Wednesday, September 24, 2025

THEN LOVE BAB 26 : Cerita Masa SMA

 


“Hai, Bungas!” sapa Aravin saat Delana duduk di kursi taman sekolah.

“Hai ...!” sapa Delana balik dan langsung mempersilakan Aravin untuk duduk di sampingnya.

“Kamu mau lanjut kuliah ke mana?” tanya Aravin.

Delana mengedikkan bahunya. “Nggak tahu. Belum kepikiran,” jawab Delana.

“Ke Jakarta sama aku, gimana?” tanya Aravin.

Delana menatap Aravin. “Serius?’ tanyanya dengan mata berbinar.

Aravin menganggukkan kepala.

Delana menghela napas lesu. “Otakku pas-pasan. Mana bisa ikut satu universitas sama kamu,” gumam Delana.

“Bisa.”

“Caranya?” Delana mengangkat kedua alisnya.

“Aku kasih kamu les tambahan tiap pulang sekolah. Gimana?” tanya Aravin.

“Mmh ...” Delana memutar bola matanya. “Bayarannya mahal ya?”

“Nggak usah bayar,” sahut Aravin.

“Serius?” tanya Delana menatap Aravin dengan ekspresi menahan kebahagiaan. Rasanya, ia ingin memeluk cowok yang ada di depannya itu.

“Eh, tapi ...”

“Kok, ada tapinya?” tanya Delana merengut.

“Aku pengen makan kue buatan kamu pas aku lagi ngasih les tambahan. Jadi, kamu harus siapin cemilan buat aku setiap hari!” pinta Aravin.

“Mmh ...” Delana mengetuk-ngetuk dagunya.

“Katanya lagi belajar masak? Kalo kamu masak menu baru setiap hari, pasti deh kamu bakal jago masak,” tutur Aravin.

“Iya juga ya?” tanya Delana.

“Gimana? Deal?” tanya Aravin sambil mengulurkan tangannya.

“Oke. Siapa takut!?” Delana tersenyum sambil membalas uluran tangan Aravin.

Sejak hari itu, Aravin selalu menyempatkan waktu memberikan pelajaran tambahan untuk Delana sepulang sekolah.

Aravin sangat berharap kalau Delana bisa menghabiskan waktu bersamanya di Ibukota. Ia bersemangat memberikan kursus tambahan untuk Delana.

Delana pun demikian, demi bisa melanjutkan kuliahnya ke Ibukota bersama Aravin. Ia belajar giat siang dan malam. Alhasil, nilai ujian kenaikan kelas selalu bagus dan lebih tinggi dari target yang diinginkan Delana.

“Vin, makasih ya! Berkat kamu, nilai-nilai ujian kenaikan kelasku terus membaik. Nggak tahu deh gimana kalo nggak ada kamu,” tutur Delana saat mereka baru saja menerima rapor kenaikan kelas ke kelas dua belas.

Aravin tersenyum. “Semuanya karena kamu juga giat buat belajarnya.”

“Tapi, kalo nggak ada kamu. Aku nggak mungkin mau belajar. Kamu tahu sendiri kalo aku males belajar apalagi cuma sendirian di kamar. Rasanya sepi banget.”

Aravin tersenyum sambil mengacak ujung kepala Delana.

“Sore ini ada waktu?” tanya Aravin.

“Mmh ... kalo kamu nggak kasih les tambahan, sepertinya ada waktu,” jawab Delana sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuknya.

“Kayaknya emang harus libur supaya kita ada waktu buat ngerayain perkembangan belajar kamu,” tutur Aravin.

“Hah!? Maksudnya? Bikin pesta gitu?” tanya Delana.

“Nggak semua perayaan harus dengan pesta. Kita bisa ngerayain berdua aja. Di pantai,” tutur Aravin.

Delana mengerutkan kening, ia terlihat berpikir. Merayakan sebuah perayaan kecil bersama sepertinya bukan ide yang buruk.

“Gimana?” tanya Aravin.

“Boleh. Pantai mana?” tanya Delana.

“Kamu lebih suka mana? Kemala atau Monpera?” tanya Aravin.

“Dua-duanya aku suka,” jawab Delana.

“Ya udah, kita ke dua tempat sekaligus. Gimana?” tanya Aravin.

“Idih, satu aja lah.”

“Dua-duanya juga nggak papa. Deketan aja pantainya.”

“Hmm ... iya, sih. Tapi, kalo ke sana sore-sore, pasti pulangnya malam. Gimana kalo kita ke Pantai Monpera aja? Kayaknya suasana di sana kalo sore lebih asyik.”

“Oke, deh. Kalo gitu, aku jemput kamu ke rumah jam empat sore ya!” tutur Aravin.

Delana menganggukkan kepala.

 

***

“Bel, si Aravin ngajak aku jalan ke pantai,” tutur Delana pada dua sahabatnya yang kebetulan sedang berada di kamar Delana sepulang sekolah.

“Hah!? Serius?” tanya Ivona.

“Terus?” tanya Belvina menatap Delana.

“Mmh ... ya, nanti jam empat sore dia jemput aku.”

“Kalian itu belum pacaran kan?” tanya Ivona menyelidik.

Delana menggelengkan kepala.

“Tapi, deket banget. Udah kayak orang pacaran aja,” sahut Belvina.

“Kenapa nggak pacaran aja sekalian?” tanya Ivona.

“Masa aku yang mau nembak dia duluan? Gengsi dong!” sahut Delana.

“Iya, juga sih. Jadi, kamu nunggu ditembak sama Aravin?” tanya Belvina.

Delana menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Kalo seandainya dia nggak akan pernah nembak kamu gimana?” tanya Belvina.

Delana merengut. Ia langsung menimpuk Belvina menggunakan guling yang ia pegang.

“Kok, marah sih? Bisa aja kan dia suka sama kamu tapi nggak punya keberanian buat ngungkapin perasaannya sendiri,” tutur Belvina.

“Eh, dia belum pernah ngungkapin perasaannya ke kamu, Del?” tanya Ivona.

Delana menggelengkan kepala.

“Aneh. Kalian udah deket banget dari SMP. Udah kayak orang pacaran. Ke mana-mana berdua. Udah kayak truck gandeng, tapi nggak ada status yang jelas,” gumam Ivona.

“Aku yakin kalo Aravin suka sama aku,” sahut Delana.

“Itu sih, kita juga tahu. Kalo nggak suka, ngapain dia bantuin kamu berjuang buat dapet nilai bagus? Tujuannya sudah jelas. Dia pengen kamu bisa lanjut kuliah bareng dia kan?” tanya Belvina.

Delana menganggukkan kepala.

“Kenapa dia nggak nembak kamu sampe sekarang? Kita udah kelas tiga. Dan kalian udah ngejalani banyak hal bareng selama dua tahun belakangan ini. Apa nggak ada keinginan buat pacaran?” Ivona menatap serius ke arah Delana.

“Dia nganggep aku sahabat, gitu juga sebaliknya.”

“Bulshit lah! Mana ada sahabat kayak gitu. Nggak ada kata persahabatan antara dua orang laki-laki dan perempuan. Yang ada saling peduli karena kalian cinta,” tutur Belvina.

Delana bergeming. Ia tak tahu apa lagi yang harus ia sampaikan pada dua temannya itu. Selama ini, Delana dan Chilton nyaman menjadi teman baik. Walau tidak bisa dipungkiri kalau pada akhirnya Delana jatuh cinta pada pria istimewa yang sudah mengisi hari-hari remajanya.

 

***

Tepat jam empat sore, Aravin sudah menjemput Delana dan  mengajaknya pergi ke Monpera. Monpera adalah akronim dari Monumen Perjuangan Rakyat. Terletak di tepi pantai, Monpera menjadi salah satu tempat nongkrong favorite anak-anak muda Balikpapan.

“Mau gado-gado?” tanya Aravin saat melihat penjual gado-gado yang berjualan di tepi taman.

Delana tak langsung menjawab, ia terlihat berpikir.

“Aku traktir. Gado-gado di sini rasanya enak banget.” Aravin langsung menarik lengan Delana. Ia mengajak Delana menikmati gado-gado ditemani semilir angin laut yang menyapa tubuh mereka setiap detik.

“Bung, aku optimis banget kalo kamu bisa masuk Universitas Indonesia,” tutur Aravin.

Delana tersenyum menatap Aravin. “Oh ya? Kamu yakin banget.”

“Iya. Aku lihat perkembangan nilai kamu bagus banget. Jadi, kita bisa satu kampus kalo udah kuliah nanti,” tutur Aravin penuh semangat.

Delana mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menatap langit biru yang mulai berubah jingga.

“Kita ke sana yuk!” ajak Aravin sambil menunjuk jembatan panjang yang menjorok ke laut.

“Ngapain?” tanya Delana.

“Nikmatin sunset.” Aravin bangkit, ia mengulurkan tangannya ke arah Delana.

Delana menyambut uluran tangan Aravin dan mengikuti langkah Aravin menuju jalan panjang yang sengaja dibangun menjorok ke lautan. Di sana, mereka bisa merasakan angin kencang menerpa tubuh mereka.

Aravin duduk di ujung jembatan, menyusul Delana di sampingnya.

“Nggak terasa kita udah berteman lama banget,” tutur Delana.

Aravin mengangkat kedua alisnya. “Kamu baru sadar?’ tanyanya sambil menahan tawa.

Delana mengangguk kecil. “Mungkin aku terlambat menyadari itu.”

Aravin menoleh ke arah Delana yang duduk di sampingnya. Delana tetap serius menatap langit dan lautan yang terbentak luas di hadapannya.

“Aku harap kita bisa kayak gini terus. Jadi teman baik,” tutur Aravin.

DEG!

Tiba-tiba jantung Delana serasa ingin berhenti mendengar kata ‘teman baik’ yang keluar dari mulut Aravin. Sejauh ini Aravin hanya menganggapnya sebagai teman baik. Padahal, Delana berharap lebih dari sekedar teman baik. Delana ingin menjadi kekasih Aravin.

   Aravin menatap wajah Delana. Ia sudah lama menunggu saat seperti ini. Tapi, perasaannya justru mengacaukan semua rencana yang sudah ia susun rapi. Harusnya, hari ini ia bisa mengungkapkan perasaannya pada Delana. Tapi, setiap kali melihat wajah Delana, ia takut kehilangan hari-hari bersama Delana dan membuatnya kehilangan kata-kata. Ia takut kalau Delana akan menolak perasaannya.

Delana mencoba tersenyum, walau di matanya terlukis rasa kecewa. “Aku harap juga begitu,” tutur Delana.

“Nggak terasa, sebentar lagi kita lulus SMA, kuliah dan bakal nikah,” ucap Aravin sambil menatap langit di depannya.

“Eh!? Nikah?”

Aravin tersenyum. “Emang kamu nggak pengen nikah?”

“Ya, pengen lah. Tapi ...”

“Kenapa?”

“Nggak tahu mau nikah sama siapa.”

“Sama orang yang kamu cintai.”

“Aku nggak tau orang itu siapa?” Delana menatap Aravin lewat ekor matanya.

“Suatu saat kamu bakal nemuin orang itu,” sahut Aravin. “Aku selalu membayangkan pernikahan yang indah, punya istri yang baik dan anak-anak yang lucu.”

Delana tertawa kecil mendengar ucapan Aravin. Ia tidak menyangka kalau Aravin punya bayangan masa depan sejauh itu. Ia pun ikut membayangkan dirinya mengenakan sebuah gaun pengantin yang indah. Hampir semua remaja akan selalu memikirkan sebuah pernikahan di masa depan, itu hal yang wajar.

“Kamu sendiri, apa pernah membayangkan kamu pake gaun pengantin?” tanya Aravin sambil menatap wajah Delana.

Delana balas menatap Aravin sambil tersenyum. “Aku rasa itu hal yang biasa dibayangkan oleh hampir semua remaja. Pernikahan impian layaknya pernikahan seorang pangeran dan puteri kerajaan. Itu salah satu alasan kenapa banyak cewek suka sama cerita-cerita Disney.”

Aravin tersenyum. Ia menatap lekat mata Delana. Ia tahu kalau wanita suka diperlakukan secara istimewa. Ia ingin sekali bisa mewujudkan itu. Delana adalah satu-satunya wanita yang ada dalam bayangan masa depannya. Ia berharap, Tuhan akan memberikan jalan yang mudah untuk bisa menyatukan mereka.

“Kita masih terlalu muda buat ngomongin soal pernikahan,” celetuk Delana.

“Why? Banyak yang baru lulus SMA sudah nikah. Bahkan, ada yang masih usia SMA sudah punya anak,” sahut Aravin.

“Hmm ... iya, sih. Tapi, aku belum kepikiran sampe ke sana. Rasanya aneh kalo masih muda dan harus ngurus anak,” tutur Delana.

“Itu tergantung pemikiran orangnya sih. Ada beberapa orang yang pemikirannya sudah dewasa sebelum waktunya. Jadi, ada aja yang nikah muda.”

“Udah, ah. Ngomongin nikah mulu. Aku kan jadi pengen. Cerita yang lain aja!” ucap Delana sambil tertawa kecil.

Aravin tergelak mendengar candaan Delana.

“Malah diketawain!” ucap Delana sambil meninju bahu Aravin.

Aravin hanya menahan tawa sambil mengelus bahunya yang terasa sedikit nyeri.

Mereka menikmati senja di tepi pantai sambil bersenda gurau.

“Vin, kita ke sana yuk! Kayaknya asyik deh!” Delana menunjuk beberapa orang yang sedang bermain air di tepi pantai pantai.

“Yuk!” Aravin langsung bangkit. Ia mengulurkan tangan ke arah Delana dan langsung disambut dengan senang hati oleh Delana.

“Ini jembatan berapa meter ya panjangnya?” tanya Delana sambil menatap jembatan beton yang ia pijak.

“Mau ngukur?” tanya Aravin.

“Kurang kerjaan,” celetuk Delana.

Aravin tertawa kecil. Ia membungkuk di depan Delana. “Ayo, naik!” ajak Aravin menyiapkan punggungnya untuk menggendong Delana.

“Ih, aku bukan anak kecil,” ucap Delana sambil tertawa kecil.

“Punggungku bukan cuma untuk anak kecil kok,” ucap Aravin. Ia menggerakkan kepala sebagai isyarat agar Delana segera naik ke atas punggungnya.

Delana tersenyum. Ia mendekatkan tubuhnya. Meletakkan kedua tangannya di atas bahu Aravin. Dengan cepat Aravin mengangkat tubuh Delana naik ke atas punggungnya.

“Berat?” tanya Delana.

Aravin menggelengkan kepala. Ia melangkahkan kaki sambil menggendong Delana  turun ke tepi pantai. Sesekali ia berlari dan bercanda ingin menjatuhkan Delana dari atas jembatan. Membuat Delana berteriak histeris, kemudian tertawa lagi. Aravin menurunkan tubuh Delana saat mereka sudah berada di bibir pantai.

Delana melepas sandal yang ia kenakan dan membiarkan kakinya basah terkena air laut. Di bawah cahaya matahari yang mulai berganti dengan rembulan, mereka menghabiskan waktu bersama di tepi pantai penuh canda tawa.

 

***

“Hei ...!” Atma menyapa Delana yang sedang mengerjakan tugas di perpustakaan sekolah.

“Hei ... ngerjain apa?” tanya Delana pada Atma.

“Nyari buku sejarah Kerajaan Kutai.” Atma menunjukkan buku yang ia maksud. “Kamu tumben banget nggak bareng Aravin?” tanya Atma.

“Dia lagi disuruh ke ruang guru,” jawab Delana.

Atma langsung duduk di hadapan Delana.

“Pantesan aja. Biasanya udah kayak gula ama semut,” celetuk Atma.

Delana meringis sambil menatap Atma. Kemudian kembali fokus mengerjakan tugas.

“Del, kamu sama Aravin belum jadian?” tanya Atma setengah berbisik.

Delana menganggukkan kepala.

“Aku kan udah bilang kalo dia itu nggak suka beneran sama kamu. Buktinya, dia nggak pernah ngungkapin perasaannya ke kamu kan? Cuma mainin kamu doang. Kalo dia suka sama kamu, dia pasti udah nembak kamu,” tutur Atma.

Delana mendongakkan kepala menatap Atma. Ia menimbang-nimbang ucapan Atma.

“Del, banyak cowok yang begitu. Deketnya sama siapa, jadiannya sama siapa,” tutur Atma.

Delana menghela napas. Ia sudah seringkali mendengar Atma membicarakan soal keraguan perasaan Aravin.

“Mending sama aku aja!” Atma tersenyum sambil memainkan kedua alisnya.

Delana mengerutkan dahinya. Ia sama sekali tidak tertarik dengan Atma walau dia termasuk dalam deretan cowok tampan di sekolahnya.

“Bercanda!” Atma mengibaskan buku di depan wajah Delana. “Serius amat nanggepinnya!” celetuknya.

Delana tersenyum kecil menanggapinya.

“Eh, tapi kalo soal Aravin, aku serius.”

“Udah, deh. Kamu nggak usah jelek-jelekin Aravin terus di depan aku. Biar gimana pun, dia tetep temen kamu.”

“Aku kayak gini karena aku temen dia dan temen kamu juga. Aku nggak mau kalo kamu cuma dipermainin aja sama Dia.”

“Nggak ada yang dipermainkan atau mempermainkan. Kita cuma temenan,” sahut Delana.

Atma tertawa kecil. “Temen tapi demen?”

Delana menyunggingkan sedikit senyum. Ia mulai tidak nyaman dengan pernyataan dan pertanyaan dari Atma.

“Kamu tahu nggak kenapa dia manggil kamu Bungas?” tanya Atma.

“Itu panggilan sayang dia buat aku,” jawab Delana sambil tersenyum ceria.

“Panggilan sayang kok kayak gitu? Kamu tahu nggak artinya apa?”

Delana menggelengkan kepala.

“Dalam bahasa Melayu Sambas, bungas itu artinya cuci muka. Mungkin, maksudnya dia itu kamu harus rajin cuci muka biar nggak kucel,” tutur Atma sambil tertawa.

Delana membelalakkan matanya. “Serius itu artinya?”

“Tanya aja sana!”

“Kata Aravin, itu artinya cantik.”

“Mana berani sih dia jujur di depanmu,” sahut Atma sambil tertawa geli.

Delana langsung sakit hati mendengar pernyataan Atma. Ia sangat kesal dengan sikap Aravin yang hanya pura-pura baik di depannya. Ternyata, ia jauh lebih menyebalkan dari Atma. Kalau memang suka, kenapa harus menghinanya seperti ini.

Delana menutup buku pelajaran. Ia bangkit dari tempat duduknya dan langsung bergegas pergi dengan perasaan kesal.

Delana melangkahkan kaki menyusuri koridor sekolah. Bulir-bulir air matanya berjatuhan di pipi tanpa ia sadari. Ia tak peduli dengan beberapa murid yang menatapnya penuh tanya.

“Kamu kenapa?” tanya Aravin yang kebetulan berpapasan dengan Delana.

Delana menatap wajah Aravin penuh kesedihan dan kekesalan. Ia meninju dada Aravin dan bergegas pergi.

“Bung, kamu kenapa sih?” Aravin menarik lengan Delana.

“Nggak usah panggil aku Bungas!” sentak Delana sambil menepiskan tangannya.

Aravin terkejut dengan ucapan Delana. Ia mengejar Delana dan menarik lengannya. “Kamu kenapa?” tanya Aravin dengan nada tinggi, ia mencengkeram tangan Delana agar tidak pergi dari hadapannya. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba cewek itu menangis dan membentaknya. Ini jelas membuatnya merasa bersalah.

“Lepasin!” teriak Delana berusaha melepaskan genggaman tangan Aravin.

“Bilang dulu sama aku, kamu kenapa?” tanya Aravin.

“Aku nggak mau kamu panggil aku Bungas lagi!” seru Delana.

“Kenapa?” tanya Aravin.

“Bungas itu artinya cuci muka kan? Secara nggak langsung kamu udah ngatain aku kucel,” tutur Delana tanpa bisa menahan kesedihan di hatinya.

“Hah!? Siapa yang bilang begitu?” tanya Aravin terkejut.

“Jadi? Bener kan?” tanya Delana saat melihat reaksi Aravin.

“Enggak, Del. Artinya nggak gitu,” sahut Aravin.

“Terus apa?” teriak Delana.

Aravin menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan diri menghadapi Delana yang penuh emosi.

Delana meneepiskan tangan Aravin, tapi Aravin meraihnya kembali.

“Aku bisa jelasin,” tutur Aravin lembut.

“Nggak ada yang perlu dijelasin!” Delana menepiskan kembali tangan Aravin dan berjalan menjauh.

“Dela ...!” teriak Aravin terus mengejar Delana.

Delana tidak peduli, ia terus berjalan menjauhi Aravin.

Aravin berlari lebih cepat dan menghadang tubuh Delana. “Del, dengerin aku dulu!”

“Nggak ada yang perlu didengerin!” seru Delana.

Aravin menggenggam pundak Delana. “Del, asal kamu tahu. Bungas itu artinya cantik. Kamu tuh cewek paling cantik yang selama ini aku kenal. Dan nggak mungkin aku ngatain kamu kucel,” tutur Aravin perlahan.

“Aku nggak percaya!”

“Aku sayang sama kamu. Aku nggak mungkin ngatain kamu kayak gitu!”

Delana tak bisa menerima dengan baik ucapan Aravin. Ia sudah terlanjur sakit hati dan tidak bisa berpikir jernih.

Aravin menatap lekat mata Delana. Tepat di manik mata indah Delana, ada banyangan wajahnya yang sedang tersenyum. Ia tidak bisa membuat Delana salah paham seperti ini. Tidak seharusnya ia membiarkan Delana salah mengartikan panggilan sayang yang ia berikan pada Delana.

“Del ...” tutur Aravin lirih, ia tak berani memanggil Delana dengan kata Bungas lagi karena itu akan menambah emosi Delana. “Aku cinta sama kamu,” ucapnya berbisik.

Delana tertegun mendengar ucapan Aravin. Ia menatap lekat cowok yang ada di depannya. Kata cinta yang diucapkan Aravin seharusnya membuat dia bahagia, tapi hatinya justru tersayat. Ia tak bisa menahan kesedihan. Air matanya mengalir semakin deras. “Aku juga cinta sama kamu. Tapi, nggak seharusnya kamu mulai hubungan ini dengan penghinaan.” Delana menepiskan tangan Aravin dari bahunya.

“Aku nggak ngehina kamu,” sahut Aravin. Ia langsung memeluk tubuh Delana. Ia tak ingin kehilangan gadis yang selama ini ia cintai.

“Lepasin!” sentak Delana sambil mendorong tubuh Aravin. Delana membalikkan tubuhnya dan bergegas pergi meninggalkan Aravin. Ia merasa begitu terluka dengan sikap Aravin yang mempermainkannya.

“Dela ... dengerin aku dulu!” teriak Aravin sambil mengejar Delana.

Delana menghentikan langkahnya. Ia membalikkan tubuh menghadap Aravin yang mengikutinya dari belakang. “Anggap aja kita nggak pernah kenal!”

Aravin menggelengkan kepala. “Aku nggak bisa.”

Delana tidak peduli. Ia kembali membalikkan tubuhnya dan berlari menjauhi Aravin.

Aravin tetap tak mau menyerah. Ia terus mengejar Delana yang masih menangis.

Delana masuk ke dalam toilet dan mengunci pintu rapat-rapat. Aravin tetap tidak peduli, ia tetap mengejar Delana dan mengetuk pintu toilet.

“Del ... dengerin aku! Aku sama sekali nggak ada niat ngehina kamu sedikitpun.” Aravin melirik beberapa pasang mata cewek sekolah yang menatapnya aneh karena masuk ke dalam toilet cewek.

“Eh!? Cowok kok masuk sini sih?” teriak salah satu cewek.

“Sorry ...! Aku cuma ...” Aravin langsung berlari keluar karena cewek itu berteriak dan membuat yang lain bereaksi mengusir Aravin bersama-sama.

“Aargh ... sial!” umpat Aravin sambil menendang pintu toilet.

Sejak hari itu, hubungan Aravin dan Delana terus memburuk. Mereka tidak lagi menjadi teman baik, tidak pula menjadi sepasang kekasih walau saling mencintai.

 

***

Delana menghela napas sambil menatap isi kotak yang ada di tangannya. Ia menutupnya kembali dan membawanya keluar dari kamar. Ia melangkahkan kaki menuju pintu belakang yang ada di dapurnya. Ia membuang kotak kenangan itu ke dalam tempat sampah.

Delana masuk ke dapur untuk mengambil korek. Ia membakar kotak berisi foto-fotonya bersama Aravin.

Delana tersenyum menatap gambar-gambar Aravin yang berubah menjadi abu satu per satu. Sudah saatnya ia menghapus kenangan masa lalunya dengan Aravin. Ia tidak bisa membiarkan kenangan itu terus ada di dalam rumah dan membawanya kembali pada kejadian beberapa tahun silam.

Saat ini dia sudah bahagia bersama Chilton. Cowok yang selama ini mengisi hari-harinya. Membuatnya belajar mencintai dengan cara dewasa. Membuatnya mengerti bahwa cinta tidak tumbuh begitu saja.

Kata orang, cinta bisa tumbuh dengan sendirinya. Tapi, kataku tidak. Sebab aku tanam benih-benih cinta di hatimu. Kujaga dan kurawat penuh kasih sayang, sampai cinta itu tumbuh,” bisik Delana pada bayangan Chilton yang terlukis di langit. Bayangan yang tersenyum kepadanya. Memberinya sebuah harapan cinta dan kebahagiaan dalam hati Delana.

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas