Friday, June 6, 2025

Belajar Ikhlas dari Sebilah Pisau Kurban

 


Belajar Ikhlas dari Sebilah Pisau Kurban

oleh Rin Muna


Idul Adha tahun 2025 jatuh pada hari Jumat, 6 Juni. Sebagai ketua RT, aku memulai hari itu lebih awal dari biasanya. Suara takbir menggema lembut dari masjid kecil di ujung gang, mengiringi kesibukan warga yang mulai berdatangan ke halaman tempat pemotongan hewan kurban. Aku berdiri di tengah keramaian itu—antara aroma rerumputan basah, embun pagi, dan suara lembut takbir yang menggugah hati.

Menjadi ketua RT berarti bukan hanya memimpin rapat atau membagikan surat edaran. Hari itu, aku belajar memimpin dalam arti yang paling sederhana: memastikan pisau yang meneteskan darah menjadi alat kebaikan, bukan sumber kesombongan.

Pemotongan hewan kurban dimulai setelah salat Id. Para lelaki bergotong-royong, sementara panitia perempuan menyiapkan kantong-kantong plastik, timbangan, dan daftar penerima. Karena hari raya kali ini bertepatan dengan hari Jumat, prosesi sedikit berbeda. Saat para lelaki berangkat menunaikan salat Jumat, panitia perempuan bertugas menjaga daging kurban agar tidak dijamah oleh anjing dan kucing liar.

Aku teringat sabda Rasulullah ï·º,

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Maka apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik, dan apabila kamu menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik.”
(HR. Muslim, no. 1955)

Kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan latihan berbuat baik bahkan dalam tindakan yang keras. Panitia perempuan yang rela menjaga di bawah terik siang itu telah menjalankan “ihsan” dengan caranya sendiri—menjaga amanah agar rezeki umat tidak ternoda oleh kelalaian.

Usai salat Jumat, halaman kembali ramai. Tumpukan daging mulai ditimbang, dipotong, lalu dimasukkan ke dalam kantong-kantong putih. Wajah-wajah lelah tapi bahagia berseliweran di sekitarku. Ada yang mengelap keringat, ada yang diam-diam menahan air mata saat melihat warga miskin tersenyum menerima jatah kurban. Di antara bau amis daging dan debu tanah, aku merasakan sesuatu yang suci: rasa cukup.

Kata Al-Ghazali, “Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, tetapi hati yang tidak diperbudak oleh harta.”
Aku mengingatnya saat panitia membagikan bagian kulit sapi yang tersisa. Banyak yang enggan mengambil—barangkali karena repot mengolahnya. Aku mendapat cukup banyak, dan di sanalah ujian kecil itu datang.

Aku bisa saja membawa pulang semuanya. Tapi saat menatap kulkasku di benak, aku tahu: ruangnya terbatas, sebagaimana nafsu manusia yang seharusnya dibatasi. Aku mengambil secukupnya saja, mengingat firman Allah:

“Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(QS. Luqman: 18)

Kedermawanan bukan diukur dari seberapa banyak yang kita beri, melainkan dari seberapa tulus kita menahan diri. Di situ aku merasa, kebahagiaan yang paling hakiki adalah ketika tangan sudah ingin menggenggam, tapi hati memilih untuk melepaskan.

Menjadi ketua RT di hari raya kurban bukan hanya tentang mengatur warga atau memastikan daging terbagi rata. Ini tentang mengatur diri sendiri agar tidak rakus, tidak sombong, dan tidak menuntut lebih dari yang seharusnya.
Kegiatan ini mengajarkanku bahwa kurban sejatinya adalah pembakaran ego — sebagaimana Nabi Ibrahim rela mengorbankan Ismail bukan karena kebencian, melainkan karena ketaatan.

Kata filsuf muslim Ibnu ‘Arabi, “Pengorbanan adalah jalan untuk mengenali Tuhan melalui cinta.” Maka, ketika pisau itu meneteskan darah, sesungguhnya ia juga meneteskan kasih sayang. Saat daging dibagikan, bukan hanya perut yang kenyang, tetapi jiwa-jiwa yang merasa terhubung oleh nilai yang sama: berbagi tanpa pamrih.

Sore itu, ketika semua kantong daging sudah berpindah tangan, dan tanah mulai kering dari darah kurban, aku duduk di teras belakang rumah. Tanganku masih beraroma kulit sapi, dan di dadaku terasa damai yang sulit dijelaskan.
Aku teringat sabda Nabi ï·º:

“Tidak ada amalan anak Adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah selain menumpahkan darah (hewan kurban).”
(HR. Tirmidzi, no. 1493)

Dan barangkali, menumpahkan darah itu bukan hanya dalam arti fisik. Tapi juga simbol bahwa manusia harus rela menyembelih keinginan dirinya sendiri—keserakahan, ego, dan ambisi—agar hati menjadi lapang menerima rahmat-Nya.

Hari itu aku belajar bahwa menjadi manusia seutuhnya bukan tentang seberapa banyak kita miliki, tapi seberapa banyak kita mampu lepaskan. Dan dari sebilah pisau kurban yang sederhana, aku menemukan pelajaran yang lebih dalam dari sekadar ritual tahunan: bahwa setiap darah yang menetes adalah doa, setiap daging yang terbagi adalah cinta, dan setiap hati yang ikhlas adalah kurban yang sejati.




0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas