Sejak Kapan Tambang Nikel di Raja Ampat Beroperasi?
https://pariwisataindonesia.id/wp-content/uploads/2022/07/
Tambang nikel di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag, mulai beroperasi
secara resmi pada tahun 2018. PT Gag Nikel, anak perusahaan dari PT Aneka
Tambang (Antam), memegang Kontrak Karya Generasi VII yang ditandatangani pada
tahun 1998. Namun, aktivitas penambangan sempat tertunda karena perubahan
status hutan di Pulau Gag menjadi hutan lindung pada tahun 1999, yang melarang
penambangan terbuka di kawasan tersebut. Setelah mendapatkan izin lingkungan
pada tahun 2014, PT Gag Nikel memulai operasi produksinya pada tahun 2018.
Sejak beroperasi, PT Gag Nikel telah memberikan kontribusi signifikan kepada
negara melalui setoran pajak dan non-pajak, yang mencapai lebih dari Rp2,1
triliun hingga tahun 2023.
Namun, keberadaan tambang ini juga menimbulkan kontroversi. Beberapa pihak
mengkhawatirkan dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi wisata di Raja
Ampat. Aktivitas pertambangan diduga menyebabkan kerusakan pada ekosistem laut,
termasuk terumbu karang, serta menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat
adat setempat terkait hak ulayat dan keterlibatan dalam operasi tambang.
Beberapa pulau di Raja Ampat telah menjadi lokasi aktivitas pertambangan
nikel, baik yang sedang berlangsung maupun yang direncanakan. Pulau-pulau tersebut ialah Pulau Gag,
Pulau Kawei, Pulau Manuran dan Pulau Waigeo, Pulau Manyaifun dan Pulau
Batang Pele, dan Pulau Monora.
Perlu dicatat bahwa ekspansi pertambangan di wilayah Raja Ampat telah
menimbulkan kekhawatiran serius terkait dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Masyarakat adat dan berbagai organisasi lingkungan telah menyuarakan penolakan
terhadap aktivitas pertambangan yang dianggap mengancam ekosistem laut yang
kaya dan mata pencaharian masyarakat setempat yang bergantung pada sektor
perikanan, pertanian, dan pariwisata.
Greenpeace adalah salah satu organisasi yang gencar melakukan kampanye atas
penolakan aktivitas pertambangan di lima pulau yang ada di Raja Ampat melalui
berbagai upaya kampanye dan advokasi.
Greenpeace menyoroti beberapa ancaman utama terhadap terumbu karang di Raja
Ampat, seperti penangkapan ikan dengan cara merusak, pencemaran sampah plastik,
dan dampak perubahan iklim. Organisasi ini menekankan bahwa sekitar 35,15% dari
2,5 juta hektare terumbu karang di Indonesia dalam kondisi rusak, berdasarkan
data LIPI pada 2017.
Greenpeace bekerja sama dengan masyarakat adat di Raja Ampat, seperti Suku
Maya, untuk memperkuat perlindungan sumber daya alam. Masyarakat adat menyambut
baik dukungan Greenpeace dalam menjaga laut dan hutan yang menjadi sumber
kehidupan mereka.
Sumber berita:
https://hariannkri.id/18938/aktifitas-pertambangan-pt-gag-nikel-rusak-potensi-wisata-raja-ampat/?utm
https://hariannkri.id/18938/aktifitas-pertambangan-pt-gag-nikel-rusak-potensi-wisata-raja-ampat/?utm
https://responsibleminingindonesia.id/id/corporate/31
https://www.satukanindonesia.com/masyarakat-adat-tolak-pertambangan-nikel-di-raja-ampat/?utm
https://jatam.org/id/lengkap/pulau-pulau-yang-terancam
https://www.satukanindonesia.com/masyarakat-adat-tolak-pertambangan-nikel-di-raja-ampat/
https://nasional.kompas.com/read/2008/03/08/19042037/penambangan.nikel.raja.ampat.terhenti
https://www.liputan6.com/news/read/187604/pulau-kawei-terancam-penambangan-nikel
https://suarapapua.com/2023/09/22/menjual-surga-demi-ambisi-investasi-ev-di-pulau-gag-raja-ampat/
http://www.xinhuanet.com/english/2018-03/19/c_137050432.htm
https://www.antaranews.com/berita/694690/jangkar-kapal-wisata-bahayakan-terumbu-karang-raja-ampat
0 komentar:
Post a Comment