Pernah dengar ungkapan: “Kalau karyamu dibajak, berarti kamu terkenal”?
Maaf, saya bukan tipe penulis yang bisa senyum-senyum denger itu. Karena kenyataannya, dibajak itu nyebelin—dan lebih dari sekadar perkara “terkenal”. Itu tentang kerja keras yang dirampok tanpa permisi. Tentang begadang nulis bab per bab yang menghabiskan bergelas-gelas kopi, lalu bangun tidur ternyata ada orang iseng yang ubah karya kita jadi audiobook di YouTube dan ngaku-ngaku itu hiburan gratisan.
Dan itu yang terjadi pada novel saya, Menikahi Lelaki Brengsek.
Dibacain, direkam, diunggah, di-branding jadi konten “penuh perasaan” oleh akun bernama Diary Alluka. Keren? Tidak. Capek? Jelas. Emosi? Banget.
Banyak yang bilang, “Ya ampun, Rin... itu kan cuma dibacain ulang. Harusnya bangga dong...”
BANGGA dari Hongkong?
Lho, coba bayangin kamu jualan nasi goreng, capek-capek motong bawang, bikin resep sendiri, ngeluarin duit buat wajan dan gas, terus tiba-tiba ada orang comot nasi kamu, goreng ulang, terus jualan di TikTok sambil ngasih watermark nama dia.
Masih bangga?
Yang lebih nyesek lagi, video-video itu sudah puluhan episode. Diunggah satu per satu, kadang dipotong, kadang digabung, lalu diberi judul clickbait yang bikin penonton makin penasaran. Saya hitung manual—karena YouTube belum punya tombol "lapor massal"—dan saya harus klik, lapor, ulang, klik, lapor, ulang... kayak mantra sialan yang nggak selesai-selesai.
Lapor Satu per Satu = Neraka Mini
Sistem pelaporan YouTube memang ada. Tapi kalau kamu berharap itu proses yang sekali klik, langsung kelar—selamat datang di dunia nyata.
Butuh waktu, butuh energi, dan kadang butuh nahan napas karena YouTube suka pura-pura bodo.
Saya mesti isi form, tempelin link asli, buktiin saya pemilik karya (padahal nama saya jelas di cover, di metadata, di Google, dan di Goodreads!), terus nunggu berhari-hari buat satu notifikasi yang kadang cuma bilang: “Terima kasih, kami sedang meninjau laporan Anda.”
Hebatnya, sambil saya lapor satu video, mereka udah upload dua lagi.
Capek... tapi harus terus dilawan.
Bukan Sekadar Tentang Uang
Banyak yang anggap remeh: “Lagian ngapain ribut? Toh cuma dibaca, nggak dijual.”
Tapi gini, teman-teman: hak cipta itu bukan sekadar uang. Ini tentang martabat. Tentang nama baik. Tentang penghargaan terhadap proses kreatif.
Kalau orang bisa dengan mudahnya mencuri karya, terus ditonton ribuan orang, dipuji-puji pula karena “suara naratornya enak”—terus penulis aslinya kayak makhluk tak kasat mata...
Lalu siapa yang bakal percaya pentingnya menulis?
Hari Ini Lelah, Besok Lawan Lagi
Saya bukan pahlawan. Saya juga penulis yang kadang nulis sambil nahan lapar, atau sambil mikirin tagihan listrik. Tapi saya percaya satu hal:
"Kalau kita nggak jaga karya kita sendiri, siapa lagi yang mau?"
Buat kamu yang juga pernah dibajak, jangan diam. Suaramu penting.
Dan buat kamu yang hobi repost karya orang lain tanpa izin, berhenti sekarang.
Karya orang bukan konsumsi publik gratisan.
Jadi ya, ngurus pelanggaran hak cipta itu memang capek. Tapi lebih capek lagi kalau kita biarin. Maka... walau pelan, walau sendirian, saya akan terus klik tombol laporkan pelanggaran—sampai video terakhir itu hilang, dan hak saya kembali ke tempat yang seharusnya.
Ditulis di antara jeda ngopi dan lapor video bajakan ke-47
-Rin Muna-
Penulis yang bukan cuma nulis, tapi juga belajar bela karya sendiri.
.png)
0 komentar:
Post a Comment