BAB 24 : TIBA-TIBA DINGIN
“Chil, kamu di mana?”
tanya Zoya via sambungan telepon.
“Di rumah. Ada apa
Zoy?” tanya Chilton balik.
“Gunung Dubs?”
“Iya.”
“Aku deket rumahmu nih.
Mau mampir boleh kan?” tanya Zoya.
“Nggak boleh!” sahut
Chilton. “Boleh, lah.” Chilton langsung meralat ucapannya. “Bawa minuman, ya!”
pinta Chilton.
“Minuman apa?”
“Bir atau anggur.”
“Gila aja aku disuruh
balik lagi nyari bir. Aku udah di depan rumahmu, nih,” tutur Zoya.
“Oh, ya udah. Masuk
aja!”
“Bukain pintu pagar
rumahmu! Kutabrak nih!” ancam Zoya.
Chilton tertawa kecil.
“Tabrak aja!” tuturnya sembari keluar dari kamar, menuruni anak tangga dan
keluar ke halaman rumahnya. Ia membukakan pintu untuk Zoya. Chilton menoleh ke
arah mobil Zoya karena dilihat Zoya tidak sendirian di dalam mobil.
Chilton kembali menutup
pintu pagar rumahnya begitu mobil Zoya memasuki halaman rumah. Ia melihat Zoya
keluar dari mobil bersama seorang cowok yang tidak ia kenal sama sekali.
“Dari mana?” tanya
Chilton langsung merangkul Zoya.
“Dari kampus. Kenalin,
ini Atma, temen di kampus.” Zoya memperkenalkan Atma kepada Chilton.
“Atma.” Atma
mengulurkan tangan ke arah Chilton yang langsung disambut baik oleh Chilton.
“Ayo, masuk!” pinta
Chilton. Mereka langsung masuk ke rumah dan menaiki anak tangga menuju kamar
Chilton.
“Kalian satu kelas?”
tanya Chilton.
Zoya menganggukkan
kepala.
“Aku yang sering ngajak
dia ketemu sama bos-bos perusahaan. Biar bisa jadiin dia model iklan,” tutur
Atma.
Chilton tertawa kecil
menanggapi ucapan Atma. Ia sendiri tahu bagaimana kredibilitas Zoya sebagai
seorang artis. Zoya sudah banyak bermain peran dan menjadi model iklan sejak
mereka masih SMA. Ia melihat kalau Atma terlihat seperti pembualan dan
menganggap dirinya adalah bagian penting dari kesuksesan Zoya saat ini.
Zoya hanya tertawa
kecil menatap Chilton. Ia tahu apa yang ada di dalam pikiran sahabatnya itu.
“Zoy, kemarin aku lihat
kamu di acara talkshow. Kamu pake sepatu Air Jordan ya kayaknya itu?” tanya
Chilton.
“Iya. Air Jordan 1
Retro yang Black Red.”
“Kena berapa harganya?”
tanya Chilton.
“Sekitar delapan jutaan
aja.”
“Yang ori 'kan itu?”
“Iya.”
“Di mana belinya?”
tanya Chilton.
“Di Jakarta. Kebetulan
yang punya toko masih temen.”
“Masih ada nggak, ya?”
“Kurang tahu ya? Ntar
aku tanyain dia.”
“Tanyain, ya! Bisa
dikirim ke sini 'kan?”
“Bisa.” Zoya langsung
mencari nomor ponsel teman yang ia maksud dan menghubunginya.
“Ini aku beli 200
juta,” tutur Atma sambil menunjukkan sepatu yang ia kenakan.
Chilton mengangkat
kedua alisnya. Ia melirik sepatu yang digunakan oleh Atma, kemudian menatap
Zoya yang terlihat menahan tawa. Chilton menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
Ia bisa membedakan mana sepatu ori dan kw.
“Dua ratus ribu kali, ya?” bisik Chilton di telinga Zoya.
Zoya mengedikkan
bahunya, ia pura-pura tidak tahu.
“Weh ... keren banget
sepatumu dua ratus juta. Di mana belinya?” tanya Chilton.
“Ini aku beli di
Paris,” jawab Atma.
Chilton mengangkat
kedua alisnya.
“Parisnya Mall Fantasy
situ nah, Chil,” sahut Zoya.
“Hah!? Serius?” Chilton
menahan tawa. “Kelihatan, sih.” Chilton mengangguk-anggukkan kepala sambil
menatap sepatu yang melekat di kaki Atma.
“Ah, kamu bongkar
rahasia aja!” celetuk Atma.
“Eh, kalo kamu ngomong
kayak gitu sama cewek atau sama cowok yang nggak pernah beli barang branded,
mereka pasti percaya,” sahut Zoya. “Lihat tuh!” Zoya menunjuk lemari kaca
berisi deretan sepatu koleksi Chilton. “Itu sepatu ori semua.”
Chilton menyunggingkan
senyum. Ia memilih berbaring santai di sofa kamar daripada harus meladeni mulut
bual Atma.
“Hah!? Serius?” Atma
langsung bangkit dan mendekati lemari kaca berisi sepatu. Ia mengamatinya satu
persatu. “Gila! Ini keren-keren!”
Zoya tertawa kecil
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Chil, gimana kabar
Delana? Nggak jalan bareng dia?” tanya Zoya.
“Baik-baik aja,” jawab
Chilton tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ada di tangannya.
Atma mematung begitu
mendengar nama Delana. Nama itu tak asing di telinganya. Nama yang pernah ada
di kehidupan masa lalunya.
Ponsel Atma tiba-tiba
berdering. Ia merogoh ponsel di kantongnya dan melihat nama yang menelepon.
“Panjang umur nih orang,” gumam Atma.
Atma langsung menjawab
panggilan telepon dari pemilik nama lengkap Aravinda Farhan.
“Halo ... Vin, gimana
kabarnya?” tanya Atma sambil duduk di sofa, bersebelahan dengan Zoya. “Udah
lama nggak ketemu, masih di Jakarta?” tanya Atma.
“Iya, Ma. Kamu lagi di
mana?” tanya Aravin lewat telepon.
“Lagi di rumah temen.”
“Kabar Delana gimana?”
tanya Aravin.
“Hah!? Delana? Delana
Aubrey?” tanya Atma.
Chilton langsung
menoleh ke arah Atma begitu nama Delana disebut.
Atma melirik Chilton
dan Zoya yang menatapnya. “Oh. Iya, Vin. Jarang banget ketemu dia. Kita beda
kampus, jadinya nggak ada ketemu.”
“Sudah punya pacar lah
dia?” tanya Aravin.
“Aha ...” Atma kembali
melirik dua temannya yang sudah sibuk dengan ponselnya. Tapi, ia percaya kalau
keduanya pasti mendengar ucapannya. Ia sengaja menaikkan volume suaranya. “Kalo
itu aku kurang tahu, Vin. Bisa jadi sudah banyak cowoknya. Dia kan cantik,
baik, asyik dan nggak bisa dilupain kan?”
Chilton menahan kesal
karena ia menyadari kalau Atma membicarakan Delana, cewek kampus yang sedang
dekat dengannya. Ia menyadari kalau cowok yang diajak bicara oleh Atma adalah
seseorang yang pernah ada di masa lalu Delana. Itu terlihat dari cara Atma
menanggapi pembicaraannya lewat telepon.
“Kamu kenal sama Delana
Aubrey?” Chilton bangkit dari tidur dan menatap Atma serius.
“Kenal. Temen SMA,”
jawab Atma.
Chilton menatap serius
wajah Atma. Ia berharap Atma bisa menceritakan siapa sosok laki-laki yang ada
di balik teleponnya tadi.
“Eh, yang tadi telepon
itu Aravin. Temen SMA yang dulu pernah deket sama Delana.”
Chilton melipat kedua
telapak tangan, ia serius menyimak Atma bercerita.
“Mmh ... Chil, ada air
es kah?” tanya Zoya, ia berusaha mengalihkan perhatian Chilton agar Atma tidak
bercerita yang tidak-tidak pada sahabatnya itu.
“Ada di kulkas bawah,”
jawab Chilton.
“Ambilin dong!” pinta
Zoya.
“Ambil sendiri kenapa?”
sahut Chilton kesal.
“Nggak usah emosi
juga!” Zoya melempar wajah Chilton menggunakan bantal sofa. Ia langsung keluar
dari kamar Chilton. Usahanya untuk mencegah Atma bercerita tidak berhasil. Ia
tahu kalau Atma sangat pandai memberikan bumbu dalam bercerita dan bisa saja
mengubah pandangan Chilton pada Delana.
“Cowok yang kamu
telepon barusan, pernah pacaran sama Delana?” tanya Chilton menyelidik.
Atma menggelengkan
kepala. “Tapi mereka pernah deket banget waktu SMA. Mereka sering belajar
bareng, jalan bareng dan semua perhatian-perhatian Delana bikin Aravin jatuh
cinta. Sayangnya, Delana justru nolak si Aravin waktu Aravin nembak dia. Itu
bener-bener bikin Aravin kecewa. Dia malu banget dan akhirnya milih buat
lanjutin kuliahnya ke luar kota.”
Chilton mengernyitkan
dahinya. Ia masih tidak percaya kalau Delana punya sikap seperti itu,
mencampakkan pria yang pernah begitu dekat dengannya.
“Biarpun sekarang udah
kuliah di luar kota. Aravin masih aja nggak bisa ngelupain Delana.” Atma
menggeleng-gelengkan kepala. “Aku nggak paham apa yang sudah dibuat sama cewek
itu sampe bikin temenku kayak gini,” tuturnya.
“Lagi pada ngomongin
apaan si? Serius banget!” Zoya tiba-tiba muncul membawa tiga botol minuman
dingin.
“Nggak papa,” jawab
Chilton sambil mengusap wajahnya.
Zoya menatap wajah
Chilton. Ia merasakan ada hal yang berbeda di wajah Chilton.
“Ma, pulang yuk!” ajak Zoya.
“Ayo!”
Zoya langsung mengajak
Atma keluar dari rumah Chilton dan mengantarnya pulang ke rumah.
“Kamu cerita apa sama
Chilton?” tanya Zoya saat ia berada di perjalanan pulang mengantarkan Atma
pulang.
“Nggak ada cerita apa-apa. Dia cuma nanya soal
Delana dan aku jawab apa adanya,” jawab Atma santai.
“Kamu jangan cari
gara-gara ya!” ancam Zoya.
“Gara-gara apaan?”
“Aku lihat si Chilton
kesel banget tadi. Pasti ada sesuatu yang nggak dia suka.”
Atma mengedikkan
bahunya. Ia tetap saja merasa tidak melakukan kesalahan apa pun.
Zoya tak lagi bertanya.
Ia memilih untuk diam sampai mobilnya berhenti di depan rumah Atma.
“Nggak masuk dulu?”
tanya Atma begitu ia turun dari mobil Zoya.
Zoya menggelengkan
kepala dan langsung menutup kaca jendela mobilnya. Ia melajukan mobilnya kembali menuju rumah
Chilton. Tanpa menelepon, Zoya membunyikan klakson beberapa kali di depan rumah
Chilton.
Chilton geram mendengar
suara klakson yang terus berbunyi di depan rumah. Ia mengintip dari jendela
kamar dan mendapati mobil Zoya sudah berada di depan pagar rumahnya. Ia
langsung berlari keluar dari rumah sebelum Zoya benar-benar menabrakkan
mobilnya ke pagar rumah.
“Kamu kenapa sih!?
Ngajak berantem memang anak ini,” seru Chilton begitu Zoya keluar dari
mobilnya.
Zoya tidak menghiraukan
ucapan Chilton, ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa diminta.
“Kesambet setan apa tuh
anak?” Chilton menggeleng-gelengkan kepala sambil menutup kembali pintu pagar
rumahnya. Ia melangkahkan kaki memasuki rumah.
Chilton mendapati Zoya
sudah duduk di sofa ruang keluarga. Kakinya dijulurkan ke atas meja dan
menonton televisi dengan gaya santainya.
“Kamu kenapa sih?”
tanya Chilton yang langsung duduk di sampingnya.
“Kesel banget aku sama
Atma,” celetuk Zoya.
“Emang pembualan gitu
anaknya?” tanya Chilton.
Zoya tersenyum sinis.
“Dia cerita apa sama kamu?”
Chilton menghela napas
panjang. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu sofa sambil menatap langit-langit
rumahnya. “Dia cerita soal masa lalu Delana.”
“Terus?” Zoya menatap
Chilton serius.
“Dia cewek yang pandai
menakhlukan hati cowok dan meninggalkannya saat cowok itu udah jatuh cinta.”
Zoya mengernyitkan
dahinya. “Aku rasa dia nggak begitu. Dia kelihatan tulus banget.”
“Kamu tahu dari mana
kalo dia tulus?” tanya Chilton. Mendengar ucapan Atma, ia bisa menangkap sebuah
makna kalau Delana adalah tipe cewek yang suka mempermainkan perasaan cowok.
“Kamu percaya gitu aja
sama Atma?” tanya Zoya.
Chilton tertawa sinis.
“Bisa jadi, semua yang dia bilang itu bener. Karena Atma sama sekali nggak tahu
soal kedekatan aku sama Delana. Jadi, nggak mungkin dia ngada-ngada.”
Zoya memutar bola
matanya. “Ya, terserah kamu kalo mau percaya sama Atma. Aku bakal lebih percaya
sama Delana ketimbang sama anak pembualan itu.”
“Kita lihat aja nanti.
Aku juga berharapnya begitu.”
“Apa kamu sudah jatuh
cinta beneran sama dia?” tanya Zoya.
“Apa aku harus
ngungkapin itu pake kata-kata?” tanya Chilton balik.
Zoya menatap Chilton
penuh selidik. Ia tahu, kalau Chilton sebenarnya sudah jatuh cinta. Tapi, ia
sendiri masih ingin memungkiri perasaannya sendiri.
Chilton sendiri tidak
yakin apakah ia jatuh cinta pada Delana atau tidak. Saat mendengar tentang masa
lalu Delana, ia merasa ragu dengan perasaan Delana. Ia merasa, Delana akan
mencampakkan dirinya setelah ia jatuh cinta. Sama seperti cowok yang ada di masa
lalu Delana.
“Chil, kita bukan anak
kecil lagi. Aku rasa kamu bisa bedain mana yang tulus sayang sama kamu dan mana
yang modus,” tutur Zoya.
“Udah, deh. Nggak usah
ngomongin dia terus!” celetuk Chilton.
“Aku bakal ngomongin
dia terus. Karena aku tahu dia cewek yang baik.”
Chilton bangkit dari
duduknya dan berlalu meninggalkan Zoya.
“Chil, aku kayak gini
karena aku peduli sama kamu sebagai sahabat!” teriak Zoya. “Aku nggak mau kamu
salah pilih pasangan hidup!”
Chilton tak menggubris
ucapan Zoya. Ia terus melangkahkan kakinya menaiki tangga dan masuk ke dalam
kamar. Meninggalkan Zoya seorang diri di ruang keluarga.
***
“Hai ... Chil!” sapa
Delana saat mereka bertemu di tempat mengajar.
Chilton hanya tersenyum
dan langsung meninggalkan Delana.
Delana mengernyitkan
dahinya. Ia merasa ada yang berubah dari Chilton. Tiba-tiba ia bersikap
seolah-olah tak mengenal Delana.
“Chil ...!” panggil
Delana sambil mengikuti langkah Chilton.
Chilton sama sekali
tidak menoleh mendengar panggilan dari Delana. Ia tetap saja berjalan sambil
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia tetap saja terlihat
memesona dengan gaya super cueknya.
“Chil, kamu kenapa
sih?” Delana menarik lengan Chilton. Ia langsung menghadang langkah Chilton dan
menatap cowok itu serius.
Chilton tersenyum sinis
dan menyingkirkan Delana dari hadapannya.
Delana mengerutkan
hidungnya karena kesal. Rasanya, ia ingin berteriak sekuat-kuatnya memanggil
nama cowok yang menyebalkan itu. Entah kenapa, Chilton tiba-tiba bersikap cuek.
Seolah-olah mereka tak pernah saling mengenal atau lebih tepatnya Chilton
sedingin saat pertama kali Delana melihatnya.
Chilton tak
menghiraukan Delana. Ia langsung masuk ke ruang kelas tempat ia mengajar. Ia
tak ingin banyak bicara dengan Delana. Sebab, ia masih merasa kecewa dan sakit
hati dengan perlakuan Delana selama ini. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan
Delana dan membuatnya benar-benar jatuh hati dengan cewek itu.
Delana melangkahkan
kakinya masuk ke kelas. Ia tak bersemangat mengajar dan lebih banyak melamun.
Ia memikirkan sikap Chilton yang tiba-tiba berubah. Entah kenapa ia tiba-tiba
cuek. Padahal, baru kemarin mereka menikmati makan malam bersama. Saling bergurau
sambil minum bir. Begitu cepat Chilton berubah sikap. Semua itu pasti ada
sebabnya.
Setelah jam mengajar
usai, Delana menunggu Chilton di parkiran. Ia bersandar di motor Chilton.
Sebab, Chilton tak mungkin bisa menghindarinya jika ia berada di motor Chilton.
Beberapa menit
kemudian, Chilton keluar dari gedung kursus. Ia melihat Delana yang sudah
berdiri sambil bersandar di motornya. Ia berjalan perlahan mendekati Delana.
Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya. Ia ingin membenci, tapi ia juga
merindukan gadis yang ada di hadapannya itu. Perasaannya campur aduk tak
karuan. Antara ingin melanjutkan hubungannya dengan Delana atau mengakhiri
secepatnya sebelum semuanya terlanjur.
“Chil, kamu kenapa?”
Delana menatap Chilton. Matanya berkaca-kaca menatap wajah Chilton yang begitu
dingin menatapnya. Ia merasa sedih saat cowok itu tiba-tiba tidak mau
menghiraukannya sama sekali.
Delana tak bisa menahan
perasaan sedih di dalam hatinya. Ia terbayang masa-masa SMA-nya. Saat ia dekat
dengan Aravin. Menjalani hari-hari indah bersama. Delana memberikan kasih
sayang tulus untuk cowok itu, tapi Aravin justru membuatnya kecewa dan sakit hati.
Chilton menggenggam
pundak Delana. Ia tersenyum pada cewek yang ada di hadapannya itu. Ia tak bisa
membuatnya terluka untuk saat ini. Sebab, ia sendiri tidak tahu apa kesalahan
Delana. Dia tiba-tiba membenci Delana tanpa Delana tahu sebabnya.
“Nggak papa,” jawab
Chilton sambil tersenyum.
“Beneran nggak papa?”
tanya Delana dengan suara berat.
“Iya. Nggak papa. Aku
cuma nggak enak badan,” tutur Chilton.
“Oh,” ucap Delana
dengan suara yang hampir tak terdengar. “Tadi pagi aku nungguin kamu di taman.”
“Aku nggak enak badan.
Kebetulan aku tidur di rumah Gunung Dubs. Jadi, nggak berangkat ke kampus.
Sorry, ya!”
Delana menganggukkan
kepala.
“Aku mau pulang. Bisa
minggir?” tanya Chilton sambil tersenyum.
Delana menepikan
badannya, memberi ruang pada Chilton untuk menaiki motor dan berlalu pergi
meninggalkan Delana yang masih bingung dengan sikap Chilton yang aneh.
Delana tak langsung
pulang ke rumah. Ia pergi ke asrama untuk menemui Belvina.
“Hei, tumben banget ke
sini nggak telepon dulu?” sapa Belvina begitu ia membuka pintu kamarnya.
Delana menghela napas.
“Aku boleh masuk?”
“Sejak kapan aku
ngelarang kamu masuk?” Belvina menepikan tubuhnya, memberi ruang pada Delana
untuk masuk ke kamarnya.
Delana langsung
merebahkan tubuhnya ke atas kasur.
“Baru pulang ngajar?’
tanya Belvina melihat Delana kelelahan.
Delana menganggukkan
kepala. “Bel, menurut kamu Chilton itu gimana ya?”
“Gimana apanya?” tanya
Belvina.
“Gimana sikapnya sama
aku? Sebenarnya, dia suka sama aku atau enggak sih?” tanya Delana dengan wajah
murung.
Belvina mendekati
Delana. “Kalo dilihat dari sikapnya selama ini. Kayaknya dia udah mulai suka
sama kamu. Buktinya, dia sering ngajak kamu jalan bareng kan?”
“Hmm ... iya juga sih.
Tapi, hari ini aku ngerasa dia beda banget.”
“Beda gimana?”
“Cuek banget. Nggak
kayak biasanya.”
“Perasaan kamu aja
kali, Del,” sahut Belvina.
“Hmm ... semoga aja
emang cuma perasaanku. Tapi, aku tetap kepikiran. Aku udah mikir yang
nggak-nggak tentang dia.”
“Emang kenapa sih sama
dia?” tanya Belvina penasaran.
“Aku juga nggak tahu.
Tiba-tiba aja dia itu cuek dan dingin banget.”
“Kamu ada bikin salah
sama dia?” tanya Belvina.
Delana menatap
langit-langit kamar. Mencoba mencari kesalahan yang bisa saja ia melakukannya
tanpa sengaja.
“Aku rasa nggak ada.
Terakhir jalan bareng, dia hepi-hepi aja.”
“Yakin?” tanya Belvina
lagi.
“Eh!?” Delana langsung
terbangun dari tempat tidurnya. “Aku baru ingat!” serunya sambil berteriak.
Belvina memegangi
dadanya karena terkejut mendengar teriakan Delana. “Jantungku mau copot,
suaramu kurang keras!” maki Belvina.
“Hehehe.” Delana
meringis. “Sorry!” ucapnya.
“Ya udah, ingat apaan?”
tanya Belvina.
“Waktu di kafe kemarin.
Si Zoya itu cipika-cipiki aku. Terus, Chilton kayak marah gitu waktu Zoya cium
pipiku.”
“What!?” Belvina
membelalakan matanya. “Serius? Zoya siapa?’ tanyanya.
“Temennya dia. Artis
yang sering main sinetron itu.”
“Sinetron apaan?”
“Ah, aku nggak ingat
nama sinetronnya.”
“Berarti Zoya itu
cowok?”
Delana menganggukkan
kepala.
“Dan kamu cipika-cipiki
sama dia di depan Chilton?”
Delana menganggukkan
kepala lagi.
“Eh, kamu tuh bego atau
kelewat polos sih!?” sentak Belvina.
“Eh!?” Delana melongo
menatap Belvina.
“Kamu cipika-cipiki
sama cowok lain di depan Chilton. Cowok yang selama ini kamu sukai. Dia itu
udah mulai luluh dan deket sama kamu. Terus, kamu sia-siain gitu aja. Kalo kamu
sampe ciuman sama cowok lain di depan Chilton, bisa aja dia anggap kamu itu cewek
murahan,” cerocos Belvina.
“Cuma cipika-cipiki
doang, Bel. Lagian, buat artis kayak Zoya, itu sudah jadi hal biasa.”
“Iya. Sesama artis
emang udah biasa kayak gitu. Tapi, kamu kan bukan artis.” Belvina mendengus ke
arah Delana.
“Kok, omongan kamu sama
kayak Chilton?” tutur Delana heran.
“Chilton ngomong gitu
juga?” tany Belvina.
Delana menganggukkan
kepala.
“Astaga ...! Kamu udah
bener-bener bikin salah sama dia. Kamu harusnya minta maaf sama dia,” tutur
Belvina.
“Aku udah minta maaf.
Waktu pulang, kami baik-baik aja. Chilton nganterin aku pulang kayak biasanya
dan dia sama sekali nggak ngebahas soal ciuman pipi itu.
“Serius?”
“Dua rius!”
“Tapi, bisa aja si
Chilton sengaja nahan rasa keselnya ke kamu, Dan baru dia luapin sekarang.”
“Masa gitu sih, Bel?”
tanya Delana.
“Terus mau gimana lagi?
Emang masih ada salahmu yang lain lagi?” tanya Belvina.
Delana menggelengkan
kepala.
“Ya udah, Kamu minta
maaf sama Chilton!”
“Sudah, Bel. Aku rasa,
ada hal lain yang bikin dia berubah.”
“Apa?” tanya Belvina.
Delana mengedikkan
bahu.
“Perasaan kamu aja
kali, Del.”
“Semoga aja begitu,”
sahut Delana.
“Ya udah, nggak usah
terlalu dipikirin. Ntar juga pasti baik, kok.”
“Aku nggak mikirin,
tapi kepikiran.”
“Bawa santai aja.
Positif thinking!” pinta Belvina.
Delana menganggukkan
kepala. “Makasih ya, Bel!”
“Selow. Kalo ada
apa-apa, kamu cerita sama aku. Aku bakal bantu semampuku,” tutur Belvina.
“Makasih ...!” Delana
memeluk tubuh Belvina.
“Itu gunanya sahabat
‘kan?” Belvina tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Delana.
“Ya udah. Aku pulang
dulu ya!” pamit Delana.
“Pulang? Kirain mau
nginap di sini,” tutur Belvina.
“Nggaklah. Kasihan si
Bryan, aku tinggal-tinggal mulu.”
Belvina tertawa
menanggapi ucapan Delana. “Dia udah gede. Palingan kalo pas kamu pergi
nge-date. Dia pergi nge-date juga sama gebetannya.”
Delana menatap tajam ke
arah Belvina. “Aku rasa dia nggak begitu.”
“Kamu kan nggak tahu.
Nggak di rumah,” sahut Belvina.
“Tahu, dong! Dia sering
ngajak temen-temennya main ke rumah. Jarang banget dia main di luar. Sesekali
aja main di luar dan selalu bilang sama aku,kok.”
Belvina meringis
mendengar ucapan Delana. “Bercanda, Del. Kamu serius amat nanggepinnya.”
“Jelas aku serius kalo
itu menyangkut keluarga aku.”
“Iya, iya. Pulang gih
sana!” usir Belvina.
“Ngusir?” tanya Delana
mendelik ke arah Belvina.
“Loh? Kamu sendiri kan
yang bilang mau pulang?”
Delana mencebik ke arah
Belvina. Ia langsung meraih tasnya dan bergegas keluar meninggalkan Belvina
yang masih tertawa kecil di dalam kamarnya.
Delana mengendarai
motornya menuju rumah yang tak jauh dari asrama, Pikirannya berkelana,
menerka-nerka apa yang terjadi pada Chilton sehingga cowok itu tiba-tiba
bersikap dingin terhadapnya. Ia terus berdoa agar Chilton bisa menerima
kehadirannya dengan tulus. Ia tidak akan sanggup jika harus kehilangan cowok
yang selama ini membuatnya menjadi wanita yang istimewa.
.png)
0 komentar:
Post a Comment