, ya!”
perintahnya.
Chilton menganggukkan
kepalanya. “Kenapa dadakan sih, Bu?” celetuknya.
“Saya lupa.”
“Ah, gila! Lupa!?”
batin Chilton dalam hatinya.
“Ya sudah, sekarang
kalian bersiap! Sepertinya anak-anak juga sudah bersiap.”
Delana dan Chilton
menganggukkan kepala dan bergegas keluar dari ruangan pemilik kursus tersebut.
“Kenapa dadakan
banget!” gerutu Chilton.
Delana mengedikkan
bahunya.
“Temenin aku, yuk!” ajak
Chilton.
“Ngapain?”
“Ambil mobil, lah.”
“Oh. Oke.” Delana
mengikuti langkah Chilton menuju parkiran. Di sana, ada motor Chilton yang
terparkir rapi bersama dengan kendaraan yang lainnya.
“Kamu ganti motor?”
tanya Delana melihat motor yang digunakan Chilton bukan lagi motor Ninja yang
biasa ia pakai.
Chilton meringis. “Lagi
pengen pake yang ini. Ini motor dari zaman
aku masih SMP. Sampe sekarang tarikannya masih enak banget,” jelas
Chilton.
“Oh, Oke.” Delana
langsung menaiki motor bebek yang dikendarai Chilton. Mereka bergegas pergi ke
rumah Chilton untuk mengambil mobil pribadinya.
“Masuk dulu?” tanya
Chilton.
“Ada siapa di dalam?”
tanya Delana balik.
“Nggak ada
siapa-siapa.”
“Aku tunggu di sini
aja!” pinta Delana sambil duduk di kursi teras rumahnya.
“Oke. Tunggu, ya!”
Chilton bergegas masuk ke dalam rumah untuk membuka pintu garasi rumah yang
terkunci dari dalam.
Beberapa menit
kemudian, Chilton sudah mengeluarkan mobilnya dari halaman rumah. Ia segera
mengunci kembali garasi dan pintu rumahnya.
“Ayo!” ajak Chilton
pada Delana. “Eh, aku tunggu kamu di luar. Minta tolong kunciin pagar rumahku
nggak papa 'kan?” tutur Chilton sambil mengulurkan kunci yang ada di tangannya.
Delana tersenyum sambil
menganggukkan kepalanya.
Chilton langsung masuk
mobil dan mengeluarkan mobilnya dari halaman rumah. Sementara Delana mengikuti
di belakangnya. Terlebih dahulu mengunci pintu pagar rumah Chilton dan
melangkah mendekati mobil.
Chilton menatap Delana
dari kaca spion sambil tersenyum licik. Tiba-tiba di otaknya muncul ide jahil.
Ia menginjak pedal gas saat Delana meraih handle pintu mobil.
Delana kesal karena
beberapa kali Chilton melakukannya. “Chilton ...!” teriak Delana.
Chilton tertawa
terbahak-bahak melihat Delana yang terlihat kesal.
Delana langsung menarik
handle pintu dengan cepat dan masuk ke dalam mobil. “Jahil banget, sih!” dengus
Delana sambil memukul lengan Chilton.
Chilton masih berusaha
menghabiskan sisa tawanya. Ia memegangi perut karena geli. Baru kali ini ia
merasakan tertawa lepas karena bisa mengerjai Delana.
“Udah! Jangan ketawa
terus! Kasihan anak-anak udah nungguin kita!” pinta Delana.
“Siap, Bu Bos!”
“Bu Bos apaan!?” sahut
Delana tersipu malu. Bagi anak muda di daerahnya, panggilan Bu Bos adalah
panggilan sayang untuk seorang pasangan. Pipi Delana menghangat ketika Chilton
memanggilnya dengan panggilan itu.
Chilton tersenyum kecil
menatap Delana, kemudian melajukan mobilnya ke tempat mereka mengajar. Di sana,
beberapa murid sudah menunggu kedatangan Chilton dan Delana.
“Kakak lama, ya?” sapa
Delana saat turun dari mobil.
“Enggak, kok, Kak,”
jawab anak-anak serempak.
“Yang lain udah
berangkat?” tanya Delana.
“Sudah, Kak.”
“Ya udah. Ayo cepet
masuk!” pinta Delana.
Lima orang muridnya
langsung masuk ke dalam mobil satu persatu.
“Udah siap?” tanya
Delana pada murid-muridnya.
“Udah, Kak.”
“Berdoa dulu!” pinta
Delana. Ia memperbaiki posisi duduknya. Ia menghela napas sambil memejamkan
mata, berdoa yang terbaik untuk anak-anak muridnya.
Beberapa menit
kemudian, mereka sudah tiba di gedung kesenian. Tempat diadakannya event
lomba-lomba untuk murid-murid SMA.
“Kenapa acaranya di
Gedung Kesenian, ya? Biasanya di Dome,” tutur Delana saat murid-muridnya mulai
turun dari mobil satu persatu.
“Full kali di sana.
Banyak juga yang sewa gedung buat acara.”
“Mmh ... iya, juga
sih.”
“Fasilitasnya juga
bagus ini kali. Ini kan masih terbilang baru gedungnya,” tutur Chilton.
“Bisa jadi.”
“Ada pagelaran seni
juga. Mereka ikut lomba apa aja sih?” tanya Chilton begitu semua muridnya sudah
ada di luar mobil.
“Ada yang ikut lomba
cerdas cermat, ada juga yang ikut kesenian deh kayaknya. Lomba cipta lagu sama
lomba ngelukis gitu kayaknya,” jawab Delana. Ia merogoh tasnya untuk melihat
catatan yang diberikan oleh pemilik tempat kursus. “Bentar aku cek,” tutur Delana
sambil memerhatikan tulisan yang ada di atas kertas.
Chilton tertawa kecil
melihat tingkah Delana. “Nggak usah segitunya juga. Tanyain aja mereka
satu-satu! Mereka kan udah gede, nggak mungkin harus diatur atau ditemenin
masuk,” tutur Chilton.
“Iya, juga sih.”
“Kita lihat dari luar
aja. Sambil nikmatin pemandangan.”
“Oke. Turun, yuk!” ajak
Delana.
Chilton langsung
melepas safety belt dan turun dari mobil.
Delana menghela napas.
Ia mengingat beberapa waktu lalu, betapa romantisnya sikap Chilton yang selalu
membukakan pintu untuknya. Kali ini, ia memang terlihat ramah tapi tak
seromantis beberapa hari yang lalu. Delana rindu saat-saat itu. Saat Chilton
memperlakukan dirinya seperti wanita paling spesial dalam hidupnya.
Delana membuka pintu
mobil perlahan. Ia menghampiri Chilton yang sudah menunggunya untuk masuk ke
dalam gedung.
Delana memerhatikan
beberapa orang yang ia lewati. Banyak cowok tampan di acara ini dan dia
senang sekali dengan pemandangan seperti ini. Rasanya, matanya bisa lebih
jernih ketika melihat banyak cowok tampan di depannya.
“Heh!?” Chilton
mengusap wajah Delana yang melongo menatap cowok tampan yang melintas di depan
mereka.
Delana gelagapan dan
menepis tangan Chilton.
“Kamu suka lihat
cowok-cowok ganteng?” dengus Chilton.
“Iya. Aku kan masih
normal.”
“Emangnya aku masih
kurang ganteng apa?” gumam Chilton lirih.
“Apa?” tanya Delana
yang tidak bisa mendengar gumaman Chilton.
“Nggak papa. Kita
nunggu anak-anak di mana?” tanya Chilton.
“Di situ aja!” Delana
menunjuk salah satu kursi tunggu yang ada di dalam gedung.
“Ayo!” Chilton menarik
lengan Delana untuk memasuki gedung.
Delana dan Chilton
duduk berdampingan di ruang tunggu. Sementara anak-anak didik mereka mulai
sibuk mempersiapkan keperluannya masing-masing.
“Jangan lupa berdoa,
semangat!” seru Delana ceria.
Anak-anak menanggapi
dengan senang hati. Mereka bersiap memasuki ruangan untuk segera mengikuti
perlombaan.
“Kakak nggak ikut
masuk?” tanya salah seorang murid.
Delana menggelengkan
kepalanya. “Kami tunggu di sini. Kasih kabar baik untuk kami, ya!” pinta Delana.
“Oke, Kak.”
Murid-murid Delana
memasuki ruangan satu persatu. Delana mengela napas, ia berdoa dalam hati
semoga anak-anak muridnya menjadi juara dalam kompetisi tersebut.
Delana menoleh ke arah
cowok tampan yang baru saja keluar dari ruangan. Sepertinya cowok itu bagian
dari panitia. Terlihat ia memakai tanda pengenal. Delana terus memerhatikan
cowok tampan itu. Rambutnya yang hitam, kulit putih, berbadan tinggi dan bibirnya
yang berwarna merah jambu membuat Delana kagum. Ia suka melihat cowok-cowok
tampan. Ia tak ingin melewatkan pemandangan menarik di hadapannya itu.
“Del ...!” sentak
Chilton.
“Eh ... oh ... eh ...
kenapa?” tanya Delana gelagapan.
“Dipanggilin dari tadi
malah ngelamun. Kamu suka sama cowok itu?” tanya Chilton.
Delana tersenyum. “Aku
sudah bilang, cewek suka sama cowok ganteng itu wajar. Artinya, mataku masih
normal.”
“Nggak sampe segitunya
juga ngelihatin!” tutur Chilton ketus.
“Kamu kenapa? Sensi
amat? Cemburu?” tanya Delana.
Chilton gelagapan dan
tidak bisa mengeluarkan suara dari mulutnya. Kalau dia bilang cemburu, Delana
pasti akan besar kepala. Ingin bilang tidak cemburu, tapi kenyataannya dia
kesal melihat tingkah Delana yang memerhatikan beberapa cowok tampan di sekitarnya.
“Apa aku sudah nggak cakep lagi di mata dia?” batin Chilton sambil melirik
Delana yang ada di sampingnya.
Chilton berusaha untuk
bersikap biasa. “Del, kalau seandainya hari itu yang kamu lihat pertama kali
bukan aku, apa kamu bakal sebaik ini juga sama cowok-cowok lain yang ganteng?”
tanya Chilton.
Delana bengong
mendengar pertanyaan dari Chilton. Ia tidak menyangka kalau Chilton akan
bertanya seperti itu.
“Nggak bisa jawab?”
tanya Chilton lagi karena Delana masih bergeming.
Delana menatap wajah
Chilton serius. “Chil, aku suka kamu bukan cuma karena kamu tampan. Tapi,
karena kamu baik dan mau ngasih aku kesempatan buat deket sama kamu. Kamu yang
ngasih aku kesempatan buat hadir dalam hari-harimu. Buat ngebuktiin kalo aku
serius suka sama kamu.”
“Apa kamu juga bakal
lakuin ini ke cowok lain yang lebih tampan? Andai kita tidak pernah mengenal?”
tanya Chilton.
Delana bergeming. Ia
tidak bisa menjawab pertanyaan Chilton. Ia merasa, pertanyaan Chilton sungguh
menyayat hatinya. Bagaimana bisa Chilton berpikir seperti itu setelah sekian
lama mereka menghabiskan waktu bersama?
“Nggak usah dijawab!
Aku ngerti, kok,” tutur Chilton.
Delana memejamkan mata
sambil menghela napas. Ia tidak ingin banyak berdebat dengan Chilton hanya
karena masalah kecil seperti ini. Ia lebih memilih untuk diam walau dalam hati
ia memaki dirinya sendiri.
“Kamu haus, nggak?”
tanya Chilton.
Delana menggelengkan
kepala.
“Aku haus. Mau cari
minum.” Chilton bangkit dari tempat duduknya.
“Aku bawa minum.”
Delana tersenyum sambil menunjukkan botol mineral yang ia ambil dari dalam
tasnya.
Chilton duduk kembali
dan langsung menyambar botol mineral dari tangan Delana. Ia tersenyum dalam
hati. Hal yang paling ia suka dari Delana adalah kemandiriannya. Ia selalu
mempersiapkan segala hal sebelum bepergian.
“Mau?” Delana
menyodorkan kotak kecil berisi cokelat.
Chilton mengernyitkan
dahinya. “Kapan kamu beli cokelat? Bukannya dari tadi kita barengan terus?”
“Aku bawa dari rumah.
Ini bikin sendiri,” jawab Delana.
“Bikin sendiri?”
“Iya. Nggak percaya?”
tanya Delana balik.
“Percaya,” jawab
Chilton sambil menyomot satu cokelat dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Katanya, makan cokelat
bisa bikin suasana hati jadi lebih baik,” tutur Delana.
“Emangnya suasana
hatiku buruk?” tanya Chilton ketus.
“Kelihatannya begitu,”
jawab Delana sambil tersenyum.
Chilton tersenyum kecut
membalas senyuman Delana.
Mereka tak saling
bicara selama beberapa saat. Sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Setengah jam kemudian,
murid-murid sudah berhamburan keluar ruangan. Mereka langsung menghampiri
Delana dan Chilton.
“Hei ... gimana? Dapet
juara nggak?” tanya Delana.
“Aku dapet juara tiga!”
seru anak yang mengikuti lomba cerdas cermat matematika.
“Aku juara satu, Kak!”
seru anak yang mengikuti lomba berpidato Bahasa Inggris.
“Yang lain?” tanya
Delana memerhatikan wajah murid-muridnya satu persatu.
Mereka hanya
menundukkan kepala. Tak berani menjawab pertanyaan dari Delana.
Delana menghela napas.
Ia mengerti perasaan anak-anak muridnya. “Udah, jangan sedih walau belum jadi
juara. Jadikan pengalaman aja ya! Semangat!” seru Delana.
“Kalau yang lomba seni
belum diumumin, Kak.”
“Oh, ya? Kapan
diumuminnya?” tanya Chilton.
“Katanya sih sebentar
lagi. Jurinya masih penilaian.”
“Oh, ya udah. Kita
tunggu di sini aja.”
“Iya, Kak.” Murid-murid
didik Delana dan Chilton langsung duduk di lantai, tepat di bawah mereka.
“Kenapa duduk di situ?”
tanya Delana.
“Kursinya kan nggak
cukup, Kak. Lagian enak lesehan kayak gini.”
Delana tersenyum
menatap murid-muridnya itu.
“Di sini ada kantinnya
nggak, ya?” tanya salah seorang murid. “Aku haus banget!”
Delana memeriksa tasnya
dan hanya punya satu botol air mineral. “Ada kantin di bawah. Beli minum, gih!
Sekalian buat temen-temen kamu!” pinta Delana sambil memberikan uang pada
muridnya.
“Beli berapa, Kak?”
tanya Randi.
“Kalian berapa?” tanya
Delana balik.
“Dua belas, Kak.”
“Beli dua belas kalo
gitu. Sama snack, ya!” pinta Delana.
Randi menganggukkan
kepala. Ia bergegas pergi ke kantin mengajak beberapa teman untuk menemaninya.
“Gimana tadi
perasaannya di dalam?” tanya Delana.
“Tegang banget, Kak!”
sahut mereka.
“Sekarang udah lega,
kan?” tanya Delana.
Murid-muridnya
menganggukkan kepala.
“Kak ... Kak Dela sama
Kak Chilton serasi banget. Cantik sama ganteng. Kenapa nggak pacaran aja sih?”
tanya Sarah, salah satu murid SMA Delana.
Delana mengangkat kedua
alisnya sambil tertawa kecil. Sementara Chilton bergeming, wajahnya dingin.
Sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Iya, Kak. Kalo Kak
Dela nggak mau sama Kak Chilton, aku mau, kok,” sahut murid cewek yang lain.
Chilton tertawa kecil
mendengar celetukan muridnya. Ia menyondongkan badannya menatap murid-murid
yang ada di depannya. “Emangnya kamu belum punya pacar?” tanya Chilton.
“Belum, Kak. Kan aku
nunggu Kakak.”
“Nunggu apaan!?” sahut
Delana sambil melempar sepotong cokelat ke arah murid yang sedang menggoda
Chilton.
“Ciyee ... Kak Dela
cemburu!” seru mereka serentak.
Wajah Delana merah
padam begitu mendengar seruan murid-murid yang ada di depannya. Ia hanya
tertawa kecil. Perasaannya makin tak karuan karena terus digoda oleh
murid-murid SMA-nya.
“Udah! Jangan olokin
Kak Dela terus! Kasihan tuh pipinya udah merah kayak udang rebus,” tutur
Chilton.
“Eh!?” Delana menyentuh
pipinya yang menghangat. Ia semakin malu. Ia bangkit dari tempat duduknya.
“Mau ke mana, Kak?”
tanya Sarah.
“Ke toilet sebentar,”
jawab Delana dan langsung bergegas pergi ke toilet. Ia benar-benar gugup.
Murid-muridnya memang kerap kali menggoda dan membuatnya salah tingkah.
Delana menatap dirinya
di depan cermin. Ia membasahi wajahnya berkali-kali agar lebih rileks.
Sementara itu
murid-muridnya cekikikan di depan Chilton begitu Delana pergi ke toilet.
“Emang bener Kakak sama
dia cocok?” tanya Chilton.
“Banget!” seru
murid-muridnya.
“Kak Dela di mata
kalian seperti apa?”
“Cantik.”
“Baik.”
“Ramah.”
“Perhatian dan sayang
sama kita-kita!” seru murid-muridnya sambil tertawa ceria.
Chilton tersenyum.
Pribadi Delana memang sangat menyenangkan dan membuatnya merasa bahagia. Tapi,
Delana juga mudah menyukai cowok lain apalagi cowok-cowok tampan. Bisa saja
Delana meninggalkan dirinya ketika ia bertemu dengan cowok lain yang lebih
tampan.
“Eh, Kakak boleh tanya
lagi, nggak?” tanya Chilton sambil menatap pintu toilet untuk memastikan Delana
belum keluar dari toilet.
“Apa, Kak?” sahut
murid-murid serentak.
“Menurut kalian, di
tempat les ada nggak cowok-cowok yang ganteng selain Kakak?” tanya Chilton.
“Emangnya Kak Chilton
ganteng?” sahut Sarah sambil tertawa.
“Emang nggak ganteng, ya?” tanya Chilton sambil mengernyitkan dahinya.
“Ganteng banget, Kak!”
sahut murid-murid serempak sambil tertawa.
Chilton menghela napas.
“Ngomong sama kalian emang nggak bisa serius,” celetuknya sambil menyandarkan
tubuhnya ke kursi.
“Eh, si Randi datang!”
seru Sarah sambil merapikan rambutnya. Beberapa murid juga terlihat memperbaiki
posisi duduknya.
Chilton mengernyitkan
dahi begitu melihat reaksi cewek-cewek remaja saat Randi menghampiri mereka. Ia
baru menyadari kalau salah satu murid lesnya memang sangat tampan. Entah
kenapa, cowok-cowok tampan yang ada di sekelilingnya menjadi ancaman bagi
Chilton. Ia merasa Delana akan mempermainkan perasaannya.
“Kak Dela mana?” tanya
Randi.
“Lagi ke toilet.”
“Oh.” Randi langsung
membagi-bagikan minuman yang ia beli.
“Kak, ini untuk Kak
Dela.” Randi menyodorkan botol minuman ke arah Chilton.
“Dela udah bawa minum
sendiri,” jawab Chilton. Tapi ia tetap menerima pemberian dari Randi.
“Itu minuman kesukaan
Kak Dela,” tutur Randi.
Chilton mengernyitkan
dahinya. Bagaimana bisa muridnya tahu minuman favorite Delana. Ia yang selama
ini dekat dengan Delana, tidak tahu sama sekali kalau Delana suka dengan
minuman yang sedang ia pegang.
“Kak Dela sering nyuruh
kita beliin itu,” jelas Randi. Ia bisa memahami ekspresi wajah Chilton.
“Oh,” jawab Chilton. Ia
memperbaiki posisi duduknya. Ia melirik Delana yang berjalan mendekat ke arah
mereka.
Beberapa menit kemudian
pengumuman yang mereka tunggu pun tiba. Mereka tegang menanti pengumuman.
Delana terus berdoa, ia
berharap murid-muridnya bisa menjadi juara di bidangnya masing-masing. Karena,
hasil karya mereka juga akan membawa nama baik untuk tempat kursusnya.
Kebanggaan tersendiri untuknya ketika bisa mendampingi murid-murid berprestasi.
Satu muridnya berteriak
saat namanya disebut sebagai salah satu juara. Delana ikut bereaksi dan
langsung memeluk murid cewek yang menjadi juara cipta lagu.
Semuanya merasa senang
karena bisa mendapatkan banyak juara dari perwakilan lembaga kursus tempat
mereka belajar.
“Yang belum juara,
tetap semangat ya! Kalian masih muda, perjalanan masih panjang!” seru Delana.
“Iya, Kak,” sahut
mereka tetap ceria. Delana memang bisa memberikan keceriaan untuk
murid-muridnya. Ia tidak ingin murid-muridnya yang tidak mendapat juara
bersedih.
“Karena kita banyak
dapet juara, semuanya Kakak traktir makan!” seru Delana.
“Hore ...!” seru
murid-murid sambil meloncat kegirangan.
“Mau makan apa?” tanya
Delana.
“Terserah Kakak. Kita
mah ikut yang nraktir aja,” jawab Sarah.
“Mmh ... enaknya di
mana, ya?” tanya Delana sambil menatap Chilton.
“Makan mie ayam aja,
Kak! Kayaknya enak deh dingin-dingin gini makan yang anget-anget,” tutur salah
seorang murid.
Delana menatap langit
senja. Hari mulai gelap dan cuaca memang terasa sangat dingin.
“Oke, kita ke warung
mie ayam!” ajak Delana.
“Warung mie ayam yang
mana, Kak?” tanya murid yang membawa motor sendiri.
“Iya, ya? Enaknya di
mana, ya?”
“Yang deket tempat les
kita aja.”
“Yang selajur pulang
lah,” sahut lainnya.
“Mie Ayam Lik Min
gimana?” tanya Delana.
“Boleh. Di sana enak,
kok.”
“Oke. Kita cus ke
sana!” seru Delana.
Mereka langsung
bergegas menuju parkiran. Murid Delana masuk ke mobil satu persatu. Sementara
murid yang membawa motor sendiri sudah mengenakan helm dan bersiap keluar dari
parkiran Gedung Kesenian.
“Hati-Hati ... jangan
ugal-ugalan bawa motor!” seru Delana.
Murid-muridnya
mengacungkan jempol ke arah Delana dan bergegas pergi lebih dahulu.
Delana membuka pintu
mobil, masuk dan duduk di kursi paling depan, tepat di samping pengemudi yang
sudah bersiap sejak tadi.
“Perhatian banget sama
murid-murid ganteng,” celetuk Chilton.
Delana langsung menoleh
ke wajah Chilton yang tetap fokus mengeluarkan mobilnya dari parkiran. Ia
merasa tidak nyaman dengan celetukan Chilton. Entah kenapa, Chilton semakin
membuatnya merasa bersalah hanya karena dia menyukai cowok-cowok tampan.
Bukankah itu hal yang normal untuk seorang wanita? Hanya suka saja melihat
pemandangan indah, bukan berarti ingin mendapatkannya.
Murid-murid Delana yang
duduk di kursi belakang saling pandang. Mereka bisa merasakan perubahan yang
terjadi pada Chilton.
“Kak Chilton kenapa?”
bisik Sarah di telinga murid lainnya.
Yang ditanya hanya
mengedikkan bahu. “Kayaknya cemburu gara-gara Kak Dela banyak disukai cowok
ganteng,” balasnya berbisik sambil cekikikan.
“Salah sendiri nggak
mau cepet-cepet nembak. Kalo Kak Dela diambil orang duluan, baru tau rasa dia,”
sahut yang lainnya sambil berbisik.
“Kalian kenapa
bisik-bisik?” tanya Delana.
“Hehehe ... nggak papa,
Kak. Kita seneng aja banyak dapet juara dan ditraktir Kak Dela juga,” tutur
Sarah sambil tersenyum senang.
“Iya. Makasih ya, Kak!”
seru murid yang lainnya serempak.
Delana tersenyum.
“Iya.”
Mereka segera bergegas
ke warung mie ayam yang mereka maksud. Beberapa murid yang menggunakan sepeda
motor sudah sampai terlebih dahulu. Karena rombongan mereka lumayan banyak,
mereka membuat suasana warung menjadi riuh dengan celetukan dan candaan mereka.
Delana tersenyum
menatap murid-muridnya. Ia merasa bahagia melihat keceriaan mereka. Ia teringat
pada masa-masa remaja, masa yang begitu indah dan sulit untuk dilupakan begitu
saja. Ada keceriaan, persahabatan, cinta dan kasih sayang di masa-masa yang
tidak akan pernah terulang kembali dalam hidupnya.
((Bersambung ...))
.png)
0 komentar:
Post a Comment