Monday, September 8, 2025

THEN LOVE BAB 24 : TIBA-TIBA DINGIN

 BAB 24 : TIBA-TIBA DINGIN



“Chil, kamu di mana?” tanya Zoya via sambungan telepon.

“Di rumah. Ada apa Zoy?” tanya Chilton balik.

“Gunung Dubs?”

“Iya.”

“Aku deket rumahmu nih. Mau mampir boleh kan?” tanya Zoya.

“Nggak boleh!” sahut Chilton. “Boleh, lah.” Chilton langsung meralat ucapannya. “Bawa minuman, ya!” pinta Chilton.

“Minuman apa?”

“Bir atau anggur.”

“Gila aja aku disuruh balik lagi nyari bir. Aku udah di depan rumahmu, nih,” tutur Zoya.

“Oh, ya udah. Masuk aja!”

“Bukain pintu pagar rumahmu! Kutabrak nih!” ancam Zoya.

Chilton tertawa kecil. “Tabrak aja!” tuturnya sembari keluar dari kamar, menuruni anak tangga dan keluar ke halaman rumahnya. Ia membukakan pintu untuk Zoya. Chilton menoleh ke arah mobil Zoya karena dilihat Zoya tidak sendirian di dalam mobil.

Chilton kembali menutup pintu pagar rumahnya begitu mobil Zoya memasuki halaman rumah. Ia melihat Zoya keluar dari mobil bersama seorang cowok yang tidak ia kenal sama sekali.

“Dari mana?” tanya Chilton langsung merangkul Zoya.

“Dari kampus. Kenalin, ini Atma, temen di kampus.” Zoya memperkenalkan Atma kepada Chilton.

“Atma.” Atma mengulurkan tangan ke arah Chilton yang langsung disambut baik oleh Chilton.

“Ayo, masuk!” pinta Chilton. Mereka langsung masuk ke rumah dan menaiki anak tangga menuju kamar Chilton.

“Kalian satu kelas?” tanya Chilton.

Zoya menganggukkan kepala.

“Aku yang sering ngajak dia ketemu sama bos-bos perusahaan. Biar bisa jadiin dia model iklan,” tutur Atma.

Chilton tertawa kecil menanggapi ucapan Atma. Ia sendiri tahu bagaimana kredibilitas Zoya sebagai seorang artis. Zoya sudah banyak bermain peran dan menjadi model iklan sejak mereka masih SMA. Ia melihat kalau Atma terlihat seperti pembualan dan menganggap dirinya adalah bagian penting dari kesuksesan Zoya saat ini.

Zoya hanya tertawa kecil menatap Chilton. Ia tahu apa yang ada di dalam pikiran sahabatnya itu.

“Zoy, kemarin aku lihat kamu di acara talkshow. Kamu pake sepatu Air Jordan ya kayaknya itu?” tanya Chilton.

“Iya. Air Jordan 1 Retro yang Black Red.”

“Kena berapa harganya?” tanya Chilton.

“Sekitar delapan jutaan aja.”

“Yang ori 'kan itu?”

“Iya.”

“Di mana belinya?” tanya Chilton.

“Di Jakarta. Kebetulan yang punya toko masih temen.”

“Masih ada nggak, ya?”

“Kurang tahu ya? Ntar aku tanyain dia.”

“Tanyain, ya! Bisa dikirim ke sini 'kan?”

“Bisa.” Zoya langsung mencari nomor ponsel teman yang ia maksud dan menghubunginya.

“Ini aku beli 200 juta,” tutur Atma sambil menunjukkan sepatu yang ia kenakan.

Chilton mengangkat kedua alisnya. Ia melirik sepatu yang digunakan oleh Atma, kemudian menatap Zoya yang terlihat menahan tawa. Chilton menggeleng-gelengkan kepala perlahan. Ia bisa membedakan mana sepatu ori dan kw.

“Dua ratus ribu kali, ya?” bisik Chilton di telinga Zoya.

Zoya mengedikkan bahunya, ia pura-pura tidak tahu.

“Weh ... keren banget sepatumu dua ratus juta. Di mana belinya?” tanya Chilton.

“Ini aku beli di Paris,” jawab Atma.

Chilton mengangkat kedua alisnya.

“Parisnya Mall Fantasy situ nah, Chil,” sahut Zoya.

“Hah!? Serius?” Chilton menahan tawa. “Kelihatan, sih.” Chilton mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap sepatu yang melekat di kaki Atma.

“Ah, kamu bongkar rahasia aja!” celetuk Atma.

“Eh, kalo kamu ngomong kayak gitu sama cewek atau sama cowok yang nggak pernah beli barang branded, mereka pasti percaya,” sahut Zoya. “Lihat tuh!” Zoya menunjuk lemari kaca berisi deretan sepatu koleksi Chilton. “Itu sepatu ori semua.”

Chilton menyunggingkan senyum. Ia memilih berbaring santai di sofa kamar daripada harus meladeni mulut bual Atma.

“Hah!? Serius?” Atma langsung bangkit dan mendekati lemari kaca berisi sepatu. Ia mengamatinya satu persatu. “Gila! Ini keren-keren!”

Zoya tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Chil, gimana kabar Delana? Nggak jalan bareng dia?” tanya Zoya.

“Baik-baik aja,” jawab Chilton tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ada di tangannya.

Atma mematung begitu mendengar nama Delana. Nama itu tak asing di telinganya. Nama yang pernah ada di kehidupan masa lalunya.

Ponsel Atma tiba-tiba berdering. Ia merogoh ponsel di kantongnya dan melihat nama yang menelepon. “Panjang umur nih orang,” gumam Atma.

Atma langsung menjawab panggilan telepon dari pemilik nama lengkap Aravinda Farhan.

“Halo ... Vin, gimana kabarnya?” tanya Atma sambil duduk di sofa, bersebelahan dengan Zoya. “Udah lama nggak ketemu, masih di Jakarta?” tanya Atma.

“Iya, Ma. Kamu lagi di mana?” tanya Aravin lewat telepon.

“Lagi di rumah temen.”

“Kabar Delana gimana?” tanya Aravin.

“Hah!? Delana? Delana Aubrey?” tanya Atma.

Chilton langsung menoleh ke arah Atma begitu nama Delana disebut.

Atma melirik Chilton dan Zoya yang menatapnya. “Oh. Iya, Vin. Jarang banget ketemu dia. Kita beda kampus, jadinya nggak ada ketemu.”

“Sudah punya pacar lah dia?” tanya Aravin.

“Aha ...” Atma kembali melirik dua temannya yang sudah sibuk dengan ponselnya. Tapi, ia percaya kalau keduanya pasti mendengar ucapannya. Ia sengaja menaikkan volume suaranya. “Kalo itu aku kurang tahu, Vin. Bisa jadi sudah banyak cowoknya. Dia kan cantik, baik, asyik dan nggak bisa dilupain kan?”

Chilton menahan kesal karena ia menyadari kalau Atma membicarakan Delana, cewek kampus yang sedang dekat dengannya. Ia menyadari kalau cowok yang diajak bicara oleh Atma adalah seseorang yang pernah ada di masa lalu Delana. Itu terlihat dari cara Atma menanggapi pembicaraannya lewat telepon.

“Kamu kenal sama Delana Aubrey?” Chilton bangkit dari tidur dan menatap Atma serius.

“Kenal. Temen SMA,” jawab Atma.

Chilton menatap serius wajah Atma. Ia berharap Atma bisa menceritakan siapa sosok laki-laki yang ada di balik teleponnya tadi.

“Eh, yang tadi telepon itu Aravin. Temen SMA yang dulu pernah deket sama Delana.”

Chilton melipat kedua telapak tangan, ia serius menyimak Atma bercerita.

“Mmh ... Chil, ada air es kah?” tanya Zoya, ia berusaha mengalihkan perhatian Chilton agar Atma tidak bercerita yang tidak-tidak pada sahabatnya itu.

“Ada di kulkas bawah,” jawab Chilton.

“Ambilin dong!” pinta Zoya.

“Ambil sendiri kenapa?” sahut Chilton kesal.

“Nggak usah emosi juga!” Zoya melempar wajah Chilton menggunakan bantal sofa. Ia langsung keluar dari kamar Chilton. Usahanya untuk mencegah Atma bercerita tidak berhasil. Ia tahu kalau Atma sangat pandai memberikan bumbu dalam bercerita dan bisa saja mengubah pandangan Chilton pada Delana.

“Cowok yang kamu telepon barusan, pernah pacaran sama Delana?” tanya Chilton menyelidik.

Atma menggelengkan kepala. “Tapi mereka pernah deket banget waktu SMA. Mereka sering belajar bareng, jalan bareng dan semua perhatian-perhatian Delana bikin Aravin jatuh cinta. Sayangnya, Delana justru nolak si Aravin waktu Aravin nembak dia. Itu bener-bener bikin Aravin kecewa. Dia malu banget dan akhirnya milih buat lanjutin kuliahnya ke luar kota.”

Chilton mengernyitkan dahinya. Ia masih tidak percaya kalau Delana punya sikap seperti itu, mencampakkan pria yang pernah begitu dekat dengannya.

“Biarpun sekarang udah kuliah di luar kota. Aravin masih aja nggak bisa ngelupain Delana.” Atma menggeleng-gelengkan kepala. “Aku nggak paham apa yang sudah dibuat sama cewek itu sampe bikin temenku kayak gini,” tuturnya.

“Lagi pada ngomongin apaan si? Serius banget!” Zoya tiba-tiba muncul membawa tiga botol minuman dingin.

“Nggak papa,” jawab Chilton sambil mengusap wajahnya.

Zoya menatap wajah Chilton. Ia merasakan ada hal yang berbeda di wajah Chilton.

“Ma, pulang yuk!” ajak Zoya.

“Ayo!”

Zoya langsung mengajak Atma keluar dari rumah Chilton dan mengantarnya pulang ke  rumah.

“Kamu cerita apa sama Chilton?” tanya Zoya saat ia berada di perjalanan pulang mengantarkan Atma pulang.

 “Nggak ada cerita apa-apa. Dia cuma nanya soal Delana dan aku jawab apa adanya,” jawab Atma santai.

“Kamu jangan cari gara-gara ya!” ancam Zoya.

“Gara-gara apaan?”

“Aku lihat si Chilton kesel banget tadi. Pasti ada sesuatu yang nggak dia suka.”

Atma mengedikkan bahunya. Ia tetap saja merasa tidak melakukan kesalahan apa pun.

Zoya tak lagi bertanya. Ia memilih untuk diam sampai mobilnya berhenti di depan rumah Atma.

“Nggak masuk dulu?” tanya Atma begitu ia turun dari mobil Zoya.

Zoya menggelengkan kepala dan langsung menutup kaca jendela mobilnya.  Ia melajukan mobilnya kembali menuju rumah Chilton. Tanpa menelepon, Zoya membunyikan klakson beberapa kali di depan rumah Chilton.

Chilton geram mendengar suara klakson yang terus berbunyi di depan rumah. Ia mengintip dari jendela kamar dan mendapati mobil Zoya sudah berada di depan pagar rumahnya. Ia langsung berlari keluar dari rumah sebelum Zoya benar-benar menabrakkan mobilnya ke pagar rumah.

“Kamu kenapa sih!? Ngajak berantem memang anak ini,” seru Chilton begitu Zoya keluar dari mobilnya.

Zoya tidak menghiraukan ucapan Chilton, ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa diminta.

“Kesambet setan apa tuh anak?” Chilton menggeleng-gelengkan kepala sambil menutup kembali pintu pagar rumahnya. Ia melangkahkan kaki memasuki rumah.

Chilton mendapati Zoya sudah duduk di sofa ruang keluarga. Kakinya dijulurkan ke atas meja dan menonton televisi dengan gaya santainya.

“Kamu kenapa sih?” tanya Chilton yang langsung duduk di sampingnya.

“Kesel banget aku sama Atma,” celetuk Zoya.

“Emang pembualan gitu anaknya?” tanya Chilton.

Zoya tersenyum sinis. “Dia cerita apa sama kamu?”

Chilton menghela napas panjang. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu sofa sambil menatap langit-langit rumahnya. “Dia cerita soal masa lalu Delana.”

“Terus?” Zoya menatap Chilton serius.

“Dia cewek yang pandai menakhlukan hati cowok dan meninggalkannya saat cowok itu udah jatuh cinta.”

Zoya mengernyitkan dahinya. “Aku rasa dia nggak begitu. Dia kelihatan tulus banget.”

“Kamu tahu dari mana kalo dia tulus?” tanya Chilton. Mendengar ucapan Atma, ia bisa menangkap sebuah makna kalau Delana adalah tipe cewek yang suka mempermainkan perasaan cowok.

“Kamu percaya gitu aja sama Atma?” tanya Zoya.

Chilton tertawa sinis. “Bisa jadi, semua yang dia bilang itu bener. Karena Atma sama sekali nggak tahu soal kedekatan aku sama Delana. Jadi, nggak mungkin dia ngada-ngada.”

Zoya memutar bola matanya. “Ya, terserah kamu kalo mau percaya sama Atma. Aku bakal lebih percaya sama Delana ketimbang sama anak pembualan itu.”

“Kita lihat aja nanti. Aku juga berharapnya begitu.”

“Apa kamu sudah jatuh cinta beneran sama dia?” tanya Zoya.

“Apa aku harus ngungkapin itu pake kata-kata?” tanya Chilton balik.

Zoya menatap Chilton penuh selidik. Ia tahu, kalau Chilton sebenarnya sudah jatuh cinta. Tapi, ia sendiri masih ingin memungkiri perasaannya sendiri.

Chilton sendiri tidak yakin apakah ia jatuh cinta pada Delana atau tidak. Saat mendengar tentang masa lalu Delana, ia merasa ragu dengan perasaan Delana. Ia merasa, Delana akan mencampakkan dirinya setelah ia jatuh cinta. Sama seperti cowok yang ada di masa lalu Delana.

“Chil, kita bukan anak kecil lagi. Aku rasa kamu bisa bedain mana yang tulus sayang sama kamu dan mana yang modus,” tutur Zoya.

“Udah, deh. Nggak usah ngomongin dia terus!” celetuk Chilton.

“Aku bakal ngomongin dia terus. Karena aku tahu dia cewek yang baik.”

Chilton bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Zoya.

“Chil, aku kayak gini karena aku peduli sama kamu sebagai sahabat!” teriak Zoya. “Aku nggak mau kamu salah pilih pasangan hidup!”

Chilton tak menggubris ucapan Zoya. Ia terus melangkahkan kakinya menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Zoya seorang diri di ruang keluarga.

***

“Hai ... Chil!” sapa Delana saat mereka bertemu di tempat mengajar.

Chilton hanya tersenyum dan langsung meninggalkan Delana.

Delana mengernyitkan dahinya. Ia merasa ada yang berubah dari Chilton. Tiba-tiba ia bersikap seolah-olah tak mengenal Delana.

“Chil ...!” panggil Delana sambil mengikuti langkah Chilton.

Chilton sama sekali tidak menoleh mendengar panggilan dari Delana. Ia tetap saja berjalan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia tetap saja terlihat memesona dengan gaya super cueknya.

“Chil, kamu kenapa sih?” Delana menarik lengan Chilton. Ia langsung menghadang langkah Chilton dan menatap cowok itu serius.

Chilton tersenyum sinis dan menyingkirkan Delana dari hadapannya.

Delana mengerutkan hidungnya karena kesal. Rasanya, ia ingin berteriak sekuat-kuatnya memanggil nama cowok yang menyebalkan itu. Entah kenapa, Chilton tiba-tiba bersikap cuek. Seolah-olah mereka tak pernah saling mengenal atau lebih tepatnya Chilton sedingin saat pertama kali Delana melihatnya.

Chilton tak menghiraukan Delana. Ia langsung masuk ke ruang kelas tempat ia mengajar. Ia tak ingin banyak bicara dengan Delana. Sebab, ia masih merasa kecewa dan sakit hati dengan perlakuan Delana selama ini. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan Delana dan membuatnya benar-benar jatuh hati dengan cewek itu.

Delana melangkahkan kakinya masuk ke kelas. Ia tak bersemangat mengajar dan lebih banyak melamun. Ia memikirkan sikap Chilton yang tiba-tiba berubah. Entah kenapa ia tiba-tiba cuek. Padahal, baru kemarin mereka menikmati makan malam bersama. Saling bergurau sambil minum bir. Begitu cepat Chilton berubah sikap. Semua itu pasti ada sebabnya.

Setelah jam mengajar usai, Delana menunggu Chilton di parkiran. Ia bersandar di motor Chilton. Sebab, Chilton tak mungkin bisa menghindarinya jika ia berada di motor Chilton.

Beberapa menit kemudian, Chilton keluar dari gedung kursus. Ia melihat Delana yang sudah berdiri sambil bersandar di motornya. Ia berjalan perlahan mendekati Delana. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya. Ia ingin membenci, tapi ia juga merindukan gadis yang ada di hadapannya itu. Perasaannya campur aduk tak karuan. Antara ingin melanjutkan hubungannya dengan Delana atau mengakhiri secepatnya sebelum semuanya terlanjur.

“Chil, kamu kenapa?” Delana menatap Chilton. Matanya berkaca-kaca menatap wajah Chilton yang begitu dingin menatapnya. Ia merasa sedih saat cowok itu tiba-tiba tidak mau menghiraukannya sama sekali.

Delana tak bisa menahan perasaan sedih di dalam hatinya. Ia terbayang masa-masa SMA-nya. Saat ia dekat dengan Aravin. Menjalani hari-hari indah bersama. Delana memberikan kasih sayang tulus untuk cowok itu, tapi Aravin justru membuatnya kecewa dan sakit hati.

Chilton menggenggam pundak Delana. Ia tersenyum pada cewek yang ada di hadapannya itu. Ia tak bisa membuatnya terluka untuk saat ini. Sebab, ia sendiri tidak tahu apa kesalahan Delana. Dia tiba-tiba membenci Delana tanpa Delana tahu sebabnya.

“Nggak papa,” jawab Chilton sambil tersenyum.

“Beneran nggak papa?” tanya Delana dengan suara berat.

“Iya. Nggak papa. Aku cuma nggak enak badan,” tutur Chilton.

“Oh,” ucap Delana dengan suara yang hampir tak terdengar. “Tadi pagi aku nungguin kamu di taman.”

“Aku nggak enak badan. Kebetulan aku tidur di rumah Gunung Dubs. Jadi, nggak berangkat ke kampus. Sorry, ya!”

Delana menganggukkan kepala.

“Aku mau pulang. Bisa minggir?” tanya Chilton sambil tersenyum.

Delana menepikan badannya, memberi ruang pada Chilton untuk menaiki motor dan berlalu pergi meninggalkan Delana yang masih bingung dengan sikap Chilton yang aneh.

Delana tak langsung pulang ke rumah. Ia pergi ke asrama untuk menemui Belvina.

“Hei, tumben banget ke sini nggak telepon dulu?” sapa Belvina begitu ia membuka pintu kamarnya.

Delana menghela napas. “Aku boleh masuk?”

“Sejak kapan aku ngelarang kamu masuk?” Belvina menepikan tubuhnya, memberi ruang pada Delana untuk masuk ke kamarnya.

Delana langsung merebahkan tubuhnya ke atas kasur.

“Baru pulang ngajar?’ tanya Belvina melihat Delana kelelahan.

Delana menganggukkan kepala. “Bel, menurut kamu Chilton itu gimana ya?”

“Gimana apanya?” tanya Belvina.

“Gimana sikapnya sama aku? Sebenarnya, dia suka sama aku atau enggak sih?” tanya Delana dengan wajah murung.

Belvina mendekati Delana. “Kalo dilihat dari sikapnya selama ini. Kayaknya dia udah mulai suka sama kamu. Buktinya, dia sering ngajak kamu jalan bareng kan?”

“Hmm ... iya juga sih. Tapi, hari ini aku ngerasa dia beda banget.”

“Beda gimana?”

“Cuek banget. Nggak kayak biasanya.”

“Perasaan kamu aja kali, Del,” sahut Belvina.

“Hmm ... semoga aja emang cuma perasaanku. Tapi, aku tetap kepikiran. Aku udah mikir yang nggak-nggak tentang dia.”

“Emang kenapa sih sama dia?” tanya Belvina penasaran.

“Aku juga nggak tahu. Tiba-tiba aja dia itu cuek dan dingin banget.”

“Kamu ada bikin salah sama dia?” tanya Belvina.

Delana menatap langit-langit kamar. Mencoba mencari kesalahan yang bisa saja ia melakukannya tanpa sengaja.

“Aku rasa nggak ada. Terakhir jalan bareng, dia hepi-hepi aja.”

“Yakin?” tanya Belvina lagi.

“Eh!?” Delana langsung terbangun dari tempat tidurnya. “Aku baru ingat!” serunya sambil berteriak.

Belvina memegangi dadanya karena terkejut mendengar teriakan Delana. “Jantungku mau copot, suaramu kurang keras!” maki Belvina.

“Hehehe.” Delana meringis. “Sorry!” ucapnya.

“Ya udah, ingat apaan?” tanya Belvina.

“Waktu di kafe kemarin. Si Zoya itu cipika-cipiki aku. Terus, Chilton kayak marah gitu waktu Zoya cium pipiku.”

“What!?” Belvina membelalakan matanya. “Serius? Zoya siapa?’ tanyanya.

“Temennya dia. Artis yang sering main sinetron itu.”

“Sinetron apaan?”

“Ah, aku nggak ingat nama sinetronnya.”

“Berarti Zoya itu cowok?”

Delana menganggukkan kepala.

“Dan kamu cipika-cipiki sama dia di depan Chilton?”

Delana menganggukkan kepala lagi.

“Eh, kamu tuh bego atau kelewat polos sih!?” sentak Belvina.

“Eh!?” Delana melongo menatap Belvina.

“Kamu cipika-cipiki sama cowok lain di depan Chilton. Cowok yang selama ini kamu sukai. Dia itu udah mulai luluh dan deket sama kamu. Terus, kamu sia-siain gitu aja. Kalo kamu sampe ciuman sama cowok lain di depan Chilton, bisa aja dia anggap kamu itu cewek murahan,” cerocos Belvina.

“Cuma cipika-cipiki doang, Bel. Lagian, buat artis kayak Zoya, itu sudah jadi hal biasa.”

“Iya. Sesama artis emang udah biasa kayak gitu. Tapi, kamu kan bukan artis.” Belvina mendengus ke arah Delana.

“Kok, omongan kamu sama kayak Chilton?” tutur Delana heran.

“Chilton ngomong gitu juga?” tany Belvina.

Delana menganggukkan kepala.

“Astaga ...! Kamu udah bener-bener bikin salah sama dia. Kamu harusnya minta maaf sama dia,” tutur Belvina.

“Aku udah minta maaf. Waktu pulang, kami baik-baik aja. Chilton nganterin aku pulang kayak biasanya dan dia sama sekali nggak ngebahas soal ciuman pipi itu.

“Serius?”

“Dua rius!”

“Tapi, bisa aja si Chilton sengaja nahan rasa keselnya ke kamu, Dan baru dia luapin sekarang.”

“Masa gitu sih, Bel?” tanya Delana.

“Terus mau gimana lagi? Emang masih ada salahmu yang lain lagi?” tanya Belvina.

Delana menggelengkan kepala.

“Ya udah, Kamu minta maaf sama Chilton!”

“Sudah, Bel. Aku rasa, ada hal lain yang bikin dia berubah.”

“Apa?” tanya Belvina.

Delana mengedikkan bahu.

“Perasaan kamu aja kali, Del.”

“Semoga aja begitu,” sahut Delana.

“Ya udah, nggak usah terlalu dipikirin. Ntar juga pasti baik, kok.”

“Aku nggak mikirin, tapi kepikiran.”

“Bawa santai aja. Positif thinking!” pinta Belvina.

Delana menganggukkan kepala. “Makasih ya, Bel!”

“Selow. Kalo ada apa-apa, kamu cerita sama aku. Aku bakal bantu semampuku,” tutur Belvina.

“Makasih ...!” Delana memeluk tubuh Belvina.

“Itu gunanya sahabat ‘kan?” Belvina tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Delana.

“Ya udah. Aku pulang dulu ya!” pamit Delana.

“Pulang? Kirain mau nginap di sini,” tutur Belvina.

“Nggaklah. Kasihan si Bryan, aku tinggal-tinggal mulu.”

Belvina tertawa menanggapi ucapan Delana. “Dia udah gede. Palingan kalo pas kamu pergi nge-date. Dia pergi nge-date juga sama gebetannya.”

Delana menatap tajam ke arah Belvina. “Aku rasa dia nggak begitu.”

“Kamu kan nggak tahu. Nggak di rumah,” sahut Belvina.

“Tahu, dong! Dia sering ngajak temen-temennya main ke rumah. Jarang banget dia main di luar. Sesekali aja main di luar dan selalu bilang sama aku,kok.”

Belvina meringis mendengar ucapan Delana. “Bercanda, Del. Kamu serius amat nanggepinnya.”

“Jelas aku serius kalo itu menyangkut keluarga aku.”

“Iya, iya. Pulang gih sana!” usir Belvina.

“Ngusir?” tanya Delana mendelik ke arah Belvina.

“Loh? Kamu sendiri kan yang bilang mau pulang?”

Delana mencebik ke arah Belvina. Ia langsung meraih tasnya dan bergegas keluar meninggalkan Belvina yang masih tertawa kecil di dalam kamarnya.

Delana mengendarai motornya menuju rumah yang tak jauh dari asrama, Pikirannya berkelana, menerka-nerka apa yang terjadi pada Chilton sehingga cowok itu tiba-tiba bersikap dingin terhadapnya. Ia terus berdoa agar Chilton bisa menerima kehadirannya dengan tulus. Ia tidak akan sanggup jika harus kehilangan cowok yang selama ini membuatnya menjadi wanita yang istimewa.

 

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas