“Hai,
Bungas!” sapa Aravin saat Delana duduk di kursi taman sekolah.
“Hai
...!” sapa Delana balik dan langsung mempersilakan Aravin untuk duduk di
sampingnya.
“Kamu
mau lanjut kuliah ke mana?” tanya Aravin.
Delana
mengedikkan bahunya. “Nggak tahu. Belum kepikiran,” jawab Delana.
“Ke
Jakarta sama aku, gimana?” tanya Aravin.
Delana
menatap Aravin. “Serius?’ tanyanya dengan mata berbinar.
Aravin
menganggukkan kepala.
Delana
menghela napas lesu. “Otakku pas-pasan. Mana bisa ikut satu universitas sama
kamu,” gumam Delana.
“Bisa.”
“Caranya?”
Delana mengangkat kedua alisnya.
“Aku
kasih kamu les tambahan tiap pulang sekolah. Gimana?” tanya Aravin.
“Mmh
...” Delana memutar bola matanya. “Bayarannya mahal ya?”
“Nggak
usah bayar,” sahut Aravin.
“Serius?”
tanya Delana menatap Aravin dengan ekspresi menahan kebahagiaan. Rasanya, ia
ingin memeluk cowok yang ada di depannya itu.
“Eh,
tapi ...”
“Kok,
ada tapinya?” tanya Delana merengut.
“Aku
pengen makan kue buatan kamu pas aku lagi ngasih les tambahan. Jadi, kamu harus
siapin cemilan buat aku setiap hari!” pinta Aravin.
“Mmh
...” Delana mengetuk-ngetuk dagunya.
“Katanya
lagi belajar masak? Kalo kamu masak menu baru setiap hari, pasti deh kamu bakal
jago masak,” tutur Aravin.
“Iya
juga ya?” tanya Delana.
“Gimana?
Deal?” tanya Aravin sambil mengulurkan tangannya.
“Oke.
Siapa takut!?” Delana tersenyum sambil membalas uluran tangan Aravin.
Sejak
hari itu, Aravin selalu menyempatkan waktu memberikan pelajaran tambahan untuk
Delana sepulang sekolah.
Aravin
sangat berharap kalau Delana bisa menghabiskan waktu bersamanya di Ibukota. Ia
bersemangat memberikan kursus tambahan untuk Delana.
Delana
pun demikian, demi bisa melanjutkan kuliahnya ke Ibukota bersama Aravin. Ia
belajar giat siang dan malam. Alhasil, nilai ujian kenaikan kelas selalu bagus
dan lebih tinggi dari target yang diinginkan Delana.
“Vin,
makasih ya! Berkat kamu, nilai-nilai ujian kenaikan kelasku terus membaik.
Nggak tahu deh gimana kalo nggak ada kamu,” tutur Delana saat mereka baru saja
menerima rapor kenaikan kelas ke kelas dua belas.
Aravin
tersenyum. “Semuanya karena kamu juga giat buat belajarnya.”
“Tapi,
kalo nggak ada kamu. Aku nggak mungkin mau belajar. Kamu tahu sendiri kalo aku
males belajar apalagi cuma sendirian di kamar. Rasanya sepi banget.”
Aravin
tersenyum sambil mengacak ujung kepala Delana.
“Sore
ini ada waktu?” tanya Aravin.
“Mmh
... kalo kamu nggak kasih les tambahan, sepertinya ada waktu,” jawab Delana
sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuknya.
“Kayaknya
emang harus libur supaya kita ada waktu buat ngerayain perkembangan belajar
kamu,” tutur Aravin.
“Hah!?
Maksudnya? Bikin pesta gitu?” tanya Delana.
“Nggak
semua perayaan harus dengan pesta. Kita bisa ngerayain berdua aja. Di pantai,”
tutur Aravin.
Delana
mengerutkan kening, ia terlihat berpikir. Merayakan sebuah perayaan kecil
bersama sepertinya bukan ide yang buruk.
“Gimana?”
tanya Aravin.
“Boleh.
Pantai mana?” tanya Delana.
“Kamu
lebih suka mana? Kemala atau Monpera?” tanya Aravin.
“Dua-duanya
aku suka,” jawab Delana.
“Ya
udah, kita ke dua tempat sekaligus. Gimana?” tanya Aravin.
“Idih,
satu aja lah.”
“Dua-duanya
juga nggak papa. Deketan aja pantainya.”
“Hmm
... iya, sih. Tapi, kalo ke sana sore-sore, pasti pulangnya malam. Gimana kalo
kita ke Pantai Monpera aja? Kayaknya suasana di sana kalo sore lebih asyik.”
“Oke,
deh. Kalo gitu, aku jemput kamu ke rumah jam empat sore ya!” tutur Aravin.
Delana
menganggukkan kepala.
***
“Bel,
si Aravin ngajak aku jalan ke pantai,” tutur Delana pada dua sahabatnya yang
kebetulan sedang berada di kamar Delana sepulang sekolah.
“Hah!?
Serius?” tanya Ivona.
“Terus?”
tanya Belvina menatap Delana.
“Mmh
... ya, nanti jam empat sore dia jemput aku.”
“Kalian
itu belum pacaran kan?” tanya Ivona menyelidik.
Delana
menggelengkan kepala.
“Tapi,
deket banget. Udah kayak orang pacaran aja,” sahut Belvina.
“Kenapa
nggak pacaran aja sekalian?” tanya Ivona.
“Masa
aku yang mau nembak dia duluan? Gengsi dong!” sahut Delana.
“Iya,
juga sih. Jadi, kamu nunggu ditembak sama Aravin?” tanya Belvina.
Delana
menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Kalo
seandainya dia nggak akan pernah nembak kamu gimana?” tanya Belvina.
Delana
merengut. Ia langsung menimpuk Belvina menggunakan guling yang ia pegang.
“Kok,
marah sih? Bisa aja kan dia suka sama kamu tapi nggak punya keberanian buat
ngungkapin perasaannya sendiri,” tutur Belvina.
“Eh,
dia belum pernah ngungkapin perasaannya ke kamu, Del?” tanya Ivona.
Delana
menggelengkan kepala.
“Aneh.
Kalian udah deket banget dari SMP. Udah kayak orang pacaran. Ke mana-mana
berdua. Udah kayak truck gandeng, tapi nggak ada status yang jelas,” gumam
Ivona.
“Aku
yakin kalo Aravin suka sama aku,” sahut Delana.
“Itu
sih, kita juga tahu. Kalo nggak suka, ngapain dia bantuin kamu berjuang buat
dapet nilai bagus? Tujuannya sudah jelas. Dia pengen kamu bisa lanjut kuliah
bareng dia kan?” tanya Belvina.
Delana
menganggukkan kepala.
“Kenapa
dia nggak nembak kamu sampe sekarang? Kita udah kelas tiga. Dan kalian udah
ngejalani banyak hal bareng selama dua tahun belakangan ini. Apa nggak ada
keinginan buat pacaran?” Ivona menatap serius ke arah Delana.
“Dia
nganggep aku sahabat, gitu juga sebaliknya.”
“Bulshit
lah! Mana ada sahabat kayak gitu. Nggak ada kata persahabatan antara dua orang
laki-laki dan perempuan. Yang ada saling peduli karena kalian cinta,” tutur
Belvina.
Delana
bergeming. Ia tak tahu apa lagi yang harus ia sampaikan pada dua temannya itu.
Selama ini, Delana dan Chilton nyaman menjadi teman baik. Walau tidak bisa
dipungkiri kalau pada akhirnya Delana jatuh cinta pada pria istimewa yang sudah
mengisi hari-hari remajanya.
***
Tepat
jam empat sore, Aravin sudah menjemput Delana dan mengajaknya pergi ke Monpera. Monpera adalah
akronim dari Monumen Perjuangan Rakyat. Terletak di tepi pantai, Monpera
menjadi salah satu tempat nongkrong favorite anak-anak muda Balikpapan.
“Mau
gado-gado?” tanya Aravin saat melihat penjual gado-gado yang berjualan di tepi
taman.
Delana
tak langsung menjawab, ia terlihat berpikir.
“Aku
traktir. Gado-gado di sini rasanya enak banget.” Aravin langsung menarik lengan
Delana. Ia mengajak Delana menikmati gado-gado ditemani semilir angin laut yang
menyapa tubuh mereka setiap detik.
“Bung,
aku optimis banget kalo kamu bisa masuk Universitas Indonesia,” tutur Aravin.
Delana
tersenyum menatap Aravin. “Oh ya? Kamu yakin banget.”
“Iya.
Aku lihat perkembangan nilai kamu bagus banget. Jadi, kita bisa satu kampus
kalo udah kuliah nanti,” tutur Aravin penuh semangat.
Delana
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menatap langit biru yang mulai berubah
jingga.
“Kita
ke sana yuk!” ajak Aravin sambil menunjuk jembatan panjang yang menjorok ke
laut.
“Ngapain?”
tanya Delana.
“Nikmatin
sunset.” Aravin bangkit, ia mengulurkan tangannya ke arah Delana.
Delana
menyambut uluran tangan Aravin dan mengikuti langkah Aravin menuju jalan
panjang yang sengaja dibangun menjorok ke lautan. Di sana, mereka bisa
merasakan angin kencang menerpa tubuh mereka.
Aravin
duduk di ujung jembatan, menyusul Delana di sampingnya.
“Nggak
terasa kita udah berteman lama banget,” tutur Delana.
Aravin
mengangkat kedua alisnya. “Kamu baru sadar?’ tanyanya sambil menahan tawa.
Delana
mengangguk kecil. “Mungkin aku terlambat menyadari itu.”
Aravin
menoleh ke arah Delana yang duduk di sampingnya. Delana tetap serius menatap
langit dan lautan yang terbentak luas di hadapannya.
“Aku
harap kita bisa kayak gini terus. Jadi teman baik,” tutur Aravin.
DEG!
Tiba-tiba
jantung Delana serasa ingin berhenti mendengar kata ‘teman baik’ yang keluar
dari mulut Aravin. Sejauh ini Aravin hanya menganggapnya sebagai teman baik.
Padahal, Delana berharap lebih dari sekedar teman baik. Delana ingin menjadi
kekasih Aravin.
Aravin menatap wajah Delana. Ia sudah lama
menunggu saat seperti ini. Tapi, perasaannya justru mengacaukan semua rencana
yang sudah ia susun rapi. Harusnya, hari ini ia bisa mengungkapkan perasaannya
pada Delana. Tapi, setiap kali melihat wajah Delana, ia takut kehilangan
hari-hari bersama Delana dan membuatnya kehilangan kata-kata. Ia takut kalau
Delana akan menolak perasaannya.
Delana
mencoba tersenyum, walau di matanya terlukis rasa kecewa. “Aku harap juga
begitu,” tutur Delana.
“Nggak
terasa, sebentar lagi kita lulus SMA, kuliah dan bakal nikah,” ucap Aravin
sambil menatap langit di depannya.
“Eh!?
Nikah?”
Aravin
tersenyum. “Emang kamu nggak pengen nikah?”
“Ya,
pengen lah. Tapi ...”
“Kenapa?”
“Nggak
tahu mau nikah sama siapa.”
“Sama
orang yang kamu cintai.”
“Aku
nggak tau orang itu siapa?” Delana menatap Aravin lewat ekor matanya.
“Suatu
saat kamu bakal nemuin orang itu,” sahut Aravin. “Aku selalu membayangkan
pernikahan yang indah, punya istri yang baik dan anak-anak yang lucu.”
Delana
tertawa kecil mendengar ucapan Aravin. Ia tidak menyangka kalau Aravin punya
bayangan masa depan sejauh itu. Ia pun ikut membayangkan dirinya mengenakan
sebuah gaun pengantin yang indah. Hampir semua remaja akan selalu memikirkan
sebuah pernikahan di masa depan, itu hal yang wajar.
“Kamu
sendiri, apa pernah membayangkan kamu pake gaun pengantin?” tanya Aravin sambil
menatap wajah Delana.
Delana
balas menatap Aravin sambil tersenyum. “Aku rasa itu hal yang biasa dibayangkan
oleh hampir semua remaja. Pernikahan impian layaknya pernikahan seorang
pangeran dan puteri kerajaan. Itu salah satu alasan kenapa banyak cewek suka
sama cerita-cerita Disney.”
Aravin
tersenyum. Ia menatap lekat mata Delana. Ia tahu kalau wanita suka diperlakukan
secara istimewa. Ia ingin sekali bisa mewujudkan itu. Delana adalah
satu-satunya wanita yang ada dalam bayangan masa depannya. Ia berharap, Tuhan
akan memberikan jalan yang mudah untuk bisa menyatukan mereka.
“Kita
masih terlalu muda buat ngomongin soal pernikahan,” celetuk Delana.
“Why?
Banyak yang baru lulus SMA sudah nikah. Bahkan, ada yang masih usia SMA sudah
punya anak,” sahut Aravin.
“Hmm
... iya, sih. Tapi, aku belum kepikiran sampe ke sana. Rasanya aneh kalo masih
muda dan harus ngurus anak,” tutur Delana.
“Itu
tergantung pemikiran orangnya sih. Ada beberapa orang yang pemikirannya sudah
dewasa sebelum waktunya. Jadi, ada aja yang nikah muda.”
“Udah,
ah. Ngomongin nikah mulu. Aku kan jadi pengen. Cerita yang lain aja!” ucap
Delana sambil tertawa kecil.
Aravin
tergelak mendengar candaan Delana.
“Malah
diketawain!” ucap Delana sambil meninju bahu Aravin.
Aravin
hanya menahan tawa sambil mengelus bahunya yang terasa sedikit nyeri.
Mereka
menikmati senja di tepi pantai sambil bersenda gurau.
“Vin,
kita ke sana yuk! Kayaknya asyik deh!” Delana menunjuk beberapa orang yang
sedang bermain air di tepi pantai pantai.
“Yuk!”
Aravin langsung bangkit. Ia mengulurkan tangan ke arah Delana dan langsung
disambut dengan senang hati oleh Delana.
“Ini
jembatan berapa meter ya panjangnya?” tanya Delana sambil menatap jembatan
beton yang ia pijak.
“Mau
ngukur?” tanya Aravin.
“Kurang
kerjaan,” celetuk Delana.
Aravin
tertawa kecil. Ia membungkuk di depan Delana. “Ayo, naik!” ajak Aravin
menyiapkan punggungnya untuk menggendong Delana.
“Ih,
aku bukan anak kecil,” ucap Delana sambil tertawa kecil.
“Punggungku
bukan cuma untuk anak kecil kok,” ucap Aravin. Ia menggerakkan kepala sebagai
isyarat agar Delana segera naik ke atas punggungnya.
Delana
tersenyum. Ia mendekatkan tubuhnya. Meletakkan kedua tangannya di atas bahu
Aravin. Dengan cepat Aravin mengangkat tubuh Delana naik ke atas punggungnya.
“Berat?”
tanya Delana.
Aravin
menggelengkan kepala. Ia melangkahkan kaki sambil menggendong Delana turun ke tepi pantai. Sesekali ia berlari dan
bercanda ingin menjatuhkan Delana dari atas jembatan. Membuat Delana berteriak
histeris, kemudian tertawa lagi. Aravin menurunkan tubuh Delana saat mereka
sudah berada di bibir pantai.
Delana
melepas sandal yang ia kenakan dan membiarkan kakinya basah terkena air laut.
Di bawah cahaya matahari yang mulai berganti dengan rembulan, mereka
menghabiskan waktu bersama di tepi pantai penuh canda tawa.
***
“Hei
...!” Atma menyapa Delana yang sedang mengerjakan tugas di perpustakaan
sekolah.
“Hei
... ngerjain apa?” tanya Delana pada Atma.
“Nyari
buku sejarah Kerajaan Kutai.” Atma menunjukkan buku yang ia maksud. “Kamu
tumben banget nggak bareng Aravin?” tanya Atma.
“Dia
lagi disuruh ke ruang guru,” jawab Delana.
Atma
langsung duduk di hadapan Delana.
“Pantesan
aja. Biasanya udah kayak gula ama semut,” celetuk Atma.
Delana
meringis sambil menatap Atma. Kemudian kembali fokus mengerjakan tugas.
“Del,
kamu sama Aravin belum jadian?” tanya Atma setengah berbisik.
Delana
menganggukkan kepala.
“Aku
kan udah bilang kalo dia itu nggak suka beneran sama kamu. Buktinya, dia nggak
pernah ngungkapin perasaannya ke kamu kan? Cuma mainin kamu doang. Kalo dia
suka sama kamu, dia pasti udah nembak kamu,” tutur Atma.
Delana
mendongakkan kepala menatap Atma. Ia menimbang-nimbang ucapan Atma.
“Del,
banyak cowok yang begitu. Deketnya sama siapa, jadiannya sama siapa,” tutur
Atma.
Delana
menghela napas. Ia sudah seringkali mendengar Atma membicarakan soal keraguan
perasaan Aravin.
“Mending
sama aku aja!” Atma tersenyum sambil memainkan kedua alisnya.
Delana
mengerutkan dahinya. Ia sama sekali tidak tertarik dengan Atma walau dia
termasuk dalam deretan cowok tampan di sekolahnya.
“Bercanda!”
Atma mengibaskan buku di depan wajah Delana. “Serius amat nanggepinnya!”
celetuknya.
Delana
tersenyum kecil menanggapinya.
“Eh,
tapi kalo soal Aravin, aku serius.”
“Udah,
deh. Kamu nggak usah jelek-jelekin Aravin terus di depan aku. Biar gimana pun,
dia tetep temen kamu.”
“Aku
kayak gini karena aku temen dia dan temen kamu juga. Aku nggak mau kalo kamu
cuma dipermainin aja sama Dia.”
“Nggak
ada yang dipermainkan atau mempermainkan. Kita cuma temenan,” sahut Delana.
Atma
tertawa kecil. “Temen tapi demen?”
Delana
menyunggingkan sedikit senyum. Ia mulai tidak nyaman dengan pernyataan dan
pertanyaan dari Atma.
“Kamu
tahu nggak kenapa dia manggil kamu Bungas?” tanya Atma.
“Itu
panggilan sayang dia buat aku,” jawab Delana sambil tersenyum ceria.
“Panggilan
sayang kok kayak gitu? Kamu tahu nggak artinya apa?”
Delana
menggelengkan kepala.
“Dalam
bahasa Melayu Sambas, bungas itu artinya cuci muka. Mungkin, maksudnya dia itu
kamu harus rajin cuci muka biar nggak kucel,” tutur Atma sambil tertawa.
Delana
membelalakkan matanya. “Serius itu artinya?”
“Tanya
aja sana!”
“Kata
Aravin, itu artinya cantik.”
“Mana
berani sih dia jujur di depanmu,” sahut Atma sambil tertawa geli.
Delana
langsung sakit hati mendengar pernyataan Atma. Ia sangat kesal dengan sikap
Aravin yang hanya pura-pura baik di depannya. Ternyata, ia jauh lebih
menyebalkan dari Atma. Kalau memang suka, kenapa harus menghinanya seperti ini.
Delana
menutup buku pelajaran. Ia bangkit dari tempat duduknya dan langsung bergegas
pergi dengan perasaan kesal.
Delana
melangkahkan kaki menyusuri koridor sekolah. Bulir-bulir air matanya berjatuhan
di pipi tanpa ia sadari. Ia tak peduli dengan beberapa murid yang menatapnya
penuh tanya.
“Kamu
kenapa?” tanya Aravin yang kebetulan berpapasan dengan Delana.
Delana
menatap wajah Aravin penuh kesedihan dan kekesalan. Ia meninju dada Aravin dan
bergegas pergi.
“Bung,
kamu kenapa sih?” Aravin menarik lengan Delana.
“Nggak
usah panggil aku Bungas!” sentak Delana sambil menepiskan tangannya.
Aravin
terkejut dengan ucapan Delana. Ia mengejar Delana dan menarik lengannya. “Kamu
kenapa?” tanya Aravin dengan nada tinggi, ia mencengkeram tangan Delana agar
tidak pergi dari hadapannya. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba cewek itu menangis
dan membentaknya. Ini jelas membuatnya merasa bersalah.
“Lepasin!”
teriak Delana berusaha melepaskan genggaman tangan Aravin.
“Bilang
dulu sama aku, kamu kenapa?” tanya Aravin.
“Aku
nggak mau kamu panggil aku Bungas lagi!” seru Delana.
“Kenapa?”
tanya Aravin.
“Bungas
itu artinya cuci muka kan? Secara nggak langsung kamu udah ngatain aku kucel,”
tutur Delana tanpa bisa menahan kesedihan di hatinya.
“Hah!?
Siapa yang bilang begitu?” tanya Aravin terkejut.
“Jadi?
Bener kan?” tanya Delana saat melihat reaksi Aravin.
“Enggak,
Del. Artinya nggak gitu,” sahut Aravin.
“Terus
apa?” teriak Delana.
Aravin
menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan diri menghadapi Delana yang
penuh emosi.
Delana
meneepiskan tangan Aravin, tapi Aravin meraihnya kembali.
“Aku
bisa jelasin,” tutur Aravin lembut.
“Nggak
ada yang perlu dijelasin!” Delana menepiskan kembali tangan Aravin dan berjalan
menjauh.
“Dela
...!” teriak Aravin terus mengejar Delana.
Delana
tidak peduli, ia terus berjalan menjauhi Aravin.
Aravin
berlari lebih cepat dan menghadang tubuh Delana. “Del, dengerin aku dulu!”
“Nggak
ada yang perlu didengerin!” seru Delana.
Aravin
menggenggam pundak Delana. “Del, asal kamu tahu. Bungas itu artinya cantik.
Kamu tuh cewek paling cantik yang selama ini aku kenal. Dan nggak mungkin aku
ngatain kamu kucel,” tutur Aravin perlahan.
“Aku
nggak percaya!”
“Aku
sayang sama kamu. Aku nggak mungkin ngatain kamu kayak gitu!”
Delana
tak bisa menerima dengan baik ucapan Aravin. Ia sudah terlanjur sakit hati dan
tidak bisa berpikir jernih.
Aravin
menatap lekat mata Delana. Tepat di manik mata indah Delana, ada banyangan
wajahnya yang sedang tersenyum. Ia tidak bisa membuat Delana salah paham
seperti ini. Tidak seharusnya ia membiarkan Delana salah mengartikan panggilan
sayang yang ia berikan pada Delana.
“Del
...” tutur Aravin lirih, ia tak berani memanggil Delana dengan kata Bungas lagi
karena itu akan menambah emosi Delana. “Aku cinta sama kamu,” ucapnya berbisik.
Delana
tertegun mendengar ucapan Aravin. Ia menatap lekat cowok yang ada di depannya.
Kata cinta yang diucapkan Aravin seharusnya membuat dia bahagia, tapi hatinya
justru tersayat. Ia tak bisa menahan kesedihan. Air matanya mengalir semakin
deras. “Aku juga cinta sama kamu. Tapi, nggak seharusnya kamu mulai hubungan
ini dengan penghinaan.” Delana menepiskan tangan Aravin dari bahunya.
“Aku
nggak ngehina kamu,” sahut Aravin. Ia langsung memeluk tubuh Delana. Ia tak
ingin kehilangan gadis yang selama ini ia cintai.
“Lepasin!”
sentak Delana sambil mendorong tubuh Aravin. Delana membalikkan tubuhnya dan
bergegas pergi meninggalkan Aravin. Ia merasa begitu terluka dengan sikap
Aravin yang mempermainkannya.
“Dela
... dengerin aku dulu!” teriak Aravin sambil mengejar Delana.
Delana
menghentikan langkahnya. Ia membalikkan tubuh menghadap Aravin yang
mengikutinya dari belakang. “Anggap aja kita nggak pernah kenal!”
Aravin
menggelengkan kepala. “Aku nggak bisa.”
Delana
tidak peduli. Ia kembali membalikkan tubuhnya dan berlari menjauhi Aravin.
Aravin
tetap tak mau menyerah. Ia terus mengejar Delana yang masih menangis.
Delana
masuk ke dalam toilet dan mengunci pintu rapat-rapat. Aravin tetap tidak
peduli, ia tetap mengejar Delana dan mengetuk pintu toilet.
“Del
... dengerin aku! Aku sama sekali nggak ada niat ngehina kamu sedikitpun.”
Aravin melirik beberapa pasang mata cewek sekolah yang menatapnya aneh karena
masuk ke dalam toilet cewek.
“Eh!?
Cowok kok masuk sini sih?” teriak salah satu cewek.
“Sorry
...! Aku cuma ...” Aravin langsung berlari keluar karena cewek itu berteriak
dan membuat yang lain bereaksi mengusir Aravin bersama-sama.
“Aargh
... sial!” umpat Aravin sambil menendang pintu toilet.
Sejak
hari itu, hubungan Aravin dan Delana terus memburuk. Mereka tidak lagi menjadi
teman baik, tidak pula menjadi sepasang kekasih walau saling mencintai.
***
Delana
menghela napas sambil menatap isi kotak yang ada di tangannya. Ia menutupnya
kembali dan membawanya keluar dari kamar. Ia melangkahkan kaki menuju pintu
belakang yang ada di dapurnya. Ia membuang kotak kenangan itu ke dalam tempat
sampah.
Delana
masuk ke dapur untuk mengambil korek. Ia membakar kotak berisi foto-fotonya
bersama Aravin.
Delana
tersenyum menatap gambar-gambar Aravin yang berubah menjadi abu satu per satu.
Sudah saatnya ia menghapus kenangan masa lalunya dengan Aravin. Ia tidak bisa
membiarkan kenangan itu terus ada di dalam rumah dan membawanya kembali pada
kejadian beberapa tahun silam.
Saat
ini dia sudah bahagia bersama Chilton. Cowok yang selama ini mengisi
hari-harinya. Membuatnya belajar mencintai dengan cara dewasa. Membuatnya
mengerti bahwa cinta tidak tumbuh begitu saja.
“Kata
orang, cinta bisa tumbuh dengan sendirinya. Tapi, kataku tidak. Sebab aku tanam
benih-benih cinta di hatimu. Kujaga dan kurawat penuh kasih sayang, sampai
cinta itu tumbuh,” bisik Delana pada bayangan Chilton yang terlukis di
langit. Bayangan yang tersenyum kepadanya. Memberinya sebuah harapan cinta dan
kebahagiaan dalam hati Delana.
.png)
0 komentar:
Post a Comment